Share

Bab 7: Tempat Tinggal Baru

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.45, saat mobil yang dikendarai Syeira memasuki pekarangan rumah yang terdapat air mancur dengan patung dua angsa berciuman di tengah-tengahnya. Sebelumnya, kedua wanita itu mampir dulu untuk makan malam, maka dari itu agak larut malam sampai ke rumahnya. Mata Binar sedikit jelalatan melihat-lihat keindahan pekarangan halaman rumah Syeira, ada taman di samping kiri sana, juga gazebo yang terbuat dari semen dan dicat putih tulang.

"Ayo keluar!" ajak Syeira setelah membuka pintu. Wanita dengan dress selutut itu, mendahului naik anak tangga setinggi setengah meter agar mencapai teras rumah bergaya Eropa itu.

Dengan rasa sungkan, Binar akhirnya keluar dari mobil. Sekali lagi, mata bulat itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Tatapan matanya bertemu dengan security yang tadinya membukakan pintu untuk mobil Syeira. Binar tersenyum hormat pada pria yang lebih tua tersebut, tetapi sang pria seumuran ayahnya itu hanya memasang raut datar. Membuat senyuman Binar kandas.

"Binar, ayo!" Setelah membuka pintu, Syeira kembali memanggil Binar yang masih berdiri di samping mobil.

Sedikit membungkuk, Binar menapaki tangga-tangga lebar itu. Syeira langsung menarik tangan Binar untuk masuk ke dalam rumah.

Ruang tamu begitu mewah dan luas, di penuhi dengan sofa-sofa berbahan kulit berwarna kuning gold. Ada beberapa hiasan dinding juga vas-vas bermotif indah yang diyakini Binar pasti sangatlah mahal. Dalam keadaan membungkuk, sesekali Binar mencuri pandang pada aksesoris mahal ruangan tersebut. Namun, dia kembali menunduk ketika Syeira menoleh ke arahnya. Sungkan, begitulah yang dirasakan Binar.

"Beginilah keadaan rumah kami. Sangat sepi. Aku hanya tinggal berdua dengan suamiku. Mungkin sekarang dia sudah tidur." Ucapan Syeira hanya diangguki tipis oleh Binar. Dia bingung harus mengatakan apa, rasanya dia begitu tak pantas menginjakkan kaki di rumah mewah tersebut.

"Kamu nggak usah malu-malu begitu. Kamu harus terbiasa dengan rumah ini. Mulai sekarang 'kan, kamu akan bekerja di sini," ucap Syeira sambil membelokkan langkah ke arah kiri. "Di sini kamarmu. Silahkan beristirahat." Syeira membukakan pintu dengan cat putih.

Binar takjub memandang kamar yang dibukakan oleh Syeira tersebut. Binar pikir kamar yang akan ditempati hanyalah sebuah kamar kecil dengan ranjang kecil juga. Tapi yang terpampang di hadapannya sebuah ruangan berukuran besar dengan ranjang yang bisa dihuni dua orang, bahkan lebih. Ada jendela besar di sana yang langsung menghubungkannya dengan kolam renang.

"I-ini kamar saya, Nyonya?" tanya Binar tak percaya. Kali ini, Binar mengganti embel-embel dengan kata 'nyonnya', membuat Syeira mengulum bibir, hendak ketawa.

"Iya. Ini kamar kamu," jawab Syeira. "Nggak usah panggil 'nyonya', panggil 'kak' saja. Aku lebih menyukai itu," lanjutnya.

"Tapi, saya nggak enak. Sekarang 'kan, Anda majikan saya. Jadi sudah sepatutnya saya memanggil Anda 'nyonya'." Sebuah jawaban polos dari wanita yang tampak lugu itu.

Syeira tak dapat menahan tawanya lagi. Dia terbahak, suaranya yang merdu merobek keheningan di rumah besar itu.

"Nggak usah seformal itu. Aku lebih suka kalau kamu menganggapku sebagai kakakmu." Tersenyum hangat pula wanita itu. Membuat Binar merasa akrab dalam waktu sekejap dengan wanita di hadapannya.

"Apa Kak Syeira nggak takut kalau aku ngelunjak?" cicit Binar sambil meremas jari-jari tangannya, lagi-lagi sungkan.

"Emang kamu bisa ngelunjak juga?" Syeira lanjut ketawanya, membuat Binar ikutan terkekeh, sebab tertular tawa renyah Syeira. "Udah, nggak usah banyak pikiran. Aku percaya sama kamu." Sebuah usapan kecil, Syeira lakukan di pundak Binar.

"Terima kasih, Kak." Binar berucap lirih sambil membendung air matanya. Dia benar-benar terharu.

