“Papa kalian telah khilaf,” kata Mama lirih, “Papa menghamili mahasiswinya.”
“Apa?” Teriakan kaget langsung keluar dari empat mulut di ruangan itu.
“Ti-tidak mungkin,” seru Tyo, anak pertama.
“Menjijikkan, tidak tau malu,” desis istri Tyo yang akrab dipanggil Vivi.
Jagat, adik Tyo, hanya menutup wajahnya seraya mendengkus kasar. Kemudian lelaki itu menoleh pada istrinya, Riana, yang terlolong melongo. Telinga Riana seakan masih tidak percaya atas apa yang baru disampaikan oleh Mama. Papa mertua yang dia kenal selama ini begitu religius, berpendidikan dan terlihat sangat menyayangi keluarga, ternyata bisa berkelakuan serendah itu.
Dengan susah payah Mama berusaha tegar meskipun terlihat sia-sia, bibirnya bergetaran dengan jelas. Air mata sudah tak terbendung lagi, tetes-tetes meluncur bebas dengan deras. Isak Mama pun mulai terdengar.
“Sekarang Papa di mana, Ma?” tanya Jagat. Suaranya bergetar, menahan sesuatu.
“Jangan bilang Papa sedang bersama mahasiswi itu,” tukas Vivi. Matanya menyala menatap Mama.
Mama hanya mampu mengangguk.
“Astaga, jadi sekarang Papa kabur sama mahasiswi itu?” Nada suara Vivi meninggi, lebih seperti orang menjerit.
Isakan Mama makin hebat. Jagat dan Riana saling melirik. Sedetik kemudian, atas inisiatif sendiri, Riana bergerak dan duduk menjejeri Mama.
“Sabar, Ma,” bisik Riana lembut. Mama langsung rebah di pelukan Riana.
“Sayang, tahanlah dirimu. Situasi ini bukan hal yang mudah buat kita semua,” kata Tyo menatap istrinya.
Vivi melenguh. “Maaf, aku selalu emosi kalau mendengar tentang perselingkuhan. Rasanya pengen bejek-bejek itu orang berdua yang suka berselingkuh. Sama-sama enggak tau diri, rendah, murahan. Cih!”
Mama menegakkan kepala, sembari sibuk menghalau air mata yang terus mengucur, Mama menatap satu per satu anak dan menantu yang sengaja dia kumpulkan sekarang.
“Sebenarnya Mama ingin minta tolong kepada kalian ….” Mama sengaja menggantung kalimatnya untuk menelan ludahnya terlebih dahulu. Kemudian dia berkata dengan susah payah, “Maukah di antara kalian mengadopsi bayi itu?”
“APA?”
Vivi menutup wajahnya. “Bisa-bisanya sampai Mama kepikir hal konyol seperti ini. Mama … astaga, biarkan saja Papa bertanggung jawab atas kelakuannya sendiri.”
“Ya, aku setuju sama Kak Vivi,” sahut Jagat. “Siapa yang berbuat, dia yang harus bertanggung jawab.”
“Aku rasa itu yang lebih adil untuk kita semua.” Tyo pun angkat bicara. Matanya menatap Jagat tajam.
Hening sejenak.
Tanpa dikomando, pada detik berikutnya semua mata menatap Riana.
“Jadi kamu mau menolong Mama kan, Ri?” Sepercik harapan terpantik di indera penglihatan Mama yang basah. Hanya Riana yang tidak menentang permintaannya.
Riana gelapan dengan todongan itu. Dia menoleh kepada Jagat, namun suaminya membalas tatapannya dengan ekspresi wajah yang datar. Riana sulit mengartikan ekspresi Jagat. Lelaki berkulit putih itu tidak mengangguk, tidak menggeleng bahkan tidak mengedipkan mata.
“Riana,” Mama menyentuh tangan Riana. “Mau ya?”
Riana menggigit bibirnya. “A-aku terserah Mas Jagat.”
Mata Mama semakin menyala. Digenggamnya tangan Riana lebih erat. “Jagat pasti setuju—”
“Maaf ya, Ma, kalau aku menyela. Menurutku sebaiknya Mama segera bercerai saja dengan Papa. Mama boleh tinggal bersama kami di Jakarta. Iya kan, Mas?” kata Vivi seraya menatap Tyo.
“I-iya,” Tyo tergagap menjawab.
“Vi, Mama udah memutuskan untuk memaafkan kesalahan Papa, tetapi Karisma, mahasiswi itu, minta syarat … agar salah satu dari kalian mau mengasuh bayinya.”
