Aiman segera membopong tubuh ibunya menuju ke kamar tamu, dengan Binar yang mengekor dengan raut cemas. "Menjauh dari ibuku! Semua ini gara-gara kamu!" sentak Aiman kala tahu Binar mengikuti di belakang. Menurut Aiman, semua kejadian di hari itu kesalahan Binar. Seketika Aiman merasa muak dan benci melihat tampang lugu Binar. Aiman kembali melanjutkan langkah setelah membentak Binar. Meninggalkan wanita itu dengan perasaan yang hancur. Sekuat apa pun Binar menahan air matanya agar tak jatuh, tetapi biar bagaimanapun Binar hanya wanita lemah dan rapuh. Hanya air mata yang setia menemani dia di kala hatinya tersakiti. "Maaf." Hanya itu yang mampu disuarakan Binar. Memang benar, semua kejadian itu gara-gara dirinya. Seharusnya Binar segera pergi dari rumah itu sejak kemarin. Sekarang, semuanya telah terlambat. Sebab Ambar telah mengetahui bahwa di rahim Binar telah tumbuh cucu yang sedang dia nanti-nantikan beberapa tahun ini. Pasti Ambar ti
Wanita yang mengenakan blouse bertabur bunga pink itu, terlihat semringah kala melihat adik ipar berdiri di depan teras. Syeira mengambil beberapa paper bang, oleh-oleh yang dibelinya hari ini untuk Binar dan suaminya. Dengan langkah santai, Syeira menapaki lantai teras. "Sejak kapan datangnya, Fan?" tanya Syeira tersenyum manis. Namun, Affandi hanya menatap wanita itu datar. Dia menarik napas dalam, tahu sebentar lagi senyum manis di wajah kakak iparnya itu akan lenyap. "Kamu nemuin siapa?" Pandangan Syeira terlempar ke mobil suaminya yang ada di garasi. "Oh iya, Mas Aiman, yah?" tebak Syeira, "tumben Mas Aiman jam segini udah pulang."Affandi mengembuskan napas panjang melihat alis bertaut milik Syeira. Lantas, dia mendekati kakak iparnya tersebut. "Apa pun yang terjadi di dalam, mohon kuatkan hatimu, Mbak," ucap Affandi pelan. Lantas, Affandi pun pergi begitu saja. Meninggalkan tanda tanya besar di benak Syeira. Walaupun dokte
Ambar mondar-mandir di luar ruangan rawat tempat Binar sedang diperiksa. Tumit sepatunya yang sedikit tinggi, mengetuk-ngetuk lantai putih bersih. Aiman menatap sepatu ibunya yang ke sana kemari itu dengan kepala pening, karena ibunya tak berhenti mengomel sebab dia sudah membentak Binar hingga membuat wanita itu pingsan. "Pokoknya, kalau sampai terjadi apa-apa pada cucuku, Mama tidak akan pernah memafkanmu, Aiman!" ancam Ambar. "Ibu hamil itu mentalnya lemah dengan hal-hal di sekitar. Mereka gampang drop dengan bentakkan atau sekedar tatapan sinis. Mereka sangat sensitif dan hal itu akan membuat kondisi mereka menurun. Kemungkinan besar, janin juga ikut terpengaruh dengan hal tersebut." Kembali wanita itu bermondar-mandir sambil mengomel. Tak sedikit pun merasa lelah.Justru, Aiman yang khawatir dengan kondisi ibunya itu. Takut sang ibu kelelahan dan kambuh lagi penyakitnya. Namun, sang ibu dengan lantang mengatakan dia tak akan apa-apa selama Aiman mau menu
Sore hari menjelang magrib, Binar telah siap dengan kebaya putih tulang dan riasan tipis di parasnya yang ayu. Tak perlu repot-repot dan untuk mendandani wanita itu, karena pada dasarnya dia sudah memang cantik. Para perias hanya menyamarkan saja wajah sayu Binar, dan meminta wanita itu agar berhenti menangis, sebab hari ini adalah hari istimewanya. Andai, dia menikah dengan pria yang sangat dicintainya dan begitu pula perasaan pria itu padanya. Pasti akan sangat bahagia hati Binar. Namun sayangnya, Binar dinikahi hanya karena jabang bayi yang sedang dikandungnya itu. Binar tak lebih seumpama barang yang dibeli hanya untuk memberikan cucu pada majikannya, karena sang majikan tak sengaja telah menumpahkan benih di rahimnya. Lalu setelah itu, entahlah bagaimana dengan nasib Binar selanjutnya? Apakah barang itu akan dibuang setelah diambil keuntungan darinya, atau akan terus diperlakukan sebagai lap kaki. Binar yang malang. Jujur saja, dia tak mau menikah.
