Share

Bab 4 - Teh Hangat

Desa Bitung memang terletak di daerah dekat pesisir pantai, tapi bukan berarti desa ini tertinggal, tempat tinggal Arsha contohnya, jarak antar rumah warga tidak terlalu dekat dan hampir semua penduduk hidup di atas tanah milik sendiri, rumah-rumah warga pun sudah mengikuti zaman, memang ada beberapa yang masih berbentuk seperti bangunan tempo dulu, namun biasanya rumah tersebut dimiliki oleh penduduk yang sudah sepuh dan ditinggal pergi anak-anaknya yang merantau dan jarang pulang ke desa.

Rumah Arsha sendiri merupakan bangunan permanen modern dengan pondasi yang kokoh seperti kebanyakan bangunan di kota-kota kecil. Rumah ini memiliki dua lantai dan sebuah garasi untuk mobil Kijang kebanggaan Pak Khalid, di lantai pertama terdapat empat buah ruangan, satu kamar Pak Khalid dan Bu Ani, satu kamar dengan pintu berhiaskan tirai cangkang kerang yang kini menjadi kamar Niskala, satu kamar tamu yang kini dipakai Pak Rohim dan Sopir, terakhir satu ruang besar untuk dapur beserta kamar mandi. Sementara itu, lantai kedua sudah seperti daerah kekuasaan sang anak lelaki satu-satunya. Daerah ini hanya memiliki dua ruangan, kamar Arsha dan sebuah gudang yang berisi semua barang-barang miliknya, dua ruangan ini hanya mencakup setengah dari luas lantai, karena sisanya dijadikan balkon tanpa atap.

Arsha masih tak percaya dengan sepucuk surat yang ia baca, pagi hari ia sudah pontang-panting mengganti baju dan memakai jaket, berlari keluar kamar menyusuri tangga untuk ke lantai bawah, dua buah sepeda yang masih terparkir aman di ruang tamu membuatnya semakin bergeliat, kesal sekaligus khawatir dengan hilangnya seorang penghuni baru yang belum dua puluh empat jam berada di rumahnya, Arsha bergegas keluar dari rumah dengan membawa sepeda yang biasa ia pakai untuk membawa barang, dilengkapi jok tambahan di bagian belakang. 

Sandal jepit berwarna biru Arsha pilih untuk menemaninya mengayuh pedal sepeda, dengan sedikit tergesa-gesa ia mulai pergi menyusuri jalan menuju pantai yang disebut oleh Niskala. Arsha yang juga merasa kesal terhadap perempuan itu, melampiaskannya dengan berteriak di atas tunggangannya. 

“Siaaaaaaaal!!” teriaknya.

Ia yang sudah mengayuh dan menjauh sekitar dua puluh meter dari rumah, harus menurunkan kecepatan karena di depannya ada sebuah tikungan curam, perlahan Arsha melewati tikungan itu dengan aman, setidaknya itu yang ia pikirkan sampai akhirnya laju sepedanya harus terpaksa ia hentikan sepenuhnya.

Stop!!!” teriak seorang perempuan yang berdiri tak jauh di depannya, dengan tangan kanan membentang ke depan membentuk isyarat meminta berhenti. 

Arsha yang kaget melihat perempuan itu tiba-tiba berada di jalur sepedanya sudah tak tahu harus berkata apa, perempuan itu tidak lain adalah Niskala, Niskala yang ia kira sedang tersesat di suatu tempat di daerah yang masih diselimuti pepohonan ini. Perempuan itu terlihat baik-baik saja, itulah yang dipikirkan Arsha pertama kali, sebelum ia akhirnya benar-benar sadar dengan situasi.

“Woy! Kamu ngapain, sih? Minta ditabrak?!” tanya Arsha tegas.

“Hehe…, maaf. Aku udah lama nunggu kamu,” jawab Niskala dengan senyum tanpa dosa.

“Oh iya, kamu gila! Ngapain pagi-pagi ke pantai?! Untung bisa ketemu jalan pulang!” gerutu Arsha.

“Anu, aku belum ke sana…,” balas Niskala singkat.

“Hah?” tanya Arsha kebingungan.

“Aku nggak pernah bertujuan ke sana sendirian. Aku sengaja bikin surat itu biar kamu ikut keluar rumah, terus kita bisa ke sana bareng,” jelasnya dengan santai.

Arsha yang mendengar penjelasannya menjadi semakin kesal dengan Niskala, ia melakukan hal seenaknya untuk kepentingan pribadi, ia membuat orang lain memenuhi permintaanya tanpa orang itu sadari, ia berpikir bahwa dirinya bisa mengendalikan orang di sekitarnya dengan mudah, “perempuan ini sangat berbahaya,” pikir Arsha.

