Air liur Poppy terasa jauh lebih pahit sekarang. Salah satu yang paling ia takuti di dunia ini adalah saat identitas rahasianya terbongkar. Belum lagi, Regan sangat dekat dengan kakaknya.
Bagaimana kalau ia langsung mengadukan itu kepada Dante? Apakah Poppy bakal dikurung seumur hidup di kamarnya, tanpa ponsel, laptop, dan internet?
Poppy tidak mau membayangkan itu!
“I-itu... itu bukan tulisan aku. Iya, hahahaha, aku copy itu dari web tulisan orang lain.” Poppy menghindari tatapan Regan dan tertawa canggung. Jari telunjuk kanannya memainkan cincin yang melingkar di telunjuk kirinya. “Karena bagus dan mau aku baca jadinya aku masukin dokumen.”
Regan masih menatap Poppy dengan senyum tipis itu. Dari ujung matanya, Poppy bisa melihat kepala pria itu mengangguk.
“Begitu?”
Pertanyaan Regan seolah hanya formalitas, tidak perlu mendapat jawaban dari Poppy. Namun, wanita itu tetap mengangguk dengan penuh keyakinan.
“Kamu fans banget sama Maria Quinn, ya?” tanya Regan lagi.
Poppy tidak tahu apakah ia sedang menelan air liurnya sendiri atau batu kerikil. Sejauh mana yang Regan ketahui? Seingat Poppy, ia baru menuliskan judul dan draf kasar saja, tidak sampai menuliskan nama penanya di sana.
“Aku akuin, tulisan dia bagus dan... seksi.” Regan yang masih menatap Poppy pun menyandarkan punggungnya ke kursi. Alisnya bergerak naik ketika mengucapkan kata terakhir itu.
Lalu, seolah baru teringat sesuatu, ia pun kembali menegakkan tubuhnya dan mengambil tablet PC di meja. “Oh, karena kamu katanya baru mau baca, gimana kalau aku bacain di sini. Jadi, kamu gak perlu repot-repot baca sendiri nanti.”
Poppy buru-buru mengibaskan tangannya. Membaca tulisannya sendiri adalah hal terlarang untuk Poppy. Ia tidak mau dirinya tenggelam dalam lautan penuh rasa malu.
“G-gak perlu, Kak. Aku bisa baca sendiri nanti,” Poppy beralasan.
“Aku tau kamu bakal repot urus Dante nanti.” Namun, Regan tidak mau kalah. “Jadi, lebih baik dibacain sekarang, kan.”
Poppy tidak tahu kalau Regan mempunyai sisi keras kepala seperti ini. Ia selalu memandang Regan sebagai sosok yang lebih dewasa daripada Dante. Regan adalah pria yang tenang, lembut, sopan, walaupun jarang berbicara. Melihatnya bertingkah seperti ini adalah hal yang baru untuk Poppy.
Wanita itu terpaku dengan perubahan sikap Regan sampai tidak menyadari senyum miring kembali terbit di bibir pria itu. Regan sudah mengangkat tabletnya dan kembali bersandar di kursi. Sambil bergerak pelan, suara beratnya mulai mengalun di udara.
“Jangan lakukan itu, Tuan!’ pria itu tetap tidak mendengarkanku. Tubuh kekarnya memenjarakanku di antara tembok. Suaranya yang berat, berbisik tepat di telingaku, “Kau itu milikku, selamanya milikku—“
Mata Poppy membulat! “AH! STOP!”
Ia mencoba untuk meraih tablet Regan, tapi tentu saja pria itu bergerak lebih cepat. Wajah Poppy sudah memanas dan memerah. Bola matanya yang bergetar itu melihat bibir Regan kembali terbuka—ingin melanjutkan bacaannya. Buru-buru wanita itu menutup telinga dan memalingkan wajah.
Namun, bukan lanjutan kalimat novel Poppy yang terdengar, melainkan kekehan renyah pria itu. “Kamu punya hobi yang unik, Poppy Sofia.”
Regan meletakkan tablet yang sudah dimatikan itu kembali ke meja. Tangannya bersidekap di depan dada. Sambil bersandar, satu kakinya bertumpu di kaki lain.
Poppy menggigit bibir bawahnya. “J-jangan bilang ke Kak Dante ya, Kak. Please....”
“Kenapa?”
“K-karena....”
“Karena takut ketauan kalau adeknya yang polos ternyata punya imajinasi liar?” potong Regan.
