Sampai malam pun dapur tetap tak di sentuh oleh mereka. Mau tak mau aku yang membersihkan semuanya. Mereka semua benalu tak tahu malu. Sudah numpang, masih merepotkan pemilik rumah. Kalau bukan keluarga Mas Dani sudah kuusir mereka dari dulu.
Belum selesai aku membersihkan aku mendengar ponselku bergetar.
Drrt ... Drrt ... Drrt ....
Gawaiku bergetar lagi. Aku masih mengabaikannya. Meneruskan menyapu dan mengepel lantai. Hanya melihat sekejap untuk mengetahui diapa yang menghubungi. Panggilan dari Mas Dani. Tak lama kemudian di menghubungi kembali. Karena risih dia menelepon terus, kuangkat saja lah, daripada nanti dia ngomel.
“Assalamualaikum. Halo, Mas.”
[Waalaikum salam. Dek, kok Mbak Nia chat Mas, katanya kamu marahi dia ya? Tumben. Memangnya Apa sih yang sebenarnya terjadi?]
Sudah kuduga Mbak Nia akan mengadu kepada Mas Dani. Selama ini memang seperti itu. Tak hanya Mbak Nia, tetapi Ibu pun sama. Kalau ada yang tidak pas dengan keinginan mereka, pasti akan laporan ke Mas Dani. Dan entah versi seperti apa yang diceritakan Mbak Nia. Aku pun menceritakan kejadian sebenarnya.
[Owalah, Cuma gitu to, masalahnya. Kalau laper dan makanannya habis ya beli aja lah, Dek! masih ada uang kan? Dapur kalau berantakan dan malas beresin ya besok aja. Simple kan?]
Inilah yang tidak kusuka dari Mas Dani, selalu menggampangkan masalah, apalagi masalah hati istrinya. Dia tak pernah mengerti bagaimana rasanya sudah capek masak, tetapi saat mau makan sudah habis. Bukannya tak ikhlas menampung mereka, tapi memang aku keberatan. Dasar Mas Dani nggak peka! Untung sayang.
“Ya Udahlah, Mas. Ntar aku beli aja. Mas di sana jaga kesehatan. Awas kalau macam-macam! Ntar aku sunati lagi! Assalamualaikum.”
[Ya, Ampun. Galak bener. Ya udah. Waalaikum salam]
Aku menutup panggilan lalu menuju lemari di kamar untuk mengambil dompet. Tentu saja setelah selesai membersihkan dapur.
Saat mencari dompetku, tak sengaja pintu lemari terbuka. Aku pun membukanya, terlihat tumpukan baju Mas Dani berantakan. Mungkin kemarin Mas Dani terburu-bur mengambil bajunya, padahal sudah kusiapkan beberapa baju untuknya.
Kuurungkan sejenak mengambil dompet dan mengeluarkan semua bajunya untuk kurapikan kembali. Beberapa baju dan celana kulipat kembali agar enak dipandang.
Saat hendak menaruh tumpukan baju kembali ke lemari, Tanpa sengaja mataku melihat buku rekening milik suamiku. Buku itu mepet di rak sebepqh samping. Sekilas tak akan terlihat dari depan walau mengingkirkan tumoukan bajunya.
Kubolak-balik rekening atas nama Mas Dani itu. Buku berwarna biru Ini bukan buku rekening yang biasa dia tunjukkan kepadaku. Anehnya lagi Aku melihat setiap tanggal 5 dia mendapatkan transferan sebesar dua puluh lima juta setiap bulannya.
Melihat nama yang tertera jelas ini milik suamiku. Dan tanggal pertama transfer pun jauh sebelum tanggal pernikahanku. Aku mulai berpikir, jangan-jangan ini rekening asli saat Mas Dani gajian? Dan Rekening lima juta per bulan yang dia perlihatkan kepadaku adalah rekening barunya?