Di sisi lain, Niskala mengenakan pakaian berupa satu potong dress putih panjang tanpa lengan, dipadukan dengan cardigan motif bunga berwarna biru, sebuah topi pantai bahan rajut menghiasi kepalanya, melindungi rambut indahnya yang terurai ke belakang dan tak lupa kakinya juga diselimuti oleh sepasang sneakers jenis slip on yang juga berwarna putih dan biru menyesuaikan warna pakaiannya. Citranya sebagai seorang perempuan kota sangat terlihat. Niskala juga menenteng sebuah tas jinjing yang tampak terisi sesuatu. Arsha yang memperhatikannya sedari tadi sudah menyadari bahwa perempuan ini memang bertujuan untuk piknik sejak awal.

“Kamu pikir aku bakal ikut kamu gitu aja? enak aja, ngapain juga pagi-pagi ke pantai yang dingin, mending aku pulang terus lanjutin tidur!” ketus Arsha.

“Aku udah nungguin kamu sejam lebih,” balas Niskala.

“Emang aku minta ditungguin?” tanya Arsha.

“Yaudah…, aku ke sana sendirian aja,” lanjut Niskala.

“Yaudah kalo kamu keras kepala, nih pake sepeda, jaraknya jauh kalo jalan kaki,” balas Arsha sambil berusaha menyerahkan sepeda miliknya.

Niskala melihat upaya Arsha yang mencoba meminjamkan sepeda kepadanya, namun ia memilih untuk tidak mengiyakan tawaran Arsha, “Nggak usah, aku nggak bisa naik sepeda,” ujar Niskala, yang kemudian mulai memalingkan tubuhnya dan berjalan perlahan menjauhi Arsha.

Mendengar perkataan Niskala, tentu Arsha tidak percaya begitu saja, sangat sulit untuk menerima fakta bahwa Niskala tidak bisa naik sepeda, dia berasal dari kota besar, keluarganya juga mampu secara finansial, aneh rasanya jika seumur hidupnya ia tidak pernah punya sepeda, ditambah sifatnya yang sulit ditebak, ia bisa saja berkelakar tidak bisa bersepeda agar Arsha mau mengantarkannya, sebuah cara yang menurut Arsha sedikit cerdik, di titik ini Arsha mulai berpikir bahwa Niskala sudah seperti seekor kancil yang sedang berusaha membodohinya.

“Nggak bisa naik sepeda? Yang bener aja! Aku tahu kamu bohong biar aku bisa anterin!” cetus Arsha kepada Niskala yang mulai semakin jauh darinya.

“Kalo aku bisa naik sepeda, aku udah pergi duluan dari pagi, nggak perlu nungguin kamu sampe satu jam lebih,” balas Niskala tanpa memalingkan wajah dan terus berjalan.

Isi kepala Arsha bergejolak mencerna perkataan Niskala, dengan pernyataan seperti itu, Arsha sudah tidak bisa menemukan jalan lain untuk membongkar kenyataan apakah Niskala berbohong atau tidak, ia dipaksa untuk menerima dua pilihan, meninggalkan Niskala karena tidak mempercayainya, yang artinya membiarkan orang asing berkeliaran sendirian menuju tempat yang dia sendiri tidak yakin kemana arahnya, atau mempercayai apa yang ia katakan dan ikut mengantarnya menuju tujuan. 

Setelah beberapa saat mengalami perang batin di kepalanya, Arsha kemudian teringat dengan tawa dari Pak Rohim yang begitu santai menitipkan anaknya kepada Arsha untuk dijaga. Arsha seketika sadar bahwa bagaimanapun Niskala adalah tanggung jawabnya juga, iya telah mengiyakan permintaan dari dua orang pria yang ia hormati, yaitu Pak Rohim dan Ayahnya sendiri. Tanpa pikir panjang lagi, Arsha memutuskan untuk kembali mengayuh sepedanya, ia berhenti di sebelah Niskala yang sedari tadi berjalan tanpa mempedulikan orang di belakangnya.

“Ayo naik,” ajak Arsha.

Perempuan yang sedari tadi ia kira sedang merajuk, ikut berhenti melangkahkan kaki, ia berdiri di sebelah Arsha dan sepedanya, melihat Arsha dan kemudian memasang senyum manis seperti layaknya seekor kancil yang merasa senang karena telah berhasil membodohi seekor buaya, “Hehe…,” kekehnya lagi-lagi seperti tanpa dosa.

“Aku bilang naik, bukan nyengir!” desak Arsha.

