Setelah Danan masuk, Shanas bergegas masuk melalui sisi bangunan rumah yang lain. Dia tidak mungkin kembali masuk ke kamarnya, tapi Shanas bisa berada di dapur, dan pura-pura sedang membuat susu cokelat panas. Gadis itu yakin kalau ayahnya akan mencari dirinya, setelah tahu Shanas tidak ada di dalam kamar.Seperti yang sudah diduga, tak berselang lama, Danan menemukan Shanas di dapur sedang menuangkan susu cokelatnya ke gelas."Lah, ada di sini. Papa cari-cari ke mana-mana," ucap Danan dengan wajah sumringah. Pria itu melangkah cepat mendekati Shanas."Susu cokelat? Katanya mau diet." Danan mengingatkan putrinya, perihal program sehat Shanas."Aku gak bisa tidur, Pa," ucap Shanas sembari mengaduk susu cokelat panasnya."Kenapa? Ada yang dipikirin? Atau tugas kuliahnya berat?"Shanas menggeleng lemah. Wajahnya dia buat sendu."Sepi aja gak ada Mama." Shanas menatap ayahnya dengan tatapan memelas. "Papa mau pergi?"Pertanyaan tiba-tiba dari sang putri membuat Danan gelagapan. Ada kebimb
Pintu kamar Danan terbuka perlahan-lahan. Sepasang kaki jenjang dengan kulit yang begitu putih, melangkah masuk dengan sangat perlahan. Pahanya yang mulus, terpapar jelas karena dia mengenakan celana yang terlalu pendek. Tapi, sepertinya dia tidak keberatan dengan itu, meskipun pendingin ruangan menyala dengan suhu yang sangat dingin.Sampai di tepi tempat tidur, langkah kaki itu berhenti, diam. Dia mengamati Danan yang tidur telentang, terlihat sangat lelap juga damai. Dia pun duduk perlahan di bagian kosong, di sisi Danan.Olive diam bergeming, menatap Danan dengan tatapan antara kesal tapi juga rindu. Gadis itu teringat tentang telepon terakhir Danan kepadanya.***Malam sebelum pagi iniOlive tersenyum sumringah karena acara memasak sederhananya sudah selesai. Gadis itu hanya memasak spagheti, tapi itu dengan segenap hati. Olive pergi ke kamar menyiapkan diri. Gaun tidur menerawang yang jatuh di tubuh, membentuk lekukan erotis sesuai harapan. Olive juga menyemprotkan parfum dengan
Suara lenguhan pendek yang keluar dari bibir Danan dan suara memekik lemah dari Olive, menjadi tanda kalau permain bercinta keduanya sudah mencapai puncaknya. Pelepasan atas hasrat masing-masing sudah tersalurkan. Tubuh keduanya lembab dan berkeringat.Danan yang berada di atas tubuh Olive, perlahan melepaskan diri dan bergeser rebah di sebelah Olive. Sedangkan Olive, merentangkan tangan kanan Danan, baru kemudian menyelusup masuk ke dada Danan yang bergerak naik turun dengan ritme cepat. Danan pun otomatis merangkul Olive, serta membelai lembut lengan Olive.Masing-masing masih menikmati sisa-sisa romantisme yang menggelora, sembari mengatur napas agar kembali normal. Tidak ada yang bicara. Hanya belaian-belaian sebagai bentuk kasih sayang."Papa keluar dulu, ya. Liat keadaan. Kalau Papa telpon kamu, baru kamunya keluar," ucap Danan, dengan tubuh yang menggeliat, bersiap untuk bangun.Tapi, Olive menahannya. Gadis itu justru memeluk erat Danan."Sebentar. Aku masih kangen," ucap manj
Rasyid memegang setirnya dengan kedua tangan mencengkeram kuat. Wajahnya terlihat kaku dan marah. Tatapannya lurus, juga fokus terhadapa padatnya lalu lintas di siang hari. Sesekali dia menekan bel mobil dengan kuat, agar dia mendapat akses jalan."Itu serius?" tanya Teguh dari seberang telepon. Agar nyaman dan aman menyetir, Rasyid menggunakan TWS atau sambungan nirkabel ke telinga."Serius! Memang perempuan brengsek! Gak ada otak!" Rasyid semakin gemas meremas setir mobilnya."Bisa-biasanya dia mengganti kunci pin apartemen dan sekaligus memblokir kunci kartuku ke manajemen apartemen. Kan setan!" lanjut Rasyid."Wah, kalau gitu, dia memang sudah terniat buat mendepakmu.""Aku gak peduli! Masalahnya, itu kan juga masih apartemenku. Ditambah, barang-barangku juga masih di sana dan mobilku masih juga ada di garasi sana. Thats teh problem! Aku mau ambil itu semua dan termasuk apartemen. Kalau dia mau ambil, ya dia harus bayar setengahnya saat pembelian," ucap Rasyid."Ya, udah, ke tempa