Aku mengernyit heran. Untuk apa dia melakukan hal ini? Tidak jujur oadaku sebagai istrinya. Kemana sisa gaji Mas Dani selama ini?
Kuambil mengambil rekening barunya dan melihat tanggal terkirimnya, dan ternyata sama dengan bulan saat pernikahanku. Jadi Selama ini aku telah ditipu oleh suamiku sendiri. Kupikir selama ini gaji manager Cuma lima juta sebulan, ternyata sebulan mencapai tiga puluh juta. Wow, aku sungguh takjub ternyata selama ini aku tak tahu apa-apa tentang suamiku sendiri.
Meskipun sakit hati karena aku berhasil ditipu mentah-mentah, aku tak langsung menghubunginya. Aku pun duduk di tepi ranjang. Banyak perkiraan kemana larinya uang dua puluh lima juta sebulan? Aku mencari-cari lagi di lemari suamsuamiku
Jangan-jangan ada hal lain yang masih disembunyikan suamiku. Kubuka lagi tumpukan baju di lemari. Laci-laci juga tak luput dari perhatianku. Dan ternyata feelingku benar. Aku pun menemukan segulung struk dari ATM.
Ada tiga nama di sana. Kurnia Wati, Imron Asahi, dan Intan permata. Ketiga nama itu adalah Mbak Nia, Imron dan Ibu mertua. Jadi selama dua tahun mereka tinggal di sini tetap mendapatkan jatah bulanan dari Mas Dani?
Aku benar-benar merasa dibohongi. Selama ini aku pusing memikirkan biaya makan mereka semua, tapi ini yang kudapat? Aku dicurangi oleh suami dan keluarganya. Aku yang bodoh atau mereka yang terlampau licik?
Sedangkan selama ini aku dengan uang belanja 5 juta harus menghidupi seluruh keluarga Mas Dani. Bahkan kadang aku mengambil uang modal katering untuk tambahan. Keluarga Mas Dani tidak bisa diajak berhemat, tidak cukup dengan lauk tahu atau tempe.
Selalu meminta daging atau seafood. Belum lagi usaha kateringku keteteran karena aku jarang datang ke sana. Ini sungguh tidak adil!
Entah berapa kali mereka sering meminta uang untuk keperluan yang tidak penting. Sering untuk beli makanan online ataupun membeli baju dan tas.
Bayangkan Enam orang dewasa tetapi hanya satu yang bekerja. Aku juga heran kenapa selama dua tahun ini Mas Arga tidak bekerja, pergi keluar hanya untuk memancing. Apa Mbak Nia tidak pernah menyuruhnya untuk bekerja?
Apa dia puas hanya duduk manis dan mendapat makan dari suamiku? Sehari-hari hanya mancing dan keluyuran tak tahu ke mana.
Aku meremas-remas kertas itu dan membuangnya ke sampah, tapi kuambil lagi karena aku membutuhkannya untuk bukti. Walau sangat penasaran dan butuh penjelasan dari Mas Dan, tapi kuurungkan niatku untuk bertanya. Karena dia pun pasti tak akan berkata jujur. Besok biar kuselidiki sendiri.
Rasa lapar tiba-tiba hilang begitu saja. Akhirnya aku tidak jadi pesan makanan, setelah membereskan baju Mas Dani yang berantakan, aku segera keluar untuk mencari udara segar biar emosiku sedikit mereda.
Saat kukeluarkan motor kulihat Imron sedang di pojokkan halaman rumahku. Dia seperti sedang melakukan sesuatu, tapi aku tak tahu apa itu. Selain karena gelap, posisi dia yang membelakangiku membuatku tak leluasa mengintainya. Aku yang curiga dan penasaran lalu mendatanginya.
“Kamu ngapain di situ?” aku bertanya sambil memicingkan mata mencoba melihat dalam gelap. Karena memang di pojokkan halaman termasuk sudut mati, tidak tersorot lampu dari mana pun karena terhalang pagar rumah.