“Bukan gitu!” Tapi, gak salah juga, sih.... “Kalau Kak Dante tau aku dapat uang dari nulis itu, dia pasti akan salahin dirinya sendiri dan bakal kerja dua kali lebih gila supaya aku berhenti.”
Poppy tidak tahu apakah Regan akan memakan alasan itu atau tidak. Walaupun tidak sepenuhnya berbohong, Poppy juga mengkhawatirkan kakaknya itu. Di satu sisi, kalau ia terlalu jujur dan mengatakan kalau menulis cerita dewasa hanya sekadar hobi, sudah pasti Regan akan mencapnya sebagai wanita aneh.
Bagaimana tidak? Seorang wanita 27 tahun, guru pre-school yang berwibawa, tidak sedang menjalin hubungan, menulis cerita erotis yang tidak biasa. Oh, jangan bayangkan sebuah adegan manis saja. Tulisan Poppy bertema dark-romance yang kebanyakan dibumbui fantasi juga.
Poppy mengangkat kepalanya. Ia mencoba untuk merayu Regan dengan tatapan memelas. “Ya, Kak Regan. Please, jangan kasih tau Kak Dante.”
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia mengetukkan jari-jarinya di atas meja sambil menatap Poppy. Sontak saja itu membuatnya mengalihkan pandangan lagi sambil berdeham. Ditatap seorang Regantara Dashar sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya.
“Oke.”
Mata Poppy berbinar mendengar jawaban Regan. Senyumnya merekah. “Maka—“
“Tapi ada syaratnya.”
Dia senang terlalu cepat. Tentu saja Regantara Dashar bukan orang yang mudah seperti Dante. Walaupun senyumnya memudar, Poppy tetap berusaha tidak terlihat kesal.
“Apa?” tanyanya.
“Mulai sekarang....” Regan menarik kursinya agar lebih dekat dengan Poppy. Mereka masih terhalang sebuah meja, tetapi entah kenapa Poppy bisa merasakan harum aroma mint dari napas pria itu.
Mata wanita itu mengerjap dua kali. Tubuhnya terasa kaku, tidak bisa bergerak, walaupun ia tahu kalau Regan sengaja mendekatkan wajah ke arahnya.
“Sebelum kamu kasih draf itu ke editor, kamu harus ACC-an ke aku dulu.”
“K-kenapa?” cicit Poppy.
Regan tersenyum miring. “Sepertinya aku suka tulisan Maria Quinn. Aku mau jadi pembaca eksklusif.”
“K-Kakak bisa baca itu nanti kalau udah terbit.”
Regan menyelipkan rambut Poppy yang menutupi pipi bulatnya ke belakang telinga. “Aku mau jadi pembaca pertama semua tulisanmu, bahkan sebelum editor kamu. Paham?”
Poppy menatap pantulan dirinya dalam cermin. Gaun putih dengan model off shoulder dan ornamen renda yang simpel itu membungkus tubuh mungilnya dengan sempurna. Head piece berbentuk bunga cherry blossom berwarna putih sangat kontras dengan wajahnya yang dirias. Dalam genggamannya, terdapat sebuket mawar dengan perpaduan warna peach dan putih.Dia tidak menyangka, hanya dalam waktu dua bulan, keluarga Dashar bisa menyiapkan pernikahan sebesar ini untuk dirinya dan Regan. Kemampuan Mami dan Papi memang luar biasa.Mereka tidak takut mengeluarkan dana berlebih untuk pernikahan ini—ya walaupun pada akhirnya, Regan yang menanggung semua itu karena gengsinya terlalu besar. Justru, kendala terbesar pernikahan ini ada pada Dante.“Kenapa sih harus buru-buru?! Poppy kan gak hamil duluan!”Begitulah komentar Dante ketika tanggal pernikahan ditentukan. Poppy
Mata Poppy mengerjap. “Apa… setelah aku minta ajarin itu?”Regan tidak langsung menjawab. Namun, bukan karena ia terlihat ingin menghindar, justru tercetak senyum mencurigakan di wajahnya. Otak Poppy dipaksa bekerja dua kali lipat—lagi. Ia harus mempersiapkan diri untuk jawaban atau apa pun tingkah yang akan dilakukan pria ini.“Hm… aku mau jawab asal ada syaratnya,” jawab Regan.Tuh, kan, bener! Poppy berdecak dalam hati. Ia pun mendengus, tapi menyahut juga, “Apa?”“Aku mau berhenti dipanggil ‘Kakak’.”Alis Poppy berkerut. “Kok?”“Panggilan itu gak ada bedanya sama Dante. That’s annoying.”Poppy bisa merasakan “annoying” yang dimaksud Regan bukan hanya karena panggilan itu, tetapi karena sosok kakak kandungnya. Hubungan Regan dan Dante