“Loh, bukankah dia yang salah kok malah dia yang kasih syarat ya?” celetuk Riana. Namun setelah itu dia membekap mulutnya sendiri. Sadar telah berkata lancang.
Vivi tertawa sumbang merespon celetukan Riana. “Nah itulah, Ri, aneh kan?”
“Mama hanya berpikir bahwa karena belum ada bayi di keluarga kita, jadi mungkin ini cara Tuhan agar—”
“Itu cara iblis, Ma, bukan cara Tuhan,” tandas Vivi. Ledakan tawa sumbangnya pecah kembali. Hanya Vivi yang tertawa, yang lain tetap mengatupkan bibir.
"Ya apa salahnya kalian menutupi aib Papa demi keutuhan keluarga kita. Terutama Tyo dan Jagat, hitung-hitung membalas semua yang sudah Papa lakukan untuk kalian selama ini. Kami sebagai orang tua tidak pernah meminta apa-apa kan?” Tiba-tiba suara Mama meninggi. Dia seperti tersinggung dengan sikap dan ucapan Vivi.
“Rasanya Mama benar, kami berdua belum pernah memberikan apa-apa kepada Papa dan Mama. Sedari kecil kami hanya terus dikasih dan dikasih,” sahut Tyo. “Biarlah sebagai anak tertua aku yang akan menanggung aib Papa.”
“Mas, jangan memutuskan sepihak. Aku tidak akan pernah mengijinkan bayi haram itu ada di antara kita,” Vivi melengking sebal.
“Bayi itu tidak bersalah sama sekali, Vi. Dia suci, jadi apa salahnya kalau kamu asuh dan rawat dia, siapa tau dengan begitu kamu nanti bisa segera hamil. Kami juga sudah lama merindukan seorang cucu.”
Wajah Vivi spontan menegang mendengar ucapan Mama barusan. Tyo buru-buru meraih pundak istrinya. Dia sudah paham, Vivi bisa meledak kapan saja jika disinggung tentang ketidakmampuannya untuk hamil. Pernikahan mereka sudah berjalan lima tahun tapi belum pernah sekali pun Vivi terlambat haid.
Mama menghela napas. “Maafkan Mama, Vi, dan juga kamu Riana. Tidak ada maksud untuk menyinggung. Kita ini sudah menjadi keluarga. Sudah sepantasnya kita semua punya kewajiban menjaga nama baik keluarga kita. Jangan hanya mau manisnya, ujiannya pun ayo kita tanggung bersama.”
“Oke,” jawab Vivi. Dagunya sengaja didongakkan, agar air mata yang sudah terhimpun di pelupuk matanya tidak jatuh. Dia juga menepis tangan Tyo yang masih sibuk mengusap pundaknya.
“Aku bukan orang yang tidak tau balas budi, tapi aku tidak pernah mentolerir perselingkuhan dalam bentuk apa pun. Aku menegaskan di sini bahwa aku menolak bayi hasil perselingkuhan Papa itu, jika karena itu aku tidak dianggap sebagai keluarga ini lagi, aku tidak ada masalah.”
“Sayang, jangan ngomong gitu.” Tyo buru-buru merangkul istrinya dari belakang. “Bukan itu maksud Mama, iya kan, Ma?”
Mama berdiri, dan berusaha memeluk Vivi. “Maafkan Mama, Vi. Mama hanya minta tolong, Mama menghormati keputusanmu. Jika kamu enggak bersedia, masih ada Riana yang mau.”
Vivi melepaskan diri dari pelukan Mama dan suaminya. “Sebaiknya kita pergi sekarang, Mas. Aku takut lama-lama di sini tidak bisa mengendalikan diri. Maaf ya, Ma, menantumu ini adalah wanita yang keras kepala dan tidak bisa berbasa basi.”
Vivi mengambil tangan Mama untuk kemudian dia cium, lalu bergegas berlalu ke kamar. Dia perlu mengambil koper bajunya.
Tyo berpandangan dengan Mama, lalu melirik kepada Jagat dan Riana.
“Gat, sepertinya kamu yang bisa menolong Mama. Inilah saatnya kamu mengambil tanggung jawab,” kata Tyo.
Jagat menelan ludah berkali-kali dan melihat ke arah istrinya. “Aku tidak bisa memutuskan hal yang begini penting tanpa diskusi dulu dengan Riana.”
Mama beralih ke sebelah Riana, sama dengan yang dia lakukan sebelumnya kepada Vivi, Mama pun merangkul Riana. “Bisa ya, Ri. Demi Papa, demi kehormatan keluarga kita. Sebab jika semua anak Papa tidak ada yang mau, aib ini akan dibuat viral oleh Karisma."
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp