PEMB4LUT SUAMIKU (4)
"Ibuk ... Ibuk ...."
Aku dan Mira sontak terperanjat mendengar teriakan Danu serta derap langkah kaki yang begitu keras.
Danu menghampiri kami dengan wajah panik, ketakutan dan sepertinya juga shock. Dia begitu tegang.
"Danu, kenapa, Nak? Ada apa?" tanyaku ikut panik melihat raut wajah Danu.
"B-buk ... i-itu di sana ...." Danu menunjuk arah kamar.
"Kenapa? Ada apa di sana?" tanyaku penasaran.
"I-ibuk lihat aja sendiri. D-danu takut. Banyak darah." Sekujur tubuh Danu gemetar. Wajahnya pucat. Melihatnya seperti itu semakin membuatku khawatir.
"Astaghfirullah ... darah?" tanyaku terkejut.
"Mira di sini, ya. Jaga adik!" pintaku.
Tanpa menunggu lama, aku pergi ke kamar. Langkahku terpaku di ambang pintu yang hanya dibatasi kelambu.
Lututku lemas. Tanganku gemetar melihat pemandangan di depan. Ubin kayu dipenuhi pembalut bekas yang menumpuk, tepat di sebelah ransel Mas Darma yang terbuka. Sepertinya Danu membuka ransel Mas Darma dan menemukan itu.
"P-pembalut?" Aku sungguh shock melihat tumpukan sampah itu. Perutku terasa diaduk-aduk dan hendak memuntahkan seluruh isinya.
"Ada apa, Buk?" tanya Mira yang hendak masuk. Namun, dengan tegas kucegah. Aku tidak mau dia melihat pemandangan menjijikkan ini.
"Mira keluar dulu. Duduk di tangga lihat Bapak apa sudah keluar dari kamar mandi. Nanti bilang Ibuk kalau sudah keluar," pintaku pada Mira.
Beruntungnya tanpa banyak bertanya, anak itu segera melakukan yang kupinta.
Tanpa membuang waktu, aku segera memasukkan tumpukan pembalut bekas pakai yang penuh dengan noda darah yang sudah mengering itu ke dalam kantung kresek. Sebagian d4rahnya masih memerah.
Namun sebelum itu, aku membungkus tangan dengan kantung plastik berlapis-lapis. Tak mungkin aku memegang pembalut-pembalut itu dengan tangan telanjang.
Aku tak tahan aromanya. Anyir bercampur busuk. Rasanya aku tidak tahan dan hendak memuntahkan isi perutku di sini. Namun, aku harus melakukan ini. Aku tidak mau Mas Darma sampai tahu jika ranselnya sudah dibuka oleh Danu.
Meski, setelah mengetahui ini aku makin dibuat penasaran dan menyimpan sejuta curiga pada suamiku sendiri.
Apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Jika perihal fisik, okelah wajar ada banyak perubahan. Namun, dari sifat dan perilaku anehnya seperti ini, aku yakin ada yang tidak beres.
Aku mulai merasa takut dan merasa bahwa Mas Darma bukanlah suamiku yang dulu.
Beruntungnya semua sudah beres. Tak lupa ku-lap ubin kayu supaya tidak amis dan meletakkan ransel Mas Darma di tempat semula. Berkali-kali kupastikan bahwa semua barang miliknya berada di tempat semula. Jangan sampai Mas Darma curiga. Aku tak mau anak-anak mendengar bentakan kerasnya seperti tadi malam.
Untuk apa sebetulnya Mas Darma mengumpulkan barang-barang bekas ini? Dan milik siapa ini? Tak mungkin punyaku karena aku belum mendapati jadwal haid. Sementara Mira, anak itu belum mendapatkan haid pertamanya di usianya yang kini hampir dua belas tahun.
Kepalaku sungguh pusing memikirkan semua ini. Aku merasa ini sudah bukan lagi hal yang wajar. Namun, hendak bertanya pun aku tak ada keberanian. Sebaiknya kuselidiki ini sendiri. Aku harus tetap berpura-pura baik-baik saja. Aku tak boleh menunjukkan sikap aneh yang membuat Mas Darma curiga padaku.
Ya, aku harus menyelidiki ini.
