 LOGIN
LOGIN“Ada apa ini?!” tanya ibu, yang menghampiri setelah mendengarku menangis.
“Kenapa Hana menangis?” Ibu langsung mendekat, meraih tanganku dan mengusap lembut seolah ingin menenangkan. Raut wajahnya terlihat panik, apalagi saat aku tidak dapat menahan desakan air mata yang terus memaksa keluar. “Hana, katakan ada apa?” Aku menoleh ke arah ibu dengan tatapan terluka, aku benar-benar merasa sakit hati dan kecewa. Jika harus menunggu lebih lama lagi menyimpan rahasia besar Mas Angga, aku tidak akan sanggup. Aku sempat menoleh ke arah Mas Angga, dimana lelaki itu pun tengah menatapku seolah mengisyaratkan untuk tidak mengatakan rahasianya pada Ibu, sayang sekali sakit hati dan kecewa yang kini kurasakan, mengikis habis rasa iba dan kasihan padanya. Mas Angga memutuskan untuk bermain api, lebih baik sama-sama terbakar dan hancur bersama. Tidak adil rasanya jika harus menutupi kesalah suamiku, yang jelas-jelas tidak memilihku sebagai satu-satunya wanita di dalam hidupnya. “Hana,” panggil ibu lagi, dengan tatapan menunggu. “Bu, Mas Angga menikah lagi.” ucapku dengan nada suara bergetar. Tidak hanya suara tapi tubuhku pun ikut bergetar. Membayangkan suamiku menikah dengan wanita lain, membuatku sulit mengendalikan diri. “Dia menikah lagi, Bu.” lanjut ku, hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirku saat ini, diiringi dengan lelehan air mata yang tidak kunjung berkurang, tapi justru semakin bertambah parah. “Mana mungkin, kamu pasti salah paham.” Ibu mengusap kepalaku. “Nggak mungkin Angga menikah lagi,” ibu tersenyum, tapi reaksi yang ditunjukkan nya sungguh diluar dugaan. Wanita itu tidak terlihat terkejut sedikitpun, bahkan setelah melihat aku menangis seperti saat ini. “Sungguh, Bu. Aku nggak mungkin salah, Mas Angga menikah lagi.” “Nggak mungkin, Hana. Kamu hanya salah paham, ayo bicara baik-baik dan jangan menyimpulkan secara sepihak seperti ini.” Ibu menarikku keluar, diikuti oleh mas Angga dari belakang. Kami duduk di ruang keluarga, hanya ada kami bertiga, aku, mas Angga dan ibu Ayah dan Adiba sengaja tidak ikut bergabung, dia lebih memilih untuk pergi ke toko bunga bersama mbak Asti. “Dengarkan ibu, apa yang kamu lihat mungkin hanya sebatas salah paham, ibu yakin Angga tidak mungkin melakukan itu.” Ibu masih bersikeras menyangkal, entah karena terlalu takut anak kesayangannya benar-benar menikah lagi atau mungkin ibu punya penjelasan lain yang jauh lebih masuk akal. Tapi apapun alasannya, menikah lagi termasuk dalam kesalahan yang tidak dapat aku maklumi. “Angga, kamu tidak mungkin menikah lagi, kan? Ibu percaya padamu,” ibu menoleh ke arah mas Angga, menanti jawaban yang mungkin akan mengembalikan rasa percaya yang selama ini telah diberikan ibu dan juga seorang istri. Tapi bukti yang sudah terlihat di depan mata, bukan hanya sebatas isapan jempol saja, tapi lengkap dengan bukti-bukti yang menguatkan bahwa lelaki itu benar-benar menikah lagi. “Ibu,” “Nggak! Ibu nggak mau dengar apapun, kecuali mengiyakan pertanyaan ibu.” Suara ibu meninggi. “Ibu,,” “Kamu tidak melakukan perbuatan bodoh itu, kan? Jawab!” Akhirnya Hana tahu, mengapa ibu begitu bersikeras menyangkal, sebab ibu terlalu takut akan fakta menyakiti yang akan diterimanya nanti. Namun diamnya Angga sudah menjelaskan apa yang ingin diketahui Ibu dan Hana. “Ya ampun!” Ibu berteriak kencang. “Angga!” Teriakannya semakin nyaring, diiringi dengan tangis. “Ibu,” posisiku yang paling dekat dengannya langsung memegang satu tangan ibu, berusaha menenangkannya walaupun aku sama hancur dengannya. “Angga.” Teriaknya lagi, hanya dengan menyebut namanya saja sebagai salah satu bentuk kekecewaan yang dirasakannya. “Ibu.. ibu!” kini giliranku berteriak memanggil namanya, saat wanita paruh baya itu terkulai lemas dan tidak sadarkan diri. “Ini kan, yang kamu mau? Bikin ibu sakit?” Mas Angga menepis tanganku yang tengah memegangi ibu. “Kamu nggak punya perasaan, Hana.” tatapannya tajam seolah aku telah menyakiti hatinya, padahal jelas dialah penyebab semua kekacauan ini terjadi. Mas Angga segera membawa ibu, menggendongnya menuju mobil. “Tunggu di rumah, buat ayah yang temani