PEMB4LUT SUAMIKU (3)
"Laksmi! D-dari mana kamu dapat cincin ini, hah?!" bantak Mas Darma begitu kerasnya. Saking terkejutnya, hatiku seolah tersentak membuat kantuk seketika menguap begitu saja.
Suamiku itu seketika berdiri menatap nyalang padaku. Matanya memerah, antara amarah atau karena kantuk aku tak tahu. Yang jelas, kini tubuhku gemetar melihat begitu menyeramkannya Mas Darma.
Terlebih di remangnya cahaya. Rambut gondrong dan jambangnya membuatku menelan saliva getir.
Aku bangkit duduk dan meletakkan telunjuk di depan bibir. "Mas, tolong jangan keras-keras nanti anak-anak kebangun," ujarku pelan.
"Persetan soal anak-anak! Aku tidak peduli! Katakan dari mana kamu dapat cincin itu, hah?! Sudah kubilang jangan pernah menyentuh apapun barang pribadiku. Lancang kamu!" bentak Mas Darma menunjuk wajahku dengan tangannya. Ia bahkan tak mengindahkan pintaku.
Tak mau memperkeruh suasana, aku berlutut dan meminta maaf. Iya, aku rela berlutut di hadapannya. Hal itu kulakukan agar Mas Darma tidak lagi meninggikan suara dan membangunkan anak-anak.
"A-aku minta maaf, Mas. I-ini, aku menemukannya di dalam lemari." Kulepas cincin yang melingkar di jari tengahku.
"Maaf maaf dan maaf! Untuk kali ini kau ku ampuni. Tapi tidak dengan lain kali. Camkan ucapanku!" bentak Mas Darma lagi sembari melotot.
"B-buk, I-ibuk kenapa?" tanya Mira yang tiba-tiba masuk bersama Danu. Kamar mereka berada di sebelah, tentu saja mereka mendengar keributan ini. Ternyata usahaku sia-sia.
"Ibu hanya mimpi buruk, Nak," sahutku berbohong.
Mira dan Danu menatap Bapaknya yang tengah berdiri dengan gagah. Rambut gondrongnya berantakan. Alisnya menyatu matanya tajam menatapku.
"T-tapi tadi kita dengar Bapak marah-marah bentak Ibuk. Ada apa, Buk?" Mira tak putus asa.
"Buk, takut ...." Danu menghambur ke pelukanku.
Jangankan anak-anak, aku saja merasa ketakutan menatap Mas Darma. Tubuhku terasa panas dingin.
"Kalian kembali ke kamar, ya. Ibuk hanya mimpi buruk," bujukku sembari mengusap lengan keduanya.
Meski agak keberatan, Mira dan Danu pun menurut. Suara derap langkah kaki mereka terdengar keras di rumah panggung ini.
"Katakan dengan jujur dari mana kamu mendapatkan cincin ini?!" Mas Darma tiba-tiba mendekat dan mencekal lenganku begitu kuat. Namun, beruntungnya kali ini ia tidak meninggikan suara. Setidaknya Danu dan Mira tidak mendengar bentakan bapaknya.
"M-mas, aku sudah jujur. Aku menemukan ini di lemari," sahutku pelan.
"Bohong! Kamu pasti geledah tasku, kan? Rupanya kau tidak tahu takut, Laksmi!" Mas Darma makin menguatkan cekalannya di lenganku. Aku hanya bisa meringis menahan sakit.
"M-mas, aku minta maaf. Aku sudah mengembalikan cincin itu padamu." Aku mulai tergagap karena rasa takut.
"Sekali lagi kau berbuat lancang, awas kamu! Aku tidak main-main dengan ucapanku, Laksmi!"
Saking takutnya, aku bahkan tak berani menatap mata Mas Darma. Aku tak tahu kenapa sikapnya tiba-tiba berubah drastis seperti ini. Jauh berbeda seperti dulu sebelum ia meninggalkan kami merantau di wilayah orang.
***
Pagi ini aku ke pekarangan rumah, hendak memetik bayam liar dan kacang panjang yang kutanam.
Rumahku memang di kelilingi ladang. Agak jauh dari rumah tetangga. Yang paling dekat hanya rumah Budhe Yanti, itu pun dibatasi sepetak ladang.