"Buk, ssstt! Udah belum?" Terdengar desisan yang rupanya Mira melongok dari balik kelambu.
"Eh, i-iya, Mir," sahutku gugup. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku tak sadar sampai melamun memikirkan semua ini.
"Ibuk ditanya malah melamun!"
"Bapak sudah keluar?"
Mira menggeleng. "Belum, Buk."
Aku mengernyitkan dahi. Lama sekali Mas Darma di sana.
Lagi-lagi aku tidak mendengar percikan air dari dalam kamar mandi. Hening. Kuputuskan untuk mendekat ke arah pintu dan menajamkan pendengaran, mataku terbelalak kaget mendengar suara seperti orang yang tengah mengendus dan mendes4h.
"Ehm, Mira sama Danu Ibuk boleh minta tolong? Belikan telur dan gula buat Bapak di warung Bi Santi, ya?" pintaku pada mereka berdua.
Mira dan Danu setuju. Kuberikan sejumlah uang, dan meminta mereka membeli jajanan dengan uang kembaliannya nanti. Mereka begitu girang dan segera berlarian keluar rumah.
Seperginya mereka, aku kembali mendekatkan telinga ke arah pintu kamar mandi. Suara itu masih terdengar. Tidak salah lagi!
Meski ragu, dengan jantung berdebar kencang, kuberanikan mengintip dari celah pintu kamar mandi yang berlubang.
Lagi-lagi aku dibuat terkejut bukan kepalang melihat Mas Darma tengah mengendus-endus pemb4lut bekas yang penuh dengan noda d4rah sembari melakukan on4n*i.
Aku menjauh dari pintu, khawatir Mas Darma sadar akan kehadiranku. Jantungku makin berdebar kencang. Aku sungguh shock. Berkali-kali aku yakinkan diri bahwa aku tak salah lihat barusan. Mas Darma mengendus-endus barang bekas itu dan begitu menikmatinya. Bahkan tak segan dia menjilatinya.
Ya Tuhan! Astaghfirullah ....
"Siapa sebenernya lelaki itu, Ya Tuhan? Tidak mungkin dia suamiku!"
Tak ada orang waras yang melakukan hal menjijikkan seperti itu.
Untuk memastikan, sekali lagi kuberanikan melangkah mendekat. Aku menahan napas, mengintip melalui lubang kecil.
Seketika jantungku hampir lolos dari tempatnya ketika mendapati sebelah mata juga tengah menatapku dengan melotot tepat di depan lubang.
Bersambung.
PEMB4LUT SUAMIKU (5)Seketika jantungku hampir lolos dari tempatnya ketika mendapati sebelah mata juga tengah menatapku dengan melotot tepat di depan lubang.Entah mata siapa itu. Aku tak yakin milik Mas Darma sebab mata yang kulihat barusan terdapat riasannya. Seperti mata seorang wanita. Cantik. Aku mundur perlahan. Lalu dengan tergesa kembali ke ruang tengah. Kualihkan rasa takutku dengan memotong kacang panjang dan bayam yang kupetik sebelumnya. Meski tak bisa dipungkiri jantungku tidak aman. Khawatir Mas Darma menyadari kalau aku mengintipnya. Setelah beberapa saat, Mas Darma masuk ke kamar. Ekspresinya biasa saja. Sepertinya dia tidak tahu jika aku mengintip dan mengetahui perbuatannya di kamar mandi barusan. Itu artinya benar, bahwa mata yang kulihat di lubang pintu bukanlah mata Mas Darma. Namun, mata siapa itu tadi? Tidak mungkin ada orang lain di sana. Lagipun kamar mandiku sempit, tidak akan cukup ditempati dua orang dewasa. Dan aku yakin bahwa aku tidak salah lihat. J
PEMB4LUT SUAMIKU (6) "Mas, ini kopinya." Aku menyodorkan segelas kopi yang Mira buat. Anak-anak bermain di belakang rumah. Danu merasa sedih karena olokan temannya barusan. Beruntungnya Mira mengerti dan mengajaknya bermain berdua mencari siput di sawah belakang rumah. Aku menatap Mas Darma mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kakinya menapak. Bahkan bisa kupegang. Jadi tidak mungkin sosok di depanku ini hantu seperti yang orang bilang. "Kenapa lihat begitu?" tanya Mas Darma yang membuatku terkejut. Rupanya aku ketahuan telah memperhatikannya. "Eh, enggak, Mas. Itu, Mas rapi banget pagi ini. Mau ke mana, Mas?" tanyaku canggung. "Aku mau cari kerja di sekitar sini, Laksmi," sahutnya sembari menyeruput kopi. "Ehm, Mas. Gimana kalau sebelum itu Mas berkunjung dulu ke rumah tetangga dan Pak RT. Soalnya mereka pada gak percaya kalau Mas Darma udah balik," usulku. Sengaja aku melakukan itu untuk mengujinya. Jika dia benar Mas Darma, tentunya tanpa bertanya dia tahu siapa saja
PEMB4LUT SUAMIKU (7)Badannya bungkuk, wajahnya penuh keriput. Jalannya tertatih-tatih. Namun, matanya awas memandang rumahku dengan raut wajah serius. Siapa nenek tua itu? Aku tak pernah melihat sosoknya sebelumnya.Astaga! Mira dan Danu? Buru-buru aku mempercepat langkah menuju rumah. Aku teringat Mira dan Danu yang masih bermain mencari siput di sawah belakang. Gelagat nenek tua itu terlihat mencurigakan. Aku khawatir dia berniat buruk pada keluargaku. Melihat kedatanganku yang tergesa, nenek tua itu melotot tajam kemudian membuang muka masam dan segera berlalu memasuki kebun jagung. Mungkin dia mengira aku hendak menghampirinya. Seketika tengkukku meremang. Namun, tidak mungkin ada hantu di siang bolong begini. Aku yakin nenek itu manusia. Akan tetapi apa tujuannya mengawasi rumahku seperti itu. Anehnya, dia juga memasuki kebun jagung yang begitu luas. Tingginya melebihi tinggi tubuhku. Tentunya tubuh nenek tua yang sudah bungkuk itu tenggelam di antara puluhan pohon jagung.
PEMB4LUT SUAMIKU (8) "Ibuk ... Ibuk ... Bapak pulang!" teriak Danu dari luar kamar yang membuat sekujur tubuh gemetar. Takut. Disusul dengan derap langkah kaki yang aku yakin itu Mas Darma. Gawat! Buru-buru kulipat kembali kertas lusuh di tangan beserta kotak cincinnya dan memasukkan kembali ke dalam ransel. Lalu mengembalikan ransel di posisi semula. Tepat saat aku hendak membuka pintu kamar, Mas Darma sudah berada tak jauh di depan kelambu. "Kenapa kamu?" tanya Mas Darma memandangku aneh. "Enggak, Mas. Gak apa-apa," sahutku berusaha tenang. Aku tidak boleh menampakkan raut wajah tegang di depannya. "Makan dulu, Mas?" tawarku. "Boleh." Aku berjalan ke dapur, menyiapkan makan dan membuat kopi. Sementara Mas Darma masuk ke kamar. Tak bisa dipungkiri jantungku berdegup dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Aku khawatir ada sesuatu miliknya yang tertinggal dan lupa kumasukkan. Semoga saja tidak. "Mas, bagaimana apa tadi ketemu sama Pak RT?" tanyaku sembari menemani
PEMB4LUT SUAMIKU (9)"Budhe, Mbah Marni barusan siapa? Budhe kenal?" bisikku pada Budhe, ketika Pakdhe dan Mas Darma kembali berbincang hangat sembari menikmati jagung rebus. Rasa penasaranku tak terbendung lagi. Biarlah kudesak Budhe untuk jujur siapa sosok Mbah Marni."Mbah Marni ... Eem, dia itu ... anu, warga kampung sini juga, Mi," sahut Budhe gugup."Budhe kenal, kan? Kenapa nenek itu ngawasin rumah kami terus, Budhe? Terus kenapa Budhe tadi ketakutan?" tanyaku menggebu."Ya sudah, kami pamit dulu, Le. Sudah malam." Pakdhe bangkit dan berpamit, memotong pertanyaanku yang tak sempat dijawab oleh Budhe. Aku mendesah, mengiyakan pamit Pakdhe Bakri dengan terpaksa. Tak apalah, bisa kutanyakan lagi besok pada Budhe Yanti.Yang membuatku heran dan penasaran sebab meski bertahun-tahun tinggal di kampung ini tak pernah mengenal sosok Mbah Marni. Bahkan namanya saja tidak. Kami mengantar Pakdhe dan Budhe ke depan. Mas Darma berjalan berada di belakang Budhe. Sementara aku berjalan di
