PEMB4LUT SUAMIKU (5)
Seketika jantungku hampir lolos dari tempatnya ketika mendapati sebelah mata juga tengah menatapku dengan melotot tepat di depan lubang.
Entah mata siapa itu. Aku tak yakin milik Mas Darma sebab mata yang kulihat barusan terdapat riasannya. Seperti mata seorang wanita. Cantik.
Aku mundur perlahan. Lalu dengan tergesa kembali ke ruang tengah. Kualihkan rasa takutku dengan memotong kacang panjang dan bayam yang kupetik sebelumnya.
Meski tak bisa dipungkiri jantungku tidak aman. Khawatir Mas Darma menyadari kalau aku mengintipnya.
Setelah beberapa saat, Mas Darma masuk ke kamar. Ekspresinya biasa saja. Sepertinya dia tidak tahu jika aku mengintip dan mengetahui perbuatannya di kamar mandi barusan.
Itu artinya benar, bahwa mata yang kulihat di lubang pintu bukanlah mata Mas Darma. Namun, mata siapa itu tadi? Tidak mungkin ada orang lain di sana. Lagipun kamar mandiku sempit, tidak akan cukup ditempati dua orang dewasa.
Dan aku yakin bahwa aku tidak salah lihat. Jelas betul bahwa tadi itu mata seorang wanita.
"Ibuk, kami pulang!" teriak Danu dan Mira hampir bersamaan. Mereka berlarian menghambur padaku dan menyerahkan titipanku pada mereka. Seperempat telur dan gula.
Mereka juga sudah memegang jajanan di tangan masing-masing.
"Mira, boleh Ibuk minta tolong siapkan kopi buat Bapak. Bapak sudah selesai mandi," pintaku pada Mira. Dia mengangguk dan lekas ke dapur.
Air panas sudah kusiapkan di termos. Jadi Mira tak perlu memasak air. Sengaja aku memintanya untuk membuat kopi karena aku ingin berbicara dengan Danu berdua.
"Danu, Ibuk minta tolong boleh?"
"Apa, Buk?"
"Danu jangan cerita apa pun tentang yang Danu lihat di tas Bapak barusan, ya? Dan ingat, Danu gak boleh sembarangan membuka sesuatu yang bukan milik Danu. Apalagi milik orang tua. Tidak sopan," jelasku hati-hati.
"Tapi itu tadi apa, Buk? Baunya busuk."
"Sstt. Jangan keras-keras ngomongnya. Nanti Bapak marah kalau tahu barang miliknya dibuka tanpa izin," ucapku khawatir Mas Darma mendengar.
"Iya, Buk. Danu minta maaf. Danu penasaran isi tas Bapak kirain mainan. Karena kata temen-temen Danu kalau Bapaknya pulang kerja bawa duit banyak dan bawa mainan," ujarnya polos.
Aku mendesah. Sebenarnya aku juga mempertanyakan itu. Bahkan Mas Darma tak memberiku uang sama sekali. Namun, aku tak menyinggungnya perihal itu. Bahkan aku memakai uang hasil kerjaku untuk belanja beberapa hari ini. Karena kupikir, yang penting orangnya pulang dengan selamat sudah lebih dari cukup.
"Mainannya kita beli di sini aja, ya. Bapak gak bawa mainan soalnya berat perjalanan jauh," ujarku beralasan.
"Benar, Buk?" Bola mata Danu berbinar.
"Iya. Asal Danu janji gak cerita sama siapa pun. Karena yang di tas Bapak itu sampah bekas yang lupa dibuang. Ingat, jangan cerita pada siapa pun apalagi Bapak."
"Iya, Buk. Danu gak cerita."
Ah, akhirnya aku bisa bernapas lega.
"Buk, kopinya sudah siap," ujar Mira dari arah dapur.
"Bawa sini, Nak. Simpan di situ, biar diminum Bapak." Aku menunjuk meja lantai yang berada di sudut.
"Buk, tadi pas kami belanja, orang-orang pada ngerubungin kita. Makanya kita agak lama.
Aku memicingkan mata. "Ngerubungin gimana?"
