“Nggak percuma Mas Anang selama ini pencitraan sebagai orang yang taat agama. Jadi, kalau Mbak Harum menuduhmu nggak akan ada yang percaya. Pasti banyak tetangga kalian yang akan lebih percaya pada Mas Anang daripada Mbak Harum.” Langkah kaki Hanin yang mendekat membuatku seketika meletakan jari telunjuk di depan bibir agar Hanin tidak bicara dulu. Mengerti dengan isyarat yang kubuat, Hani berjalan perlahan lalu berdiri di sebelahku. Kami berdua menguping percakakan keluarga Mad Anang.
“Sudahlah jangan bahas rencana kita di rumah sakit. Kalau ada suster dan dokter yang mau masuk bisa gawat. Apalagi kalau Harum dan Hanin sampai mendenagr perkataan kalian tadi. Kita bisa bicarakan semuanya lagi di rumah atau lewat hp.” Tegur Ibu mertua sehingga aku tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Karena percakapan mereka sudah beralih pada hal lain, Hanin mengajakku untuk masuk ke dalam kamar sekarang.“Kita masuk sekarang, Mbak.” Aku menganggukan kepala lalu membuka pintu tepat di hadapan Mas Anang, Yara dan Ibu mertua. Mereka bertiga sudah menatapku dengan mata melotot. Seakan baru saja melihat hantu. Pasti mereka takut jika aku dan Hanin mendengar apa saja yang mereka bicarakan tadi.“Loh, Yara jadi datang juga toh. Aku kira nggak jadi karena malam ini mau nonton film ke mall.” Sindirku sambil tersenyum. Membuat Yara melotot tajam padaku. Namun, di sisi lain Mas Anang dan Ibu mertua justru menghela nafas lega. Karena mereka mengira aku dan Hanin tidak mendengarkan apapun.Aku dengan santai meletakan plastik berisi empat kotak makan di atas meja. Mataku melirik nakas yang ada di samping tempat tidur. Kosong. Sama sekali tidak ada barang apapun yang di bawa oleh Yara saat menjenguk Melati. Karena mereka bertiga masih berdiri di tempat itu, aku memilih untuk mengambil buah jeruk dari dalam kulkas lalu duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur.“Aku mau jeruk juga Ma.” Seru Syifa begitu melihat aku memberikan jeruk yang sudah aku kupas pada Melati.“Ambil saja di kulkas.” Jawab Yara enteng.“Nggak boleh. Aku yang beli semua buah yang ada di dalam kulkas itu dan semuanya untuk Melati. Bukan untuk anak orang lain yang nggak ada hubungan darah denganku.” Balas Hanin ketus. Mereka berdua saling berpandangan tajam hingga membuatku terkekeh pelan. Siapa suruh Hanin di lawan.Mas Anang sudah memegang tangan Yara agar tidak membalas perkataan Hanin. Mereka lalu duduk di sisi lain sofa. “Ibuuuuu. Pokoknya aku juga mau jeruk yang sama dengan Mbak Melati.” Teriak Syifa nyaring memenuhi ruangan ini. Hingga telingaku rasanya berdenging karena teriakan Syifa.“Berisik. Jangan teriak-teriak di rumah sakit atau Tante akan memanggil satpam agar menggendongmu keluar.” Ancam Hanin dengan mata melotot. Membuat Syifa jadi menangis saat itu juga karena takut dengan ancaman Hanin. Aku hanya bisa menggelengkan kepala karena Hanin menyalurkan kemarahannya pada Syifa yang masih kecil.“Tolong jangan kasar sama Syifa ya Nin. Maklum dia masih kecil. Jadi mau punya barang-barang yang di miliki anak lain juga. Tolong ijinkan Syifa untuk mengambil buah di kulkas.” Hanin menggelengkan kepalanya tegas. Sama sekali tidak luluh dengan permohonan Ibu mertua.