“Kak Regan gak takut menikah?” Poppy mengulang pertanyaannya.Regan bisa merasakan kekhawatiran yang begitu besar dari pertanyaan Poppy. Maka dari itu, ia pun mengeratkkan pelukannya pada pinggang wanita itu. Regan menghirup dalam aroma rambut Poppy untuk semakin menenangkannya.“Nope,” jawab Regan. “Kalau sama kamu, aku gak takut.”Poppy tidak menjawab setelahnya. Padahal, Regan sudah menduga kalau setidaknya Poppy akan mendengus atau mencubit tangannya dengan wajah memerah. Wanita itu selalu melakukannya ketika sedang tersipu. Apa kali ini jawaban Regan mengecewakannya?Regan mengangkat sedikit kepalanya, berusaha melihat wajah Poppy. “Kenapa? Kamu takut?”Poppy bergumam pelan, “Sedikit.”Regan menghela napas, sedikit lega karena ternyata Poppy tidak sedang berpikir macam-macam. Ia kembali menyandarkan kepalanya di lekuk lehe
Tidak ada yang lebih mencurigakan dari Regan yang tiba-tiba menjadi penurut begitu. Berkali-kali Poppy memutar kepalanya ke arah Regan yang masih berdiri di depan pintu ketika mengambil sepasang piyama, pakaian dalam, dan krim malam. Pria itu memang hanya bersandar di sana dengan kedua tangan tersilang di depan dada, tapi tetap saja senyumannya membuat Poppy curiga. Ia pun sampai buru-buru masuk ke kamar tamu dan menguncinya dari dalam.“Padahal, semua udah pada tahu. Tapi, kenapa malah lebih deg-degan sekarang, ya?” gumam Poppy yang masih bersandar di pintu kamar tamu.Benar, Poppy memang tidak perlu takut lagi mereka ketahuan—toh, memang sudah ketahuan. Hanya saja, ia lebih takut karena sikap Regan semakin tak terprediksi. Pria itu memang jauh lebih manis sekarang dan semakin terang-terangan menunjukan afeksinya. Namun di satu sisi, Poppy semakin mewanti-wanti akan gebrakan di luar nalar Regan.Gak apa-a
Memang benar adanya pepatah darah lebih kental dari air zamzam sekalipun. Sudah berkali-kali Mami dan Papi berpihak pada Poppy dan menganaktirikan Regan sendiri, nyatanya tetap Regan yang menang.Poppy kira, Mami akan lebih setuju kepada Dante dan membuatnya menjaga jarak sedikit dengan Regan—Poppy tidak terlalu keberatan. Namun kebalikannya, Mami justru yang paling setuju saat Regan mengajukan ingin membiarkan Poppy “menginap” selama Dante di Singapura.Poppy pun hanya menghela napas pasrah ketika mobil Regan melewati gerbang kompleks perumahannya begitu saja. Hilang sudah rencana maraton nonton drama Korea sambil mencari inspirasi menulis. Sepanjang perjalanan, Poppy hanya terus membuang pandangan ke jendela dan memasang wajah masam.Regan sepertinya tahu kalau dirinya bersalah, tetapi enggan sekali meminta maaf. Pria itu malah terus mengeluarkan senyum kemenangan. Poppy bahkan juga mendengar dendangan kecil
Papi tidak langsung melanjutkan. Ia menatap Poppy cukup lama dalam diam, sampai akhirnya bertanya, “Kamu beneran mau sama Regan? Gak nyesal?”“Pi, please….” Regan langsung melayangkan protes.“Sst!” Papi menghentikan Regan. “Pendapat kamu gak dibutuhkan di sini!”Ketegangan Poppy meluruh seluruhnya. Benar, tidak ada gunanya terus merasa takut seperti itu. Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya, Poppy menarik sebuah senyuman. Senyuman penuh kelegaan dan rasa syukur karena selalu dikelilingi orang-orang baik ini.“Iya, Pi, Mi.” Poppy menatap Papi dan Mami bergantian, lalu menggenggam tangan Mami yang masih duduk di sebelahnya. “Poppy sayang—maksudnya cinta sama Kak Regan.”Ini bukan pernyataan cinta yang pertama kali Regan terima, tetapi ini pernyataan cinta paling mendebarkan selama hidupnya. Po