Share

BAB 6

Ini sudah ketiga kalinya Dania membasuh wajahnya dengan air. Sejenak ia menatap pantulan dirinya pada cermin didepannya. Menatap kedua matanya sendiri. Jantungnya berdegup begitu cepat, serasa sebentar lagi jantungnya akan melompat keluar.

“Kau lemah.” ucapnya sambil menatap pantulannya.

Kini make up tipisnya telah hilang karena air, menyisahkan lipstik yang masih membuat bibirnya berwarna pink kemerahan. Namun, itu tidak menghapus kecantikan gadis itu. 

Apa yang telah Raka lakukan beberapa menit yang lalu ternyata cukup membuatnya takut. Rasa takut yang aneh, kepanikan yang timbul begitu saja.

Dania memutuskan untuk keluar dari toilet setelah cukup lama berdiam diri di sana. Gadis itu terkejut saat melihat sosok yang tengah berdiri sesaat setelah ia membuka pintu.

Dania menatap mata yang menatapnya silih berganti. Gadis itu mencoba melewati celah dan mengabaikannya. 

“Wets, hati-hati dong,” Ceri langsung menghadang jalan gadis itu.

“Minggir” ucap Dania dan mencoba mengabaikan para pengganggu itu.

“Belum masuk juga, yuk ngobrol,” sahut Ceri dengan senyum dibuat-buat.

Dania mengerutkan dahinya, “Ada perlu sama Raka? langsung ke orangnya.” jawab gadis itu tak peduli.

Ceri berdecak, “Gue ada perlu sama lo” ucap Cery sambil menarik tangan Dania yang mencoba mengabaikannya.

Dengan cepat Dania menghempaskan genggaman yang cukup membuat pergelangan tangannya sakit. “Lepas! Aku sibuk,” serunya.

“Kenapa sih? takut ya?” teman Ceri berbicara.

“Takut nih, nggak ada yang nolongin aduh,” jawab Ceri dengan nada meledek.

Mereka bertiga tertawa melihat tatapan marah Dania.

Dengan cepat, Dania didorongnya kebelakang. Membuatnya kembali masuk ke dalam toilet. Sementara kedua temannya menutup pintu itu, mencegah siapapun masuk ke dalam.

“Sini lo!” teriak Ceri sambil menarik rambut Dania membuat gadis itu terseret.

“Lepas! apa yang kau mau?!” pekik gadis itu mencoba melepas tangan Ceri.

“Maksud lo apa mesra-mesraan sama Raka tadi, huh?!” teriaknya kepada Dania setelah memojokkannya ke tembok.

Punggung gadis itu terasa nyeri saat terhantam ke tembok. Dania meringis kesakitan dan tidak berfikir untuk melawan. Pikirannya sudah kacau.

“Apa maksudmu?” tanyanya kebingungan.

“Halah... Sok-sok an  beloon lo benalu!” cemooh Ceri sambil menatap mata gadis itu geram.

Karena Dania sudah tidak tahan, dengan cepat ia mendorong Ceri.

“Aku nggak pernah ada masalah sama kamu, kenapa lakuin ini?” ucap Dania dengan melangkah maju.

“Aku.. aku, aku norak lo! Alay!” jawab Ceri sambil kembali mendorong Dania ke tembok.

“Akh...” 

“Inget, Lo itu cuman benalu, BE. NA. LU,” ucap Ceri sambil mendorong bahu gadis itu dengan telunjuknya.

Dari luar salah satu teman Ceri menangkap sosok Raka yang tengah berjalan ke arah mereka. Namun ia sempat berhenti untuk mengobrol dengan salah satu mahasiswa. Dengan cepat ia masuk ke dalam toilet. 

“Eh.. eh Raka bakal  lewat sini!” bisiknya dengan ekspresi panik.

Mendengar hal itu, wajah panik tergambar jelas di wajah Ceri. Ia menoleh ke Dania dan temannya silih berganti. Entah apa yang gadis itu pikirkan.

Ternyata Dania mendengar hal tersebut. Ia berniat berteriak agar Raka mendengarnya. Namun, ia urungkan. 

Hingga mata Ceri terfokus pada ember yang ada di samping kaki Dania. Dengan cepat ia mengambil itu dan melemparkannya ke Dania. Membuat tubuh gadis itu terguyur air bekasan pel.

Byurrr...

Dania terkejut, matanya tertutup saat air kotor itu mengenai wajahnya.

“Rasain itu... Hahahah,” Ceri tertawa terbahak-bahak.