“Nggak ngapa-ngapain kok, Mbak.” Dia tampak gelagapan dan menyembunyikan sesuatu di sakunya. Aku tak bisa melihatnya karena gelap.
“Apa yang kamu sembunyikan di balik bajumu itu?” aku mulai bersedekap. Takut dia melakukan hal-hal yang membahayakan.
“B—Bukan apa-apa. Mbak mau kemana malam-malam gini?” tanya Imron. Aku pun tahu dia sengaja mengalihkan perhatianku. Agar aku tidak bertanya lebih banyak.
“Mau cari makan, Mbak pengin nasi goreng, tadi semuanya kalian habiskan padahal aku belum makan,” jawabku menyindir. Tapi rupanya yang kusindir sama sekali tak merasa. Atau memang dia bebal?
“Wah kebetulan, Mbak. Aku juga mau keluar, udah sini mana uangnya aku beliin aja.” Pintanya semringah.
Perilakunya membuatku terkejut. Aku heran, tumben sekali dia mau melakukan sesuatu buat aku, biasanya juga dia yang nitip padaku. Lagi-lagi aku menyingkirkan pikiran burukku. Siapa tahu dia memang mau menolong karena ini memang sudah malam.
Kubuka tas selempang kecil yang melingkar di pundakku dan mengeluarkan selembar uang untuk Imron.
“Nih, uangnya.” Aku memberikan uang lima puluh ribu rupiah.
Dia hanya menatap uang itu tanpa menerimanya. “Kok cuma segini? Kuranglah, Mbak! Tambahin lagi! Nanti Ibu sama yang lain gimana?” pintanya padaku. Aku mendengus kesal. Soal makan aja mereka ingat kalau kerjaan berlagak bego!
Aku memberikan selembar lagi uang merah kepadanya. Dia pun mencium uang itu lalu pergi dengan motorku.
“Makasih, Kakak Ipar.”
Bolak balik aku melihat jam. Sudah lebih dari dua jam dan Imron belum datang. Aku menunggu di kamar dengan tidak sabar, terlihat jam dinding sudah pukul sepuluh malam, perutku sudah tak bisa diajak kompromi. Cacing dalam perutku berontak minta diisi.
Tak bisa menunggu lebih lama lagi, aku langsung ke dapur untuk mencari mie instan. Mengambil sebungkus mie dan sebutir telur. Sayuran dan sosis tak lupa kumasukkan.
Mie pun akhirnya matang. Aku memakannya dengan lahap. Belum habis mie-ku aku mendengar suara motor masuk. Pasti itu Imron, mungkin tadi nasi gorengnya Antri banyak jadi agak lama. Perutku kayaknya masih muat kalau ditambah nasi goreng. Aku pun lantas mengiris timun dan mengambil kerupuk untuk teman makan nasi goreng.
“Lho? Belum tidur, Mbak?” Imron menyapa basa basi saat melihatku.
Aku melihatnya masuk rumah dengan tangan kosong. “Mana nasi gorengnya?”
Imron meringis, menunjukkan deretan giginya yang tidak begitu putih.
“Maaf, Mbak. Tadi habis beli nasi goreng ketemu teman-teman lamaku, kita ngobrol bareng. Karena nggak ada camilan, aku buka bungkusan itu, habis deh nasi gorengnya.” Tampangnya tak merasa bersalah.
Tak bisa lagi aku berkata-kata. Pupus sudah harapanku makan nasi goreng dengan irisan timun. Aku pun langsung masuk ke kamar tanpa berucap sepatah kata pun.
Imron pun hanya diam. Entah merasa bersalah atau tak mau tahu. Kupukul bantal sebagai pelampiasan. Mau marah tapi sayang tenagaku, untung sudah makan mie instan!
Ingin rasanya aku berteriak. Tak kuat lagi aku tinggal bersama keluarga Mas Dani. Besok kalau Mas Dani pulang, akan kuajukan keberatanku menampung keluarganya lagi. Biar Mas Dani mencarikan rumah kontrakan untuk mereka.
