Share

2. Cincin Bermata Biru

last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-30 12:30:28

PEMB4LUT SUAMIKU (2)

"Buk, Mira takut deket-deket sama Bapak. Bapak sering liatin Mira terus," bisik putri sulungku dengan bibir gemetar. 

Tak bisa dipungkiri aku bisa melihat sorot ketakutan dari matanya. 

"Iya, Buk. Danu juga takut. Jangan tinggalin Danu berduaan sama Bapak ya, Buk," sambung Danu berbisik. 

"Shutt! Kalian gak boleh bicara gini. Harusnya kalian senang dong, bentar lagi lebaran bisa sama Bapak. Danu juga gak lagi diolok teman-teman karena gak punya Bapak," jelasku pelan-pelan sambil berbisik, sembari menatap awas sekeliling. 

Aku khawatir Mas Darma mendengar pembicaraan kami dan tak bisa dibayangkan bagaimana sedihnya dia mendengar perkataan seperti itu dari anak-anaknya. 

"Ibuk sih gak pernah liat kalau kita berdua lagi sama Bapak. Bapak lihatin Mira terus!" kekeuh Mira tak putus asa. Anak itu memang keras kepala. 

"Iya. Bapak gak pernah ajak kita becanda, Buk. Bapak bengong terus."

Aku menghela napas. "Sebentar!" kataku lalu bangkit meninggalkan mereka dan pergi ke kamar, hendak mengambil sesuatu. 

Aku terdiam sebentar. Mengingat-ingat di mana aku menyimpan album foto keluarga kami.

"Ah, ya! Di situ!" kataku sembari menunjuk lemari tua di sudut kamar. Aku menyimpannya di sebelah tumpukan baju, supaya album yang menyimpan kenangan keluarga kecil kami tetap aman dan tidak dimakan rayap. 

Klatak!

Sesuatu terjatuh saat aku mengambil album yang berada di bagian belakang tumpukan baju. Tumpukan baju terdorong maju dan terjatuhlah bungkusan kecil tersebut. Sepertinya benda itu tadinya diletakkan di antara tumpukan baju. 

Aku mengernyit. "Benda apa ini?" gumamku sembari memungut plastik berisi sesuatu yang keras dan berlubang. 

Penasaran, kubuka plastik tersebut. Mataku melebar menatap benda cantik di tangan. Cincin dengan mata biru yang mengkilap. Lingkaran cincin itu berwarna kuning ke emasan. Cantik. 

Tanpa pikir panjang, kupakai cincin tersebut. Sepertinya tidak terlalu buruk melingkar di jariku, meski tanganku tidak begitu putih. 

Mungkin cincin ini milik Mas Darma. Meski aku tak yakin, sebab barang-barang Mas Darma masih berada di ranselnya. Aku tak memindahkan ke lemari karena dia tidak menyuruh. Aku takut membuatnya marah lagi, mengingat kemarin dia melarangku untuk menyentuh barang-barangnya. 

Meski agak aneh dan membuatku bingung, aku pun menuruti. Aku tak mau ada keributan. Terlebih di awal kepulangannya. Karena harusnya Mas Darma kusambut dengan baik. 

Aku kembali ke ruang tengah di mana Mira dan Danu duduk di sana. 

"Itu apa, Buk?" tanya Danu menunjuk sesuatu dalam dekapanku. 

"Bentar. Ibu tunjukkan ke kalian." 

Kubuka lembaran demi lembaran. Yang di dalamnya terdapat foto-foto kami berempat. Sebagian hanya bertiga, saat Danu dalam kandungan. 

"Ini Bapak waktu Danu masih dalam kandungan," ujarku sembari melepas foto dari album tua itu. 

"Gak mirip, Buk. Bapak yang ini tidak menakutkan!" sahut Danu. 

