Bab 2. Kedua Kali
Yuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat azan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya.
Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam.
Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu.
“Selamat pagi, Nek,” sapa Yuna ramah.
Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering.
Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampilkan kulit keriputnya.
Menyodorkan selembar uang lima ribu, dan ucapan terima kasih, Yuna mengambil kantong plastik berisi sarapan paginya dan segera pamit. Ada banyak yang mengantri di belakangnya, membuat dia segan untuk berlama-lama.
Kembali ke kosnya, Yuna berjalan ringan dengan sedikit meregangkan tubuhnya. Pegal-pegal karena tubuhnya yang dipaksa bekerja keras. Ditambah dengan kasur di kamarnya yang semakin tipis dan tidak ada empuk-empuknya sama sekali.
Namun, karena kecerobohannya mungkin, dia menabrak seseorang. Seorang laki-laki dengan pakaian olahraga lengkap.
Yuna mengaduh, bukan karena dia yang kesakitan, lebih karena sarapannya terlempar. Membuat isinya berhamburan di jalan dan tidak lagi layak untuk dimakan.
“Kamu tidak apa?” tanya laki-laki itu, ketika melihat seseorang yang baru ditabraknya masih saja berjongkok di hadapannya.
“Tidak apa-apa.” Yuna memungut kantong nasi uduknya. Bukan untuk dimakan namun akan ia pindahkan ke tempat sampah.
Laki-laki itu mengernyit. “Kamu yakin?”
“Tentu saja—” Mendongak, Yuna termenung menatap laki-laki di hadapannya. Seorang laki-laki yang kemarin ditemuinya di restoran. Yang berhasil membuat degup jantungnya jumpalitan.
Oh, kebetulan apalagi ini?
Tidak ingin berlama-lama, Yuna segera menunduk dan pergi, tanpa kata apa pun. Memang apa yang akan Yuna katakan, mengobrol dan bertukar cerita begitu. Dia masih cukup waras untuk menyadari keadaannya.
Di lain sisi, laki-laki yang baru Yuna tinggalkan tampak ternganga dengan kernyitan di kening. Tidak percaya dengan apa yang terjadi. Dia diabaikan.
***
Kennan melenguh pelan. Masih memejamkan mata, dirabanya meja kecil di dekatnya. Mencari ponsel yang ia yakini diletakkan di meja itu tadi pagi. Setelah ditemukan, Kennan mengerjap, melirik layar yang menunjukkan pukul 10.15. Dia kemudian menegakkan tubuh. Sedikit lesu, meski ia sudah tertidur cukup lama. Rekor baru baginya, karena selama bertahun-tahun bekerja, baru kali ini dia menjadikan kantornya sebagai tempat yang nyaman untuk tidur.
“Ken, kenapa di kunci?!”
Teriakkan dari luar ruangan, membuat mata Kennan melebar.
“Ken, ngapain sih. Lupa meeting siang ini?” Lagi, teriakkan itu membahana.
Kennan mendengkus, dia tidak lupa. Hanya malas untuk menghadiri meeting itu. Dia terkenal profesional dalam bekerja, tapi kali ini, dia ingin menghilangkan image itu. Biarlah, sekali-kali menjadi pembangkang.
“Ngapain ke sini?” tanya Kennan datar, ketika dia membuka pintu ruangannya dan menampilkan Jefry di balik pintunya.
“Halah, pura-pura enggak dengar lagi,” cibir Jefry. Tanpa izin, dia nyelonong masuk ke ruangan Kennan, kemudian menghempaskan tubuh di sofa tempat Kennan tertidur tadi.
Tidak membalas cibiran Jefry, Kennan berjalan ke arah meja kerjanya. Duduk di kursi kebesarannya untuk mengecek pekerjaannya yang semakin menumpuk.
“Wilona tunangan nanti malam, kamu datang enggak?”
Kennan menghentikan gerakan tangannya mengambil bolpoin, sesaat dia biarkan tangannya menggantung begitu saja di udara. Sebelum kemudian mengepalkannya dan meletakkan di meja. Sejujurnya, dia enggan membahas hal yang Jefry tanyakan.
“Ken?”