Ponselku tergeletak di atas nakas. Aku pun mengambilnya dan mengirim pesan kepada Mas Dani. Berharap bisa sedikit mengobati rasa kesalku dengan sedikit bercanda dengannya.
Semenit, dua menit, hingga setengah jam aku menunggu balasan dari Mas Dani Namun tak kunjung tiba. Daripada aku tambah dongkol karena menunggu lebih baik aku menarik selimut dan tidur!
“Kamu sedih?” Tanya Alex, suami Rara.Alex bertanya karena ia melihat istrinya terdiam begitu tiba di rumah setelah pulang dari tempat mantan suaminyaRara menggeleng, karena memang bukan itu yang dirasakan olehnya.“Bukan sedih sih, Mas. Tapi lebih ke kasihan aja dengan Bu Intan. Mas Dani dulu jadi satu-satunya tulang punggung keluarga, sekarang tak ada lagi. Entah bagaimana nasib Ibu kini.”Alex menghela napas.“Semua itu ada sebab ada akibat, Sayang. Apa yang dia tanam, itulah yang akan dia tuai. Dani dan keluarganya hanya menuai apa yang selama ini mereka tanam. Kamu tak perlu kasihan terhadap mereka. Kenapa? Karena mereka semua sehat dan sudah dewasa, mereka bisa menghidupi diri mereka sendiri dengan bekerja. Kecuali kalau setelah menikah Dani memiliki anak yang yang masih kecil-kecil, maka kita perlu membantu karena mereka menjadi anak yatim.” Jelas Alex panjang.“Emang sih, tapi tetep aja kasihan lihatnya. Tapi mungkin memang itu takdir yang harus mereka jalani. Semua pasti sud
“Bagaimana kondisi Lala?” Alex datang dengan wajah cemasnya.“Tulang di kakinya retak, lalu ada luka di kepala dan tangannya. Kata dokter tidak berbahaya, hanyalecet saja.”“Lalu kenapa sekarang belum sadar?” tanya Alex. Aku menggeleng, aku pun tak tahu kenapa sampaisekarang dia belum membuka matanya.Tumpah lagi tangisku melihat kondisi Lala. Aku mengambil ponselku dan mengabari kedua Kakek dan Nenek Lala. Sama denganku, mereka pun terkejut. Tak pernah kusangka ternyata sesakit ini rasanya melihat anak sakit.Alex memelukku. “Kita doakan saja semoga Lala cepat sadar.” Ucapan Alex kuamini dalam hati. “Mas, kamu pulanglah, ambil beberapa keperluan untuk menginap. Aku akan menunggu di sini.Mungkin sebentar lagi Papa dan Mama juga akan datang.”Alex mengangguk. Sebelum pergi dia mengecup puncak kepala Lala pelan.“Cepat sadar putri kecil Papa.”Kepergian Alex membuat ruangan ini sunyi. Hanya terdengar suara jarum detik jam yang terus bergerak. Waktu seakan berjalan lambat. Dalam hati
Pagi hari, kami bersiap mengantar anak-anak remaja itu berangkat naik gunung. Awalnya mereka ingin berangkat sendiri tapi suamiku tak mengizinkan, jadilah kami yang mengantarnya.“Disana harus jaga sikap, jangan buang Sampah sembarangan dan jangan lupa berdoa agar selamat sampai rumah.” Wejangan dari seorang Ayah yang menyayangi putrinya.Anak-anak remaja itu mengangguk.“Kalian yang laki-laki harus bisa bertanggung jawab kepada teman kalian yang perempuan.” Alexbicara dengan salah seorang teman Lala dengan menepuk kedua pundaknya.“Siap, Om!” jawab mereka kompak.Perjalanan sekitar tiga jam. Kami meninggalkan mereka, begitu sampai di basecamp.“Mereka sudah pergi. Jadi sepi ya, Sayang!” ucap Suamiku memasang wajah sedih.“Baru ditinggal bentar aja udah melow-melow apalagi kalau besok Lala menikah ya?!”“Kalau sampai ada laki-laki yang berani menyakiti putri kita, maka akan kupastikan kalau hidupnyaakan menderita.” Ucapan Alex membuatku bergidik ngeri.“Sudah doakan saja yang baik-b