“Ini sebagai hukuman untuk Bu Munah dan Mas Anang karena sudah mengabaikan Melati. Jadi, jangan ambil barang apapun yang aku belikan untuk keponakanku. Seperti sepatu milik Melati yang kalian berikan pada Syifa itu.” Tunjuk Hanin pada sepatu bunga yang di pakai Syifa.“Enak saja. Aku sendiri yang membeli sepatu ini karena suamiku mampu. Lagian banyak orang yang beli sepatu yang sama seperti ini. Sepatu ini di produkai masal di pabrik.” Kata Yara tidak mau kalah. “Memang banyak orang yang beli. Tapi, khusus untuk Melati sudah aku beri inisal huruf M di bagian belakangnya dengan desain khusus yang aku buat bersama desainer sepatu. Tadi aku lihat ada huruf M di bagian belakang kedua sepatu. Jadi, aku bisa tahu kalau sepatu itu adalah hadiah pemberianku.” Mas Anang seketika menundukan kepala. Yara hanya diam dengan mulut menganga. Tidak berani lagi membalas perkataan Hanin.“Ehm. Karena aku sudah mengantarkan pakaian untuk Ibu dan Mas Anang, kami pamit pulang dulu. Assalamualaikum.” Sepertinya Yara ingin kabur saat ini juga daripada terus di cecar oleh Hanin.“Waalaikumsalam.” Dengan cepat Yara menggendong Syifa yang masih menangis sesenggukan karena di marahi Hanin tadi.“Kok Tante Yara nggak bawa buah atau memberi uang untukku Bu?” Tanya Melati menarik perhatian kami semua.“Ya nggak mesti begitu sayang. Kan yang penting niatnya untuk datang menjenguk kamu.” Jelasku agar Melati tidak mengharapkan pemberian orang lain seperti Syifa. “Loh, kalau Syifa sakit, Tante Yara sampai marah pada Ibu karena tidak memberikan apapun. Padahal waktu itu uang dari Nenek sudah habis. Jadi, sampai rumah Ayah marah sama Ibu karena tidak memberikan apapun pada Syifa yang sedang sakit.” Terang Melati mengulit Ayah dan Neneknya di hadapan Hanin.Walaupun Hanin sudah tahu masalah ini karena aku curhat padanya. Tapi, mendengar penjelasan dari Melati di hadapn Mas Anang dan Ibu mertua secara langsung pasti membuat mereka merasa kaget. Kepala Mas Anang tertunduk semakin dalam. Menghindari tatapanku dan Hanin. Sedangkan Ibu mertua pura-pura sibuk dengan hp di tangannya.“Oh iya. Enak banget dong jadi Tante Yara. Semuanya harus di lakukan sesuai dengan keinginannya. Tapi, sekarang Melati bisa tenang. Karena Tante Yara tidak akan melakukan hal itu lagi pada Mama dan Melati. Selain itu, nggak perlu mengharapkan mendapat makanan atau uang dari orang lain. Jangan bersikap seperti Tante Yara karena itu namanya jiwa pengemis.” Sindir Hanin masih sambil bekerja dengan menggunakan laptopnya. Sengaja menyindir Mas Anang dan Ibu mertua yang duduk di dekatnya.***Jarum jam terus berputar dengan cepat. Kami berempat bergantian mandi. Malam ini Hanin akan pulang dengan di jemput oleh suami dan anaknya. Tidak terasa adzan maghrib sudah berkumandang. Seperti biasa, Ibu mertua sudah mengajak Mas Anang untuk sholat bersama di musola rumah sakit ini. “Loh, kamu nggak mengajak Mbak Harum untuk ikut sholat jamaah di musola Mas? Biar aku dan Bu Munah yang menunggu Melati di kamar ini.” Tawaku hampir saja pecah mendengar Hanin yang sengaja menyinggung kebiasaan Mas Anang. Sepertinya berada di satu ruangan yang sama dengan suami dan Ibu mertuaku membuat Hanin ingin menguliti semua kesalahan mereka satu per satu.Walaupun tidak salah jika seorang Ibu mengajak anaknya untuk sholat jamaah. Tapi, tetap saja Mas Anang dan Ibu mertua masih mengabaikanku yang juga ada di ruangan ini. “Mas Anang dan Ibunya nggak akan mau mengajakku Nin. Sudahlah jangan memaksa mereka.” Kataku menambah kobaran api hingga membuat wajah Mas Anang berubah menjadi merah.