Gadis itu sangat terkejut atas apa yang telah mengenainya ini. Bau anyer dari air bekas pel itu terasa menyengat.

“Ew, bau!” seru Ceri sambil menutup hidungnya dan menatap Dania dengan jijik

Ceri menarik kerah baju Dania dan menatapnya tajam, “Kalau sampai Raka dan orang lain tahu soal ini,”

“lo bakal dapat yang lebih parah dari ini!” ancamnya sambil melepaskan cengkramannya  dengan kasar. 

Dania lagi-lagi terhempas ke tembok, diam membiarkan orang yang merisaknya melakukan yang ia mau.

Nafas gadis itu terengah. Tubuhnya gemetaran. Ia tidak terima mendapat perlakuan seperti ini, sangat.

Dengan nafas yang tak beraturan, Dania mengangkat wajahnya dan menatap Ceri yang berniat berjalan keluar.

“Dasar perempuan gila” sahutnya datar.

Cery  menghentikan langkahnya spontan dan berbalik dengan pelan. Dia mengangkat kedua alisnya, “Apa lo bilang?”

“Kamu perempuan gila!” ucap Dania dengan lantang.

Ceri merasa sangat marah mendengar hal itu. Ia berniat menampar pipi Dania namun, temannya dengan segera memegang tangannya.

“Udah woy, nanti keburu Raka datang!” ucapnya panik sambil menarik Ceri keluar.

Ceri menatap Dania dengan tatapan penuh kebencian. Gadis itu menghentakkan kakinya kesal sebelum keluar dari toilet. 

Perlahan Dania tersungkur ke lantai. Ia duduk dan menatap telapak tangannya yang kotor. Melirik rambutnya yang tercampur air hitam kotor. 

Air matanya berhasil lolos dari ujung matanya. Dania tertunduk sejenak, merenungi betapa lemahnya dirinya. Dengan perasaan was-was ia berusaha berdiri. 

Menatap pantulan dirinya yang kacau, berantakan, dan kotor. Matanya lagi-lagi panas. Dengan cepat gadis itu menyalakan keran wastafel dan membersihkan rambutnya sambil menangis.

Apa yang akan ia lakukan setelah ini? itulah yang sedang ia pikirkan. Tidak mungkin ia masuk ke kelas dengan keadaan seperti ini.

Dania mengeluarkan ponselnya dan melihat tiga panggilan tak terjawab dari Raka. Kemudian ia menekan ruang obrolan itu.

Ia ingin sekali menghubungi Raka dan memberitahu dia dimana. Namun pada akhirnya, Dania hanya menggenggam ponselnya dengan geram. 

“Lemah sekali” katanya pada pantulan cermin.

Ia tertawa sendiri sambil membersihkan sisa sisa kotoran yang menempel pada tubuhnya.

“Kau bahkan tidak bisa berbuat apa-apa saat terisak” 

“Terbuang.” ucapnya dengan nada gemetaran.

Sekarang pukul dua siang. Raka terlihat melipat kedua tangannya sembari menunggu pintu itu terbuka.

Tak lama, beberapa anak akhirnya keluar dari ruangan itu.

Ia segera memperbaiki posisinya dan fokus memperhatikan setiap orang yang melewati pintu itu. Hingga, orang terakhir keluar dari kelas Raka tidak menangkap sosok Dania disana. 

“Nyari Dania, ya?” sahut seseorang dari belakang. 

Raka menoleh, “Iya, dia belum keluar?” tanyanya langsung.

“Dia nggak ikut kelas ini” jelas remaja itu.

Raka nampak heran. “Bukannya sekarang kelasnya dia, ya?” tanyanya lagi berusaha memastikan.

Reno mengangguk, “Iya memang. Tapi Dania nggak ikut.” jawabnya.

Raka tampak terdiam sebentar untuk berfikir. “Oke. Thanks ya bro” ucapnya sembari menepuk bahu Reno.

Raka bergegas meninggalkan tempat itu. Segera ia berlari ke arah perpustakaan dan masuk. Matanya mengamati ruangan itu. Namun, ia belum juga menangkap sosok Dania.

“Lihat Dania, nggak?” tanyanya pada orang yang lewat. 

Orang itu menggeleng.

Sambil terus menghubunginya, Raka berjalan ke arah kantin. Namun, ia juga tak menangkap sosok Dania disana. Ia menggaruk kepalanya. Ia bingung harus mencari gadis itu dimana.

