Aku pun segera membuka mata, “Kamu kapan datang, Ar?” tanyaku pura-pura baru bangun tidur.Dia gelagapan, sepertinya kuatir aku mendengar percakapannya. Dengan cepat Arya menyimpan ponselnya ke dalam saku. “Barusan saja kok.”“Ayah dan Ibu kemana?” tanyaku sengaja mengalihkan perhatian.“Aku menyuruh mereka pulang, kasihan, mereka baru pulang dari luar kota kan? Kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?” tanya Arya perhatian. Tapi menurutku seperti sengaja dibuat-buat.Aku menceritakan garis besarnya kepadanya, tidak sedetail aku cerita kepada orang tuaku. Tapi responnya sungguh diluar dugaanku. Ku kira dia akan bersandiwara kaget, sok panik, bersedih atau semacamnya.Tapi dia tetap tenang. Tidak berkata apa-apa.“Kamu yang sabar aja kalau beggitu.” Hanya itu yang dia ucapkan.Atau jangan-jangan karena dia sendiri yang menyuruh seseorang untuk datang ke rumahku saat tidak ada orang itu? Kalaupun benar, bagaimana aku mencari buktinya? Bermacam pikiran bermukim di otak, tapi tak kutemuka
Aku menatap kepergian Mas Dani. Bahkan Ibu mertua yang biasanya cerewet juga diam saja. Mbak Nia pun sama. Apa mungkin karena sudah mendapatkan uang sebesar dua puluh juta dari Arya?“Bagus, kalian sudah bercerai, meskipun belum secara negara, tapi secara agama kalian sudah bukan suami istri,” ucap Arya lega.“Tidak perlu secara n gara, karena kaki menikah dibawah tangan, hanya nikah siri,” jawabku “Resepsi kemarin juga Cuma reosi saja, tidak ada akad nikah.” Lanjutku agar dia mengerti.“Tapi sepertinya aku belum bisa menikahimu dalam waktu dekat, Sayang. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Arya membelai rambutku dengan sayang.Aku pun mengangguk karena mengerti Arya memang pengusaha yang sibuk. Ya, keputusanku sudah tepat. Mas Dani sudah tidak punya apa-apa lagi. Aku tidak mau hidup miskin. Dengan Arya aku akan menjadi Nyonya. Aku mengambil tangan Arya yang membelai rambutku, lantas menggenggamnya dengan erat. Sekarang fokusku adalah segera pulih. Aku akan menuruti p
“Sayang, pulang nanti temenin aku buat mencari hotel buat pernikahan kita ya? Ada beberapa rekomendasi dari temen sih, tapi aku pengin lihat langsung,” ucap Sasa yang sedang mampir ke kantorku. Dia sudah keluar menjadi sekretaris. Bosan dengan pekerjaan yang banyak katanya. Dia memang seperti ini sering datang untuk bicara hal yang tidak begitu penting. Padahal kalau hanya untuk menanyakan hal ini, dia bisa telepon saja kan? Dasar perempuan, terkadang sulit ke tebak pikirannya “Iya, Sayang. Nanti aku temenin, tapi sore aja ya? Kerjaan ku banyak soalnya hari ini.” Aku mencium rambut Sasa yang halus dan lembut.“Iya, tapi aku boleh nemenin kamu di sini kan?” tanya Sasa pindah ke pangkuanku.“Boleh. Tapi jangan duduk di sini, yang ada aku nggak kerja malah sibuk sama kamu.” Aku mentoel hidungnya gemas.Sasa turun dan pindah di sofa dekat mejaku. Saat sibuk dengan berkas-berkas, ponsel yang kuletakkan di nakas dekat sofa berbunyi. Sasa mengambil ponsel itu dan melihat siapa yang menghub
Aku sudah boleh pulang dari rumah sakit. Bayiku juga sehat tidak ada masalah apa pun. Arya membeli banyak perlengkapan bayi, tapi kebanyakan menurutku bukan warna pink untuk anak perempuan. Mungkin dia mengira anaknya adalah laki-laki. Selama aku hamil memang dia tak pernah bertanya mengenai jenis kelamin bayiku. Bahkan selama hamil dia tidak pernah mengantarku cek ke dokter kandungan. Alasannya selalu sibuk dengan pekerjaan. Namun, transferan darinya sering membuatku luluh. Kini rekeningku menjadi gendut. Arya tak lupa mengirim uang setiap ku minta.Arya memang memberikanku buku rekening baru beserta ATMnya. Tapi tak lama setelah itu, ia meminta kembali buku rekening itu dan hanya meninggalkan ATM-nya untukku. Aku juga tak mempermasalahkannya karena yang kubutuhkan ATM nya saja bukan rekeningnya.Hari-hari menjadi Ibu baru membuatku pusing. Dua jam sekali Harus bangun untuk menyusui, belum lagi kalau begadang, lama-lama bisa tambah kusam wajahku.“Bu, kita sewa Baby siter aja ya?