“Enggak, banyak kerjaan.” Kennan menunduk. Mulai menyibukkan diri dengan memeriksa dokumen-dokumen di atas meja.
Jefry menaikkan sebelah alisnya. “Kukira kamu tidak akan absen untuk sahabatmu itu.”
Tanpa mengalihkan fokusnya, Kennan menyahut singkat. “Bukan sahabat.”
Kali ini Jefry terkekeh. “Oh benar, dia bukan sahabatmu tapi saudari jauhmu. Yang kebetulan kamu kasihi sepenuh hatimu.”
Menggenggam bolpoinnya kuat-kuat, Kennan memejamkan mata. Tidak mengelak, karena yang Jefry katakan benar adanya.
“Kapan kamu akan memberiku cucu, Ken?”
Kennan dan Jefry serempak menoleh ke arah pintu dengan tatapan terkejut. Di sana berdiri laki-laki setengah baya dengan tubuh tinggi tegap. Berkacak pinggang dengan seringai geli. Kennan mendesah pelan melihat ayahnya yang bicara tanpa basa-basi. Apalagi membawa topik yang menjadi beban berat di bahunya. Pekerjaannya saja sudah lebih dari cukup membuatnya pusing, sekarang ditambah tekanan ayahnya.
“Oh ada Jef, bagaimana kabarmu, Nak?” Doni Sabdayagra memasuki ruangan, berjalan ke arah Jefry yang menahan tawa sedari tadi.
“Baik Om. Sangat baik,” sahut Jefry ceria.
Doni mengangguk, “Kamu sudah menikah?” tanyanya.
Jefry tersenyum samar. “Belum dong, Om. Masih ingin memacari banyak gadis,” sahutnya menepuk dada.
Kennan yang mendengar ucapan Jefry serta merta melemparkan bolpoin di tangannya, tepat mengenai pelipis sahabatnya.
Jefry mengaduh, lumayan sakit karena bolpoin berlapis perak yang Kennan lemparkan. Andai tidak ada Doni, Jefry akan mengumpat dan membalas Kennan.
“Pantas kalian tidak laku-laku. Umur boleh dewasa, tingkah mirip bocah,” decak Doni. Dia bangun dari duduknya, mengitari meja kerja Kennan dan berdiri di samping putranya. Siap memberi wejangan panjang lebar akan niatnya yang tidak pernah surut.
“Kenapa Ayah tidak istirahat saja di rumah?”
“Mana mungkin Ayah hanya diam di rumah, sedangkan putraku sampai tidak tidur karena pekerjaan.”
Kennan menahan senyum. Dia lembur semalaman, hanya agar bisa mengalihkan pikiran dan perasaannya. “Ayah sudah semakin menua, biar aku yang mengurus perusahaan ini.”
Doni terkekeh. “Nah itu kamu sadar. Ayah sudah semakin menua. Jadi kapan kamu memberi Ayah cucu, hm?”
Mengaduh dalam hati, Kennan mengutuk kebodohannya dalam bicara. Kenapa sampai bisa keceplosan. Dia membuka sendiri lahan permintaan untuk ayahnya. “Lupakan tentang itu Ayah, aku masih senang bekerja,” seloroh Kennan. Dia melempar tatapan tajam pada Jefry yang terus saja terkikik mendengar pembicaraannya dengan Doni.
Seperti kebiasaan. Jefry selalu puas untuk mengejek Kennan.
“Anak durhaka, kamu tidak ingin menikah!” hardik Doni, salah paham akan ucapan asal Kennan. “Kamu bekerja keras untuk siapa? Jika bukan untuk keluargamu.”
Kennan menghela napas panjang dan perlahan. Dia bukan tidak ingin menikah, dia ingin. Hanya saja dengan satu perempuan itu. Tapi, malam ini segalanya berakhir. Angannya sudah terhempas ke udara, tak lagi bersisa.
“Aku ingin menggendong cucu, Nak,” pelas Doni, wajahnya dia buat sememelas mungkin. Hanya satu cara itu yang ia bisa. Kennan itu keras kepala, jika dibalas dengan keras kepala juga, akan sama saja.