"Itu, orang-orang pada datang dan nanyain Bapak. Katanya coba lihat kaki Bapak kalau jalan, barangkali gak napak tanah katanya hantu. Karena katanya Bapak sudah meninggal. Yang pulang katanya hantu Bapak. Hiii!" Mira bergidik ngeri.
Kuisyaratkan agar dia tidak berbicara terlalu keras.
Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Aku tidak paham kenapa orang-orang melakukan itu. Tak seharusnya mereka mengatakan pada Mira dan Danu seperti itu. Secara tidak langsung mereka sudah mendoktrin pikiran anak-anakku untuk takut pada Bapaknya.
"Coba Danu dan Mira lihat kalau Bapak jalan. Napak, kan? Sama kayak kita. Badannya juga masih bisa dipegang, kan?" jelasku.
Mereka mengangguk.
"Berarti Bapak manusia sama seperti kita. Orang-orang sudah kemakan fitnah kalau Bapak meninggal, padahal buktinya belum kan?"
Namun, jujur saja aku sendiri tak yakin dengan perkataanku, jika melihat kelakuan aneh Mas Darma seperti itu. Mulai dari menyimpan banyak pembalut bekas, juga tingkah laku anehnya di kamar mandi barusan.
Apa mungkin dia mengidap kelainan akan mentalnya?
"Hei! Kalian mau ke mana?" teriak Danu tiba-tiba. Dia berlari ke arah pintu, memperhatikan segerombolan teman-temannya berjalan ke arah ladang.
Mereka membawa senjata masing-masing. Pancing, ketapel dan jaring untuk berburu ikan dan burung. Kebetulan hari Minggu, anak-anak libur sekolah dan memang kegiatan anak desa ketika libur main ke ladang.
"Ke sawah," sahut salah seorang dari mereka. Sementara yang lain cuek, bahkan tak menoleh.
"Aku ikut!" teriak Danu. "Boleh ya, Buk?" pamitnya.
"Boleh, tapi jangan terlalu jauh."
"Gak ah! Kami gak mau main sama anak setan!" sahut salah satu dari mereka disusul sorakan yang lain.
Hatiku seolah mencelos mendengar langsung mereka menyebut anakku anak setan. Entah siapa yang sudah membuat kabar seperti ini.
"Huuu dasar anak setan! Danu anak setan! Danu anak setan! Danu anak setan!" olok yang lain hampir bersamaan.
Bersambung.
PEMB4LUT SUAMIKU (6) "Mas, ini kopinya." Aku menyodorkan segelas kopi yang Mira buat. Anak-anak bermain di belakang rumah. Danu merasa sedih karena olokan temannya barusan. Beruntungnya Mira mengerti dan mengajaknya bermain berdua mencari siput di sawah belakang rumah. Aku menatap Mas Darma mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kakinya menapak. Bahkan bisa kupegang. Jadi tidak mungkin sosok di depanku ini hantu seperti yang orang bilang. "Kenapa lihat begitu?" tanya Mas Darma yang membuatku terkejut. Rupanya aku ketahuan telah memperhatikannya. "Eh, enggak, Mas. Itu, Mas rapi banget pagi ini. Mau ke mana, Mas?" tanyaku canggung. "Aku mau cari kerja di sekitar sini, Laksmi," sahutnya sembari menyeruput kopi. "Ehm, Mas. Gimana kalau sebelum itu Mas berkunjung dulu ke rumah tetangga dan Pak RT. Soalnya mereka pada gak percaya kalau Mas Darma udah balik," usulku. Sengaja aku melakukan itu untuk mengujinya. Jika dia benar Mas Darma, tentunya tanpa bertanya dia tahu siapa saja
PEMB4LUT SUAMIKU (7)Badannya bungkuk, wajahnya penuh keriput. Jalannya tertatih-tatih. Namun, matanya awas memandang rumahku dengan raut wajah serius. Siapa nenek tua itu? Aku tak pernah melihat sosoknya sebelumnya.Astaga! Mira dan Danu? Buru-buru aku mempercepat langkah menuju rumah. Aku teringat Mira dan Danu yang masih bermain mencari siput di sawah belakang. Gelagat nenek tua itu terlihat mencurigakan. Aku khawatir dia berniat buruk pada keluargaku. Melihat kedatanganku yang tergesa, nenek tua itu melotot tajam kemudian membuang muka masam dan segera berlalu memasuki kebun jagung. Mungkin dia mengira aku hendak menghampirinya. Seketika tengkukku meremang. Namun, tidak mungkin ada hantu di siang bolong begini. Aku yakin nenek itu manusia. Akan tetapi apa tujuannya mengawasi rumahku seperti itu. Anehnya, dia juga memasuki kebun jagung yang begitu luas. Tingginya melebihi tinggi tubuhku. Tentunya tubuh nenek tua yang sudah bungkuk itu tenggelam di antara puluhan pohon jagung.
