"Papa!" pekik nyaring Olive.
Langkah Olive riang dengan senyum yang tersungging lebar. Keriangan ternyata menular pad abanyak orang yang ada di lobi perusahaan. Sebagian besarnya tahu apa hubungan Olive dan Danan, yaitu ayah dan anak, karena mereka adalah bagian dari perusahaan Danan. Sebagiannya lagi sudah bisa menduga hubungan keduanya dari sapaan Olive, karena mereka adalah tamu.
Danan yang baru selesia meninjau proyek bersama timnya, terperangah dengan kedatangan Olive. Sebenarnya, itu adalah hal biasa. Hanya saja, karena kejadian semalam, Danan semakin sulit melihat Olive sebagai putrinya.
"Papa, sudah selesai belum, kerjanya? Makan, yuk," ajak Olive manja. Tangannya langsung menggayut di lengan Danan. Sikapnya benar-benar seperti seorang gadis yang sedang bermanja-manja dengan ayahnya.
Dunia Danan berubah dalam sekejap karena apa yang terjadi semalam. Danan menjadi kikuk, tidak tahu harus berbuat apa . Padahal di hari-hari sebelumnya, jika Olive tiba-tiba datang, Danan akan menyambutnya dengan ceria.
"Silahkan, Pak kalau mau makan siang sama Mbak Olive," ucap seorang pria dengan rambut putih yang hampir memenuhi seluruh kepala. Senyumnya bersahaja dan kebapakan.
"Ayo, Pa." Olive mendesak ayah angkatnya untuk mau ikut dengannya.
Tidak ada pilihan, agar tidak terlihat aneh, yang kemudian bisa berkembang menjadi cerita negatif, Danan pun mengikuti kemauan Olive. Keduanya meninggalkan perusahaan dengan menggunakan mobil Danan, menuju restoran yang Olive mau.
Karena menggunakan sopir, Olive menjadi jauh lebih leluasa memeluk Danan. Kepalanya merebah di dada Dana dan tangannya melingkar di atas perut Danan. Olive banyak bicara, sedangkan Danan justru lebih banyak diam, dan hanya menanggapi dengan seadanya saja. Danan seperti seorang yang kesakitan.
Akhirnya sampai juga di restoran yang Olive maui. Keduanya masuk ke ruang yang privat di mana hanya ada mereka berdua dan pramusaji yang bisa dipanggil sewaktu-waktu.
Masih seperti sebelumnya, Olivelah yang lebih banyak aksi.
"Pa, ini enak, deh. Coba Papa cicipin." Olive menyodorkan potongan kecil daging, yang diarahkan ke Danan.
Reflek Danan memundurkan tubuhnya dengan kernyitan di kening. Tangan Olive pun berhenti dengan raut wajah ceria berubah menjadi kerutan kesal.
"Kenapa, Pa?" tanya dingin Olive yang tidak menarik tangannya. Sengaja menggantungkan sendok makanan di depan wajah Danan.
Dengan lembut Danan memundurkan tangan Olive dan mencoba tersenyum—senyum yang terlihat dibuat-buat.
"Enggak. Gak pa-pa," jawab Danan rikuh.
"Papa gak mau nyicipin makanan ini?"
Danan merasakan kemarahan di kalimat Olive yang datar. Setelah menelan air ludah, Danan membuka mulutnya dan Olive memasukkan sepotong daging.
"Enak, Pa?" tanya Olive yang kembali memiliki nada cerianya.
"Enak," jawab singkat Danan sembari mengangguk-angguk dan fokus dengan makanannya sendiri.
"Saladnya juga enak nih, Pa." Olive kembali menyodorkan sesendok makanan ke Danan.
Danan menarik napas dalam dan membuka mulut, membiarkan Olive menyendokkan makanan untuknya.
"Enak, Pa?"
Danan menjawab dengan anggukan kepala saja. Olive menatap Danan dengan berbagai perasaan. Sebenarnya di dalam dirinya, Olive sadar kalau ayah angkatnya tidak nyaman pergi dan makan bersamanya. Sikap Danan sudah menjelaskan semuanya.
Namun, Olive berusaha mengabaikan itu. Baginya, itu hanyalah sikap adaptasi Danan yang sebelumnya adalah seorang ayah angkat dan kini berubah menjadi kekasih—pengakuan kekasih yang sepihak karena Danan tidak mengatakan apa-apa.
"Abis ini kita jalan-jalan ke mal ya, Pa? Terus abis itu nonton. Udah lama aku gak nonton film. Mari kita lihat, nanti malam ada film apa aja." Olive membuka aplikasi di ponsel pintarnya dan mencari daftar tayang film.
Danan menggigit bibirnya, menatap lelah Olive. Ada hal yang sangat ingin sekali dia sampaikan, tapi juga ada kekhawatiran tentang tanggapan Olive.