"Nak, Bapak bertahun-tahun kerja mencari uang untuk kita. Tidak ada yang merawat Bapak di sana. Bahkan Bapak tidak sempat merawat dirinya sendiri demi cari uang untuk kalian," ujarku mencoba menjelaskan. 

"Iya, Buk. Agak mirip, sih. Cuma beda jauh," gumam Mira sembari memperhatikan foto tersebut.

Aku harus menjelaskan dan membuat mereka mengerti. Supaya tidak terus-terusan merasa takut dan tidak nyaman di dekat ayahnya. 

Sebetulnya aku mengerti dan wajar. Danu ditinggalkan saat masih dalam kandungan. Sementara Mira waktu itu usia dua tahun. Yang tentu saja ingatannya masih belum begitu kuat. Wajar mereka takut dan merasa asing dengan ayah mereka. 

Namun, bagaimana pun keasingan ini tidak bisa berlanjut. Untuk satu minggu ini aku memang memutuskan untuk tidak bekerja dahulu, sebab ingin menemani Mas Darma. 

Tapi untuk hari-hari berikutnya? Aku harus bekerja untuk kebutuhan hidup kami. Biasanya, Danu dan Mira berada di rumah ketika aku kerja di ladang. Namun, jika mereka tidak mau ditinggal berdua dengan ayahnya, mau ke mana mereka? Sementara Mas Danu belum dapat kerja yang tentunya dia akan tetap di rumah.

Kupandangi foto Mas Darma, badannya kurus tegap dengan potongan rambut rapi. Jambang dan kumisnya dicukur rapi. Beda dengan sekarang. Badannya agak berisi dengan perut buncit, berjambang dan rambut agak gondrong. Tentu saja aku merasa takut awalnya saat dia datang, terlebih di sore hari menjelang maghrib. 

Kupikir waktu itu orang asing yang berniat jahat. Ah, aku merasa bersalah jika mengingat waktu itu. Mungkin Mas Darma agak kecewa karena aku tak mengenali, meski dia tidak mengatakan itu. 

"Tapi yang bikin Mira takut karena Bapak lihatin Mira terus, Buk!" bisik Mira lagi seolah tidak puas dengan perkataannku. 

"Bapak juga sering lihatin Ibuk. Kalian tahu kenapa? Karena Bapak rindu sama kita, Nak, bertahun-tahun tidak berjumpa. Terakhir Bapak ketemu kamu, saat Mira usia dua tahun. Kebayang kan bagaimana rindu seorang ayah pada anaknya?" 

"Iya, Buk. Kami minta maaf. Kami gak takut lagi sama Bapak," ujar Mira menunduk, merasa bersalah. 

***

Malam ini entah kenapa aku begitu gelisah. Berkali-kali aku terbangun karena mimpi buruk. Mimpi yang tidak bisa kugambarkan tetapi setiap kali terbangun aku selalu ngos-ngosan dengan keringat dingin. Anehnya, tiap terbangun aku selalu lupa apa yang terjadi di mimpi barusan. 

Karena mulai ketakutan, terlebih mendengar suara nyanyian binatang malam yang sangat ramai bersahut-sahutan tak seperti biasanya, aku mendekat ke sisi Mas Darma dan melingkarkan tangan di perutnya. 

Tak berselang lama terpejam, aku terperanjat saat tanganku dihempas begitu kuat hingga membuat tubuh kurusku juga sedikit terpental. 

"Laksmi! D-dari mana kamu dapat cincin ini, hah?!" bantak Mas Darma begitu kerasnya. Saking terkejutnya, hatiku seolah tersentak membuat kantuk seketika menguap begitu saja. 