“Bukan begitu Rum. Tapi, kamukan lagi jaga Melati. Aku kira kamu masih mau tetap disini. Kalau nggak sudah aku ajak dari tadi.”“Dulu aku selalu minta ikut juga kamu tolak Mas.” Balasku lagi hingga membuat Mas Anang terdiam.“Ya sudah kamu saja yang sholat di musola sama Anang, Rum. Biar Ibu yang jaga Melati disini sama Hanin.” Ibu mertua kembali meletakan mukenanya di atas sofa lalu menggelear sajadah di ruangan ini.Hebat sekali aktingnya. Pantas jadi aktris. Mas Anang sudah mengajakku untuk segera mengambil mukena dan sajadah agar bisa segera pergi ke musola sebelum iqomat. Kepalanya terus menoleh pada Ibu mertua dengan pandangan sedih. Dasar anak mami. Begitu saja sudah sedih. Apalagi aku selama ini yang di tolak olehnya. Aku kira bisa mengubah sikapnya. Ternyata Mas Anang dan keluarganya punya rencana lain untuk merebut perusahaan milik keluargaku.Setelah kembali dari musola, ternyata sudah ada anak dan suami Hanin yang bernama Tania dan Rasyid. Aku menyalami pria yang memakai baju kerja itu. “Terima kasih banyak sudah datang menjenguk Melati.”“Iya Mbak. Nggak masalah. Namanya juga sama keponakan sendiri. Ini aku bawa buah buat Melati biar radangnya cepat sembuh.” Kami berbincang di dekat tempat tidur Melati. Tania yang baru berumur dua setengah tahun langsung menempel pada kakak sepupunya.Di sudut ruangan, Mas Anang dan Ibu mertua belum mendekati kami. Seolah menarik diri dari keluarga adikku. Berbeda saat Yara dan Syifa datang tadi. “Ibu, Mas Anang. Hanin dan suaminya mau pamit.” Seruku pada mereka agar menghampiri kami.“Terima kasih sudah datang ya.” Mas Anang menyalami tangan Rasyid. Adik iparku itu memajukan tubuhnya hingga kepala mereka berdekatan.“Iya sama-sama Mas. Semoga kamu bisa berubah ke jalan yang benar ya. Agar kamu tidak mendapat pelajaran yang mengerikan dari Papa mertua kita.” Bisik Rasyid yang masih bisa kudengar dengan jelas.Tubuh Mas Anang seketika menegang mendengar peringatan dari Rasyid. Membuat aku berusaha menahan tawa. Setelah kepergian keluarga Hanin, Mas Anang dan Ibu mertua kembali duduk di sofa. Aku sudah menggelear seprai tipis yang tadi di bawakan oleh Rasyid. Lengkap dengan bantal dan guling.“Ibu nanti tidur di atas sofa saja biar nyaman. Aku dan Mas Anang akan tidur di bawah.” Ujarku pelan tanpa menatap ke arah Ibu dan anak itu. Entah bagaiaman raut wajah mereka saat ini.“Nggak usah Rum. Biar Ibu saja yang tidur di bawah. Kasihan Anang kalau badannya pegal. Diakan masih harus kerja besok.” Aku hanya bisa memutar kedua bola mataku malas. Di usia yang sudah setua itu saja Ibu mertuaku tetap memanjakan Mas Anang seolah dia masih anak kecil. Sampai Ibu mertua tidak memberikan perhatiannya sebagai seorang Nenek pada Melati.“Jangan Bu.” Ucapku tegas membuat senyum di wajah Mas Anang seketika luntur. Mulai malam ini, aku akan membuat mereka tidak bisa mengaturku lagi.“Kalau aku membiarkan Ibu
Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi datar mendengar jawaban Papa. Walaupun senyum tetap tersungging di bibirnya. “Kenapa Pak Besan? Kalau Harum kerjakan lumayan untuk tambah pemasukan keluarga. Biar bisa membantu Anang mendapatkan uang.” Papa tetap menggelengkan kepalanya.“Mencari uang itu sudah tanggung jawab suami. Istri bisa membantu kalau memang nafkah yang di berikan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya membesarkan anak. Tapi, setahu saya gaji Anang itu sudah lebih dari tujuh juta per bulan. Cukuplah untuk kebutuhan kalian dir umah ini. Di tambah dengan kebutuhan Melati yang sudah sekolah. Karena saya yakin putri kami bsia mengelola gaji suaminya dengan baik.”Ibu mertua dan Yara jadi salah tingkah karena Papa tahu jumlah gaji Mas Anang. Maklum saja karena perusahaan tempat Mas Anang bekerja masih rekanan bisnis dengan perusahaan Papa. Kadang kala aku mendengar Mas Anang bercerita pada Ibu mertua jika dia datang ke perusahaan Papa karena kontrak kerja sama d
“Kenapa kamu terkejut seperti itu Rum? Hubungan kita dengan orang tuamukan sudah membaik. Aku juga ingin bisa bekerja di perusahaan keluargamu seperti Rasyid. Lagipula kamu sendiri menolak bekerja untuk membantuku memenuhi biaya hidup kita. Kalau aku bekerja di perusahaan keluarga sendirikan gampang. Bisa langsung dapat jabatan tinggi. Atau minimal jabatan yang setara dengan perusahaan tempatku kerja sekarang." Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil memijat pelipis yang mendadak pening. Walaupun aku sudah menduga hal ini, rasanya tetap mengesalkan sekali.“Bukan begitu caranya Mas. Aku memang belum pernah cerita sama kamu kalau Rasyid itu bekerja di perusahaan Papa murni karena dia lolos seleksi lima tahun lalu. Terus menikah dengan Hanin. Jadi, seolah menantu Papa bisa bekerja disana dengan mudah. Padahal nggak begitu kenyatannya. Rasyid itu benar-benar merangkak dari bawah untuk sampai ke jabatannya sampai sekarang. Sama seperti kerja kerasmu di kantor. Bahka Rasyid menolak jaba
“Kok begitu Pak Besan? Bukannya sudah biasa seorang istri bekerja untuk membantu suaminya?” Tanya Ibu mertua yang terlihat tidak setuju. Tapi, tangan Mas Anang langsung memegang tangan Ibunya agar diam.“Baik Pa. Sudah tugas saya untuk memberikan nafkah pada anak dan istri. Jika Harum mendapat rezeki dari Papa, saya sama sekali tidak berhak atas uang itu. Saya juga tahu jika uang istri adalah uang istri.” Lagi-lagi Mas Anang lebih memilih untuk mengalah. Berbeda dengan Ibu mertua yang sempat protes tadi.Syukurlah tidak ada perdebatan malam ini. Walaupun raut wajah Ibu mertua masih tampak tidak setuju dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh anaknya itu. Setelah sholat isya’, Papa dan Mama langsung masuk ke dalam kamar tamu. Aku menemani Melati membuat PR di dalam kamar. Saat keluar dari kamar Melati yang sudah tertidur, tidak kudapati keberadaan Mas Anang dan Ibu mertua di ruang tengah. Biasanya mereka akan mengobrol sambil menonton sinetron kesukaan Ibu.Karena meras
Dasar. Sikap mereka sama sekali tidak pernah berubah. Sudah bertemu dengan Papa dan Mamaku saja masih membuat Yara berani minta uang pada kakaknya. Jariku menggulir layar hingga tampak hp Mas Anang yang di kunci menggunakan sidik jari. Katanya biar tidak bisa di otak-atik hingga tanpa sengaja terbuka sendiri. Dasar bodoh. Dia kira aku tidak bisa membuka hpnya dengan menggunakan jarinya sendiri saat Mas Anang sedang tidur?Tanganku sudah menempelkan jari jempolnya ke hp hingga terbuka. Pesan dari Yara langsung kubuka agar bisa membaca semuanya. [Mas besok berikan aku uang bonusmu untuk membeli sepatu baru Syifa ya. Suamiku belum kirim uang bulan ini. Katanya mau langsung di kasih setelah pulang. Kalau aku minta transferan sekarang dia pasti akan nanya kemana saja gaji yang di kirim bulan lalu.]Aku segera mengetikan pesan balasan untuk Yara dengan berpura-pura sebagai Mas Anang. [Nggak bisa Ra. Aku sudah membaca lagi surat perjanjian yang di bawa Papanya Harum. Jika aku memberikan uang