Baru Danan akan bicara, ketika Olive melingkarkan tangannya, dan merebah manja kepalanya di lengan atas Danan.
"Pa, nonton ini aja, ya. Romantis," ucap Olive semangat.
Kepala Olive mendongak manja menatap wajah ayah angkatnya dari dagu. Dilihatnya warna abu-abu kasar dari dagu Danan. Tangan Olive pun langsung merabai dagu Danan, merasakan bulu-bulu kasar anak janggut.
"Papa gak cukur, ya?" tanya Olive yang belaiannya merambat ke pipi.
Jantung Danan berpacu tidak karuan. Harum parfum yang manis dari pergelangan tangan Olive, merambat masuk ke indera penciuman, menggoda Danan untuk menjilat. Mata Danan memejam, mencoba menahan nafsu liarnya, sedangkan Olive yang melihat itu, justru tersenyum senang.
Tanpa diduga, Danan melepaskan tangan Olive dari pipinya dan dia juga melepaskan diri dari rangkulan tangan Olive. Tentu Olive tercengang. Tubuhnya tegak, menatap Danan tegas, menunggu sebuah klarifikasi atas sikap yang dianggap Olive kasar.
"Begini Olive ...." Danan mulai kesulitan bicara. Bahasa diplomasinya menguap. Danan menatap sekilas Olive, yang justru membuatnya semakin lemah. Tatapan Olive begitu mengintimidasinya.
"Papa rasa, ada yang harus kita perbaiki," lanjut Danan kemudian.
"Memang apanya yang rusak, Pa?" tanya Olive yang melipat kedua tangannya di dada.
"Semua."
"Aku tidak mengerti."
Danan mulai mengumpulkan keberaniannya. Dia laki-laki dan harus bisa bersikap benar. Danan mengulurkan tangan, mengambil tangan Olive, dan kemudian meremasnya lembut. Jemari tangan Olive yang lansing, mengingatkan Danan saat semalam, satu per satu jemari itu masuk ke dalam bibirnya. Begitu manis.
'Ya Tuhan! Kenapa aku jadi pendosa begini?' keluh pilu Danan dalam hati.
"Papa mau minta maaf sama kamu, Olive."
Perasaan Olive menjadi tidak karuan. Itu bukan pernyataan yang ingin Olive dengar dari ayah angkatnya. Itu juga terasa menyakitkan. Hati Olive terasa sakit. Apalagi, sejak tadi, Danan belum satu kali pun menyapanya dengan sapaan 'Sayang'.
"Papa minta maaf untuk banyak hal yang..., yang Papa sendiri tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Papa sudah merusakmu. Papa juga tidak yakin bisa bertanggung jawab dengan itu."
"Maksud Papa apa?"
Tubuh Olive semakin kaku. Jemari tangannya sedikit gemetar karena serangan emosi yang sedang ditahannya dan Danan bisa merasakan itu. Dengan tangannya yang lain, Danan mengusap punggung tangan Olive.
"Yang terjadi semalam adalah kesalahan Olive. Dan..., Papa berharap itu tidak terulang lagi. Tidak di antara kita."
Dengan kasar, Olive menyentakkan tangannya, melepaskan dari genggaman tangan Danan.
"Maksud Papa apa ini?" Suara Olive mulai sedikit meninggi dan bergetar. Ketakutan dan kemarahannya bercampur.
"Olive..., kita kembali menjadi ayah dan anak seperti kemarin-kemarin, ya," ajak Danan dengan lembut.
"Aku bukan anakmu! Bukan! Kamu bukan ayahku dna jangan paksa aku untuk menjadikanmu ayahku lagi. Itu tidak bisa. Aku tidak mau!"
"Tapi kamu adalah anakku, Olive."
"Tidak ada setitik darah Papa yang mengalir di darahku."
"Hubungan ayah dan anak tidak harus tentang darah, bukan?"
"Dan hubungan antara aku dan kamu, tidak bisa selamanya adalah ayah dan anak. Hubungan aku dan kamu, selamanya adalah kekasih."
Danan gusar, dia tidak tahu harus menghindari ini dari mana. Olive terlalu keras kepala.
Tiba-tiba, kedua tangan Olive menangkup wajah Danan. Tatapan matanya menahan gerak mata Danan.
"Aku sudah memberikan milikku yang paling berharga padamu. Hanya kamu yang aku puja dan hanya kamu yang aku cintai. Aku mau, aku dan kamu adalah kekasih. Selamanya," ucap lirih Olive yang kemudian mencium bibir Danan.
