Tak ada yang benar-benar tahu tentang masa depan, setiap detik yang kita perhitungkan bisa saja salah dan berubah, kisah ini dimulai dari sebuah desa kecil di pesisir selatan Provinsi Banten, di bagian bawah peta. Berpusat di kehidupan seorang Antariksha Bumisakti, yang merasa dipermainkan oleh takdir karena telah ditarik paksa ke dalam pertemuan yang tak pernah ia minta, pertemuan dengan seseorang yang pernah menjadi tokoh utama di beberapa halaman buku kehidupannya. Kisah ini adalah penggalan dari masa lalu Arsha, panggilannya. Tujuh tahun lalu, saat ia baru menginjak usia delapan belas tahun, ia mendapat pemberitahuan dari sang ayah, bahwa akan ada seseorang yang datang dan tinggal di rumah mereka, seorang perempuan anak dari sahabat ayahnya yang akan berkuliah di tempat yang sama dengan Arsha. "Tugasmu nanti jagain dia ya, Sha," pinta Ayahnya. Arsha hanya bisa mengiyakan, lagipula membiarkan satu orang asing tinggal di rumahnya bukanlah masalah yang berarti baginya. Setidaknya itulah yang ada di pikirannya, sampai semua ekspektasinya berubah ketika orang itu tiba, seorang perempuan yang tidak hanya datang ke rumah Arsha, namun juga memaksa masuk ke dalam kehidupannya, sebagai tokoh baru yang tak pernah Arsha minta. Sialnya, sang tokoh baru bukanlah seseorang yang mudah untuk dipahami, ia membawa perubahan besar yang tidak pernah Arsha antisipasi.
View MoreSenin pagi, 3 Agustus 2020
Tumpahan cairan berwarna kecoklatan menghiasi meja kaca yang berada persis di depan seorang pemuda berpakaian putih hitam tanpa dasi, dua kotak bongkahan es batu yang kian mengerucut, mengecil karena mencair, terlihat di tengah-tengah genangan kecil itu. Es teh manis yang seharusnya sudah berada di lambungnya, membasuh melewati kerongkongannya, harus terpaksa direlakan kendati ia sangat mengharapkan, karena ia sedari pagi sudah pontang-panting mencari tempat tambal ban untuk motornya yang tertembus paku di jalan. Namun kesalahan kecil dari office boy itu bisa dengan mudah ia lupakan, karena dalam waktu dekat ia akan mendapat es teh manis pengganti.
Arsha duduk di sebuah sofa bersama dua orang lain berpakaian rapi persis seperti dirinya, pemuda berusia dua puluh lima tahun ini sedang menunggu giliran untuk masuk ke dalam ruangan personalia untuk diwawancarai. Mereka bertiga saling melempar senyuman dan bertanya kecil perihal pekerjaan. Mereka tetap tersenyum meski tahu mereka adalah rival yang tak saling kenal, mereka sedang dalam kompetisi untuk mendapatkan sebuah posisi. Menunggu di tempat seperti ini bukanlah hal baru bagi Arsha, ia sudah berkali-kali berada di situasi yang sama, namun, baru kali ini ia melamar pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.
Arsha seharusnya datang paling awal, masuk ke ruangan pertama kali dan menyelesaikan wawancara lebih dulu dari orang lain, sejak pagi ia sudah siap dan siaga untuk datang ke tempat ini. Namun sayang, paku sialan yang pagi ini tak sengaja ia lindas dengan sepeda motornya itu merusak segalanya. Ia datang tidak lebih dulu dari dua orang yang telah datang lebih pagi. Orang pertama telah selesai dan pergi, orang kedua sedang berada di ruangan, ia masuk lima belas menit yang lalu.
Di meja seberang, tak jauh dari tempatnya menunggu, terlihat sebuah kalender lipat berlogo perusahaan yang ia lamar, tak lupa dengan foto latar berupa pemandangan pantai pasir putih dan lautan biru tenang yang sudah tak asing dilihatnya, itu adalah foto pantai di desanya, pantai Renjana namanya. Sebuah pantai indah nan elok yang beberapa tahun lalu sebenarnya jarang diketahui orang, berada di desa kecil bernama Bitung yang terletak di bagian pesisir selatan provinsi Banten, dibagian bawah peta. Bahkan, sampai tiga tahun lalu, hanya ada sebuah pelabuhan kecil dan tempat penampungan ikan seadanya, kini, tempat ini menjadi salah satu pusat wisata yang ramai dengan segala hiruk pikuknya.
