Share

Parikesit

Penulis: Ammi Poe YP
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-21 12:56:56

Raka memejamkan mata, memproses semua kengerian itu. Ayahnya tahu Wira, tahu potensi gelapnya, tahu bahwa Banyu hanya wayang kecil yang dimainkan oleh tangan besar DWIPA. Raka merasa muak pada diri sendiri—ia begitu sombong mengira dirinya memburu satu dalang, padahal ia sedang diatur oleh sebuah sindikat. Pengkhianatan Wira adalah bukti mutlak: Lakon ini diatur oleh sistem yang sangat cerdas.

“Aku harus tahu apa lakon yang Wira mainkan selanjutnya,” gumam Raka, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia pasti menyembunyikan peta.”

Raka bergerak di lorong arsip yang berantakan, mencari petunjuk yang ditinggalkan Wira, yang tidak mungkin seceroboh Banyu. Dia mencari apa pun yang tidak seharusnya ada di gudang polisi.

Akhirnya, Raka menemukan selembar kertas yang terlipat rapi, terselip di bawah Wayang Drajat yang ditinggalkan Wira. Itu bukan peta geografis, melainkan sepotong suluk, ditulis dengan kaligrafi yang indah.

Raka membaca bait terakhir dengan suara pelan:

“...Dan di akhir perang, San
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Sandiwara

    Raka Permadi merasakan kata itu menghantamnya bukan sebagai suara, melainkan sebagai getaran. Itu adalah gema yang muncul dari setiap sendi tubuhnya, menanggapi racun perlahan dari wayang ayahnya. Kegelapan menutup pandangannya, meninggalkan hanya sisa bayangan Wayang Ki Anom yang meleleh di tanah dingin Imogiri, sebuah lambang tragis dari cinta yang beracun.Ia tidak sadar berapa lama ia tergeletak. Hanya sensasi kejatuhan, rasa panas yang membakar pembuluh darah, dan rasa dingin dari batu-batu nisan yang mencium pipinya. Samar-samar, Raka mendengar teriakan. Bukan lagi suara anak-anak yang direkam, bukan pula ejekan Wira. Ini adalah teriakan nyata.“Raka! RAKA! Bangun, sialan!”Suara Kirana Prameswari. Kuat, mendesak, dan kini penuh histeria yang belum pernah Raka dengar sebelumnya. Kirana sudah bebas.Raka membuka matanya yang berat. Penglihatannya kabur. Kirana ada di depannya, tangannya gemetar hebat. Ia berhasil melepaskan diri dari ikatan di ruang perenungan, mungkin menggunaka

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Makna Sejati

    Coretan itu adalah Wayang Bima, terikat rantai, diposisikan seperti terkurung di sebuah sel. Di sebelahnya, tulisan tangan Kapten Wira: “Bima terkunci, menunggu Arjuna memutus rantai logika.”Raka melanjutkan perjalanan di lorong sempit itu. Coretan di dinding berganti. Kini ia melihat sebuah gambar Kirana, dihiasi detail seragam polisi, duduk di depan wayang-wayang Kurawa yang gugur. Itu adalah pemandangan yang sama persis dengan yang Raka bayangkan selama ini: Kirana dihadapkan pada hasil logis dari kejahatan yang sempurna.Kau sudah hampir di sini, Raka. Jangan sia-siakan kesempatanmu untuk menjadi pahlawan.Raka mendengar suara samar di ujung lorong—rintihan tertahan. Itu Kirana.Ia mempercepat langkahnya, tetapi lorong itu tiba-tiba terbuka ke sebuah ruang perenungan yang kecil, terbuka ke langit malam, dikelilingi tembok batu tinggi. Di tengah ruangan itu, ada batu nisan tunggal, bukan nisan raja, melainkan nisan tanpa nama, diselimuti dupa yang masih mengepulkan asap tebal.Dan

