“Kenapa, Nia?” tanya Bu Intan sambil duduk di samping Nia. Ibunya mengelus kepala Nia dan menyenderkannya di bahunya. Anggita dan Dani berdiri di depan Nia.“Ada orang yang mengirim pesan gambar padaku, Bu. Bang Ken ditangkap polisi.” Setelah mengatakan itu Nia kembali menangis.“Ditangkap polisi? Kok bisa? Memangnya apa yang dia lakukan?” tanya Dani tak sabar.“Jangan langsung percaya, bisa jadi itu penipuan, Mbak. Seperti mama minta pulsa, lagi di kantor polisi gitu.” Anggita menanggapi juga.Nia tak menjawab, hanya menyerahkan ponselnya kepada Dani. Anggita dan Ibunya ikut mendekat untuk melihat gambar apa itu. Di ponsel itu terlihat Ken dan seorang perempuan berpakaian mini yang menutupi wajahnya menggunakan tangan. Mereka duduk di ruangan seperti kantor polisi, terlihat dari warna coklat di cat dindingnya.“Memangnya apa masalahnya, Mbak? Lalu siapa perempuan ini? Mbak kenal?” Berondong Dani.Melihat kakaknya tak menjawab, Dani segera memanggil nomor tersebut. Namun tidak aktif.
Anggita sangat kesal melihat semua perhatian tertuju pada Rara. Apalagi suaminya juga tampak mendekati lagi wanita yang akan menjadi mantan istrinya itu. Bahkan sekarang secara terang-terangan Dani mengajak Rara bicara saat ia turun panggung.‘Aku harus melakukan sesuatu untuk mempermalukan dia di pesta ini.’ Ucapnya dalam hati sambil tersenyum licik. Anggita mengeluarkan ulat bulu dan kecoa dari dalam toples kecil, dia sendiri jijik melihat dua binatang itu. Kemarin sepulang kerja dia meminta OB di kantornya untuk mencari kedua binatang itu, makanya Anggita terlambat pulang karena menunggu OB yang diperintahnya. Tanpa dia sadari sepasang mata mengawasi gerak geriknya, Anggita yang tak sadar tetap mendekati Rara dari belakang. Dia hendak melemparkan binatang menjijikkan itu kepada Rara, tapi belum sampai melemparkan kedua binatang itu, sebuah tangan memukul lengannya pelan, sehingga jatuhlah binatang itu di tubuhnya sendiri. Anggita berteriak, semua orang menatapnya heran. Dani pun m
“Bu, kita ke apotek dulu beli obat. Gatal banget ini badanku!” keluh Anggita.“Kamu juga sih! Aneh-aneh pakai ulat bulu segala. Malu-maluin! Gara-gara kamu baju Ibu juga kotor nih!” sungut Ibunya.“Habis aku tuh sebel, Bu! Mentang-mentang kaya, sekarang Mas Dani jadi mengejar lagi, padahal kan uda mau cerai juga!” ucap Anggita.“Kamu kenapa sih? Lepaskanlah Dani, cari laki yang kaya. Orang dia uda pengangguran masih dipertahankan! Cerai aja udah!” pinta Ibunya.“Ibu! Jaga omonganmu! Anak baru nikah kok uda disuruh cerai. Ucapan seorang Ibu itu adalah doa! Kalau ngomong yang baik-baik! Jangan ngomong sembarangan!” sentak Pak Joko.Mendengar ucapan itu, Mereka berdua terdiam. Kalau Pak Joko sudah marah, maka gantian mereka berdua yang tak berani bicara. Dani dan Ibunya benar-benar menunggu Rara keluar. Mereka berdua duduk lesehan di dekat pintu masuk hotel. Meskipun terkantuk-kantuk, Bu Intan tetap menunggunya. Dani pun bersandar sambil memejamkan mata.Tak berapa lama, beberapa orang
Hari ini sidang selanjutnya perceraian Rara dan Dani. Rara telah bersiap. Kali ini ia akan ditemani oleh kedua orang tuanya.“Nanti sepulang sidang kita ke kantor Ya! Ada orang yang ingin Papa kenalkan padamu,” ucap Pak Ardi saat sarapan. Rara mengangguk.Seharusnya hari ini Dani berangkat sidang tetapi malah sibuk dengan kakaknya yang panik karena membaca pesan dari suaminya. Belum lagi mertuanya yang memaksa Ibu dan kakaknya untuk meninggalkan rumah. Anggita dari tadi hanya diam di kamar.“Dan! Cepat bawa Ibu dan kakak kamu pergi! Masa di rumah ini Cuma suamiku yang cari duit, kalian tinggal menikmati. Bangun-bangun langsung sarapan! Enak banget!” seru Ibu mertuanya.Belum sempat Dani menjawab Nia sudah menyahut.“Dan! Ayo cepat ke ATM! Bang Ken butuh uang!” Nia menarik tangan Dani.“Ya, sana keluar sekalian bawa koper kalian. Sudah cukup lama kalian numpang di sini! Anggita tak kuizinkan ikut denganmu, Dani! Kamu kan sekarang kere.” Mertuanya masih berteriak kepadanya.“Dasar so