“Iyaaaaa!” jawab Niskala sambil berusaha naik dan duduk menyamping mengisi jok belakang sepeda Arsha.

Sang kancil semakin kegirangan seraya sepeda yang ia tumpangi bersama buaya yang ia bodohi mulai berjalan pelan menuju tempat yang sangat ingin ia datangi. 

“Adeeeem…,” ujar Niskala dengan senyum melebar dan mata tertutup menikmati hiliran angin pagi.

“Adem? Orang normal bakal bilang ‘dingin’ di situasi kayak gini,” cetus Arsha. 

“Aku kan bukan orang normal,” celetuk Niskala.

“Lah dia ngaku sendiri?!” batin Arsha merasa heran, “Aku penasaran, kamu beneran nggak bisa naik sepeda? Jawab jujur aja, kalaupun tadi bohong aku nggak akan ninggalin kamu sekarang,” tanya Arsha.

“Hmm … Apa aku kelihatan kayak pembohong?” tanya balik Niskala.

“...” Arsha terdiam.

“Aku mungkin kadang nggak jelas dan nyebelin, tapi aku bukan pembohong,” jelas Niskala.

“Yaudah iya aku percaya…,” balas Arsha.

“Bagus, udah seharusnya percaya sama pacar sendiri,” pungkas Niskala.

“Dia mulai lagi…,” batin Arsha.

Arsha tidak menjawab perkataan Niskala dan memutuskan untuk mengayuh pedal sepedanya lebih cepat, sepuluh menit telah mereka habiskan di perjalanan, sepuluh menit milik Niskala dihabiskannya untuk mengucap rasa kagum dengan apapun yang ia lihat, sementara sepuluh menit milik Arsha habis untuk fokus mengayuh sepeda dan menahan dinginnya angin yang menghempas langsung ke wajahnya.

Perjalanan mereka terhenti ketika mereka mulai melihat beberapa perahu milik nelayan terikat di bibir pantai, beberapa perahu baru saja kembali dari aktivitas menangkap ikan di malam hari, suasana masih ramai karena dipenuhi oleh para nelayan yang sedang mengikat ikan-ikan hasil tangkapannya, untuk kemudian di jual di tempat pelelangan ikan berukuran kecil yang berjarak sekitar lima ratus meter dari bibir pantai.  

Niskala kembali merasa kagum saat melihat-lihat pemandangan yang ada di sekitar, Pantai Renjana yang ia ingat nyaris tidak berubah dan masih terlihat sama seperti di foto masa kecilnya. Arsha kembali mengayuh sepedanya pelan dan mengarahkannya ke sebuah kedai es kelapa berbentuk gubug tua yang tersusun dari kayu jati berusia puluhan tahun, tempat ini adalah Kedai Kasih, tempat favorit Arsha dan kedua sahabatnya ketika sedang berada di pantai, Kedai Kasih dimiliki oleh seorang pria tua keturunan Tiongkok-Melayu bernama Koh Banar.

Kedai Kasih berada di sebelah kanan jalan dari arah datangnya Arsha, sementara Pantai Renjana berada di belakangnya. Daerah ini masih dipenuhi dengan pepohonan, termasuk di bagian belakang kedai yang menghadap langsung ke bibir pantai, terdapat beberapa meja dan tiga buah gazebo yang bisa digunakan untuk bersantai dan menikmati minuman segar yang dibuat di kedai. Arsha dan kedua sahabatnya biasa menghabiskan waktu di gazebo yang paling dekat dengan pepohonan, gazebo ini lebih sejuk dan nyaman dibanding dua gazebo lainnya.

Pantai Renjana bukanlah tujuan akhir dari jalan yang dilewati Arsha, jalan ini masih terus berlanjut sampai ke desa lain. Kedai Kasih baru dibuka sekitar pukul sepuluh pagi, jadi saat ini tak ada siapapun disana. Arsha langsung mengajak Niskala ke gazebo yang biasa ia tempati bersama Rawa dan Rhea. Niskala kembali dibuat terlena dengan pemandangan indah dan udara sejuk, Pantai Renjana memang tak kalah indah dengan pantai terkenal lain di Pulau Jawa, hanya saja pantai ini tidak terlalu dikenal karena daerahnya yang jauh dan jarang ada wisatawan yang datang, kurangnya infrastruktur yang mendukung juga membuatnya tertinggal kendati pantai ini memiliki potensi untuk menjadi sektor wisata yang besar. 

“Waaah…, indahnya,” ujar Niskala kagum, “Aku pengen main air!” lanjutnya antusias sambil mencoba menanggalkan sepatu yang ia kenakan, ia melakukannya tanpa pikir panjang.