“Aku tumbuh di tempat yang sepi,” begitu Arsha berkata jika seseorang bertanya darimana asalnya, bukan tanpa alasan, dulunya desa ini memang benar-benar sunyi senyap, kota terdekat memang tidak begitu jauh, hanya sekitar lima belas kilometer, tapi desa ini seakan tak tersentuh, bukan karena orang tidak tahu tentangnya, tapi karena orang tak punya alasan untuk pergi ke sana, kosong melompong tak ada apa-apa. Meski begitu, Arsha bangga dengan tanah kelahirannya, di sinilah semua kenangan terukir, yang indah ataupun tidak.
Lima belas menit berlalu semenjak gelas berisi es teh manis di depannya habis, terdengar langkah kaki dua orang pria keluar dari ruangan yang Arsha ingin masuki sejak pagi, salah satu dari mereka bergegas pergi sembari berterimakasih kepada satu orang lagi yang berhenti setelah maju selangkah dari pintu, seorang pria paruh baya yang sudah diduganya sebagai orang yang akan mewawancarainya, Pak Kepala Personalia.
“Selanjutnya, mas Antariksha Bumisakti,” kata pria tersebut sambil melihat-lihat ke arah tiga orang yang sedang duduk.
Bergegas berdiri untuk menghampiri, “Saya Pak!” saut Arsha tegas. Arsha menyalami pria tersebut, yang ternyata bernama Rizwan Ahmad S.Psi, ia adalah kepala personalia persis seperti dugaan Arsha. Pak Rizwan lekas mempersilakan Arsha untuk masuk ke dalam ruangan. Wawancara yang telah ia tunggu-tunggu akhirnya dimulai. Ini adalah wawancara pertama Arsha di bidang yang sesuai dengan ijazah sarjananya. Ia adalah lulusan teknik perkapalan yang sedang melamar posisi sebagai teknisi kapal di PT. Ekowisata Bahari (EB Group), Perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, pariwisata kelautan dan penyewaan kapal ikan bagi para nelayan.
Proses wawancara berjalan dengan sangat lancar, Arsha memang baru pertama kali melakukan wawancara untuk posisi teknisi kapal, tapi ia memiliki pengalaman teknis yang tidak perlu diragukan lagi. Ia lulus tiga tahun lalu, dan bukan tanpa alasan ia tak pernah benar-benar melamar pekerjaan di bidangnya, untuk alasan tertentu, ia tak bisa meninggalkan desa Bitung, sementara di daerah ini tak ada apa-apa sebelumnya, tempat ia melamar pekerjaan saat ini, hanyalah salah satu kantor cabang PT. Ekowisata Bahari yang baru dibuka tiga bulan lalu.
Sepuluh menit telah berlalu begitu saja, tak terasa wawancara berjalan begitu santai seperti obrolan biasa, tak ada hambatan yang berarti bagi Arsha, begitu pula Pak Rizwan yang tampak nyaman dan puas dengan semua jawaban Arsha. Atmosfer nyaman yang telah mereka bangun di dalam ruangan, harus terpecah karena suara ketukan, Pak Rizwan tampak tak kaget, beliau sepertinya telah mengharapkan kedatangan seseorang.
“Masuk, Mbak!” sahut Pak Rizwan ke arah suara ketukan pintu.
Arsha, tak tahu sama sekali siapa orang di balik pintu, ia hanya tahu bahwa wawancara ini akan dihadiri oleh satu orang penanya saja. Perlahan, gagang pintu bergerak turun lambat dari posisinya yang semula lurus horizontal, ia juga melirik sedikit ke arah jam dinding yang menggantung tak jauh di atas pintu yang sama, “sudah sepuluh menit, ya…, tak terasa,” gumamnya dalam hati.
Sorot mata Arsha yang semula masih terpaku pada jam dinding, kini sudah terkunci ke tempat lain, pandangannya seolah diambil paksa oleh sosok wanita setinggi seratus enam puluh sentimeter, wanita anggun yang sedari tadi mengetuk pintu. Arsha seakan membeku dengan jantung yang tak berdetak, tubuh yang tak bisa bergerak dan berkutik, jarum panjang berwarna merah dari jam dinding yang sedari tadi ia lihat seakan ikut berhenti berdetik.
Wajar saja, wanita ini adalah wanita yang sungguh tidak asing baginya, wanita yang pernah menjadi bagian indah dari kisah hidupnya, wanita yang dulu pernah meruntuhkan logikanya, mengganti prinsip kokohnya dengan keabstrakan yang tak bisa ia dapatkan dari orang lain. Wanita yang dulu berambut terurai sebahu, kini terlihat cantik dengan hijab pashmina sederhana berwarna biru kelabu.
