“Bryan, hentikan! Kau bisa sakit jika terus melakukan hal ini!” cegah Edward ketika Bryan hendak menenggak minuman di gelasnya. Entah sudah berapa gelas yang ia minum sejak dirinya tiba di kelab. Namun, Bryan tak peduli. Bahkan perkataan Edward pun tak ada satu pun yang masuk ke telinganya. “Jangan mencegahku, Ed. Aku sedang menikmati hidup dan merayakan hadiah dari Tuhan untukku.” “Apa maksudmu? Kau sedang sakit, Bryan. Kau harus ingat itu. Apakah kau memang sengaja ingin mati, huh?!” Bryan menghentikan tawanya yang sejak tadi membahana. Ia sedang menertawai diri sendiri yang bernasib malang setelah kehilangan cinta sejati, ia sebentar lagi akan kehilangan nyawa. Maka apa lagi yang harus ia lakukan selain merayakan kesialan hidupnya? “Seharusnya sekalian saja ia mencabut nyawaku saat itu. Benar, kan?” racaunya lagi. Edward memang kesal melihat sikap Bryan yang tak pernah berubah. Ia akan membiarkan dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya sebelum akhirnya sadar dan bangkit. Namun sering ka
Bryan membuka mata perlahan dan merasakan kepalanya yang berdenyut sekaligus pengar. Ia tak segera beranjak dari ranjang, melainkan mengingat apa yang telah terjadi malam tadi.Ia menilik tubuhnya yang tak mengenakan sehelai pun pakaian dan teringat malam tadi ia dan Shienna telah menghabiskan malam penuh cinta dan gairah dan saatnya Bryan untuk memastikan kalau malam tadi ia tidak bermimpi. Anehnya, perasaan Bryan sekarang justru begitu pilu. Seolah hari ini tak akan ia temukan lagi sosok Shienna yang semalam membuatnya berhasil melepaskan kerinduan mendalam yang tak pernah bisa ia ungkapkan karena tak pernah berhasil menemukan istrinya itu. Perlahan dan ragu, Bryan menoleh untuk memastikan malam mereka adalah kenyataan, tetapi ia justru menemukan kegilaan dan drama lain yang tak bisa ia percayai. Bukan Shienna yang tengah berbaring di sampingnya tanpa mengenakan busana, melainkan wanita lain. Wanita yang tak pernah ia harapkan untuk datang dan muncul di hadapannya terlebih dengan
Bryan tertegun dengan tatapan tertuju pada pemandangan menyesakkan di hadapannya. Shienna tampak begitu ceria, tersenyum bahagia, dan sesekali membiarkan pria di hadapannya menggenggam tangannya. Bryan meremas garpu yang sejak tadi berada dalam genggamannya dan hendak bangkit untuk menuju ke sana. Amarah Bryan membuncah. Dalam benak dan pikirannya kini adalah Shienna dengan sengaja meninggalkannya menderita dan terus berusaha mencarinya, sementara dirinya justru bersenang-senang dengan pria lain. Bryan tak mengenal siapa pria itu. Artinya, dia hanyalah orang yang baru saja masuk ke kehidupan Shienna. Sayangnya, Bryan telah salah. “Mengapa wajahmu begitu muram? Apakah ada masalah?” tanya pria yang kini telah melepaskan genggaman dari tangan Shienna. Shienna menggeleng dan kembali menyunggingkan senyum, menyeruput milkshake di dalam gelasnya hingga tersisa separuhnya. “Apakah kau yakin akan keluar dari rumah Jennie? Ia pasti akan senang jika kau tetap tinggal di sana.” Shienna mendes
Urusan dengan pekerjaan telah ia selesaikan dan Shienna kini mengemudikan mobil menuju ke sebuah tempat yang sejak beberapa hari lalu ingin ia kunjungi. Ia mempercepat laju kendaraan dan bergegas turun ketika mobilnya telah berada di halaman parkir di basement sebuah bangunan yang tak kalah megah dengan kantor milik Bryan. Shienna berdiri di depan meja front desk untuk meminta waktu bertemu dengan seseorang, tetapi pegawai tersebut memintanya untuk menunggu. “Apakah kau tidak tahu siapa aku? Bosmu sangat mengenalku yang artinya kau akan mendapat masalah kalau menghalangi tujuanku bertemu dengannya,” tutur Shienna yang mulai tak sabar. “Maafkan kami Nona Miller, tetapi Tuan Hashimoto sedang ada meeting yang mungkin akan selesai satu jam lagi. Jika berkenan, silakan menunggu di lobi. Kami akan mempersilakan Anda masuk jika Tuan Hashimoto sudah selesai.” “Aku tidak butuh izin kalian!” Shienna menegaskan dan mulai memutar tubuh lalu masuk ke dalam lift yang terbuka, berkumpul bersama p