Melihat Binar yang terusan diam di tempat sambil meremas jemari gugup, Ambar memegang lengan Binar, menuntunnya menuju ke kamar. "Sudah sana, kamu juga istirahat. Pasti capek 'kan?" Entah Ambar berpura-pura tidak mengerti atau memang tidak paham, jika Binar takut sekamar dengan putranya itu yang setiap kali melihat Binar seolah serigala yang siap mencabik-cabik mangsa. "Selamat malam." Ambar berucap ketika Binar sudah sampai di ambang pintu, tidak lupa mertua baru Binar itu membantu menutup pintu kamar sang pengantin. Ketika pintu itu tertutup sempurna, tubuh Binar menegang dengan mata membulat sempurna melihat Aiman yang berdiri dengan tatapan nanar di balik pintu. Menatap Binar dari atas hingga bawah. "Rencanamu sudah berhasil?" Aiman melipat tangan di dada dengan tatapan mencemooh. Alis Binar bertaut, tak paham apa yang diucapkan pria yang telah sah menjadi suaminya itu, walaupun hanya pernikahan siri. "Kau sudah me
Aiman mengeraskan rahang ketika cairan asam berbau menyengat itu tumpah ke dadanya. Sementara Binar melotot dengan wajah yang kian memucat. Tangan wanita itu bergetar, hendak membersihkan kemeja hitam Aiman. Namun, segera Aiman menahan kedua lengan lembut itu. Binar mendongak dengan tatapan ketakutan. Bibirnya bergetar. "Ma-maaf ...," ucapnya lirih. Rasa takut membumbung tinggi di dada Binar, hingga membuat pernapasan wanita itu terasa sesak. Akhirnya, Binar merasa kepalanya pening disusul dengan pandangannya yang memburam. Binar kehilangan kesadaran. Rasa takut, bisa saja melenyapkan nyawa wanita itu jika dia tetap memeliharanya. "Astaga ...." Aiman berdecak, pusing bagaimana dia harus mengurusi Binar yang sudah terkulai tak sadarkan diri. Sementara dia sendiri penuh bau muntahan. Terpaksa, Aiman meletakkan tubuh Binar, menyandarkan tubuh itu pada dinding kamar mandi. Lantas, Aiman membuka kemeja juga kaus oblong yang sudah bas
Siang mulai menukik, kaca jendela yang bening menghantarkan cahaya matahari ke wajah Binar. Membuat wajah wanita berparas ayu itu perlahan menghangat dengan teriknya matahari. Perlahan-lahan, wajah yang tadinya memucat, kini mulai berwarna kemerah-merahan. Alis tebal Binar tampak bertaut, menandakan si empunya merasa silau dengan sang mentari. Aiman yang sedari tadi duduk di sofa dekat tempat tidur Binar, mengangkat tubuh. Berdiri di samping ranjang, menghalangi sinar matahari dengan punggung tegapnya. Kedua alis Binar menjauh. Namun, Aiman memiringkan tubuhnya, kembali sinar matahari menyapa wajah Binar. Alis Binar kembali bertaut. Aiman menghalangi sinar matahari lagi, alis Binar menjauh lagi. Aiman kembali memiringkan wajahnya, alis Binar lagi-lagi bertaut. Tanpa sadar, sudut bibir Aiman tertarik ke atas. Lucu. Sadar dengan matahari yang terasa aneh, redup-terang, redup-terang itu, Binar membuka kelopak matanya yang terasa berat. Seketika Binar melotot me
Aiman membisu dengan kepala tertunduk, tangannya mengepal erat. Dia benar-benar tak berdaya dalam posisinya saat ini. Bingung, antara harus memilih cinta pada istrinya, atau tanggung jawabnya pada bayi yang dikandung oleh Binar. Melihat suaminya yang tertunduk dengan bibir yang terkatup rapat, Syeira mengangguk paham. Sang suami tidak bisa menuruti permintaannya. Dia segera mengusap semua bulir air mata yang masih membekas di pipinya secara kasar, lantas berdiri dari hadapan Aiman. Namun, lagi-lagi Aiman menahan lengan wanita tercinta itu, lalu kembali memeluknya. Napas pria itu terdengar mendengkus lelah di samping telinga Syeira. "Kumohon, ini hanya sampai anak yang dikandungnya lahir, lalu setelah itu aku akan menceraikannya. Aku tidak bisa menceraikan dia sekarang, Mama sangat menginginkan namaku ada di belakang nama anak itu nantinya."Syeira berusaha melepaskan pelukan Aiman, namun dia kalah tenaga. "Kumohon, hanya sampai anak itu l