PEMB4LUT SUAMIKU (10)"Ibuk, malam ini Mira gak mau tidur sama Bapak. Tolong ya, Buk. Mira takut ...." Mira tiba-tiba menghampiriku yang tengah memasak. Hatiku mencelos sekaligus kaget melihat dia menangis. "Kenapa, Nak? Apa yang terjadi sama Bapak?""Aku gak mau lagi tidur sama Bapak, Buk," isak Mira makin menjadi-jadi. "Iya, besok-besok Ibuk janji gak bakal ngizinin Bapak tidur di kamar kalian lagi. Tapi Mira juga janji ya cerita sama Ibuk?" Mira mengangguk sembari mengusap air matanya. "Ya sudah sekarang kamu mandi dulu gih. Siap-siap sekolah," perintahku yang kemudian dibalas anggukan olehnya. ***Mas Darma dan anak-anak sudah berangkat bekerja. Aku pun sudah siap dengan arit di tangan. Setelah libur kerja hampir satu minggu lamanya, akhirnya aku kembali dengan aktifitasku. Kemarin Bu Rodiyah memintaku untuk mengarit padinya yang sudah menguning. Hendak dipanen. Nantinya akan digiling memakai mesin untuk memisahkan antara padi dan daunnya. "Eh, Mi, tumben kerja lagi? Kupik
PEMB4LUT SUAMIKU (11)"Mbah ...," panggilku ragu. Dia menoleh. Namun, kembali membuang muka dan segera masuk ke kebun jagung. Seperti kemarin. Aku mengejarnya, memasuki kebun jagung. Rasa penasaran ini harus terungkap. Kenapa dia selalu mengawasiku. Akan ada kejadian apa memangnya di rumahku?Kulempar begitu saja arit yang kupegang. Lantas mengejar Mbah Marni memasuki kebun jagung. Beruntungnya aku memakai baju panjang, setidaknya tanganku tidak begitu gatal. Tanaman jagung tumbuh rapat berjajar. Aku kesulitan berjalan. Beruntungnya jejak Mbah Marni bisa kutemukan, jadi dengan mudah aku mengejarnya. "Mbah ... tolong Mbah saya mau bicara. Berhenti, Mbah!" teriakku memanggilnya. Namun, tak ada sahutan dari Mbah Marni. Dia terus berjalan. Meski tubuhnya sudah renta dan bungkuk, rupanya tenaganya masih cukup kuat. Mbah Marni berjalan cukup cepat. Tanganku mulai perih tergores daun jagung yang cukup tajam. Rasanya aku sudah cukup jauh berjalan. Gelap, pengap. Hanya tumbuhan jagung yan
PEMB4LUT SUAMIKU (12) Ya, Tuhan, Mas Darma! Tidak, tidak mungkin dia melakukan itu. Mungkin Mira hanya mimpi atau berhalusinasi saking takutnya sama Bapaknya. "S-sekarang, A-aku keluar da-darah, Buk ...." Aku mendelik mendengar perkataan Mira. Jantung seolah berhenti berdetak beberapa saat, lalu berpacu dengan dua kali lipat lebih hebat. Tubuhku panas dingin. Gemetar. "D-darah? Di mana, Nak?" tanyaku gagap dengan bibir gemetar. Mira masih di pelukanku. Tubuhnya berguncang karena Isak tangisan. "Di kem4luanku, Buk," sahut Mira. Tangisnya kian histeris. Mendengar itu, aku seolah tak bisa bernapas. Dadaku sesak dan berat. "Astaghfirullahal adzim, Mira! Ya Tuhan," gumamku dalam hati. Aku tak berani mengutarakannya khawatir Mira makin menangis. Pikiranku berkecamuk. Tak mungkin kan Mas Darma sudah melakukan hal yang tak seharusnya dia perbuat pada putrinya sendiri? Tidak, tidak mungkin! Mas Darma bukan orang seperti itu. Jika memang benar Mas Darma melakukan hal buruk p