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    45. Rumah Baru

    Makam Mas Darma benar-benar kacau. Seolah ada yang sengaja menggali dan mengeluarkan jasad Mas Darma. Tak jauh dari makam Mas Darma, aku memang melihat sebuah cangkul. Kuduga itu akat yang digunakan pelaku untuk mengeruk makam Mas Darma. "Buk, ini tulang apa, Buk? Katanya kita ke makam Bapak. Kok banyak tulang besar-besar, Buk?"Aku mengusap dada, menahan sesak dan juga air mata yang hendak meluap. Siapa? Siapa yang tega melakukan ini, Tuhan! Aku yakin ini perbuatan orang-orang yang masih menaruh dendam terhadap Mas Darma. "Buk, Danu takut, Buk," lirih Danu. Kulirik mereka berdua yang kemudian saling berpegangan tangan. Pandangannya menatap sekeliling dengan raut wajah tegang. Allah ... Allah .... Terus kubisikkan nama Allah dalam hati. Aku harus kuat. Perlahan, aku bangkit. Menghampiri Danu dan Mira, mencoba menjelaskan sesederhana mungkin berharap bisa mereka pahami. "Nak, perlu kalian tahu. Tidak semua orang suka sama kita. Seperti kali ini, ada yang gak suka sama Bapak sehin

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    44. Makam Mas Darma Rusak!

    Sampai di rumah, rupanya Pak Ustad dan beberapa orang masih ada di sana. Aku jadi tak enak hati, kasihan Pak Ustad menunggu lama.Mataku terfokus pada karung yang tergeletak di sebelah tangga. Hatiku berdenyut, aku ingat karung itu."Alhamdulillah kalian sudah pulang. Bagaimana keadaan Mira, Pak?" tanya Pak Ustad."Alhamdulillah sudah mendingan, Pak Ustad.""Syukurlah. Jadi bagaimana keputusan Ibu dan Bapak? Tulang belulang Almarhum sudah diambil oleh bapak-bapak ini. Jika memang setuju, pukul sepuluh kita lakukan pemakaman dengan layak. Lebih cepat lebih baik." "Alhamdulillah, terima kasih, Pak Ustad. T-tapi, bagaimana dengan warga? Apa mereka setuju untuk dimakamkan di desa ini?" tanyaku ragu."InsyaAllah mereka tidak keberatan. Sudah kami bicarakan sebelumnya. Untuk salat jenazah, saya pribadi tidak bisa memaksakan mereka. Jika pun mereka tidak mau, tidak apa-apa. Siapa yang mau saja. Yang penting sudah kita perlakukan jenazah dengan baik dan sesuai anjuran." "Baik, Pak Ustad. Al

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    43. Pemakaman Kedua

    "IBUK! IBUK! MBAK MIRA, IBUK!" Penjelasan Pak Ustad sontak terpotong karena teriakan Danu yang begitu histeris.Dia menghambur memelukku sembari menangis. Napasnya terpenggal."IBUK, MBAK MIRA, IBUK .... CEPAT!" Astaghfirullah! Kenapa Danu sehisteris ini. Apa yang terjadi dengan Mira?Kasak-kusuk warga kembali terdengar. Namun, tanpa memedulikan itu aku langsung masuk ke rumah menghampiri Mira yang terbaring di kasur. "Astaghfirullah, Nak!" pekikku kaget melihat Mira dalam keadaan kejang parah. Suhu tubuhnya panas tinggi. Matanya terbuka dengan bola mata menghadap ke atas. "PAKDHE, BUDHE!" teriakku sekencang mungkin. Aku tak kuasa menahan tangis. Aku tahu menangis bukan solusi. Namun, siapa yang tak khawatir melihat putrinya demikian. Aku khawatir sumpah serapah ibu-ibu barusan tentang karma Mas Darma menjadi kenyataan. "Ya Allah, Mira!" gumam Budhe tak kalah khawatir.Mira mengerang. Wajahnya pucat kemerahan. Aku begitu panik. Kami semua tidak bisa melakukan apa pun karena tidak

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    42. Teror Hantu Mas Darma