“Niskala…,” cetus Arsha lirih.
“Arsha?” balas wanita yang ternyata bernama Niskala, ia tak kalah terkejut.
Mata mereka bertemu dan seakan saling menahan agar tidak pergi. Keheningan terjadi selama beberapa detik, sampai Pak Rizwan memecahnya dengan tiba-tiba.
“Loh, kalian saling kenal?” tanyanya kepada mereka berdua.
“Iya, Pak. Arsha adalah teman lama saya,” timpal Niskala.
Mendengar jawaban Niskala membuat batin Arsha terpukul, “Teman lama, ya…,” gumam perihnya dalam hati. Bagi Arsha, Niskala bukan hanya sekadar teman lama, ia pernah memiliki peran penting di salah satu bagian hidup Arsha. Oleh karenanya, Arsha tak bisa menerima kenyataan bahwa Niskala hanya menganggapnya teman lama. Tapi, ia yang mengerti situasi harus bersikap wajar, meskipun ia tak bisa berkelakar, bahwa hatinya terasa memar.
“Benar Pak Rizwan, kami sudah lama kenal, saya nggak menyangka akan bertemu Niskala di sini,” jelas Arsha.
Mendengar pernyataan itu, Pak Rizwan sedikit tersenyum, “Wah, bagus dong, Sebelum Mas Arsha masuk, saya dapat telpon dari Pak Kepala Cabang yang mengatakan kalau Mbak Niska ini akan ikut menjadi penanya, karena ia akan jadi atasan mas Arsha kalau mas diterima di sini."
“Wah…, Begitu ya, Pak,” timpal Arsha.
“Gimana kalau kita lanjut aja?” tanya Pak Rizwan kepada dua orang didepannya.
“Boleh, Pak. Ayo Sha,” jawab Niskala.
Proses wawancara yang sempat terhenti akibat reuni tak terduga ini mulai dilanjutkan kembali, Atmosfer yang telah dibangun Arsha bersama Pak Rizwan harus mengalami sedikit penyesuaian dengan adanya Niskala. Arsha yang semula begitu santai dan luwes, mengalami sedikit perubahan pada gestur tubuhnya, seperti ada sesuatu yang ia tahan. Tidak bisa dipungkiri, Niskala adalah penyebabnya.
Meskipun tidak ada kendala yang berarti, wawancara ini memang terasa berbeda dibanding sebelumnya, bertemu dengan seorang Niskala secara tiba-tiba di tempat yang tak pernah ia duga, bukanlah hal yang mudah bagi Arsha. Niskala pernah datang ke hidup Arsha tanpa izin, dan pergi begitu saja tanpa izin pula. Ada banyak pertanyaan di benak Arsha, namun ia tahu saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu.
Dua puluh menit telah berlalu semenjak Niskala memasuki ruangan, proses wawancara berjalan semestinya bagi mereka semua, termasuk Arsha, meskipun dalam pikirannya sedang ada banyak hal yang menggantung. Pak Rizwan menutup sesi wawancara dengan sebuah pernyataan bahwa Arsha akan menerima kabar dari mereka maksimal dua minggu setelah hari ini. Sejujurnya, Arsha kini ragu apakah ia akan mampu jika harus bekerja di tempat ini, bukan karena pekerjaannya, tapi karena ada Niskala di sana.
Arsha bergegas berdiri untuk pamit dan keluar dari ruangan, sebenarnya ia masih penasaran dengan Niskala, tapi sepertinya memang bukan waktu yang tepat untuk itu, hal pertama yang ada dipikirannya saat ini adalah menemui dua orang temannya, dua orang yang juga mengenal Niskala, dua orang yang menjadi saksi hidup bagaimana Arsha dan Niskala sangatlah tidak bisa jika hanya disebut sebagai teman lama.