“Apa maksudmu ngomong seperti itu?” tanyaku memastikan.“Pasti kamu Cuma becanda kan?” lanjutku lagi.Arya tak menjawab, ia hanya tersenyum saja.“Nanti aku jelaskan. Ayo, aku tunjukkan dimana kamarmu dan kamar anakku," ucap Arya.Aku mengikuti Arya ke belakang.“Ini kamarmu, dan kamar sebelah adalah untuk Zea.” Arya menjelaskan.“Ha? Kita tidak sekamar? Bukannya kita suami istri?” Aku bingung dengan maksud pembagian kamar ini. Kenapa kami seakan tak boleh tidur sekamar? Selama menikah Arya juga tak mau tinggal di rumahku. Ia memilih tinggal di rumahnya sendiri dengan alasan dekat dari kantor.“Ya, kita tidak sekamar. Aku tidak mau tidurku terganggu oleh tangisan Zea ataupun dirimu yang akan bolak-balik terbangun mengurus Zea.Setengah tak percaya aku mendengarnya. Kenapa aku merasa di sini Arya menjadi dingin? Tidak seperti kemarin? Begitu perhatian dan royal.“Satu lagi. Dari pagi sampai sore akan ada baby sitter yang menjaga Zea, jadi kamu bisa fokus dengan tugasmu. Malam harinya b
Ternyata mereka berdua berada di dapur. Sasa menjerang air panas, sepertinya dia hendak membuat kopi untuk suamiku.“Kamu kenapa, Sayang? Kenapa bisa berubah secepat ini? Bukannya dari awal kamu yang ingin menikah denganku? Kenapa sekarang kamu seperti ini?!” Aku berteriak seperti kesetanan. Rasanya justru seperti melihat Sasa dan Arya sebagi pengantin baru, sedangkan aku yang menjadi pembantu.Semuanya seakan seperti mimpi. Bayangan akan menjadi seorang Nyonya seketika sirna melihat perlakuan Arya sekarang kepadaku. Apakah aku tidak pantas bahagia?“Tidak perlu banyak bertanya. Lakukan saja apa yang aku perintahkan. Aku mau pergi mengajak Zea. Kamu bersihkan rumah ini lalu cepat masak. Aku mau setelah pulang, makanan sudah tersedia di meja untukku dan Sasa.” Sasa sudah tak ada di sini, mungkin dia mengambil Zea dari kamarnya. Enak sekali dia bicara! Memangnya dia siapa? Aku bukanlah perempuan lemah yang akan menurut begitu saja. Apalagi ini belum genap sehari aku tinggal di sini seb
Aku menuju ke kamar sebelah, tempat d mana Zea ditidurkan. “Uluh-uluh ... anak Mama haus ya!” Aku menggendong Zea dan menyusuinya. Aku melirik ke arah Sasa yang masih menatapku tajam. Rupanya ia turut mengikutiku ke sini.Tanpa bicara, dia keluar dengan membanting pintu. Dasar Baby siter nggak ada akhlak! Sudah tau aku istri dari majikannya, malah kurang ajar. Sambil menyusui aku terus berpikir bagaimana caranya agar aku bisa melawan mereka berdua di sini. Di sini aku sendirian, tak punya teman ataupun orang yang bisa kumintai tolong. Tidak mungkin aku menghubungi kedua orang tuaku.Baiklah, pertama aku akan menyelidiki seperti apa hubungan Arya dan Baby siter itu. Hmm ... tapi aku harus mulai dari mana? apa aku harus mengalah dulu? Biar mereka tak menaruh curiga kepadaku?Ayo Anggita ... berpikirlah!Saking fokusnya berpikir, aku tak memperhatikan kalau Zea sudah tertidur lelap di pangkuanku, dengan perlahan aku meletakkan Zea ke tempat tidurnya.Kupandangi wajah anakku. Mungkin i
Aku serasa hidup dalam sangkar. Tinggal di rumah mewah tapi hidupku menderita. Semua ini karena aku terlalu silau dengan kekayaan yang dimiliki Arya hingga dengan begitu mudah menerima ajakannya menikah. Tapi sudahlah, nasi telah menjadi bubur.Malam ini aku tidur di kamar Zea. Setelah mendengar pengakuan Arya kemarin, aku memutuskan untuk satu kamar dengan Zea. Karena sekarang fokusku adalah anakku. Aku akan memastikan kalau Arya dan Sasa tidak akan menyakiti anakku!Byur!Aku gelagapan saat ada yang menyiramku dengan air. Setelah sepenuhnya sadar aku melihat seseorang berdiri di samping tempat tidurku.“Sasa! Apa-apaan kamu!” pagi-pagi pelakor ini sudah memancing emosiku“Enak banget kamu jam segini belum bangun! Arya mau sarapan cepat buatin!” dia memerintahku dengan bersedekap. Benar-benar angkuh!“Heh! Memangnya aku pembantumu! Bikin aja sendiri! Sana layani sendiri pacar tersayangmu itu!” sentakku tak mau kalah“Heh, kamu di sini itu Cuma dianggap babu oleh Arya. Jadi jangan ma