Rumahku terletak di ujung jalan buntu. Hanya ada tumbuhan hijau sejauh mata memandang. Ketika pagi hari, biasanya ada banyak orang yang lewat hendak ke ladang masing-masing.
Itulah kenapa rumahku dibangun bentuk panggung. Khawatir ada hewan-hewan berbisa dan berbahaya yang menelusup masuk.
Kecuali bagian dapur. Dapurku berada di bawah beralas tanah. Kamar mandi juga berada di sana. Supaya lebih mudah mengisi air kamar mandi sebab aku harus menimba terlebih dahulu di sumur yang berada di belakang rumah.
Usai memetik bayam dan kacang panjang, aku hendak berbelanja ke warung Bu Santi di ujung jalan sana.
Saat hendak pamit, rupanya Mas Darma tengah mandi. Namun, tak terdengar suara percikan air sama sekali. Seperti tidak ada aktifitas apa pun di dalam sana.
"Mir, Bapak di mana?" tanyaku memastikan.
"Mandi, Buk. Kan sudah Mira bilang tadi kalau Bapak mandi. Sini deh, Buk!" Mira berbisik, memintaku mendekat. Dia berada di ujung tangga pembatas dapur dan ruang tengah.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Tadi, Bapak bawa sesuatu di perutnya. Besar, disembunyikan di perut kayak orang hamil," bisik Mira serius.
Aku mengamati wajahnya, khawatir dia bohong. Namun, aku tahu Mira bukan anak yang seperti itu.
"Kamu yakin?"
"Ibuk sih suka gak percaya sama Mira. Liat aja nanti kalau Bapak keluar," ujar Mira sedikit kesal karena aku tak kunjung memercayainya.
Eh, tapi bukannya perut Mas Darma memang buncit? Mungkin Mira salah sangka.
"Perut Bapak kan memang bun--"
"Ibuk ... Ibuk ...." Terdengar teriakan Danu yang melengking keras sebelum aku menyelesaikan perkataanku pada Mira.
Aku dan Mira sontak terperanjat mendengar teriakan Danu serta derap langkah kaki yang begitu keras menuju ke mari.
Danu menghampiri kami dengan wajah panik, ketakutan dan sepertinya juga shock. Dia begitu tegang.
Bersambung.
PEMB4LUT SUAMIKU (4)"Ibuk ... Ibuk ...." Aku dan Mira sontak terperanjat mendengar teriakan Danu serta derap langkah kaki yang begitu keras. Danu menghampiri kami dengan wajah panik, ketakutan dan sepertinya juga shock. Dia begitu tegang."Danu, kenapa, Nak? Ada apa?" tanyaku ikut panik melihat raut wajah Danu. "B-buk ... i-itu di sana ...." Danu menunjuk arah kamar. "Kenapa? Ada apa di sana?" tanyaku penasaran."I-ibuk lihat aja sendiri. D-danu takut. Banyak darah." Sekujur tubuh Danu gemetar. Wajahnya pucat. Melihatnya seperti itu semakin membuatku khawatir."Astaghfirullah ... darah?" tanyaku terkejut."Mira di sini, ya. Jaga adik!" pintaku.Tanpa menunggu lama, aku pergi ke kamar. Langkahku terpaku di ambang pintu yang hanya dibatasi kelambu. Lututku lemas. Tanganku gemetar melihat pemandangan di depan. Ubin kayu dipenuhi pembalut bekas yang menumpuk, tepat di sebelah ransel Mas Darma yang terbuka. Sepertinya Danu membuka ransel Mas Darma dan menemukan itu. "P-pembalut?" Ak