PEMB4LUT SUAMIKU (8) "Ibuk ... Ibuk ... Bapak pulang!" teriak Danu dari luar kamar yang membuat sekujur tubuh gemetar. Takut. Disusul dengan derap langkah kaki yang aku yakin itu Mas Darma. Gawat! Buru-buru kulipat kembali kertas lusuh di tangan beserta kotak cincinnya dan memasukkan kembali ke dalam ransel. Lalu mengembalikan ransel di posisi semula. Tepat saat aku hendak membuka pintu kamar, Mas Darma sudah berada tak jauh di depan kelambu. "Kenapa kamu?" tanya Mas Darma memandangku aneh. "Enggak, Mas. Gak apa-apa," sahutku berusaha tenang. Aku tidak boleh menampakkan raut wajah tegang di depannya. "Makan dulu, Mas?" tawarku. "Boleh." Aku berjalan ke dapur, menyiapkan makan dan membuat kopi. Sementara Mas Darma masuk ke kamar. Tak bisa dipungkiri jantungku berdegup dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Aku khawatir ada sesuatu miliknya yang tertinggal dan lupa kumasukkan. Semoga saja tidak. "Mas, bagaimana apa tadi ketemu sama Pak RT?" tanyaku sembari menemani
PEMB4LUT SUAMIKU (9)"Budhe, Mbah Marni barusan siapa? Budhe kenal?" bisikku pada Budhe, ketika Pakdhe dan Mas Darma kembali berbincang hangat sembari menikmati jagung rebus. Rasa penasaranku tak terbendung lagi. Biarlah kudesak Budhe untuk jujur siapa sosok Mbah Marni."Mbah Marni ... Eem, dia itu ... anu, warga kampung sini juga, Mi," sahut Budhe gugup."Budhe kenal, kan? Kenapa nenek itu ngawasin rumah kami terus, Budhe? Terus kenapa Budhe tadi ketakutan?" tanyaku menggebu."Ya sudah, kami pamit dulu, Le. Sudah malam." Pakdhe bangkit dan berpamit, memotong pertanyaanku yang tak sempat dijawab oleh Budhe. Aku mendesah, mengiyakan pamit Pakdhe Bakri dengan terpaksa. Tak apalah, bisa kutanyakan lagi besok pada Budhe Yanti.Yang membuatku heran dan penasaran sebab meski bertahun-tahun tinggal di kampung ini tak pernah mengenal sosok Mbah Marni. Bahkan namanya saja tidak. Kami mengantar Pakdhe dan Budhe ke depan. Mas Darma berjalan berada di belakang Budhe. Sementara aku berjalan di
PEMB4LUT SUAMIKU (10)"Ibuk, malam ini Mira gak mau tidur sama Bapak. Tolong ya, Buk. Mira takut ...." Mira tiba-tiba menghampiriku yang tengah memasak. Hatiku mencelos sekaligus kaget melihat dia menangis. "Kenapa, Nak? Apa yang terjadi sama Bapak?""Aku gak mau lagi tidur sama Bapak, Buk," isak Mira makin menjadi-jadi. "Iya, besok-besok Ibuk janji gak bakal ngizinin Bapak tidur di kamar kalian lagi. Tapi Mira juga janji ya cerita sama Ibuk?" Mira mengangguk sembari mengusap air matanya. "Ya sudah sekarang kamu mandi dulu gih. Siap-siap sekolah," perintahku yang kemudian dibalas anggukan olehnya. ***Mas Darma dan anak-anak sudah berangkat bekerja. Aku pun sudah siap dengan arit di tangan. Setelah libur kerja hampir satu minggu lamanya, akhirnya aku kembali dengan aktifitasku. Kemarin Bu Rodiyah memintaku untuk mengarit padinya yang sudah menguning. Hendak dipanen. Nantinya akan digiling memakai mesin untuk memisahkan antara padi dan daunnya. "Eh, Mi, tumben kerja lagi? Kupik
