Share

Bab 7

“Nggak percuma Mas Anang selama ini pencitraan sebagai orang yang taat agama. Jadi, kalau Mbak Harum menuduhmu nggak akan ada yang percaya. Pasti banyak tetangga kalian yang akan lebih percaya pada Mas Anang daripada Mbak Harum.” Langkah kaki Hanin yang mendekat membuatku seketika meletakan jari telunjuk di depan bibir agar Hanin tidak bicara dulu. Mengerti dengan isyarat yang kubuat, Hani berjalan perlahan lalu berdiri di sebelahku. Kami berdua menguping percakakan keluarga Mad Anang.

“Sudahlah jangan bahas rencana kita di rumah sakit. Kalau ada suster dan dokter yang mau masuk bisa gawat. Apalagi kalau Harum dan Hanin sampai mendenagr perkataan kalian tadi. Kita bisa bicarakan semuanya lagi di rumah atau lewat hp.” Tegur Ibu mertua sehingga aku tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Karena percakapan mereka sudah beralih pada hal lain, Hanin mengajakku untuk masuk ke dalam kamar sekarang.

“Kita masuk sekarang, Mbak.” Aku menganggukan kepala lalu membuka pintu tepat di hadapan Mas Anang, Yara dan Ibu mertua. Mereka bertiga sudah menatapku dengan mata melotot. Seakan baru saja melihat hantu. Pasti mereka takut jika aku dan Hanin mendengar apa saja yang mereka bicarakan tadi.

“Loh, Yara jadi datang juga toh. Aku kira nggak jadi karena malam ini mau nonton film ke mall.” Sindirku sambil tersenyum. Membuat Yara melotot tajam padaku. Namun, di sisi lain Mas Anang dan Ibu mertua justru menghela nafas lega. Karena mereka mengira aku dan Hanin tidak mendengarkan apapun.

Aku dengan santai meletakan plastik berisi empat kotak makan di atas meja. Mataku melirik nakas yang ada di samping tempat tidur. Kosong. Sama sekali tidak ada barang apapun yang di bawa oleh Yara saat menjenguk Melati. Karena mereka bertiga masih berdiri di tempat itu, aku memilih untuk mengambil buah jeruk dari dalam kulkas lalu duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur.

“Aku mau jeruk juga Ma.” Seru Syifa begitu melihat aku memberikan jeruk yang sudah aku kupas pada Melati.

“Ambil saja di kulkas.” Jawab Yara enteng.

“Nggak boleh. Aku yang beli semua buah yang ada di dalam kulkas itu dan semuanya untuk Melati. Bukan untuk anak orang lain yang nggak ada hubungan darah denganku.” Balas Hanin ketus. Mereka berdua saling berpandangan tajam hingga membuatku terkekeh pelan. Siapa suruh Hanin di lawan.

Mas Anang sudah memegang tangan Yara agar tidak membalas perkataan Hanin. Mereka lalu duduk di sisi lain sofa. “Ibuuuuu. Pokoknya aku juga mau jeruk yang sama dengan Mbak Melati.” Teriak Syifa nyaring memenuhi ruangan ini. Hingga telingaku rasanya berdenging karena teriakan Syifa.

“Berisik. Jangan teriak-teriak di rumah sakit atau Tante akan memanggil satpam agar menggendongmu keluar.” Ancam Hanin dengan mata melotot. Membuat Syifa jadi menangis saat itu juga karena takut dengan ancaman Hanin. Aku hanya bisa menggelengkan kepala karena Hanin menyalurkan kemarahannya pada Syifa yang masih kecil.

“Tolong jangan kasar sama Syifa ya Nin. Maklum dia masih kecil. Jadi mau punya barang-barang yang di miliki anak lain juga. Tolong ijinkan Syifa untuk mengambil buah di kulkas.” Hanin menggelengkan kepalanya tegas. Sama sekali tidak luluh dengan permohonan Ibu mertua.

“Ini sebagai hukuman untuk Bu Munah dan Mas Anang karena sudah mengabaikan Melati. Jadi, jangan ambil barang apapun yang aku belikan untuk keponakanku. Seperti sepatu milik Melati yang kalian berikan pada Syifa itu.” Tunjuk Hanin pada sepatu bunga yang di pakai Syifa.

“Enak saja. Aku sendiri yang membeli sepatu ini karena suamiku mampu. Lagian banyak orang yang beli sepatu yang sama seperti ini. Sepatu ini di produkai masal di pabrik.” Kata Yara tidak mau kalah. 

“Memang banyak orang yang beli. Tapi, khusus untuk Melati sudah aku beri inisal huruf M di bagian belakangnya dengan desain khusus yang aku buat bersama desainer sepatu. Tadi aku lihat ada huruf M di bagian belakang kedua sepatu. Jadi, aku bisa tahu kalau sepatu itu adalah hadiah pemberianku.” Mas Anang seketika menundukan kepala. Yara hanya diam dengan mulut menganga. Tidak berani lagi membalas perkataan Hanin.

“Ehm. Karena aku sudah mengantarkan pakaian untuk Ibu dan Mas Anang, kami pamit pulang dulu. Assalamualaikum.” Sepertinya Yara ingin kabur saat ini juga daripada terus di cecar oleh Hanin.

“Waalaikumsalam.” Dengan cepat Yara menggendong Syifa yang masih menangis sesenggukan karena di marahi Hanin tadi.