PEMB4LUT SUAMIKU (5)Seketika jantungku hampir lolos dari tempatnya ketika mendapati sebelah mata juga tengah menatapku dengan melotot tepat di depan lubang.Entah mata siapa itu. Aku tak yakin milik Mas Darma sebab mata yang kulihat barusan terdapat riasannya. Seperti mata seorang wanita. Cantik. Aku mundur perlahan. Lalu dengan tergesa kembali ke ruang tengah. Kualihkan rasa takutku dengan memotong kacang panjang dan bayam yang kupetik sebelumnya. Meski tak bisa dipungkiri jantungku tidak aman. Khawatir Mas Darma menyadari kalau aku mengintipnya. Setelah beberapa saat, Mas Darma masuk ke kamar. Ekspresinya biasa saja. Sepertinya dia tidak tahu jika aku mengintip dan mengetahui perbuatannya di kamar mandi barusan. Itu artinya benar, bahwa mata yang kulihat di lubang pintu bukanlah mata Mas Darma. Namun, mata siapa itu tadi? Tidak mungkin ada orang lain di sana. Lagipun kamar mandiku sempit, tidak akan cukup ditempati dua orang dewasa. Dan aku yakin bahwa aku tidak salah lihat. J
PEMB4LUT SUAMIKU (6) "Mas, ini kopinya." Aku menyodorkan segelas kopi yang Mira buat. Anak-anak bermain di belakang rumah. Danu merasa sedih karena olokan temannya barusan. Beruntungnya Mira mengerti dan mengajaknya bermain berdua mencari siput di sawah belakang rumah. Aku menatap Mas Darma mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kakinya menapak. Bahkan bisa kupegang. Jadi tidak mungkin sosok di depanku ini hantu seperti yang orang bilang. "Kenapa lihat begitu?" tanya Mas Darma yang membuatku terkejut. Rupanya aku ketahuan telah memperhatikannya. "Eh, enggak, Mas. Itu, Mas rapi banget pagi ini. Mau ke mana, Mas?" tanyaku canggung. "Aku mau cari kerja di sekitar sini, Laksmi," sahutnya sembari menyeruput kopi. "Ehm, Mas. Gimana kalau sebelum itu Mas berkunjung dulu ke rumah tetangga dan Pak RT. Soalnya mereka pada gak percaya kalau Mas Darma udah balik," usulku. Sengaja aku melakukan itu untuk mengujinya. Jika dia benar Mas Darma, tentunya tanpa bertanya dia tahu siapa saja
PEMB4LUT SUAMIKU (7)Badannya bungkuk, wajahnya penuh keriput. Jalannya tertatih-tatih. Namun, matanya awas memandang rumahku dengan raut wajah serius. Siapa nenek tua itu? Aku tak pernah melihat sosoknya sebelumnya.Astaga! Mira dan Danu? Buru-buru aku mempercepat langkah menuju rumah. Aku teringat Mira dan Danu yang masih bermain mencari siput di sawah belakang. Gelagat nenek tua itu terlihat mencurigakan. Aku khawatir dia berniat buruk pada keluargaku. Melihat kedatanganku yang tergesa, nenek tua itu melotot tajam kemudian membuang muka masam dan segera berlalu memasuki kebun jagung. Mungkin dia mengira aku hendak menghampirinya. Seketika tengkukku meremang. Namun, tidak mungkin ada hantu di siang bolong begini. Aku yakin nenek itu manusia. Akan tetapi apa tujuannya mengawasi rumahku seperti itu. Anehnya, dia juga memasuki kebun jagung yang begitu luas. Tingginya melebihi tinggi tubuhku. Tentunya tubuh nenek tua yang sudah bungkuk itu tenggelam di antara puluhan pohon jagung.