***
"Shan, bukannya itu papamu sama Kak Olive?" tanya Renata sahabat Shanas.Kedua gadis itu baru keluar dari mobil Renata dan berniat akan makan siang yang terlambat karena Shanas ada jadwal sidang bersama seniornya di pengadilan. Restoran yang dituju kebetulan sama hanya saja Renata terpaksa parkir sedikit jauh karena ini masih jam padat orang makan siang.Shanas ayahnya dan kakaknya dengan cara pandang yang berbeda—pertama kalinya. Gadis itu merasa kedekatan ayahnya dan kakak perempuannya itu agak berbeda, meskipun pemandangan di mana Olive merangkul pinggang ayahnya bukanlah sesuatu yang pertama kalinya. Tapi, Shanas tetap merasa ada yang aneh.Tanpa banyak bicara, Shanas melangkah cepat mendekati ayahnya dan Olive yang sudah hampir dekat dengan mobil."Papa!" panggil Shanas yang langsung menghentikan langkah Danan.Bergegas Danan dan Olive berbalik. Shanas bisa melihat bagaimana keduanya tampak terkejut. Tak hanya itu, tatapan Shanas yang terarah pada rangkulan Olive, seketika membua
Olive menatap wajah Danan dengan perasaan campur aduk antara kesal juga gemas. Danan semakin tenggelam dalam diamnya, setelah bertemu dengan Shanas. Dalam hatinya, Olive terus mengutuk munculnya Shanas di restoran tadi. Dari sekian banyak restoran di Jakarta, bisa-bisanya adik beda darah itu ada di sana.Mobil meluncur ke arah apartemen Olive, bukan kembali ke kantor Danan dulu. Gedung apartemen mulai terlihat puncaknya dan Olive mulai tidak nyaman. Ada perasaannya yang mengatakan kalau hubungannya dengan Danan tidak akan berlanjut lagi. Dirinya akan kesulitan bertemu dengan Danan lagi, mengingat tadi ibu angkatnya sudah menelepon dan mengabarkan akan pulang.Akhirnya mobil berhenti di pelataran depan lobi apartemen. Olive langsung merangkul erat lengan Danan."Papa anter aku ke atas, 'kan?" tanya Olive dengan sikap manjanya."Papa harus kembali ke kantor. Kan kamu dengar sendiri, Papa mau ada meeting lagi.""Tapi, biasanya kan Papa selalu antar aku ke atas.""Ya, tapi ini Papa buru-b
Saat akan memasuki parkir khusus penghuni apartemen, Rasyid tercekat melihat adanya mobil yang dia kenal, sedang berputar untuk mendapatkan parkiran. Melihat itu, rasa penasaran membuat Rasyid tidak jadi parkir di dalam. Dia justru parkir di luar, yang diperuntukan bagi tamu. Dengan sengaja Rasyid parkir di dekat mobil sedan hitam yang dia kenali.Saat melihat seorang pria keluar dari dalam mobil, Rasyid pun bergegas keluar dari mobilnya, dan menghampiri pria berkemeja hitam, yang berjalan menuju lobi apartemen."Pak Gatot!" sapa Rasyid yang langsung mendapat sambutan senyum cemerlang dari pria berkumis lebat itu."Mas Rasyid. Mau ke tempat Mbak Olive, ya?" tanya Gatot ramah."Iya. Pak Gatot ini mau jemput Olive apa bagaimana?" pancing Rasyid."O, itu tadi ngantar Mbak Olive.""Maksudnya?""Tadi Mbak Olive kan ke kantornya Bapak, terus makan siang bareng. Ini lagi nganter Mbak Olive pulang.""Sama Om Danan ke atas?" tanya Rasyid hati-hati."Iya, Mas. Diantar Bapak."Rasyid mengangguk-
Nadia baru kembali dari pekerjaannya mengaudit keuangan anak perusahaan tempatnya bekerja. Pekerjaan yang berat dan sebenarnya Danan sudah berulang kali meminta Nadia untuk berhneti, secara Danan sendiri memiliki perusahaan yang cukup besar. Danan bahkan menawari Nadia untuk menjadi CMO di perusahaannya.Namun, Nadia selalu menolak. Sebagai seorang yang idealis, Nadia ingin menjadi pribadi yang mandiri. Lagi pula, bekerja dengan orang lain, jauh lebih sehat karena minim konflik dengan keluarga.Sebenarnya, seharian bekerja ini, perasaan Nadia buruk. Pikirannya kalut ke mana-mana. Ada syak wasangka yang diam-diam sedang mengganggunya sepanjang hari.Di kamar hotel, Nadia tidak langsung mandi ataupun memesan makan malam. Dia langsung mencoba menelepon Danan, suaminya. Tak lama keningnya berkerut, saat membaca informasi yang tertera di aplikasi menelepon WA. Itu memanggil.Hanya ada tiga kemungkinan. Ponsel mati, ada gangguan jaringan, atau sedang ada di saluran panggilan lain. Nadia men