Angga.” Ayah memberikan Adiba padaku, lantas bergegas mengejar mas Angga yang sudah terlebih dulu membawa ibu. Aku hanya terdiam, melihat kekacauan ini semakin tidak terkendali. Aku yang mencari keadilan atas pengkhianatan yang dilakukan suamiku, justru terlihat sebagai penjahat dimana semua kekacauan ini terjadi. Mas Angga sangat pintar memutar balikkan fakta, dimana dia justru penyebab semua ini terjadi. “Mbak Hana mau nyusul nggak? Kalau mau, biar Adiba sama saya.” Mbak Asti menawarkan diri menjaga Adiba, sementara aku masih bingung antara menyusul atau tetap diam di rumah. Aku menoleh ke arah Adiba, menatap putriku yang tengah menikmati sepotong buah apel. Gadis kecil yang tidak pernah tahu apa yang saat ini terjadi, saat keharmonisan rumah tangga ayah dan ibunya berada di ujung tanduk. “Nggak, Mbak. Saya mau ke rumah lama aja,” terbesit dalam hati untuk membawa Adiba pulang ke rumah panti, memang bukan keputusan tepat tapi hanya rumah panti yang ada dalam pikiranku saat ini. “Nggak nyusul Ibu?” Dengan yakin, aku menggelengkan kepala. “Nggak, mbak. Aku mau pulang saja.” Saat seorang suami tidak dapat mempertahankan rumah tangganya, hal pertama yang ada dalam benakku adalah pulang. Aku tidak memiliki keluarga utuh yang bisa menjadi tempatku pulang, namun aku masih memiliki seorang wanita yang sudah dianggap sebagai ibu kandung. Aku memutuskan untuk kesana, meredam sedikit luapan emosi dalam diri. Memilih mengabaikan ibu yang mungkin saja kondisinya jauh lebih buruk dariku, tapi ibu masih memiliki Mas Angga dan ayah, sementara aku? Aku hanya punya Adiba seorang. Hanya membawa beberapa lembar pakaian saja, aku dan Adiba memutuskan untuk pulang ke panti. Memesan taksi online, untuk pertama kalinya aku meninggalkan rumah setelah resmi menjadi bagian dari keluarga mas Angga. Dengan perasaan sedih bercampur kecewa, aku memeluk Adiba yang sudah terlelap dalam pangkuan, kami pergi meninggalkan kenyamanan dan kemewahan yang selama ini diberikan keluarga mas Angga. Sedikitpun tidak menyangka, jika kebahagiaan itu hanya bersifat semu, bahkan sebelum Adiba menginjak usia dewasa semuanya hancur dalam sekejap. Adiba masih sangat kecil untuk mengetahui keadaan rumah tangga kedua orang tuanya, tapi aku harap suatu hari nanti Adiba akan mengerti dan mau memahami keputusan yang kuambil saat ini. Dengan berat hati, aku memutuskan untuk berpisah. Bagiku tidak ada kesempatan kedua, sekali berkhianat, maka selamanya akan seperti itu. “Maafkan ibu ya, nak. Kita pulang dan memulai hidup baru bersama, tanpa ayah.” Aku mengusap lembut kening Adiba dan berlama-lama menciumnya. Ketakutan itu pasti ada, tapi aku tidak mau hidup satu atap dengan lelaki yang membagi cintanya.
Kondisiku benar-benar membaik setelah lima hari berlalu, berkat bantuan Mbak Ros, ibu dan juga obat yang diberikan Dika hari itu. Aku memang tidak menuruti saran Dika untuk kembali datang ke rumah sakit, setelah tiga hari. Sengaja memperlambat kontrol, karena selain sudah merasa lebih baik, juga karena hari ini aku mendapat informasi Ibu sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Walaupun selama lima hari aku benar-benar menghabisi waktu di rumah dan tidak pernah mengunjungi ibu di rumah sakit, tapi aku tetap memantau kondisi ibu dari ayah. Kami masih berhubungan baik, saling berkomunikasi nyaris setiap hari. Aku juga menceritakan keadaanku saat ini pada Ayah agar tidak menimbulkan salah paham. Beruntung, ayah sangat mengerti dan ia pun terlihat begitu khawatir pada kondisiku.“Mau ke rumah sakit sekarang?” tanya Ibu, muncul bersama Adiba. “Iya.” Aku mengulurkan tangan ke arah Adiba, hendak menggendongnya.“Ibu mau ketemu Nenek dulu
“Tulis nomormu disini,” Dika mengeluarkan ponselnya ke arahku. “Seseorang pasti ingin berkomunikasi denganmu,” ia terlihat meyakinkan. “Untuk? Kamu sudah tahu tempat tinggalku, bawa saja kesini jika ada keperluan.” Aku menolak. Entah mengapa aku merasa untuk saat ini tidak memerlukan berkomunikasi dengan siapapun. “Temanku pasti ingin bertemu denganmu, setidaknya untuk memastikan keadaanmu setelah kecelakaan hari ini.” “Tidak perlu,” aku menggelengkan kepala. “Pak Rahmat yang lebih membutuhkan tanggung jawab dari temanmu, bukan aku.” Akhirnya aku tahu nama pa ojek, namanya Rahmat.“Aku nggak apa-apa, kakiku hanya terkilir saja. Satu Minggu pasti sembuh total dan hanya butuh istirahat saja.” Aku sudah mendapatkan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa luka di kakiku hanya terkilir biasa, tidak perlu mendapatkan perawatan khusus apalagi sampai dirawat di rumah sakit. Hanya