    "LAKSMI! LAKSMII! KELUAR KAMU!" Pagi buta aku dikejutkan dengan teriakan warga. Apalagi ini? "LAKSMI CEPAT KELUAR ATAU KAMI BAKAR RUMAHMU?!" Astaghfirullah! Mira terkesiap. Namun, matanya masih terpejam. Dia tidak mengeluh. Namun dari ekspresi wajahnya aku tahu dia kesakitan. Bagaimana tidak, kemarin tubuh Mira dihantam ke sana ke mari saat Nyai berusaha melepaskan diri dari cekalan Pakdhe. Dia juga menendangi barang-barang di dapur hingga berserakan. Tentulah tubuhnya terasa sakit dan ngilu. "LAKSMI JANGAN MENGHINDAR KAMU! KAMU HARUS KELUAR DARI DESA INI!" "USIR LAKSMI! USIR LAKSMI!" sorakan warga makin terdengar heboh. Aku gemetar. Danu pun sampai terbangun dan ketakutan. "Buk, itu kenapa, Buk?" tanyanya risau. "Biar Ibuk yang lihat keluar, ya. Danu di sini jagain Mbak Mira," pintaku. Aku menoleh pada Mira yang masih berbaring dengan mata terpejam. Dia meringkuk sembari memeluk tubuhnya sendiri. Seperti kedinginan. Terpaksa aku harus membuka pintu, khawatir amarah

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    41. Mira Kerasukan

    Tok tok tok!Deg! Siapa itu? Siapa yang bertamu maghrib-maghrib begini.Apa jangan-jangan Pakdhe?Setelah malam itu, saat Mas Darma datang padaku, aku menjadi begitu trauma. Aku khawatir kejadian yang sama akan terulang.Tok tok tok!Entah kenapa, detak jantungku makin berpacu dengan hebat seiring ketukan pintu yang terdengar."Assalamualaikum, Nduk. Ini Budhe."Seketika aku bernapas lega ketika mendengar ucapan salam dari luar sana. Rupanya benar, Pakdhe dan Budhe di depan. Ah, aku terlalu paranoid saat ini. Menjadi begitu penakut. Gegas aku membuka pintu. "Waalaikumussalam, Budhe," sahutku sembari membuka pintu."Ini, dimakan." Budhe menyodorkan rantang. "Budhe, aku mohon jangan repot-repot. Aku jadi gak enak. Budhe dan Pakdhe sudah mau membantu kami itu sudah sangat terima kasih," kataku tak enak hati. Kuletakkan rantang itu di meja bulat sudut ruangan. "Sudah sudah, itu namanya rezeki. Wong Budhe juga gak kerepotan kok," timpal Pakdhe. "Oh iya, di mana benda itu, Nduk? Kita bis

  • Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang    40. Mira Diincar!

    *Dia tidak terima dan ingin mengambil raga Mira sebagai tempat bersemayamnya. Rupanya ruh Nyai itu belum sepenuhnya pergi sebab ada barang miliknya yang tersisa. Yang jelas benda itu memiliki kesamaan dengan mahkota miliknya. Kita harus membakar benda itu sebelum dia berhasil merebut raga Mira. Karena jika sampai terlambat, maka ...." Pakdhe menggantung ucapannya."Maka apa, Pakdhe?" tanyaku tak sabar."Mira yang jadi korbannya, Nduk. Pakdhe tanya kepada Mbah Samun, kenapa makhluk itu begitu mengincar Mira. Katanya, mungkin Mira memiliki aura lebih yang membuat makhluk itu tertarik. Apa kamu ingat weton Mira?" Aku terdiam sejenak. Mengingat-ingat tanggal lahir Mira. "Kalau tidak salah, hari Selasa, Pakdhe. Tapi sebentar, aku lihat dulu. Aku ingat dulu Mas Darma pernah mencatat hari lahirnya di buku nikah kami."Aku beranjak. Membuka lemari dan mengambil tas kain yang berisi hal-hal penting milik kami. "Ini, Pakdhe." Aku menyerahkan buku nikah milikku. Ah, melihat itu aku jadi teri

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status