Share

BAB 5

Langkah kaki terdengar menggema di lorong rumah yang cukup megah itu. Musik clasic pun tampak terdengar bebas. Pria berjas yang cukup tinggi berjalan tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Pikirannya fokus pada satu ruangan dengan pintu besar yang letaknya berada di ujung lorong.

Orang-orang yang berdiri di sisi ruangan membungkuk saat pria itu melewati mereka. Saat sampai di depan pintu, ia mengetuk tiga kali.

Hingga, suara lemah lembut mempersilahkan ia untuk masuk.

Ia melangkah dengan pelan dan membungkuk sebelum mulai mengeluarkan suara. 

"Dia menolak madam," 

Hembusan nafas terdengar sangat jelas dari balik kursi. 

"Apa yang ia katakan?"

"Dia menolak untuk datang," jelas pria itu.

"Apa yang engkau katakan?"

"Saya mengatakan seperti yang madam perintahkan."

Keheningan terjadi untuk beberapa detik, hingga perempuan itu berdiri dari kursinya dan berbalik.

"Biarkan saya yang berbicara."

06.15 a.m

Dania kembali mengecek barang yang telah ia masukkan ke dalam tote bag nya. 

"Kakak"

Dania menoleh dan senyumnya merekah saat bola matanya menangkap sosok malaikat kecil yang berlari kecil untuk menghampirinya.

Langsung saja Dania menyambut tubuh mungil Leo kedalam pelukannya. "Hust... jangan berisik. Ibu tidur." kata Dania.

Leo mendongkak dan menatap Dania dengan tatapan polos. Kemudian ia menoleh, tepatnya ke arah wanita yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit. 

"Ibu selalu tidur." ucap Leo pelan.

Gadis itu terdiam, matanya ikut memperhatikan ibunya yang masih saja memejamkan mata. 

"Leo tidak pernah melihat ibu bangun."

Dania diam seribu bahasa. Matanya bergerak menatap Leo yang tengah menatap lurus ke ibunya. Keheningan menghampiri mereka begitu saja. 

"Kenapa ibu selalu tidur?" tanya Leo sambil mendongak. 

Tatapan polos yang menunggu jawaban menatap mata gadis itu.

"Kapan Leo bisa bermain bersama ibu?"

Pertanyaan dari bibir mungil Leo membuat gadis itu terdiam. Ia merasa tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Jika bibirnya bergerak sedikit saja, air mata yang sedari tadi ia tahan akan jatuh. 

Dania mengangkat kedua tangannya dan segera menutupi wajah Leo. Sejenak ia menarik nafas. "Kapten, ibu sedang istirahat dulu. Bagaimana kalau kita kesekolah sekarang?" ucap Dania pada akhirnya.

"Kakak, gelap." Leo memegang kedua tangan yang menutupi wajahnya. 

Dania menarik nafas panjang, air matanya berhasil keluar disaat ia merekahkan senyum. Ia berusaha untuk menetralkan perasaannya kembali. Setelah merasa baikan, ia mengangkat tangannya dari wajah Leo.

Mata anak itu berkedip, kemudian jari mungilnya bergerak menuju pipi Dania. Dengan pelan, ia mengusap titik air di pipi kiri Dania dengan tangannya yang dingin.

"Kakak jangan menangis, nanti Leo juga sedih," sahut Leo tiba-tiba. 

Dania mengangguk-angguk lalu beralih mengusap rambut Leo. Rasa yang berkecamuk membuat matanya terasa panas. Usahanya ternyata tidak berhasil. 

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Dania berdiri sambil menggenggam tangan adiknya menuju ranjang ibunya.

"Ibu, kami berangkat dulu." pamit gadis itu dengan memberikan kecupan singkat di kening ibunya.

Dania menutup pintu. Setiap kali ia meninggalkan ruangan itu, ia tak pernah merasa tenang. Selalu ada rasa takut yang menggerogoti hatinya. 

Semakin ia melangkah jauh dari kamar itu, rasa takut itu terasa selalu memanggilnya untuk kembali.

"Bagaimana nginap di rumah kak Raka, senang?" tanya Dania berusaha mengalahkan rasa gelisahnya.

Leo mengangguk cepat, "Iya. Semalam om Pratama beli mainan yang banyak sekali untuk Leo," jawab anak itu sembari mengingat hari semalam.