PEMB4LUT SUAMIKU (8) "Ibuk ... Ibuk ... Bapak pulang!" teriak Danu dari luar kamar yang membuat sekujur tubuh gemetar. Takut. Disusul dengan derap langkah kaki yang aku yakin itu Mas Darma. Gawat! Buru-buru kulipat kembali kertas lusuh di tangan beserta kotak cincinnya dan memasukkan kembali ke dalam ransel. Lalu mengembalikan ransel di posisi semula. Tepat saat aku hendak membuka pintu kamar, Mas Darma sudah berada tak jauh di depan kelambu. "Kenapa kamu?" tanya Mas Darma memandangku aneh. "Enggak, Mas. Gak apa-apa," sahutku berusaha tenang. Aku tidak boleh menampakkan raut wajah tegang di depannya. "Makan dulu, Mas?" tawarku. "Boleh." Aku berjalan ke dapur, menyiapkan makan dan membuat kopi. Sementara Mas Darma masuk ke kamar. Tak bisa dipungkiri jantungku berdegup dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Aku khawatir ada sesuatu miliknya yang tertinggal dan lupa kumasukkan. Semoga saja tidak. "Mas, bagaimana apa tadi ketemu sama Pak RT?" tanyaku sembari menemani
PEMB4LUT SUAMIKU (9)"Budhe, Mbah Marni barusan siapa? Budhe kenal?" bisikku pada Budhe, ketika Pakdhe dan Mas Darma kembali berbincang hangat sembari menikmati jagung rebus. Rasa penasaranku tak terbendung lagi. Biarlah kudesak Budhe untuk jujur siapa sosok Mbah Marni."Mbah Marni ... Eem, dia itu ... anu, warga kampung sini juga, Mi," sahut Budhe gugup."Budhe kenal, kan? Kenapa nenek itu ngawasin rumah kami terus, Budhe? Terus kenapa Budhe tadi ketakutan?" tanyaku menggebu."Ya sudah, kami pamit dulu, Le. Sudah malam." Pakdhe bangkit dan berpamit, memotong pertanyaanku yang tak sempat dijawab oleh Budhe. Aku mendesah, mengiyakan pamit Pakdhe Bakri dengan terpaksa. Tak apalah, bisa kutanyakan lagi besok pada Budhe Yanti.Yang membuatku heran dan penasaran sebab meski bertahun-tahun tinggal di kampung ini tak pernah mengenal sosok Mbah Marni. Bahkan namanya saja tidak. Kami mengantar Pakdhe dan Budhe ke depan. Mas Darma berjalan berada di belakang Budhe. Sementara aku berjalan di
PEMB4LUT SUAMIKU (10)"Ibuk, malam ini Mira gak mau tidur sama Bapak. Tolong ya, Buk. Mira takut ...." Mira tiba-tiba menghampiriku yang tengah memasak. Hatiku mencelos sekaligus kaget melihat dia menangis. "Kenapa, Nak? Apa yang terjadi sama Bapak?""Aku gak mau lagi tidur sama Bapak, Buk," isak Mira makin menjadi-jadi. "Iya, besok-besok Ibuk janji gak bakal ngizinin Bapak tidur di kamar kalian lagi. Tapi Mira juga janji ya cerita sama Ibuk?" Mira mengangguk sembari mengusap air matanya. "Ya sudah sekarang kamu mandi dulu gih. Siap-siap sekolah," perintahku yang kemudian dibalas anggukan olehnya. ***Mas Darma dan anak-anak sudah berangkat bekerja. Aku pun sudah siap dengan arit di tangan. Setelah libur kerja hampir satu minggu lamanya, akhirnya aku kembali dengan aktifitasku. Kemarin Bu Rodiyah memintaku untuk mengarit padinya yang sudah menguning. Hendak dipanen. Nantinya akan digiling memakai mesin untuk memisahkan antara padi dan daunnya. "Eh, Mi, tumben kerja lagi? Kupik
PEMB4LUT SUAMIKU (11)"Mbah ...," panggilku ragu. Dia menoleh. Namun, kembali membuang muka dan segera masuk ke kebun jagung. Seperti kemarin. Aku mengejarnya, memasuki kebun jagung. Rasa penasaran ini harus terungkap. Kenapa dia selalu mengawasiku. Akan ada kejadian apa memangnya di rumahku?Kulempar begitu saja arit yang kupegang. Lantas mengejar Mbah Marni memasuki kebun jagung. Beruntungnya aku memakai baju panjang, setidaknya tanganku tidak begitu gatal. Tanaman jagung tumbuh rapat berjajar. Aku kesulitan berjalan. Beruntungnya jejak Mbah Marni bisa kutemukan, jadi dengan mudah aku mengejarnya. "Mbah ... tolong Mbah saya mau bicara. Berhenti, Mbah!" teriakku memanggilnya. Namun, tak ada sahutan dari Mbah Marni. Dia terus berjalan. Meski tubuhnya sudah renta dan bungkuk, rupanya tenaganya masih cukup kuat. Mbah Marni berjalan cukup cepat. Tanganku mulai perih tergores daun jagung yang cukup tajam. Rasanya aku sudah cukup jauh berjalan. Gelap, pengap. Hanya tumbuhan jagung yan