Share

Bab 6

Ya ampun. Bagaimana ini? Kalau Papa dan Mama semakin marah padaku, mereka pasti tidak akan mau untuk membantuku lagi. Sia-sia sudah ancaman yang di berikan Hanin pada Mas Anang dan Ibu mertua. Hanin menjelaskan kondisi Melati pada Papa dan di rumah sakit mana Melati sudah di rawat. Selain itu, Hanin juga menceritakan tentang rencana kami pada Papa. Membuat aku melotot tidak setuju. Tidak lama kemudian, Papa sudah minta Hanin menyerahkan hpnya padaku.

Selama lima tahun ini aku sudah tidak pernah bicara berdua saja dengan Papa. Membuat dadaku berdegup kencang.  Tanpa terasa air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Mengingat kesalahan masa lalu saat aku sudah mengabaikan nasihat Papa dan Mama demi bisa menikah dengan Mas Anang.

“Jangan menangis Mbak. Bicara berdua saja dengan Papa disini. Biar aku yang beli makanan di kantin.” Bisik Hanin menguatkan saat menyerahkan hpnya padaku. Aku hanya bisa menganggukan kepala lalu dengan cepat menghapus air mata yang menggenang agar orang-orang yang berlalu lalang tidak melihatnya.

“Halo assalamualaikum Pa.” Sapaku dengan suara serak. Siap mendengar amarah Papa padaku. Walaupun sikap Papa dan Mama acuh padaku, tapi mereka sayang pada Melati. Tidak seperti Ibu mertua yang mengutamakan cucu dari anak perempuannya saja.

“Waalaikumsalam nduk. Gimana keadaan kamu sekarang. Hanin tadi bilang kamu juga sampai di rawat di rumah sakit karena di dorong Anang. Pasti dia sudah sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga padamu.” Suara Papa terdengar sangat khawatir. Seperti dulu beliau yang selalu menjadi garda terdepan untuk membelaku dari teman-teman yang jahil. Cinta pertamaku yang suda aku kecewakan sedemikian rupa.

“Alhamdulillah aku dan Melati sudah baik-baik saja. Papa tidak perlu cemas.” Hatiku terasa sangat lega karena sikap Papa yang di luar dugaan.

Hampir lima tahun aku menjauh, Papa dan Mama hanya bicara seadanya saja saat kami berkunjung ke rumah untuk bersilaturahmi saat lebaran. Mama lebih banyak bermain dengan Melati. Sedangkan Papa berbincang dengan suami Hanin. Hanya adikku yang masih mau bicara dengan kami. Begitu juga dengan adik ipar yang wajahnya sering kali tidak enak saat tahu jika Papa dan Mama mengabaikanku dan Mas Anang. Aku sendiri merasa tidak enak pada mereka karena wajah Mas Anang yang selalu masam.

Suara Papa yang hangat membuatku merasa rindu akan kenangan masa lalu. Tidak ada lagi sapaan dingin seperti beberapa bulan lalu saat kami berkunjung ke rumah. Kini Papa terdengar bicara tentang permintaan Hanin yang ingin membantuku untuk bisa mengambil hakku dan Melati dari Mas Anang. Nafkah yang tertunda selama lima tahun ini demi membahagiakan keluarganya.

“Apa kamu yakin masih mau bertahan sebentar bersama Anang untuk mengambil nafkah kalian? Kamu tahu sendiri Papa masih sanggup untuk membiayai kebutuhan kalian jika kamu berpisah dari Anang.” Tanya Papa dengan nada lembut padaku untuk memastikan sekali lagi.

“Aku yakin Pa. Memang keputusanku ini sangat berbahaya karena mereka juga mengincar harta Papa dan Mama. Hanya saja aku tidak akan pernah tenang sebelum bisa membalas semua kejahatan mereka padaku dan Melati.” Terdengar helaan nafas berat Papa di sebrang telpon. Aku juga terus memandang ke pintu ruang rawat anakku yang masih tertutup. Berjaga-jaga jika Ibu mertua atau Mas Anang tiba-tiba keluar.

“Baiklah. Papa dan Mama akan membantumu. Kamu tenang saja. Mereka tidak akan bisa menyentuh kami. Jadi, jalankan rencanamu dengan baik.” Aku tercenung sejenak. Mama juga?

“Apa Mama mau, Pa. Karena saat itu…” Bibirku kelu untuk melanjutkan ucapan Mama yang melarangku untuk menghubunginya lebih dulu.

“Terus waktu Mama kamu bilang begitu, kamu percaya saja nduk.” Kekeh Papa pelan. Terdengar Papa sedang bicara dengan menyebut nama Mama yang masih dapat terdengar di hpku.

“Papa dan Mama memang menolakmu secara terang-terangan. Agar kamu sadar seperti apa sifat Anang sebenarnya dan mau menyerah. Tapi, bukan berarti kami tidak peduli sama sekali padamu dan Melati.” Air mata sudah benar-benar luruh di pipi. Kakiku segera melangkah menuju kamar mandi wanita lalu masuk ke dalam salah satu bilik untuk menangis sepuasnya. Aku sama sekali tidak tahu hal ini karena Hanin tidak pernah cerita padaku.