Setelah Danan masuk, Shanas bergegas masuk melalui sisi bangunan rumah yang lain. Dia tidak mungkin kembali masuk ke kamarnya, tapi Shanas bisa berada di dapur, dan pura-pura sedang membuat susu cokelat panas. Gadis itu yakin kalau ayahnya akan mencari dirinya, setelah tahu Shanas tidak ada di dalam kamar.Seperti yang sudah diduga, tak berselang lama, Danan menemukan Shanas di dapur sedang menuangkan susu cokelatnya ke gelas."Lah, ada di sini. Papa cari-cari ke mana-mana," ucap Danan dengan wajah sumringah. Pria itu melangkah cepat mendekati Shanas."Susu cokelat? Katanya mau diet." Danan mengingatkan putrinya, perihal program sehat Shanas."Aku gak bisa tidur, Pa," ucap Shanas sembari mengaduk susu cokelat panasnya."Kenapa? Ada yang dipikirin? Atau tugas kuliahnya berat?"Shanas menggeleng lemah. Wajahnya dia buat sendu."Sepi aja gak ada Mama." Shanas menatap ayahnya dengan tatapan memelas. "Papa mau pergi?"Pertanyaan tiba-tiba dari sang putri membuat Danan gelagapan. Ada kebimb
Pintu kamar Danan terbuka perlahan-lahan. Sepasang kaki jenjang dengan kulit yang begitu putih, melangkah masuk dengan sangat perlahan. Pahanya yang mulus, terpapar jelas karena dia mengenakan celana yang terlalu pendek. Tapi, sepertinya dia tidak keberatan dengan itu, meskipun pendingin ruangan menyala dengan suhu yang sangat dingin.Sampai di tepi tempat tidur, langkah kaki itu berhenti, diam. Dia mengamati Danan yang tidur telentang, terlihat sangat lelap juga damai. Dia pun duduk perlahan di bagian kosong, di sisi Danan.Olive diam bergeming, menatap Danan dengan tatapan antara kesal tapi juga rindu. Gadis itu teringat tentang telepon terakhir Danan kepadanya.***Malam sebelum pagi iniOlive tersenyum sumringah karena acara memasak sederhananya sudah selesai. Gadis itu hanya memasak spagheti, tapi itu dengan segenap hati. Olive pergi ke kamar menyiapkan diri. Gaun tidur menerawang yang jatuh di tubuh, membentuk lekukan erotis sesuai harapan. Olive juga menyemprotkan parfum dengan
Suara lenguhan pendek yang keluar dari bibir Danan dan suara memekik lemah dari Olive, menjadi tanda kalau permain bercinta keduanya sudah mencapai puncaknya. Pelepasan atas hasrat masing-masing sudah tersalurkan. Tubuh keduanya lembab dan berkeringat.Danan yang berada di atas tubuh Olive, perlahan melepaskan diri dan bergeser rebah di sebelah Olive. Sedangkan Olive, merentangkan tangan kanan Danan, baru kemudian menyelusup masuk ke dada Danan yang bergerak naik turun dengan ritme cepat. Danan pun otomatis merangkul Olive, serta membelai lembut lengan Olive.Masing-masing masih menikmati sisa-sisa romantisme yang menggelora, sembari mengatur napas agar kembali normal. Tidak ada yang bicara. Hanya belaian-belaian sebagai bentuk kasih sayang."Papa keluar dulu, ya. Liat keadaan. Kalau Papa telpon kamu, baru kamunya keluar," ucap Danan, dengan tubuh yang menggeliat, bersiap untuk bangun.Tapi, Olive menahannya. Gadis itu justru memeluk erat Danan."Sebentar. Aku masih kangen," ucap manj
Rasyid memegang setirnya dengan kedua tangan mencengkeram kuat. Wajahnya terlihat kaku dan marah. Tatapannya lurus, juga fokus terhadapa padatnya lalu lintas di siang hari. Sesekali dia menekan bel mobil dengan kuat, agar dia mendapat akses jalan."Itu serius?" tanya Teguh dari seberang telepon. Agar nyaman dan aman menyetir, Rasyid menggunakan TWS atau sambungan nirkabel ke telinga."Serius! Memang perempuan brengsek! Gak ada otak!" Rasyid semakin gemas meremas setir mobilnya."Bisa-biasanya dia mengganti kunci pin apartemen dan sekaligus memblokir kunci kartuku ke manajemen apartemen. Kan setan!" lanjut Rasyid."Wah, kalau gitu, dia memang sudah terniat buat mendepakmu.""Aku gak peduli! Masalahnya, itu kan juga masih apartemenku. Ditambah, barang-barangku juga masih di sana dan mobilku masih juga ada di garasi sana. Thats teh problem! Aku mau ambil itu semua dan termasuk apartemen. Kalau dia mau ambil, ya dia harus bayar setengahnya saat pembelian," ucap Rasyid."Ya, udah, ke tempa