Ia kembali berkutik dengan ponselnya dan kembali berjalan tanpa arah, menelusuri seluk beluk kampusnya yang luas itu.

Deretan pesan beruntun telah ia kirimkan ke Dania, puluhan panggilan juga telah ia lakukan namun gadis itu tak menjawab dan membaca satu pesan pun.

Hingga ia hampir melewati tangga menuju rooftop. Langkahnya terhenti,  dan akhirnya memutuskan untuk naik disana. Barangkali Dania berada disana. Meskipun sedikit ragu, namun Raka memilih untuk naik ke sana.

Ia sedikit mendorong pintu rooftop yang macet. Ia segera masuk meskipun dengan sedikit tersandung. Ia langsung saja mengedarkan pandangannya yang sedikit silau karena matahari.

Hingga pandangannya terhenti pada satu sosok yang tengah duduk di salah satu tumpukan kotak kayu. Raka menajamkan netranya untuk memastikan dan benar itu adalah Dania. 

Gadis itu tampak menikmati angin yang membelai wajahnya, sambil memejamkan kedua matanya. Dania meluruskan kakinya, membuat sepatunya terkena cahaya matahari.

Raka menjalan mendekat, “Apa yang kau lakukan disini?” 

Cukup lama Dania menjawab perkataan itu. “Menikmati angin,” jawabnya tanpa membuka mata.

Raka memilih ikut duduk disamping gadis itu. Sejenak ia dibuat kebingungan lagi, oleh tampilan Dania sekarang ini. Rambutnya yang terlihat sedikit kusut. Pakaiannya yang setengah basah, dan bau anyer yang sedikit menyengat.

“Kau bolos,” sahut Raka.

“Aku lupa,” jawab gadis itu.

Raka menoleh memperhatikan Dania yang masih menutup matanya, “Kemana Dania yang rajin dan bersemangat?” tanyanya.

Dania tampak tersenyum masih dengan mata yang tertutup. “She is died” jawabnya.

Raka terkejut dengan jawaban asal sahabatnya itu.

Raka menghela nafas, “Mengapa mengabaikan panggilan ku?”

“Ponselku ada di tas, belum ke pegang sama sekali.” jawabnya bohong.

Raka berdecak, kemudian sedikit bersandar sambil menyilangkan kedua tangannya.

“Raka...” panggil Dania masih dengan posisi yang sama.

Raka menoleh.

“Kau tidak merasa jijik duduk di dekatku?” tanyanya yang berhasil membuat bola mata Raka membesar.

“Jahat sekali burung yang lewat tadi, dia membuang kotorannya di atas kepalaku.” sahut Dania lagi.

“Karenanya aku jadi bau begini,” lanjut gadis itu sambil tertawa hambar.

Raka menatap gadis itu, memperhatikan dengan seksama wajahnya yang terlihat lelah. Raka tentu tahu bahwa yang dikatakan oleh Dania itu dusta. 

Tidak mungkin hanya karena setitik kotoran burung, bajunya bisa sampai basah begitu. 

“Dania” panggil Raka.

“Raka... aku lelah. Aku ingin berbaring” sahut Dania kemudian.

Cukup lama Raka terdiam. Perasaan aneh tiba-tiba saja menggerogotinya. Otaknya berusaha mencerna perkataan gadis itu. Ia tidak tahu apa yang telah dialami gadis itu. Tetapi dari tampilannya saat ini, tentu itu bukanlah hal yang bagus.

Segera Raka memperbaiki posisinya. Dia pun membuka jaketnya dan menjadikannya sebagai bantal.

“Kemari,”

Dania membuka matanya tanpa menoleh ke arah Raka. Ia pun menjatuhkan kepalanya di pangkuan Raka. 

“Kau bisa beristirahat. Kau sekarang aman” ucap Raka sambil mengelus rambut Dania dengan pelan.

Dania tak menjawab. Ia memilih memejamkan matanya di pangkuan Raka. Belaian halus dari Raka berhasil membuat air matanya menetes begitu saja. 

Bersama lelaki ini, ia aman. Tidak ada yang berani mengganggunya jika bersama Raka. Untuk sesaat, ia merasa lega. Tapi sampai kapan?

Sampai kapan ia harus bergantung pada Raka? 

Bagaimana jadinya jika tiba-tiba saja Raka pergi meninggalkannya, sedangkan dirinya sendiri belum siap akan hal yang bisa terjadi itu. Itulah yang menjadi ketakutan Dania sekarang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status