“Semua uang yang di berikan Hanin selama ini padamu itu dari Mamamu. Mama membuat rekening khusus yang di serahkan pada Hanin agar bisa memberimu uang untuk kebutuhan kalian. Jadi, kamu sama sekali tidak pernah meminjam uang Hanin. Kalau tidak percaya bicara dulu sama Mama.” Tanganku membekap mulut agar isak tangisku tidak terdengar keras.

“Halo Rum. Ini Mama.” Suara lembut itu memanggilku lagi seperti dulu . Sebelum aku dengan keras kepala membujuk Mama untuk mengijinkanku menikah dengan Mas Anang. Mama yang selalu mendukung keputusanku sepanjang itu benar. Kecuali keputusanku untuk menikah dengan Mas Anang.

“Ma, Mama.” Entah kenapa aku dan Mama justru menangis bersama. Dapat saling bicara berdua saja seperti dulu. Walaupun jarak menghalangi kami.

“Alhamdulillah kalau kamu sudah mau menyudahi pernikahanmu dengan Anang nduk.” Kata Mama setelah isak tangisnya hilang.

“Maafkan aku, Ma. Aku benar-benar minta maaf.”

“Sudahlah. Tidak perlu di sesali. Yang penting Hanin sudah berhasil menyadarkan kamu kalau Anang bukan pria yang pantas untuk di pertahankan. Ternyata dengan sakitnya Melati ada hikmahnya juga. Kamu jadi bisa melihat kalau Anang itu bukan suami dan Ayah yang pantas untuk di pertahankan. Mama dan Papa nggak bisa menjelaskan rencana kami melalui telpon. Biar Hanin yang menjelaskan semuanya padamu nanti. Apa Anang dan Ibu mertuamu jadi menginap di rumah sakit?”

“Jadi, Ma. Mereka sudah berjanji untuk berubah. Bahkan adik iparku juga akan datang untuk menjenguk Melati.” Jawabku tenang setelah sesak di dada bisa tersalurkan dengan tangisan.

“Jangan bersedih lagi. Jadilah wanita yang kuat dan ingat untuk selalu berhati-hati dengan mereka. Anang adalah pria yang licik. Kamu baru melihat sikap buruknya dua puluh persen saja. Tapi, di balik penampilannya yang agamis, ada keburukan Anang yang tidak kamu ketahui.” Keningku berkerut bingung mendengar penjelasan Mama. Jadi, ada hal lain tentang Mas Anang yang belum aku ketahui setelah hampir lima tahun menjadi istrinya?

“Apa Mama dan Papa akan datang menjenguk Melati?” Tanyaku mengalihkan percakapan. Percuma saja bertanya. Karena Mama juga pasti mengatakan hal yang sama dengan Papa.

“Iya. Tapi, besok di rumah kalian. Kata Hanin besok Melati sudah boleh di bawa pulang.”

“Alhamdulillah. Terima kasih banyak Ma.” Ujarku tulus. Tidak menyangka jika semua yang Hanin berikan selama ini adalah pemberian dari Mama.

“Kamu dan Hanin akan selalu jadi gadis kecil Mama. Hanya saja sikap Mama selama beberapa tahun ke belakang untuk membuatmu sadar kalau feeling orang tua itu tidak selalu salah. Mudah-mudahan ini bisa jadi pelajaran ke depannya untuk kamu Rum. Nasihat Mama yang membuatku tersenyum.

“Aku tahu. Ya sudah aku tutup dulu telponnya Ma. Mau menemani Melati di kamarnya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Setelah sambungan telpon terputus, aku keluar dari toilet. Ternyata Yara dan Syifa baru saja tiba dengan membawa tas yang mungkin berisi baju milik Ibu mertua dan Mas Anang. Segera ku ikuti diam-diam hingga mereka hilang di balik pintu. Seperti tadi, aku sudah berdiri di balik pintu kamar untuk menguping percakapan keluarga suamiku.

“Memangnya kamu yakin kalau orang tuanya Mbak Harum sudah memaafkan dia, Mas? Kalau rencana ini gagal bagaimana? Kamu yang tetap akan masuk penjara karena sudah melakukan penganiayaan. Ingat aku dan Ibu dong. Nanti tidak ada yang akan menemani kami.” Keluh Yara yang membuatku semakin geram pada adik iparku itu.

"Makanya itu kamu juga harus pura-pura bersikap baik di depan Harum dan Hanin. Nanti kamu minta maaf pafa Harum atas sikapmu selama ini. Agar kita bisa mengambil hati Harum dan membuatnya tunduk kembali."

"Ck nyebelin banget sih. Berarti kamu sudah nggak bisa buat mengantarkan aku dan Syifa kemanapun lagi?" Yara masih merajuk seperti anak kecil. Padahal dia sendiri sudah punya anak.

Efek Mas Anang dan Ibu mertua yang selalu memanjakan Yara selama ini. Jadilah dia terlalu bergantung pada kakak dan Ibunya. Bahkan untuk mengurus anak, Yara mempekerjakan baby sitter atss persetujuan suaminya.

"Tahan dulu Ra. Lima tahun aku bertahan dengan Harum walaupun orang tuanya sudah tidak peduli. Karena kamu tahu sendiri aku masih membutuhkan tenaga Harum untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan untuk mendapatkan warisan saat orang tua Harum meninggal. Ingat tujuan awal kita saat aku menikah dengan Harum agar bisa menguasai perusahaan keluarganya. Perusahaan itu tidak boleh jatuh ke tangan Hanin dan suaminya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status