“Tunggu disini sampai ayah kembali,” ucapnya.Aku patuh, menganggukkan kepalaku dengan tas ransel yang jauh lebih besar dari ukuran normal Aku punya dua tas ransel, satu untuk sekolah berwarna merah muda dan satu lagi ransel besar berwarna coklat tua. Tas ransel berwarna merah muda yang selalu dikenakan sejak mulai sekolah menjadi satu-satunya tas yang setiap hari dipakai, dan untuk tas ransel coklat aku tidak pernah menggunakannya. Selain ukurannya yang sangat besar, juga karena tas tersebut selalu digunakan untuk kepentingan tertentu. Misal, saat aku menginap selama satu Minggu di rumah Tante, dimana kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun lamanya bertengkar nyaris setiap hari. Pertengkaran mereka seolah menjadi makananku setiap harinya. Setelah mereka resmi berpisah, aku memutuskan ikut bapak, sementara Ibu entah kemana. Dari Informasi beberapa orang yang mengenal ibu, dia memutuskan kerja ke luar negeri, ke n
Beberapa orang datang, berkerumun hendak menolong. Aku menoleh ke arah Pak ojek, lelaki itu tergeletak tidak berdaya bahkan tidak terlihat pergerakan sedikitpun, hanya tertelungkup dengan helm penutup kepalanya lepas entah kemana. Yang membuatku semakin terkejut yakni saat melihat darah segar mengalir dari hidung dan keningnya. Lelaki tua itu mengalami luka parah, tidak seperti diriku yang masih dalam keadaan sadar, walaupun aku tidak bisa menggerakkan salah satu kakiku. Entah terkilir atau parah, aku tidak tahu pasti. Sakit dan panik bercampur aduk, beberapa orang langsung menolong kami. Aku dibawa oleh seorang lelaki, memangku tubuhku dan segera dilarikan ke ruang IGD. Aku masih terus menoleh ke arah Pak Ojek, dan lelaki itu masih belum juga sadar. Aku semakin takut dibuatnya.“Tolong berbaring, kami harus memeriksa.” seorang perawat menginstruksikan padaku untuk diam, namun aku masih belum bisa tenang sementara bapak itu
“Hana, kenalkan ini anak ibu namanya Angga,” . lelaki berparas tampan itu tersenyum, mengangguk samar dan mengulurkan tangannya. “Angga Permadi, dan kamu Hana, kan?” Aku malu saat hendak membalas uluran tangannya, bahkan bibirku tiba-tiba kelu hanya untuk menjawab sapaan darinya. “Iya, Mas. Hana,” balasku dengan hanya mengangguk samar, tidak berani membalas uluran tangan darinya. “Cantik, kan?” tanya Ibu lagi, yang membuatku semakin malu saja. “Iya, cantik sekali.” Pujian yang begitu membekas dalam hatiku sampai saat ini. Sekelebat bayangan dimana kami pertama kali bertemu terus berputar dalam ingatan. Saat paling mendebarkan dalam hidupku untuk yang pertama kalinya, dimana aku benar-benar merasakan jatuh cinta pada seorang lelaki pada pandangan pertama. Parasnya yang tampan, tutur katanya yang begitu santun, bahkan perlakuan
Sampai pukul dua siang, Mas Angga tidak kunjung kembali. Entah kemana dia pergi, aku tidak berani menghubunginya walaupun sangat ingin tahu. Aku berusaha keras untuk tidak terlihat masih berharap, bertarung melawan keinginanku sendiri yang benar-benar membuatku merasa semakin kacau. Ayah datang tiga puluh menit lalu, aku pun memutuskan untuk pulang saja. Tidak berani meninggalkan Adiba terlalu lama, yang aku titipkan bersama ibu panti. Saat melewati lorong rumah sakit menuju lobi utama dimana aku memesan ojek online,tanpa sengaja aku berpapasan dengan seorang lelaki yang wajahnya sedikit familiar. Tidak ingat pasti siapa sosok itu, namun wajah dan senyumnya sedikit familiar.“Masih ingat saya?” dia menyapa, walaupun awalnya aku berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya, tapi sudah terlanjur menyapa, akhirnya aku pun menoleh.Jujur aku hanya ingat sekilas wajahnya saja, tapi nama dan kapan kami bertemu aku tidak dapat mengingatnya.