"Oh iya?," tanya Dania sambil mengangkat kedua alisnya.

Mereka berjalan beriringan, dengan tangan kecil yang berada di dalam genggaman Dania.

"Iya kak, tapi mainannya tidak boleh Leo bawah pulang," jawab Leo dengan raut wajah yang tiba-tiba murung.

"Kenapa?" 

"Kata om Pratama, kalau Leo bawa mainan ke rumah sakit nanti dimarahin sama dokter, kak." jelas Leo sesekali mendongak melihat Dania.

Gadis itu mengangguk, "Iya benar tuh kata om Pratama. Jadi mainannya ditaruh di rumah kak Raka ya?" 

Sekali lagi Leo mengangguk. "Iya kak, jadi kalau Leo mau main, harus ke rumah kak Raka." jelasnya dengan suara sedikit lantang. 

"Yasudah, nanti kalau Leo mau main kita ke rumah kak Raka," sahut gadis itu sembari memberi senyum ke adiknya. 

Tak terasa mereka sampai di lantai bawah. Dari jauh, Raka tampak telah menunggu di atas sepeda motornya sambil memainkan kunci motor di sela-sela jari.

Mereka bertiga pun berangkat, layaknya seorang kakak yang mengantarkan adiknya atau pasutri muda, begitulah yang dipandang orang-orang yang mereka lewati.

Diperjalanan pun, hati Dania terasa tidak tenang. Kuliah, artinya ia akan memasuki dunia baru yang gelap. Dunia yang dulunya berwarna biru, tiba-tiba saja berubah menjadi hitam setelah insiden menimpanya. Rasa tidak enak karena harus merepotkan Raka menjadi pelengkap kegundahannya pagi itu. 

Dari spion, Raka melirik gadis itu. Perasaan gundah jelas tergambar dari raut wajahnya yang tampak tak bersemangat. Ia putuskan akan berbicara setelah sampai di kampus.

“Belajar yang benar ya,” pinta Dania sembari menunggu adiknya hilang dari pandangannya. Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju kampus.

“Raka” panggil Dania dengan sedikit berteriak.

Lelaki itu diam, menunggu Dania melanjutkan perkataannya.

“Tidak usah ke kampus, bisa?” tanya gadis itu.

Raka memelankan laju motornya, “Tidak bisa.” 

Setelah menjawab, ia kembali menormalkan laju kendaraannya. Mendengar hal itu, Dania hanya bisa menghela nafas sembari terus berdoa harinya akan berjalan baik-baik saja tanpa adanya gangguan.

Tak terasa mereka memasuki area parkir kampus yang cukup besar. Salah satu kampus ternama di kota itu. Setelah Raka memarkir sepeda motornya, Dania pun segera turun. 

“Ganteng?” tanya Raka sambil menunjuk dirinya setelah membetulkan rambutnya di spion motor.

Dania langsung saja menoleh, “Iya ganteng.” Ucapnya dengan sedikit geli.

“Ada apa hm?” tanya Raka langsung sambil melepaskan helm Dania.

Gadis itu menatap nanar mata Raka yang fokus ke pengait helm di bawah dagunya. “Tidak ada apa-apa,” jawabnya.

“Masa?” tanyanya sambil menaruh helm di atas motor.

“Iya. Semuanya baik-baik saja.” Jelas Dania sembari berjalan beriringan dengan Raka.

Seperti biasa, Raka akan menjadi sosok perhatian jika melewati beberapa mahasiswi. Tak jarang, usilnya ia akan menatap balik mata yang mencuri pandang padanya. 

Raka berjalan dengan santai, sambil menenteng tasnya di bahu sebelah kanan. “Kebiasaan bohong” ucapnya tiba-tiba.

Dania mengerutkan dahinya, “Tidak ya. Enak saja,” pekiknya.

“Raka, bisakah kita bertukar diri sehari saja?” racau Dania tiba-tiba sembari memelankan langkahnya.

Raka yang berjalan didepan kebingungan. “Tidak bisa. Aku tidak mau bertukar tempat dengan orang yang cengeng,” jawab Raka datar.

Dania melongos mendengar jawaban yang terasa mulus keluar dari mulut sahabatnya itu. 