"Ah, aku kenyang makan terima kasih darimu." Syeira mengusap perutnya yang terbungkus dress maroon. Membuat Binar tertawa kecil. "Ya udah, aku ke kamar dulu. Kamu juga istirahat sana, nggak baik begadang buat kesehatan calon bayimu."

Binar mengangguk pelan, lalu pandangannya mengikuti langkah Syeira yang menuju ke lantai atas. Sekali lagi, mata bulat itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seumur hidup, Binar pasti akan berutang budi pada wanita bernama Syeira itu.

**

Ketika membuka pintu kamar, Syeira mendapati Aiman yang sudah terbaring tengkurap di atas ranjang. Tidur dengan arah yang salah, di tengah-tengah, memenuhi badan ranjang. Bahkan, pakaian kantor suaminya itu belum dilepas, lengkap dengan sepatu pantofelnya.

"Dasar!" Syeira berdecak sambil menggeleng-geleng.

Dilepasnya sepatu sang suami, lalu dengan susah payah, dia meluruskan arah tidur yang melanggar garis khatulistiwa itu. Ketika meraih lengan kekar itu, lalu memutarnya, Syeira terperanjat, lengan kekar tersebut malah merengkuhnya.

"Aku merindukanmu." Suara Aiman begitu berat, serak khas orang yang baru bangun tidur. Tindakan Syeira tadi malah mengganggu tidur Aiman. "Kamu bilang akan segera pulang, tapi kenapa sampai selarut ini?" Tatapan pria itu terlihat kesal.

"Maaf, aku tadi harus membantu wan---hmp!"

Tak sempat bagi Syeira membela diri, Aiman sudah menghukum istrinya yang menawan itu. Ingin menuntaskan kerinduan yang sudah beberapa malam ini tanpa kehangatan istrinya, hanya kedinginan di ruangan ber-AC dengan ditemani setumpuk berkas-berkas yang menggunung.

Hampir di ujung permainan, wajah lugu wanita dengan mata bulatnya yang basah melintas di benak Aiman. Wanita itu, pernah juga berada di bawah Aiman seperti halnya Syeira sekarang. Hal itu selalu menumbuhkan rasa bersalah pada Aiman setiap kali menyentuh Syeira. Berusaha Aiman menepis memori yang menurutnya laknat itu. Berusaha menanamkan dirinya bahwa dia hanya milik Syeira, baik tubuh, pikiran, dan perasaannya. Malam itu, hanya kekhilafan sesaat yang telah dikubur Aiman dalam-dalam.

*

*

"Huek! Huek!" Pagi-pagi sekali, seperti biasanya dalam minggu belakangan ini, Aiman akan menjalani perannya seperti wanita yang tengah mengandung. Badan setengah polos itu mengejar kamar mandi sambil membekap mulut sendiri.

Syeira terganggu tidurnya akibat kegaduhan yang dibuat Aiman. Dihampirinya sang suami yang masih memuntahkan isi perutnya di wastafel itu. Cemas? Tentu saja dialami wanita tersebut. Sering kali dia mengajak suaminya untuk memeriksa keadaan di rumah sakit, tetapi Aiman selalu menolak dengan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Sakit kamu belum terus sembuh, Mas?" Diusap-usapnya punggung polos sang suami. "Kita ke rumah sakit yuk, Mas. Aku takut gejala kamu makin ...."

"Kamu do'ain aku kenapa-napa?" Segera Aiman menyela perkataan istrinya, sedikit jengkel.

"Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya khawatir."

"Aku sudah bilang, aku tidak apa-apa. Hanya asam lambungku kumat saja," kilah Aiman terdengar aneh di telinga Syeira. Dia tahu betul, bahwa suaminya tak memiliki riwayat penyakit lambung.

"Kalau aku belikan obat, gimana?"

"Sudah aku bilang, aku tidak sakit. Aku baik-baik saja!" ucap Aiman setengah membentak. Membuat wajah Syeira menegang.

Sadar akan intonasi suaranya, Aiman mengusap wajah kasar, merasa menyesal.

"Maaf." Segera dia memeluk istrinya.

Setelah beberapa saat menenggelamkan wajah Syeira di dada bidangnya, Aiman beralih menangkup wajah yang selalu tampak sejuk itu. Ditatapnya mata teduh sang istri.

"Aku baik-baik saja, tak perlu khawatir berlebihan," ucap Aiman lembut. "Bahkan, aku bisa melanjutkan permainan kita yang semalam, seharian ...," bisik Aiman di telinga Syeira, membuat bulu kuduk wanita itu meremang.

"Dasar nakal!" Satu capitan keras mendarat di roti sobek Aiman. Lalu dibalas sebuah gelitikan di pinggang Syeira. Mereka tertawa lepas, bersahut-sahutan, memenuhi kehampaan pernikahan yang belum memiliki buah hati tersebut.

'Tok, tok, tok!'

"Kak Syeira!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status