“Ahhh dingin!!” celetuknya setelah beberapa detik berdiri dengan kaki telanjang, ia melompat ke atas gazebo dan menutupi kakinya dengan tangan dan mencoba memakai sepatunya kembali.

“Kan udah kubilang! Siapa juga yang ke pantai jam segini untuk main air!” timpal Arsha, “Lagian kamu pakai pakaian kayak gitu emang nggak dingin?” lanjutnya sambil melihat ke arah Niskala.

Alih-alih menjawab pertanyaan Arsha, Niskala justru menunduk sambil memperhatikan pakaian yang ia kenakan, tangannya yang tadi menutupi kaki, kini mulai berpindah mendekati tubuhnya, melingkar perlahan mencari kehangatan. Niskala terpojok dengan posisi duduk sambil memeluk dirinya sendiri. Ternyata, kancil yang berhasil membodohi buaya tidak cukup cerdik untuk memikirkan keselamatannya sendiri, “Hehe…, ternyata dingin,” jawabnya dengan bibir yang sedikit gemetar.

“Huft…, sudah kuduga,” keluh Arsha, “Nih pake,” lanjutnya sambil menanggalkan jaket kesayangannya dan menyerahkannya kepada Niskala.

“Kamu nggak kedinginan?” tanya Niskala.

“Aku kan orang sini, jadi udah terbiasa sama dingin,” jawab Arsha percaya diri meskipun sebenarnya ia juga sedikit menggigil, “Dibanding kedinginan, aku lebih merasa kelaparan,” lanjutnya lagi. 

“Kamu laper? Kenapa nggak bilang? Itu aku bawa bekal nasi sama telur ceplok spesial khas Niskala!” ucap Niskala lantang dan bangga.

Mata Arsha sedikit berbinar karena telah menemukan harapan hidupnya lagi, “Wih, kayaknya enak banget! Bedanya telur ceplok kamu sama yang biasa apa?!” tanya Arsha antusias.

“Nggak ada bedanya, cuma karena aku yang bikin jadinya kan khas aku,” jawab Niskala datar.

“Ya Tuhan, sepertinya aku terlalu berharap kepada perempuan ini,” cetus Arsha.

“Heh jahatnyaaa!” protes Niskala.

“Iya iyaaa maaf, setidaknya ada yang bisa dimakan,” balas Arsha sambil menjulurkan tangan ke dalam tas jinjing Niskala dan mencoba mengambil bekalnya, tangannya berhasil meraih dua buah kotak bekal, namun ada benda lain di dalam tas jinjing itu yang lebih menarik perhatian Arsha, “Hmm…, Niskala? Ini isinya apa ya?” tanya Arsha sambil menyodorkan sebuah termos kecil dari dalam tas jinjing kepada Niskala.

“Oh itu, teh anget,” jawab Niskala singkat.

“Teh anget?” tanya Arsha sekali lagi dengan ekspresi yang sedikit berubah, alis matanya meninggi, sorot matanya fokus kepada Niskala.

“Iya, emang kenap— Eh?!!” jawab Niskala kaget karena baru menyadari sesuatu.

“Teh anget!!!!” teriak mereka berdua bersamaan.

Termos yang ditemukan Arsha membuat mereka berdua antusias dan merasa ingin melompat kegirangan, teh hangat adalah sesuatu yang paling mereka butuhkan saat ini, Niskala yang lupa dengan minuman buatannya sendiri juga tidak kalah ingin menangis bahagia. Mereka berdua tak ayalnya seperti Orville Wright dan Wilbur Wright yang baru saja berhasil menemukan formula untuk menciptakan pesawat terbang.

Harapan hidup yang baru mereka temukan langsung dituangkan ke dalam dua buah gelas plastik yang Niskala bawa tanpa pikir panjang, pagi yang dingin ditambah minuman hangat memang kombinasi yang tak ada dua. Arsha juga tidak melupakan perutnya yang sebenarnya telah merengek meminta diberi makan, Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk menyantap bekal yang Niskala bawa, Arsha terlihat sangat lahap memasukkan suap demi suap nasi dan telur ceplok ke dalam mulutnya.

Pada akhirnya sang buaya lupa bahwa ia merasa kesal karena dibodohi sejak pagi, sementara sang kancil lupa bahwa ia cerdik dan malah terlihat bodoh sejak tadi, kancil dan buaya telah benar-benar melupakan peran masing-masing. Namun bagian terbaiknya adalah mereka berdua berhasil menikmati waktu dengan sukacita, setidaknya itulah yang mereka rasakan sampai akhirnya teh hangat yang menjadi harapan perlahan menghilang karena mereka telan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status