“Happy Anniversary juga, Sayang.” “Lala juga mau peluk!” teriak putriku.Kami bertiga berpelukan bersama. Setelah itu, banyak uang mengucapkan selamat kepada kami. Tanpa aku sadari, ada beberapa wartawan yang diundang di pesta ini. Tentu saja, karena Papa adalah pebisnis terkenal, sedangkan suamiku juga pebisnis dan juga ganteng.Pesta berlangsung sangat meriah, banyak teman-teman memberikan kado untuk kami berdua. Bahkan tetangga sekitar kami di desa pun turut diundang. Entah kapan Alex mempersiapkan hal ini, aku sama sekali tidak mengetahuinya.Hingga sekitar pukul sepuluh malam, satu per satu tamu mulai meninggalkan tempat ini. Kini tinggallah keluarga inti saja.“Sayang, memang kapan kamu membeli kalung itu? Kenapa aku sama sekali tidak tahu?” tanyakusaat kami semua tinggal duduk santai.“Rahasia dong! Harusnya tadi kubawa serta, kelupaan. Awalnya aku minta tolong Mama untuk mengambilnya diam-diam dari kamar kita, tapi Untunglah kamu menemukan sendiri kalung itu jadi aku dan Mama
“Perfect! Kita ambil yang ini saja!” Mama berteriak untuk memanggil pelayan agar membungkussemua belanjaan Mama dan menuju kasir.“Mama cantik banget! Papa pasti klepek-klepek kalau melihat Mama pakai baju ini.”Mendengar Papanya disebut, seketika aku teringat dengan kalung itu. Siapa wanita itu? Wanita lain yang dicintai suamiku? Tanpa terasa air mataku turun, tapi langsung kuhapus karena tak ingin dilihat oleh anakku.“Mama kok nangis? Terharu ya?” goda Lala. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Yuk pulang, Nenek sudah selesai bayarnya.” Mama mengajakku dan Lala keluar dari butik ini. “Kita pulang sekarang, Nek?” tanya Lala.“Nanti! Kita ke salon dulu! Masa bajunya udah cantik tapi orangnya belum.” “Iya deh, Nek. Tapi salat dan makan dulu ya, sudah magrib ini.” Pinta Lala. “Tentu saja, Sayang!” jawab Mama lalu mengacak rambut Lala.Setelah makan dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, kami segera menuju salon langganan yang juga terletak di mal ini.Ternyata tidak hanya Mama,
Kukeluarkan pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai. Semuanya aku kumpulkan menjadi satu.Selesai dengan lemariku, berikutnya adalah lemari milik suamiku. Kubereskan juga baju-bajunya yang sudah jarang dipakai. Saat mengambil tumpukan yang paling bawah, aku melihat suatu benda terjatuh.Kupungut benda berwarna merah itu. Sebuah kotak berisi kalung emas yang sangat cantik. Tangankugemetar melihat tulisan yang tertera di kotak kalung itu. ‘Untukmu yang paling kusayangi’Badanku terasa lemas. Rasanya tulang lepas dari tubuhku begitu saja. Aku tak menyangka kalau Alex pun sama seperti Mas Dani.Aku menangis sesenggukan. Seorang diri di rumah ini menahan sesak di dada. Hari ini bukan ulang tahunku, bukan pula ulang tahun Lala. Kalau bukan kami berdua, lantas siapa?Kumasukkan kembali baju milik suamiku. Aku tak jadi merapikan isi lemarinya. Penemuan Kalung ini membuatku shock. Seakan tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya menangis dan menangis.Hingga kudengar ucapan salam dari pintu de