Tak mungkin Shienna tidak mengenali pria yang kini berdiri tak jauh darinya. Bahkan andai sekadar suara langkah kakinya pun, Shienna sangat mengenalnya, begitu juga aroma tubuhnya, suaranya, embusan napasnya.Semuanya tentang Bryan sudah seperti bagian dirinya yang tak mungkin tidak ia kenali. Tak akan mungkin akan ia lupakan begitu mudah. Shienna tertegun kala melihat siapa yang sudah berdiri mematung dan tak mengalihkan tatapan darinya. Keduanya seolah kehilangan kata yang telah tersusun rapi yang mereka rencanakan untuk katakan jika mereka bertemu kembali. Nyatanya, tak ada satu pun yang memulai pembicaraan meski hanya sekadar umpatan. Shienna menatap Bryan dengan sepasang bola mata yang telah basah, sementara Bryan nyaris tak bisa menahan diri untuk tidak menghambur dan meraih Shienna ke dalam dekapannya. Namun, ia mengepalkan tangan untuk menahan dorongan itu. Ia tak ingin menakuti sang istri yang baru saja bertemu setlah sekian lama pergi. Lagi pula, Shienna telah bersama pri
“Nona Miller, apakah kau bisa datang ke kantor?” tanya sebuah suara di saluran seberang yang membuat Shienna menepikan mobil. Ia menyimak perkataan wanita itu dan kemudian bergegas melajukan kendaraannya menuju ke kantor yang sebelumnya telah wanita itu sebutkan. “Mengapa wanita itu memintaku untuk datang ke kantor? Bukankah ia mengatakan estimasi terjualnya rumah itu sekitar dua minggu? Ini baru satu minggu berlalu, apakah ia ingin membatalkan perjanjian?” Shienna bergumam sembari terus memusatkan perhatian pada kemudi dan jalanan lengang di hadapannya. Tak berapa lama, ia tiba di kantor agen properti yang membantunya menjualkan rumahnya. Ia bergegas turun dari mobil dan menemui wanita itu. Rupanya, kabar baik yang ingin ia sampaikan pada Shienna. “Ada seseorang yang telah membeli rumahmu, dan langsung melakukan pembayaran full. Namun, baru hari ini aku sempat mencairkan dananya. Apakah kau ingin membawanya dalam bentuk cek atau ingin aku mentransfer ke rekening bank-mu?” Shienna
“Berapa lama?” tanya Bryan kemudian setelah berusaha menekan perasaan galau yang menyergapnya dan membuatnya tak bisa bernapas untuk beberapa saat. “Katakan berapa lama sisa hidupku.” “Aku bukan Tuhan. Aku tidak berhak memvonis usia hidupmu. Jika memang masih bisa kita pertahankan, maka aku akan lakukan segalanya agar kau bisa bertahan lebih lama dengan hidup yang berkualitas. Namun jika—“ “KATAKAN BERAPA LAMA SISA HIDUPKU!” Bryan lepas kendali dan ketika sadar, Ryan hanya memandanginya dengan tatapan penuh sesal. “Ini tidak seperti penyakit lain. Jika kukatakan kau akan bertahan satu tahun, maka bisa jadi kurang dari itu, atau lebih. Semua bergantung padamu dan seberapa massive antibodimu. Aku hanya bisa melakukan tugasku sebagai seorang dokter Bryan. Tapi kumohon, lakukan segala yang terbaik dalam hidupmu. Jika kau sangat ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Shienna, maka perjuangkan dia. Habiskan sisa hidupmu dengan bahagia. Berjanjilah padaku kalau kau akan menjalani hidup
Shienna tiba di rumah sakit dan memeriksa kondisi Jennifer yang perlahan membaik. Dokter mengatakan kalau sayatan di pergelangan tangannya tidak terlalu dalam sehingga tidak berefek fatal. Namun, ia meminta Shienna untuk tetap mengawasi karena kemungkinan kejadian serupa akan terulang jika semua orang lengah. Jennifer masih belum membuka mata, menurut psikiatri yang juga bertugas untuk memantau kondisinya, Jennifer mengalami gejala stres akut akibat apa yang terjadi padanya.Tim kesehatan jiwa akan terus memantau kondisinya hingga membaik sampai bisa memutuskan apakah akan tetap melahirkan bayinya atau memilih aborsi sebagai jalan tengah. Shienna memandangi sahabatnya dengan rasa iba, menggenggam tangan Jennifer yang dingin dan menghela napas berat. “Aku tahu kau adalah wanita yang kuat, J. Tapi tak apa jika kau mengeluhkan kerasnya hidup padaku. Tak mengapa jika kau mengatakan segalanya padaku, jangan pernah pikirkan kondisiku yang tidak seberapa ini. Kau selalu ada untukku, maka i