“Aku juga tidak mau bertukar denganmu yang menjadi rebutan orang-orang.” ucap Dania sambil memperbaiki tote bagnya yang hampir lolos dari bahunya.

Raka berdecak dan sedikit tersenyum mendengar nada bicara yang terdengar kesal dari gadis di belakangnya. 

Mereka baru akan menaiki lantai dua. Namun, sorot mata beberapa gadis rupanya ditangkap oleh Raka. Sorot mata yang penuh kebencian pada orang yang mengekor dibelakangnya saat ini. Ceri tersenyum sambil memutar rambutnya saat Raka melewatinya. Raka yang melihat itu hanya membuat tatapannya dan terus fokus ke jalan di depannya.

Ia sedikit menoleh dan mendapati Dania tengah berjalan sambil menatap lantai yang akan ia pijaki. Raka menggulung bibirnya sambil menghela nafas panjang.

Hingga Raka menghentikan langkahnya tiba-tiba. Membuat Dania yang berjalan dengan sedikit melamun menabraknya. 

Dania mendongak, “Ish, Raka!” pekik Dania yang terkejut.

Raka berbalik dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Dania yang masih kebingungan, mengangkat dagunya. “Kenapa berhenti?”

Raka masih terdiam sambil menatapnya datar. Dania menoleh ke kanan dan ke kiri dengan perasaan canggung. Bagaimana tidak, lagi-lagi Raka membuat orang-orang berhasil melirik mereka.

Dania ingin keluar dari situasi ini dengan cepat. Karena ia merasa beberapa tatapan tak suka dan bisik-bisik mulai menajam ke arahnya. Gadis itu berniat mengambil langkah di pijakan lain. Namun, dengan cepat Raka menggeser tubuhnya sebagai panghalang.

Mau ke kanan ataupun kiri, Raka lebih cepat menghalangi langkahnya. Dania menghelai nafas dan menaikkan kedua bahunya lengkap dengan tatapan kebingungannya.

“Raka... aku sedang tidak ingin bermain tebak-tebakan,” kata Dania.

Kemudian Raka membungkuk, membiarkan wajahnya cukup sejajar dengan Dania. Tatapan tajam diberikannya ke Dania.

“Kalau jalan itu fokus.”

Kemudian, ia memegang kedua bahu Dania dan memintanya berbalik ke arah lain. Tepatnya ke arah Ceri dan temannya berdiri. 

“Raka apa yang kau lakukan?” tanya Dania yang keheranan dengan tingkah Raka.

“Kalau kau tidak masuk kampus, mereka akan senang.”

Tubuh Dania langsung membeku. Mendengar perkataan itu, membuat bulu romanya berdiri. Adrenalinnya berpacu lebih cepat.

“Kau mau membuat mereka merasa senang?” bisik Raka tepat ke telinga kiri Dania.

“A-aku tidak mengerti yang kau maksud,” jawab Dania gelagapan.

Raka menarik nafas, terdengar jelas di telinga Dania. “Gadis yang cari perhatian disana,” kata Raka sambil melempar tatapannya ke Ceri.

Ceri  yang  berada cukup jauh dari mereka tersenyum manja. Raka pun membalasnya dengan senyum balik.

“Kau ingin membuatnya merasa menang?” tanya Raka sambil melirik Dania yang menatap Ceri dengan alis yang bertautan.

Nafas gadis itu jadi tidak beraturan. 

“Jawab Dania” ucap Raka lagi dengan nada yang dingin dan intonasi yang pelan.

Nafas gadis itu semakin tidak beraturan, bola matanya tidak bisa fokus pada satu titik. Gadis itu hanya belum siap. Tak tahan, Dania segera berbalik sambil melangkah cepat meninggalkan tempat itu. 

“Kabur terus.” Raka meneriaki Dania yang berjalan jauh.

Raka menatap rambut panjang Dania yang tertiup angin, menatap punggung yang berjalan menjauh darinya, yang semakin lama hilang diantara mahasiswa yang berlalu lalang.

Raka menghela nafas. “Bagaimana aku bisa meninggalkanmu jika kau sendiri masih lari dari masalah yang kau hadapi.” ucapnya dengan nada cemas sembari menatap punggung Dania yang semakin lama hilang dari pandangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status