Ya Tuhan, Kennan melirih di dalam hati. Lebih dari apa pun, jauh di dalam hatinya dia pun ingin memiliki anak. Usianya sudah semakin tua, tapi ….
“Wilona saja akan menikah, kamu kapan?”
Kennan menyerah. Dia bangkit berdiri, menatap sang ayah yang terduduk di tepi mejanya, dengan sorot teduh. “Ayah pasti lelah, kemarin baru tiba langsung ke kantor. Sekarang pun juga.”
Doni berdecak, “Kalau bukan ibumu yang merengek untuk membujukmu menikah, mana mau aku melembut pada anak keras kepala sepertimu.”
Setelah mengatakan itu, Doni beranjak pergi, tanpa menoleh atau mengatakan hal lainnya. Misinya satu, membujuk Kennan. Tapi sama seperti dirinya saat muda, Kennan luar biasa keras kepala. Tidak bisa dikendalikan.
“Sepertinya kamu butuh perempuan secepatnya.” Jefry membuka pembicaraan.
Kennan melirik malas. “Untuk apa?”
“Menjadi ibu pengganti untuk anakmu.”
“Gila! Aku tidak sebodoh itu,” umpat Kennan dengan suara keras. “Mana mungkin aku mempercayakan calon anakku pada seorang perempuan malam.”
Jefry menggelengkan kepala. “Tidak. Bukan pada perempuan seperti itu, tapi perempuan baik-baik yang mau bekerja sama.”
Kennan menaikkan sebelah alisnya. Termenung memikirkan usulan Jefry. Bisakah? Tapi, perempuan mana yang mau dia manfaatkan. Hanya untuk mengandung anaknya tanpa ada komitmen untuk membangun rumah tangga.
Bab 38. Rindu MenggebuPulang dengan wajah penuh lebam dan sisa-sisa tenaga. Kennan tersenyum tipis, mendapati Yuna tengah duduk bersama ibunya di gazebo.Ah, dengan ayahnya juga.Mereka bertiga tampak akrab, terbukti dengan tawa yang terdengar hangat. Membuat Kennan iri setengah mati, karena tidak diberi izin oleh Yuna untuk berdekatan.Tadi, Kennan sempat berpikiran untuk langsung masuk kamar saja dan tidur, membiarkan lebamnya menjadi kebiruan. Namun urung, ketika ide cemerlang menyambangi. Dia bisa mendekati Yuna, memanfaatkan keberadaan ayah dan ibunya. Tidak mungkin ‘kan, Yuna menatapnya dengan tatapan sengit yang akhir-akhir ini selalu menyambutnya.Masih beberapa langkah sebelum mencapai gazebo, Kennan tersentak karena jeritan ibunya.“Ya Tuhan! Kennan!”Kennan meringis. Berdiri rapuh dengan dua tangan Nana merangkum wajahnya. Mungkin sedang meneliti, t
Bab 37.2 Luapan Emosi“Ken.”Kennan tersentak. Mengerjapkan mata dan menatap Wilona bingung. Dia kemudian melirik Jefry yang hanya mengedikkan bahu. Sama tak tahunya.“Kamu sulit sekali ditemui.” Wilona menarik salah satu kursi di dekat Kennan. Tidak menyadari jika seorang laki-laki lain, jelas keberatan.“Memangnya, Kennan itu siapanya kamu, yang harus selalu stay?” Jefry mencibir. Menyuap sesendok penuh makan siangnya dan mengunyah kasar. Tatapan sinisnya ia lemparkan tepat pada perempuan yang mengganggu acara sendu Kennan.Wilona tidak peduli. Dia hanya melirik sesaat pada Jefry sebelum kembali menatap Kennan. Kali ini, jemarinya terulur menggenggam tangan Kennan yang terkulai.“Pernikahanku gagal. Aku dipermainkan. Dan sekarang kamu tampak menjaga jarak denganku. Aku butuh kamu, Ken.&