“Kok Tante Yara nggak bawa buah atau memberi uang untukku Bu?” Tanya Melati menarik perhatian kami semua.

“Ya nggak mesti begitu sayang. Kan yang penting niatnya untuk datang menjenguk kamu.” Jelasku agar Melati tidak mengharapkan pemberian orang lain seperti Syifa. 

“Loh, kalau Syifa sakit, Tante Yara sampai marah pada Ibu karena tidak memberikan apapun. Padahal waktu itu uang dari Nenek sudah habis. Jadi, sampai rumah Ayah marah sama Ibu karena tidak memberikan apapun pada Syifa yang sedang sakit.” Terang Melati mengulit Ayah dan Neneknya di hadapan Hanin.

Walaupun Hanin sudah tahu masalah ini karena aku curhat padanya. Tapi, mendengar penjelasan dari Melati di hadapn Mas Anang dan Ibu mertua secara langsung pasti membuat mereka merasa kaget. Kepala Mas Anang tertunduk semakin dalam. Menghindari tatapanku dan Hanin. Sedangkan Ibu mertua pura-pura sibuk dengan hp di tangannya.

“Oh iya. Enak banget dong jadi Tante Yara. Semuanya harus di lakukan sesuai dengan keinginannya. Tapi, sekarang Melati bisa tenang. Karena Tante Yara tidak akan melakukan hal itu lagi pada Mama dan Melati. Selain itu, nggak perlu mengharapkan mendapat makanan atau uang dari orang lain. Jangan bersikap seperti Tante Yara karena itu namanya jiwa pengemis.” Sindir Hanin masih sambil bekerja dengan menggunakan laptopnya. Sengaja menyindir Mas Anang dan Ibu mertua yang duduk di dekatnya.

***

Jarum jam terus berputar dengan cepat. Kami berempat bergantian mandi. Malam ini Hanin akan pulang dengan di jemput oleh suami dan anaknya. Tidak terasa adzan maghrib sudah berkumandang. Seperti biasa, Ibu mertua sudah mengajak Mas Anang untuk sholat bersama di musola rumah sakit ini. 

“Loh, kamu nggak mengajak Mbak Harum untuk ikut sholat jamaah di musola Mas? Biar aku dan Bu Munah yang menunggu Melati di kamar ini.” Tawaku hampir saja pecah mendengar Hanin yang sengaja menyinggung kebiasaan Mas Anang. Sepertinya berada di satu ruangan yang sama dengan suami dan Ibu mertuaku membuat Hanin ingin menguliti semua kesalahan mereka satu per satu.

Walaupun tidak salah jika seorang Ibu mengajak anaknya untuk sholat jamaah. Tapi, tetap saja Mas Anang dan Ibu mertua masih mengabaikanku yang juga ada di ruangan ini. “Mas Anang dan Ibunya nggak akan mau mengajakku Nin. Sudahlah jangan memaksa mereka.” Kataku menambah kobaran api hingga membuat wajah Mas Anang berubah menjadi merah.

“Bukan begitu Rum. Tapi, kamukan lagi jaga Melati. Aku kira kamu masih mau tetap disini. Kalau nggak sudah aku ajak dari tadi.”

“Dulu aku selalu minta ikut juga kamu tolak Mas.” Balasku lagi hingga membuat Mas Anang terdiam.

“Ya sudah kamu saja yang sholat di musola sama Anang, Rum. Biar Ibu yang jaga Melati disini sama Hanin.” Ibu mertua kembali meletakan mukenanya di atas sofa lalu menggelear sajadah di ruangan ini.

Hebat sekali aktingnya. Pantas jadi aktris. Mas Anang sudah mengajakku untuk segera mengambil mukena dan sajadah agar bisa segera pergi ke musola sebelum iqomat. Kepalanya terus menoleh pada Ibu mertua dengan pandangan sedih. Dasar anak mami. Begitu saja sudah sedih. Apalagi aku selama ini yang di tolak olehnya. Aku kira bisa mengubah sikapnya. Ternyata Mas Anang dan keluarganya punya rencana lain untuk merebut perusahaan milik keluargaku.

Setelah kembali dari musola, ternyata sudah ada anak dan suami Hanin yang bernama Tania dan Rasyid. Aku menyalami pria yang memakai baju kerja itu. “Terima kasih banyak sudah datang menjenguk Melati.”

“Iya Mbak. Nggak masalah. Namanya juga sama keponakan sendiri. Ini aku bawa buah buat Melati biar radangnya cepat sembuh.” Kami berbincang di dekat tempat tidur Melati. Tania yang baru berumur dua setengah tahun langsung menempel pada kakak sepupunya.

Di sudut ruangan, Mas Anang dan Ibu mertua belum mendekati kami. Seolah menarik diri dari keluarga adikku. Berbeda saat Yara dan Syifa datang tadi. “Ibu, Mas Anang. Hanin dan suaminya mau pamit.” Seruku pada mereka agar menghampiri kami.

“Terima kasih sudah datang  ya.” Mas Anang menyalami tangan Rasyid. Adik iparku itu memajukan tubuhnya hingga kepala mereka berdekatan.

“Iya sama-sama Mas. Semoga kamu bisa berubah ke jalan yang benar ya. Agar kamu tidak mendapat pelajaran yang mengerikan dari Papa mertua kita.” Bisik Rasyid yang masih bisa kudengar dengan jelas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status