Pak Tejo segera menekan bel di samping gerbang. Tak berapa lama, Bik Surti, Istrinya sendiri yang membuka pintu.“Lho? Ada apa Pak e? Kok tumben ke sini siang-siang?” tanya Bi Surti melihat rombongan yang ada di belakang Pak Tejo.“Ini, mengantar tamu. Beliau ini besannya Bapak, dan Masnya ini suami Non Rara,” jelas Pak Tejo.“Aku langsung pulang ya, Bune.”Bia Surti mengangguk lalu melihat ke arah Dani dan keluarganya. Sebenarnya sedikit banyak ia tahu permasalahan anak majikannya itu. Tetapi karena tidak diberi mandat, dia diam saja. Bi Surti pun membuka pintu gerbangnya dan mempersilahkan mereka duduk di teras sementara ia akan memberi tahu majikannya kalau ada tamu. Lalu dia ingat, Pak Ardi pergi dari tadi pagi dengan Rara dan belum kembali. Ia pun kembali ke depan lagi.“Maaf, saya lupa. Bapak dari pagi pergi dengan Non Rara, sampai sekarang belum pulang.” Bi Surti menjelaskan.“Saya mau nunggu di sini aja sampai Bapak pulang,” seru Ibunya Dani.“Keluarin aja cemilan buat kita nu
“Mama heran deh, sama mertua kamu itu, Ra. Dapat dari mana sih model mertua kayak gitu? Benar-benar urat malunya udah putus dia!” seru Mama“Sudah tahu anaknya baru proses cerai, bisa-bisanya mau tinggal di sini!”Mama masih ngomel, walaupun keluarga Mas Dani sudah pergi. Aku hanya tersenyum, tanpa menjawab. Sebenarnya Mama orang yang sabar, mungkin karena Mama ikut sakit hati atas perlakuan mereka padaku, jadi tambah gedeg melihat mereka datang untuk numpang.“Sudahlah, Ma. Biarin aja orang kayak gitu hidup, bikin hidup lebih bervariasi. Hahahah ....” kelakar Papa. Bukannya tertawa Mama malah semakin kesal, dan semakin Mama kesal, semakin Papa menggodanya. Aku ikut senyum melihat kedua orangtua ku yang masih mesra. Aku pun pergi ke kamarku. Hari sudah mulai sore, aku segera mandi karena ada janji dengan klien. Selesai mandi dan bersiap, aku segera pamit kepada kedua orang tuaku.“Pah, Mah, aku mau pergi dulu ketemu dengan klien” Papa yang sedang membaca koran di teras lalu berdiri
Karena tak diterima di rumah Rara, kami berjalan kaki entah kemana. Tak memiliki tujuan. Otakku seakan buntu untuk berpikir.“Kita harus kemana lagi, Dan? Ibu Anggita mengusir kita, Ibunya Rara tak mengizinkan kita tinggal.” Ibuku mulai menangis. Aku menghirup napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Mencoba mengatasi sesak dalam dadaku. Aku akui ini memang salahku, aku yang bermain api, aku pula yang terbakar. Kalau boleh berkata, ini tak lepas dari peran Ibu yang selalu menuntut ingin punya cucu, hingga aku bermain cinta dengan Anggita. Sekarang semua sudah habis terbakar permainanku sendiri. Aku dipecat, Anggita dipecat. Entah bagaimana nasib pernikahanku kelak dengan Anggita. Sekarang saja baru beberapa hari menikah sudah begitu banyak masalah yang datang.“Kita ke rumah yang masih dibangun itu saja ya, Bu? Daripada kita tak punya tempat berteduh, uangku sudah menipis, tak cukup untuk mengontrak rumah,” jelasku pada Ibu.“Ya sudah, kamu cari taksi sana, Mbak sudah capek
Dan! Ibu tidak bisa tinggal di tempat seperti ini! Sama sekali tidak ada perabotan, tempat tidur juga tak ada, bahkan pintu pun belum terpasang! Kamu ini gimana sih?!” Omel Ibunya.“Gimana lagi, Bu? Ibu mau tinggal di bawah jembatan kayak Imron tadi? Iya? Harusnya Ibu bersyukur bisa punya tempat untuk berteduh!” Sentak Dani.“Tapi bukan seperti ini juga, Dan. Kalau tahu seperti ini lebih baik tinggal dengan besan sombong itu. Walaupun yang punya rumah menyebalkan tapi kita masih bisa tidur diatas kasur empuk!” ibunya berkata lirihDani yang tadinya kesal menjadi tak tega melihat Ibunya bersedih. Tapi dia kini sudah jadi miskin. Rasanya ingin menumpahkan air mata yang selama ini ia tahan. Sungguh sebenarnya ia tak kuat, ia pun merindukan keadaannya yang dulu. Sekarang, untuk makan enak pun dia harus berpikir. Roda kehidupan selalu berputar, tidak selamanya orang akan diatas, begitu pun sebaliknya. Hal inilah yang terjadi pada Dani dan keluarganya. Selama ini mereka hidup mewah dengan