PEMB4LUT SUAMIKU (11)"Mbah ...," panggilku ragu. Dia menoleh. Namun, kembali membuang muka dan segera masuk ke kebun jagung. Seperti kemarin. Aku mengejarnya, memasuki kebun jagung. Rasa penasaran ini harus terungkap. Kenapa dia selalu mengawasiku. Akan ada kejadian apa memangnya di rumahku?Kulempar begitu saja arit yang kupegang. Lantas mengejar Mbah Marni memasuki kebun jagung. Beruntungnya aku memakai baju panjang, setidaknya tanganku tidak begitu gatal. Tanaman jagung tumbuh rapat berjajar. Aku kesulitan berjalan. Beruntungnya jejak Mbah Marni bisa kutemukan, jadi dengan mudah aku mengejarnya. "Mbah ... tolong Mbah saya mau bicara. Berhenti, Mbah!" teriakku memanggilnya. Namun, tak ada sahutan dari Mbah Marni. Dia terus berjalan. Meski tubuhnya sudah renta dan bungkuk, rupanya tenaganya masih cukup kuat. Mbah Marni berjalan cukup cepat. Tanganku mulai perih tergores daun jagung yang cukup tajam. Rasanya aku sudah cukup jauh berjalan. Gelap, pengap. Hanya tumbuhan jagung yan
PEMB4LUT SUAMIKU (12) Ya, Tuhan, Mas Darma! Tidak, tidak mungkin dia melakukan itu. Mungkin Mira hanya mimpi atau berhalusinasi saking takutnya sama Bapaknya. "S-sekarang, A-aku keluar da-darah, Buk ...." Aku mendelik mendengar perkataan Mira. Jantung seolah berhenti berdetak beberapa saat, lalu berpacu dengan dua kali lipat lebih hebat. Tubuhku panas dingin. Gemetar. "D-darah? Di mana, Nak?" tanyaku gagap dengan bibir gemetar. Mira masih di pelukanku. Tubuhnya berguncang karena Isak tangisan. "Di kem4luanku, Buk," sahut Mira. Tangisnya kian histeris. Mendengar itu, aku seolah tak bisa bernapas. Dadaku sesak dan berat. "Astaghfirullahal adzim, Mira! Ya Tuhan," gumamku dalam hati. Aku tak berani mengutarakannya khawatir Mira makin menangis. Pikiranku berkecamuk. Tak mungkin kan Mas Darma sudah melakukan hal yang tak seharusnya dia perbuat pada putrinya sendiri? Tidak, tidak mungkin! Mas Darma bukan orang seperti itu. Jika memang benar Mas Darma melakukan hal buruk p
Lagian kenapa Mas Darma seolah begitu memaksa? Aku pun belum sepenuhnya percaya padanya. Terlebih mengingat perkataan Mira jika semalam Mas Darma sempat menciumi pahanya.Namun, aku tak berani menanyakan itu sekarang. Aku yakin Mas Darma tidak akan mengaku. Pasti nanti hanya akan menciptakan keributan. Biarlah kucari tahu semuanya sendiri. Aku melipat celana Danu, dan meletakkannya di lemari kamarnya. Anak-anak sudah tertidur pulas, terlihat dari dengkuran halusnya. Setelah itu aku pun masuk ke kamar dan membaringkan tubuh di kasur. Sebenarnya aku seringkali merasa mual, karena aroma busuk dari ransel Mas Darma yang berisi pembalut bekas. Sepertinya dia belum membuang pembalut-pembalut itu. Aku sendiri tak berani membuangnya. Beruntungnya kamar ini memiliki jendela, tiap hari kubuka untuk mengusir aroma busuk tersebut. Namun ketika menjelang malam kututup, tak berani membuka jendela malam hari khawatir ada binatang berbahaya yang masuk, mengingat rumah kami berada di tengah ladang.