Semakin hari usia Lala semakin bertambah. Dia bukan lagi gadis kecilku, melainkan gadis remaja yang semakin cantik. Tak ayal banyak pemuda yang mulai main ke rumah, hanya sekedar untuk bertemu dengan anakku.“Ma, kok banyak yang main ke sini sih? Lala risih karena gak gitu kenal sama mereka.”Aku tersenyum menanggapi putriku sayang. Kuputar otak agar bisa memberikan pemahaman kepada dirinya yang mulai dewasa.“Itu tandanya anak Mama menarik perhatian orang lain. Tapi ingat ya, Nak! Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan mahram,” jelasku.“Bukan mahram itu apa, Ma?” tanya Lala kritis. Dia memang pintar, selalu menanyakan hal-hal yang dia tak tahu. Dan aku sebagai orang tuanya harus bisa memberikan penjelasan yang masuk akal juga.“Tergantung konteksnya, Sayang. Bukan mahram adalah orang yang haram untuk disentuh, atau tidak boleh bersentuhan. Bisa jadi bukan mahram adalah apabila bersentuhan bisa membatalkan wudhu, bisa juga bukan mahram artinya haram untuk dinikahi
“Dan, Ibu sudah lelah! Harus mengurusmu yang sedang sakit dengan penuh kekurangan. Bahkan untuk makan sehari-hari aja kita kesulitan. Sedangkan lihat Rara dan suami barunya?” Ibu menunjuk aku dan Alex.“Hidupnya penuh dengan kebahagiaan. Bahkan sekarang dia memiliki anak yang lucu. Kamar pun mendapat fasilitas yang kelas satu. Bukankah ini tidak adil untuk kita, Dan?” Ibu kembali menangis.“Kita untuk makan aja susah, rumah sempit, tak punya uang, saudaramu masih di penjara. Dan yang lebih penting, Ibu sudah tak bisa lagi belanja-belanja seperti dulu. Ibu sudah bosan, Dan! Ibu sudahlelah!”“Nia juga sampai sekarang seperti orang gila! Kerjanya hanya diam dirumah. Kadang tertawa dan kadang menangis. Ibu benar-benar tidak kuat lagi, Dan!” Ibu kembali menangis.Aku tak tahu sama sekali kalau Ibu mertuaku mengalami hal ini. Lalu kemana Anggita? Kenapa Ibu tidak membicarakan soal menantu tersayangnya itu?“Sudahlah, Bu. Harus kita syukuri, kita masih hidup. Maafkan aku Cuma bisa jadi beba
Dua tahun kemudian ...Perutku semakin membesar karena HPL tinggal dua Minggu lagi. Saat hamil besar begini, gerakanku menjadi terbatas bahkan untuk memakai sepatu pun aku kesulitan. Tapi aku menikmati kehamilan ini.“Mas, perutku sakit sekali, sepertinya aku akan melahirkan,” erangku sambil memegang perut yangsudah membesar.Setelah menikah, memang aku memanggil Alex dengan sebutan Mas, untuk lebih menghormatinya sebagai suamiku meskipun awalnya kelihatan aneh aku memanggilnya Mas Alex.“Bukan kontraksi palsu lagi ya? Sudah benar-benar tidak kuat lagi?” tanya Alex panik dan mulaimencari tas baby kami tapi dia belum menemukannya.“Tenanglah, Mas. Tidak usah panik. Ambil tasnya di dekat lemari itu, lalu bantu aku berganti baju,kita ke rumah sakit sekarang,” ujarku perlahan sambil menahan sakitnya kontraksi.Untunglah meskipun di desa, tapi fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh, hanya satu jam perjalanan sudah sampai di rumah sakit. Penanganannya juga bagus, tak kalah seperti rumah