Bab 37.1 Luapan Emosi“Aku enggak tahu ….”Jefry melongo. Enggak ada angin, enggak ada hujan, Kennan tiba-tiba berucap yang tidak ia mengerti. Dia dan Kennan sedang di kantor. Seperti biasa. Memang apa lagi yang diharapkan. Berjemur di tepi pantai lalu bermain pasir dan ombak bersama beberapa perempuan.Jangan harap.Kennan bukan tipikal seperti itu. Dan meski Jefry begitu ingin berleha-leha, dia juga masih sayang perkerjaannya. Nanti ditendang keluar kantor oleh Kennan, ‘kan enggak lucu.Jefry masih menatap Kennan, lelaki itu tengah melepas kacamata bacanya dengan gerakan luar biasa pelan.“Aku enggak tahu, jika Yuna bisa mendominasi kehidupanku.” Kennan bersuara. Melanjutkan kalimat awalnya yang sengaja menggantung.Jefry tidak terkejut. Yang terjadi pada Kennan, sudah ia perkirakan sejak Kennan memba
Bab 36. PenolakanKennan kehilangan waktu untuk istirahat. Dia pulang ke rumah tengah malam, ketika semua penghuni rumahnya tengah terlelap.Selepas makan siang tadi, Kennan kembali menghadiri rapat bulanan perusahaan. Menghalangi niatannya untuk pulang lebih awal. Dan tidak beruntungnya, rapat itu berlangsung lebih dari dua jam. Dilanjut dengan pertemuan-pertemuan bisnis dengan beberapa klien.Kennan menghela napas, melonggarkan ikatan dasi di lehernya yang terasa mencekik. Dia tidak makan, tidak juga istrirahat. Hal penting itu menjadi sampingan yang tidak Kennan pedulikan.Ah, dia tidak tahu, harus lebih bersyukur atas tumpukan pekerjaannya atau tidak.Melangkahkan kaki memasuki rumah, Kennan disambut dengan keheningan. Tadi, yang membuka gerbang Pak Budi dan sekarang entah ke mana orang itu. Mungkin, menutup garasi.Lampu-lampu di dalam rumah sudah dipadamkan. Menyisakan l
Bab 35. KonspirasiKennan tengah melakukan rapat dengan beberapa petinggi perusahaan. Kembali membahas penggelapan uang yang nahasnya terjadi ketika ia pergi ke Jepang. Dia berhasil memenangkan salah satu proyek di Jepang, dan menyelesaikan masalah pekerjaan di sana. Namun perusahaannya di Indonesia justru kecolongan. Sebenarnya, Kennan sudah mencurigai satu orang yang sejak awal tampak menunjukkan gerak-gerik aneh.Tidak Kennan perkirakan, orang itu bergerak lebih cepat. Pintar mencari kesempatan, padahal Kennan hanya pergi beberapa hari.Menutup rapatnya, Kennan menyuruh semua orang keluar ruangan. Meninggalkan dia dengan kepala pening bukan kepalang. Segalanya harus ia tangani sendiri.Ayahnya sedang dalam kondisi kurang fit, yang memaksa Kennan menggunakan hatinya. Dan meminta ayahnya untuk istirahat dengan cukup di rumah.Ada banyak masalah yang tiba-tiba muncul di permukaan, padahal sej
Bab 34. Sebuah FaktaHari ini adalah hari kepulangan Kennan. Kabar yang membuat dada Yuna membuncah bahagia. Dia teramat merindukan lelaki itu.“Mbak Mini, aku saja yang membereskan kamar Tuan.” Yuna menawarkan, mengerling pada Mini yang sibuk menata makan siang di atas meja.Menurut jadwal, Kennan akan tiba malam hari. Tidak sampai tengah malam juga, mungkin sekitar pukul delapan atau sembilan.Mini tersenyum. “Sudah saya bereskan tadi pagi.”Yuna mencebikkan bibir. “Kok enggak bilang.”Pada dasarnya, Yuna hanya ingin masuk ke kamar Kennan. Demi membunuh rindu yang teramat menyiksa.“Nona bisa kok, kapan saja masuk. Mengobati rindu,” goda Mini dengan senyuman geli yang tampak jelas.Yuna mendelik. Menolehkan kepala ke kanan dan kiri, khawatir jika ada yang mendengar. “Huss ... aku niat beresin. Bukan seperti itu,&rdqu