Rasyid jadi tidak selera makan. Cara bicara Shanas yang datar dan terkesan tidak peduli, sedikitnya membuat Rasyid menjadi gemas. Ini juga seperti usaha Rasyid sia-sia. Dia yang tadinya mengira kalau Shanas bisa membantunya, ternyata kosong. Malah gadis itu terlihat menikmati makanannya.Rasyid menyandarkan tubuhnya, menatap lekat gadis yang kecantikannya sangat berbeda dengan Olive. Sejak kenal dengan keluarga Olive, diam-diam Rasyid menaruh pertanyaan untuk dirinya sendiri, ini tentang perbedaan mencolok antara Olive dan Shanas, atau bahkan Olive dan kedua orang tuanya. Rasyid tidak berani menanyakan, karena dia berpikir bahwa adalah mungkin saja jika dalam satu keluarga, ada satu yang berbeda.Shanas memiliki kecantikan yang natrural. Alisnya tebal, dan melengkung dengan benar, hingga sepertinya itu tidak perlu lagi ditambah dengan penebal dan pembentukan dari pensil alis. Hidungnya mancing dan sedikit bangir. Bibirnya kecil, sedikit bulat, seperti seorang yang cemberut.'Itu mengg
Setelahnya Danan tidak banyak bicara lagi, begitu juga Nadia. Masing-masing memilih diam untuk menenangkan diri sendiri, agar keributan tidak menjadi jauh lebih besar.Dalam diamnya, kepala Danan berputar-putar memikirkan cara untuk memebritahukan ke Nadia, perihal kepulangan Olive dan niatan gadis itu untuk kembali tinggal di rumah ketimbang di apartemennya. Danan khawatir kalau itu akan kembali membuat ricuh di antara dirinya dan istrinya.Tapi, jarak ke rumah sudah hampir dekat. Danan tetap tidak menemukan cara dan tidak mendapatkan waktu yang tepat untuk menyampaikan ke Nadia. Akhirnya Danan pasrah. Lebih baik ribut di luar drai pada di rumah, yang bisa dilihat orang-orang di rumah, terutama pembantu dan satpam."Ma..., Olive pulang ke rumah."Seperti yang sudah diduga, Nadia menarik napasnya dengan dramatis, hingga terdengar suara seperti tercekik. Dia menoleh cepat dengan kedua mata mendelik lebar."Sejak kapan? Kok, kamu bilang ke aku, Pa? Kenapa gak ada diskusinya sama aku? Ol
Satu jam sebelum sampai rumah"Beri aku alasan kenapa kamu menolakku?" tanya Rasyid dengan tatapan gelap yang menekan Shanas"Aku masih magang," jawab Shanas."Halah, kamu kira aku bodoh? Kamu sudah lulus PKPA dan lolos ujian UPA. Kamu bahkan lulusan terbaik sekaligus termuda. Saat ini kamu magang cuma untuk mendapatkan izin praktek saja. Tapi teknisnya, kamu bisa menerima klien. Ada yang perlu dikoreksi?" Rasyid tersenyum dengan jumawa. Kedua tangannya dikembangkan seolah menantang Shanas untuk menyanggah apa yang sudah Rasyid ketahui tentang hukum juga tentang Shanas.Diam-diam Shanas kagum dengan pengetahuan Rasyid yang selama ini dia anggap hanyalah lelaki manja kaya-raya dan sedikit bodoh."Aku tidak suka mengurusi perintilan. Apalagi ini hanya perihal asmara biasa. Urus saja sendiri!"Shanas segera bangkit berdiri. Perasaannya tidak nyaman jika terlalu lama dekat dengan Rasyid."Bilang saja kamu takut!"Shanas langsung menghentikan langkahnya yang baru dua tiga jengkal. Dia men
Dengan wajah berseri-seri dan saling berpegangan tangan, Danan dan Nadia masuk ke ruang makan. Bahkan Danan membuat lelucon yang membuat wajah Nadia bersemu merah dan tertawa lebar. Rupanya, Danan sedang menggoda Nadia perihal permainan mereka di hotel tadi siang.Shanas yang melihat kemunculan kedua orang tuanya, diam-diam tersenyum bahagia. Sebenarnya itu bukan pemandangan yang luar biasa, bahkan itu adalah hal biasa jika Danan dan Nadia masuk ruang makan bersamaan sembari bercanda. Tapi, kali ini terasa ebrbeda bagi Shanas yang sudah berprasangka aneh tentang ayahnya dan kakak perempuannya."Lho, mana Olive?" tanya Nadia sembari matanya mencari-cari.Shanas hanya menaik turunkan pundak dengan sikap tidak acuh. Nadia dan Danan duduk pelan-pelan dengan kepala yang masih celingukan."Kamu gak ajak Olive makan bersama?" tanya Nadia ke Shanas."Enggak. Malas," jawab singkat Shanas.Shanas mengernyit heran dan menoleh ke Danan. Tatapan matanya menyiratkan tanya perihal apa yang terjadi a