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Coretan

    Raka Permadi berdiri di kegelapan Imogiri, seolah dipaku oleh bisikan Bayangan Utama. Di tangan kirinya Wayang Arjuna—dirinya. Di tangan kanannya Wayang Ki Anom Suroso—ayahnya, sang dalang yang bunuh diri. Dan di kakinya, Wayang Bima yang robek, Wayang Kirana yang siap ditumbalkan.Ia menatap ponsel di tangannya. Pesan Kirana: "Raka, ada sesuatu yang kutemukan di mobilku. Di..." Terputus. Ini bukan sinyal hilang, ini adalah Kirana yang terputus secara brutal. Entah teleponnya dihancurkan atau dia diserang.Pilihan itu terasa sangat nyata, panas, dan dingin sekaligus. Wira tidak hanya memaksanya memilih antara menyelamatkan kekasih dan memenangkan lakon; Wira memaksanya memilih antara menjadi manusia atau menjadi dalang.Jadilah Parikesit sejati. Raja yang naik takhta dari tumpukan jenazah orang yang paling kau sayangi.Raka memejamkan mata, memproses ledakan suara yang ia dengar sebelumnya. Itu ledakan kecil, mungkin hanya peledak suara untuk menakuti, atau alarm. Tetapi Wira adalah m

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Rekaman

    Dan di denah itu, terdapat titik merah di sebuah sudut kecil, disertai tulisan: “DWIPA’S VOICE: FINAL SULUK.”Raka segera bergerak menuju sudut yang ditunjuk denah. Ia mendapati ada lubang kecil tersembunyi di dinding kayu, yang ditutup tirai usang.Dia menyibak tirai itu, dan melihat di baliknya, sebuah kotak perekam digital kecil yang berkedip pelan. Kotak itu dihubungkan ke pengeras suara kecil, dan di sampingnya, ada mikrofon dengan tanda logo DWIPA. Wira sudah pergi, tetapi meninggalkan jejak suaranya—suara DWIPA—untuk didengar oleh siapa pun yang berani masuk ke panggung sunyi itu.Raka menyentuh tombol Play pada perekam digital itu. Dia tahu, dia sedang melangkah ke jebakan audio yang dipersiapkan dengan cermat.Suara itu muncul, tenang dan berwibawa, persis suara Kapten Wira.“Selamat datang di Panggung Sunyi, Raka Permadi. Aku tahu kau akan datang. Dan kini kau melihat apa yang harus kulihat selama bertahun-tahun: semua korban itu hanyalah boneka yang harus gugur. Kau juga bo

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Parikesit

    Raka memejamkan mata, memproses semua kengerian itu. Ayahnya tahu Wira, tahu potensi gelapnya, tahu bahwa Banyu hanya wayang kecil yang dimainkan oleh tangan besar DWIPA. Raka merasa muak pada diri sendiri—ia begitu sombong mengira dirinya memburu satu dalang, padahal ia sedang diatur oleh sebuah sindikat. Pengkhianatan Wira adalah bukti mutlak: Lakon ini diatur oleh sistem yang sangat cerdas.“Aku harus tahu apa lakon yang Wira mainkan selanjutnya,” gumam Raka, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia pasti menyembunyikan peta.”Raka bergerak di lorong arsip yang berantakan, mencari petunjuk yang ditinggalkan Wira, yang tidak mungkin seceroboh Banyu. Dia mencari apa pun yang tidak seharusnya ada di gudang polisi.Akhirnya, Raka menemukan selembar kertas yang terlipat rapi, terselip di bawah Wayang Drajat yang ditinggalkan Wira. Itu bukan peta geografis, melainkan sepotong suluk, ditulis dengan kaligrafi yang indah.Raka membaca bait terakhir dengan suara pelan:“...Dan di akhir perang, San

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Bayangan

    Raka melihat ke sudut ruangan yang paling gelap. Di sana, di antara tumpukan arsip usang, ada cahaya redup yang memancar. Cahaya itu datang dari lilin tunggal yang diletakkan di lantai. Dan di balik cahaya itu, terlihat Kelir—selembar kain putih usang, direntangkan di antara rak-rak arsip.Di balik kelir itu, bayangan bergerak.Sosok itu memegang sebuah Wayang yang tampak familier. Wayang Bima. Sosok itu menggerakkan Wayang Bima yang kini tampak utuh kembali, menari dengan gagah di depan kelir, seolah ejekan bagi Raka yang memegang boneka robek.“Selamat datang, Kompol Prameswari. Bima. Saya sudah menunggu kedatanganmu di panggungku,” sapa sebuah suara, sangat tenang, berwibawa, dan sangat berbeda dari suara Banyu.Kirana mengarahkan kerisnya. “Tunjukkan dirimu! Kau yang menusuk Drajat! Kau yang mengancam Raka!”Sosok di balik kelir itu tertawa pelan. Ia menancapkan Wayang Bima di tengah kelir, lalu mengangkat sebuah wayang baru—wayang yang mengenakan seragam polisi. Kirana gemetar sa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status