Setelah beberapa jam mendengarkan, acara pemberian materi akhirnya berakhir bersamaan dengan suara panggilan untuk istirahat sore menjelang petang. Tepat pada pukul lima sore, mereka semua kembali bubar untuk sekadar makan cemilan dan ibadah sore bagi yang menjalankan. Arsha telah berpisah dengan Niskala yang juga kembali ke kelompoknya, ia kini sendirian menuju sekumpulan orang yang tak lain adalah anak-anak asuh dari Celine. Pendamping kelompok yang terlihat riang itu juga terlihat menyadari keberadaan dari Arsha. “Eh, Arsha, sini-sini,” pintanya dengan gestur tangan yang mengundang. “Iya, Kak,” angguk Arsha. Celine mulai kembali menjalankan perannya. Tidak seperti pendamping kelompok pada umumnya, C
Langkah kaki Arsha melambat seiring tubuhnya yang mendekat dengan ketiga orang yang ia kenal, pandangannya lebih sering tertuju ke bawah, langsung ke arah sebuah amplop merah muda dengan pita. Ia masih menggumamkan tentang kemungkinan isi dari amplop bersangkutan, sekaligus mencoba menerka dari mana asalnya.Arsha yang terlihat seperti orang kebingungan, berhasil menarik perhatian Rawa yang tak sengaja melihatnya. Langkah kaki yang tak dihitung jumlahnya, tiba-tiba mencapai sebuah titik di mana ia akhirnya sampai ke tujuannya.Kini bukan hanya Rawa, namun juga Rhea dan Niskala yang menyadari keberadaan Arsha, Rawa yang telah lebih dulu tertarik pusat perhatiannya, tanpa basa basi langsung menyapa Arsha, tentu saja dengan caranya.“Woi, anak ilang? Lagi nyari mama?&rdqu
Ratusan pasang mata kini terpaku kepada Arsha yang baru saja mengatakan hal yang tak terduga, ia yang sedari awal berdiri berdampingan bersama Pak Ali, ternyata menjadi satu-satunya orang yang menentang dan tak menerima keputusan dari Rektornya sendiri, kendati keputusan itu sangat menguntungkan dirinya pribadi. “Tidak adil? Kenapa kamu berpikir begitu, Nak?” tanya Pak Ali. “Dalam ruangan ini, saya memiliki dua orang teman perempuan, keduanya sangat ingin menjadi ratu bahkan sebelum acara Ospek ini dimulai. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan jika ada orang lain yang juga sangat menginginkan posisi raja. Meskipun saya tidak mengenalnya, pasti di salah satu sudut ruangan ini ada yang telah mati-matian mempersiapkannya dengan penuh semangat. Saya tidak bisa begitu saja datang dan mengambil apa yang baru saja ingin mereka per
Antariksha Bumisakti termenung di tengah-tengah ruangan besar berisi banyak sekali orang kebingungan, matanya membulat sendirian dengan detak jantung berdebar tak karuan. Seorang perempuan yang duduk di sampingnya juga tak kalah bingung, ia seketika langsung memperhatikannya dengan tatapan tak percaya.Reaksi yang diterima kedua orang itu sangat kontra dengan para peserta lainnya yang mengerumuni mereka, ketika orang lain yang tak tahu apa-apa hanya mampu saling melihat satu sama lain sembari bertanya siapakah sosok Antariksha Bumisakti yang baru saja disebut oleh Pak Ali, orang-orang yang mengenal sosok aslinya mungkin sekarang sedang terdiam dan bertanya tentang hal apa yang Arsha lakukan sehingga mampu menarik perhatian seseorang sepenting itu.“Sha, kamu…,” ujar Niskala.
Ruang aula yang perlahan terisi penuh oleh para peserta, menjadi pertanda dimulainya acara selanjutnya. Sebelum pemberian materi oleh para pembicara yang merupakan tokoh-tokoh penting di UNSUF, Rafiq sang ketua divisi acara kembali hadir untuk memberikan beberapa penjelasan sebelum para peserta mulai mendengarkan pembicara yang sesungguhnya. Rafiq berdiri di atas panggung, di hadapan para peserta. Di atas panggung juga terdapat meja panjang dengan beberapa kursi di belakangnya. Dirga yang merupakan ketua panitia terlihat duduk di salah satu kursi yang disediakan di sana, ia tampaknya akan menjadi salah satu orang penting yang akan menjadi pembicara. “Selamat pagi, selamat datang bagi para peserta yang telah hadir, saya akan memberi beberapa susunan dan peraturan sebelum kita melanjutkan acara,” salam Rafiq. &
Para anggota kelompok dibawah pengawasan Celine ditinggalkan dengan kebingungan oleh sang ketua acara begitu saja, Celine yang terlihat seperti mengetahui sesuatu juga memilih untuk tak memberi tahu apa-apa kepada mereka. “Calon raja?” gumam Arsha dalam hatinya. Arsha yang juga tak mengerti maksud perkataan Dirga, lebih memilih untuk tak mencari tahu kepada pendamping kelompoknya. Pada akhirnya Arsha lebih memilih untuk fokus kepada acara Ospek yang akan segera berlanjut ke tahap berikutnya. “Kak, maksudnya calon raja itu apa, ya?” tanya salah satu anggota kelompok. “Iya, Kak, tadi Kak Dirga ngomongin apa, sih?” sambung anggota yang lain. “Udah, u
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments