Share

Persiapan

Mata Aira mengerjap pelan, mencoba menyesuaikan dengan cahaya lampu. Tangannya menggapai jam di atas nangkas, dia ingin melihat jam berapa sekarang. Netra Aira membulat ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit.

Buru-buru dia menyibak selimut yang dipakainya, Aira pun bergegas turun dari ranjang menuju kamar mandi. Dia segera mandi dan melaksanakan sholat Subuh setelahnya.

Aira bangun kesiangan, padahal pekerjaannya kurang sedikit lagi selesai. Padahal dia sudah memasang alarm tepat jam tiga dini hari. Tapi Aira tidak mendengar bunyi alarm sama sekali.

Setelah melakukan ritual pagi, Aira segera menyelesaikan pekerjaannya. Hani bisa mengamuk nanti jika belum juga selesai.

Aira mengerjakan sisa pekerjaannya dengan cepat. Dia menghela nafas berat, ini semua gara-gara telfon dari sang Ibu. Jika saja Dewi tidak menelfon tentu semua pekerjaan Aira sudah selesai dari semalam.

Setelah semua pekerjaannya selesai, Aira bergegas mengganti pakaian bersiap untuk berangkat ke kantor.

Dia mengambil hijab dan memakainya dengan tergesa-gesa, setelah selesai  bersiap, Aira mengambil tas dan membawa hasil pekerjaan yang telah dia selesaikan. Dia melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa menuju mobil dan masuk ke dalamnya. Aira memacu mobil dengan kecepatan tinggi agar tidak terlambat sampai kantor.

Mobil yang dia pakai sekarang adalah pemberikan Arman, sang Ayah. Tanpa sepengetahuan Dewi tentunya. Arman membelikan Aira mobil untuk transportasinya selama bekerja di kota yang jauh dari tempat tinggalnya.

Ya, Arman memang tak seperti Dewi, dia menyayangi Aira sama seperti Aina. Arman tidak pernah membeda-bedakan antara kedua putrinya.

Akan tetapi, itu juga yang membuat Arman sering bertengkar dengan Dewi. Kadang kala karena itulah Dewi akan semakin kejam menyiksa Aira.

Aira menghela nafas kasar, masih saja dia mengingat ingat masa-masa kelamnya dulu. Padahal dia harus memikirkan pekerjaannya jika ada yang salah, dia harus mengerjakannya lagi.

Selang tiga puluh menit Aira pun sampai di kantor, dia memarkirkan mobil di area parkir pegawai. Lalu dia bergegas turun begitu mobil sudah terparkir.

Aira berjalan menuju ruang kerjanya dengan tergesa. Dia melihat Hani sudah duduk manis sambil menyesap kopi di tangannya. Netranya mendelik begitu melihat kedatangan Aira.

"Tumben telat, Ai?" tanyanya begitu Aira menghempaskan tubuhnya di kursi di belakang meja kerja.

"Sstt ... jangan ganggu aku dulu, Han. Aku belum sempat memeriksa pekerjaanku. Kalau ada yang terlewat kamu mau tanggung?" tanya Aira membuat Hani bergidik ngeri.

"Sudah-sudah, cepat periksa pekerjaanmu sebelum Pak Fandi datang," ucap Hani takut.

Setelah mendengar ucapan Hani, Aira bergegas mengeluarkan laptop dari dalam tasnya dan mulai menyalakannya. Netra Aira berselancar memandang layar laptop, memeriksa apakah ada yang terlewat atau ada yang belum dia kerjakan.

Aira menghela nafas lega setelah memeriksa semua pekerjaannya Akhirnya dia bisa sedikit santai, sambil menunggu sang bos datang.

"Sudah selesai, Ai?" tanya Hani sambil mendongakkan kepala melihat layar laptop Aira.

"Alhamdulillah, sudah Han." jawab Aira sambil merenggangkan tubuhnya.

"Aku sudah takut akan dimarahi Pak Bos, Ai. Untunglah kamu sudah menyelesaikannya." Hani berkata sembari memoleskan bedak di wajahnya. Hani memang hobi sekali berdandan, bahkan di dalam tasnya hanya berisi alat-alat make up dan dompet saja.

Segala macam alat make up lengkap, selalu ada di dalam tas Hani. Berbeda sekali dengan Aira, dia bahkan tidak terbiasa bermake up. Aira hanya berpikir untuk apa harus ribet dan menghabiskan banyak waktu untuk berdandan jika akan terhapus kembali.

Aira memang tidak terlalu suka hal-hal yang merepotkan, termasuk berdandan seperti Hani. Jika akan berangkat kerja dia hanya memoleskan bedak bayi di wajahnya, bahkan dia tidak tahu perbedaan foundation ataupun cushion, lucu bukan?

"Selamat pagi," sapa Fandi membuat Aira dan Hani terkejut.

"Selamat pagi, Pak," jawab Aira dan Hani serentak.

"Aira, apakah perkerjaanmu sudah selesai?" tanya Fandi pada Aira.

"Alhamdulillah sudah, Pak. Akan segera saya kirim ke email Bapak," jawab Aira membuat Fandi menganggukkan kepala dan berlalu pergi.

Begitu bayangan Fandi telah tiada, Hani mendekat ke meja kerja Aira dan berbisik, "Huh, Pak Bos dingin banget. Masak cuma menganggukkan kepala doang, dasar bos kutub." Hani menggerutu.

"Ada apa, Han? Apakah kamu tidak ada kerjaan hingga mengganggu pekerjaan Aira?" tanya Fandi yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu.

Hani terkesiap mendengar pertanyaan Fandi, dia segera berbalik menatap keberadaan sang bos dan menggelengkan kepala sambil berucap, "Ti-dak, Pak. Saya tidak mengganggu Aira."

Aira hanya bisa menahan tawa melihat tingkah Hani yang ketakutan karena kedatangan Fandi yang tiba-tiba.

"Aira, tolong ke ruangan saya sebentar." Fandi melangkah kembali masuk ke ruangannya setelah selesai memanggil Aira.

Aira melepaskan tawanya begitu melihat Fandi masuk ke dalam ruangannya. Sementara Hani mengerucutkan bibirnya mendengar tawa Aira.

"Gara-gara kamu nih, Ai!" gerutu Hani dengan bibir manyun.

"Sudah, aku masuk dulu. Nanti kamu dimarahi Pak Fandi kalau aku nggak masuk-masuk," ucap Aira sembari bangkit dari duduk, dan melangkah menuju ruang Fandi.

Aira mengetuk pintu pelan, walau sudah disuruh masuk, dia pasti akan mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk. Aira merasa tidak sopan jika langsung masuk begitu saja.

Setelah mendengar Fandi mempersilahkan masuk, Aira pun bergegas membuka pintu dan masuk. Dia melangkah menuju meja kerja Fandi.

"Ada apa memanggil saya, Pak?" tanya Aira tanpa basa basi.

Fandi hanya diam menatap Aira, seolah dia ragu ingin mengatakan sesuatu pada wanita muda yang menarik hatinya itu. Padahal biasanya Fandi tidak pernah seperti itu. Dia selalu bisa menguasai sikapnya, agar Aira merasa nyaman berhadapan dengannya.

"Pak?" panggil Aira, dia tidak sabar ingin kembali ke mejanya dan memeriksa pekerjaannya hingga akhir pekan. Dia ingin mengerjakan semua pekerjaanya sebelum pulang akhir pekan ini, memenuhi perintah sang Ibu.

"Eh, maaf. Saya cuma mau tanya, minggu ini kamu ada acara?" tanya Fandi mulai memberanikan diri.

Aira mengernyitkan kening mendengar pertanyaan dari sang bos. Dia merasa heran apa maksud dari pertanyaannya bosnya itu.

"Ehm ... rencana saya mau pulang ke rumah ibu saya, Pak. Sekalian saya juga mau ijin cuti jika saya belum bisa kembali bekerja setelah pulang dari sana."

"Oh, begitu. Baiklah. Kebetulan kamu belum pernah mengajukan cuti. Silahkan pergunakan waktumu dengan baik," ucap Pandu dengan nada sedikit kecewa. Rencananya dia ingin mengungkapkan isi hatinya pada Aira.

"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi jika sudah tidak ada yang Bapak sampaikan."

Fandi pun hanya mengangguk menanggapi ucapan Aira. Sementara Aira bergegas melangkah keluar setelah mendapat jawaban dari Fandi.

Aira tidak mau terlalu lama menunda perkejaannya. Karena selain memeriksa pekerjaan hingga selesai, dia  juga harus menyiapkan keperluannya untuk pulang. Termasuk obat-obatannya, Aira harus mempunyai stok yang banyak agar tidak kebingungan ketika sudah habis.

Dan yang paling utama, Aira harus menyiapkan mentalnya untuk menghadapi keluarganya. Atau dia harus menebalkan hatinya agar jangan sampai terluka lagi semakin dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status