Suasana meja makan seketika berubah menjadi hening. Ibu mertua sudah menghentikan gerakan tangannya sambil menundukan kepala. Begitu juga dengan Mas Anang yang enggan menatap mata Papa dan Mama. Rasanya puas sekali bisa melihat orang-orang yang selama ini menindasku mati kutu seperti ini. Mereka mengira jika aku tidak punya tempat untuk berlindung karena Papa dan Mama tidak merestui hubungan kami. Padahal di balik itu semua, orang tuaku selalu memantau rumah tangga kami lewat Hanin.“Sebagai seorang suami, kamu tahu jika perbuatan kamu sudah salah pada Harum?” Tanya Papa dengan nada tenang. Namun, penuh penekanan hingga membuat wajah Papa berubah menjadi kaku. Papa memendam amarahnya agar bisa bicara pada Mas Anang dengan tenang.“Aku tahu jika selama kami berumah tangga, aku banyak melakukan kesalahan pada Harum, Pa. Karena itulah aku sudah berjanji pada Harum untuk berubah menjadi suami yang lebih baik lagi.” Jawab Mas Anang masih dengan menundukan kepalanya. Belum berani menatap ma
“Itu sih gampang Bu. Aku bisa memberikan Mas Syahdan obat tidur juga. Agar dia tidak gampang terbangun saat melihat keributan di luar rumah.” Nafasku tercekat. Jadi, mereka akan tetap melaksanakan rencana itu sesuai dengan yang sudah di tentukan?“Ya sudah deh. Kamu atur aja gimana baiknya. Ibu nggak mau sampai rencana kita untuk menyingkrkan Harum jadi gagal hanya karena hal ini. Gimana uang yang di berikan Syahdan? Banyak atau nggak?” Ibu mertua sudah mengalihkan percakapan. Membuat aku tidak menutup telinga Melati lagi.“Tante Yara dan Nenek kok jahat banget sama Ibu, sih?” Bisik Melati dengan mata yang sudah berembun karena hendak menangis.“Ssstt… Jangan menangis ya sayang. Ibu nggak akan kenapa-napa karena sudah di bantu sama Melati. Yuk ikut Ibu ke belakang.” Terpaksa aku mengajak Melati pergi padahal makan siang kami belum habis.Di teras belakang, Melati mengajakku untuk pergi ke rumah Papa dan Mama secepat mungkin agar tidak di jebak oleh Ibu mertua dan Yara. Bahkan Melati j
Mas Anang kembali mengacak-acak rambutnya. Wajah suamiku itu terlihat sangat frustasi sekali. Matanya sudah mendelik marah karena mendengar penolakanku barusan. Tapi, di satu sisi dia juga tidak mengungkapkan kemarahannya padaku seperti biasa. Karena Mas Anang sudah berjanji padaku untuk berubah. Meskipun semua itu hanya sandiwara belaka.“Oke. Aku nggak akan memaksa kamu lagi. Tapi, beri waktu Yara dua minggu lagi. Jangan tiga hari.” Dua minggu lagi? Itu berarti setelah mereka melakukan jebakan itu padaku. Aku kembali menggelengkan kepala. “Tidak mau. Batas waktunya tetap tiga hari lagi. Kamu tidak boleh melakukan negosiasi apapun lagi Mas. Atau aku akan memberi tahu Syahdan sekarang juga.”“Mau kamu apa sih Rum?” Hardik Mas Anang yang akhirnya lepas kendali.“Mau aku mengambil kembali semua uang yang kamu berikan pada Yara dan Syifa. Apa semua itu masih kurang jelas?” Balasku yang juga berteriak. Kuletakan begitu saja baju yang tadi ku genggam.“Saat kamu memutuskan untuk berubah,