PEMB4LUT SUAMIKU (6)
"Mas, ini kopinya." Aku menyodorkan segelas kopi yang Mira buat.
Anak-anak bermain di belakang rumah. Danu merasa sedih karena olokan temannya barusan. Beruntungnya Mira mengerti dan mengajaknya bermain berdua mencari siput di sawah belakang rumah.
Aku menatap Mas Darma mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kakinya menapak. Bahkan bisa kupegang. Jadi tidak mungkin sosok di depanku ini hantu seperti yang orang bilang.
"Kenapa lihat begitu?" tanya Mas Darma yang membuatku terkejut. Rupanya aku ketahuan telah memperhatikannya.
"Eh, enggak, Mas. Itu, Mas rapi banget pagi ini. Mau ke mana, Mas?" tanyaku canggung.
"Aku mau cari kerja di sekitar sini, Laksmi," sahutnya sembari menyeruput kopi.
"Ehm, Mas. Gimana kalau sebelum itu Mas berkunjung dulu ke rumah tetangga dan Pak RT. Soalnya mereka pada gak percaya kalau Mas Darma udah balik," usulku.
Sengaja aku melakukan itu untuk mengujinya. Jika dia benar Mas Darma, tentunya tanpa bertanya dia tahu siapa saja tetangga kita dan Pak RT kampung kita. Kebetulan masa jabatan RT belum ganti dalam jangka dua kali masa jabatan berturut-turut. Mungkin tahun depan ganti.
"Nantilah. Aku mau cari kerja dulu," sahutnya.
"Kan bisa sambil tanya-tanya info kerjaan yang bisa Mas lakukan sama Pak RT atau tetangga lain. Barangkali suami Budhe Yanti juga ada lowongan kerja, kan?" sahutku tak putus asa.
Mas Darma tampak mempertimbangkan. Entahlah. Aku merasa aura Mas Darma ketika siang dan malam hari begitu berbeda. Entah hanya firasatku atau bagaimana. Atau mungkin faktor cahaya karena rumah kami minim penerangan?
"Boleh juga. Baiklah," sahutnya yang membuatku senang.
"Ya sudah aku berangkat dulu, ya," pamitnya. Aku mengangguk.
Seperginya Mas Darma, aku ke belakang menyusul anak-anak untuk berpamit bahwa aku akan ke warung Bu Santi sebentar untuk membeli minyak.
"Mira sama Danu jangan lama-lama, ya. Minta dibawain apa dari warung Bi Santi?" tawarku.
"Danu mau cokelat, Buk."
"Mira mau jelly aja, Buk."
"Siap. Ingat ya jangan jauh-jauh dan kalau udah dapat banyak cepat balik," peringatku.
Sebenarnya aku tidak ada keperluan ke warung Bu Santi. Hanya saja aku berniat mengikuti Mas Darma dengan alih ke warung Bu Santi.
"Permisi, Ibu-ibu ...." sapaku ketika melewati gerombolan ibu-ibu yang tengah duduk santai di depan rumah tetangga.
Ada yang mencari kutu, ada pula yang tengah membuat bumbu rujak. Aku tak pernah ikut berkumpul. Bukannya tak mau bersosialisasi, tapi mungkin karena jarak rumah yang agak jauh jadi aku sering tidak diajak.
Hendak menimbrung pun jadinya sungkan sebab yang mereka bicarakan pasti suamiku. Mas Darma yang tak kunjung pulang dengan opini mereka masing-masing. Ada yang mengatakan Mas Darma menikah lagi, tetapi lebih terkenalnya Mas Darma telah meninggal.
Mendengar sapaanku, mereka menoleh. Namun, tak ada dari seorang pun menyahuti sapaanku. Mereka justru menatapku aneh. Beberapa dari mereka saling berbisik sembari menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
Aku tersenyum canggung lantas mempercepat langkah meninggalkan ibu-ibu itu. Aku merasa mereka tengah membicarakanku.
"Kok bisa ya si Laksmi gak takut sama tampang suaminya yang sekarang. Kalo aku sih ogah! Hiii mending kawin lagi!" Begitu yang kudengar sebelum aku benar-benar menjauh.
Paling tidak aku merasa lega mereka tidak lagi menganggap dan menyebarkan rumor bahwa suamiku hantu. Mungkin mereka telah melihat Mas Darma lewat saat hendak ke rumah Pak RT.
***
"Eh, Mi! Itu benar kata orang kalo suamimu udah balik?" tanya Bu Santi pemilik warung.
Aku kehilangan jejak Mas Darma. Entah ke mana perginya dia. Saat melewati rumah Pak RT barusan sepi. Pintunya tertutup. Bisa dipastikan Mas Darma tidak ada di sana.
"Alhamdulillah, iya, Bu. Bapaknya anak-anak udah pulang," sahutku tersenyum.
"Syukurlah. Lebaran tahun ini keluarga kalian jadinya lengkap," sahut Bu Santi. "Eh, Mi. Tapi ngomong-ngomong kau yakin itu suamimu? Jangan-jangan arwahnya. Kata orang sih gitu. Orang-orang yakin itu bukan suamimu. Mana pulangnya waktu surup. Kamu gak lupa kan mitos waktu surup?" bisik Bu Santi panjang lebar.
Aku tersenyum canggung. Memikirkan harus menjawab bagaimana. Namun, aku harus meluruskan rumor ini.
"Enggak kok, Bu. Buktinya dia minum kopi. Tubuhnya bisa disentuh. Ah, itu hanya rumor orang-orang aja Bu. Soalnya kan Mas Darma memang diberitakan meninggal. Padahal enggak, hanya saja tidak ada kabar," jawabku.
Bu Santi tampak tidak yakin dengan jawabanku. "Eh awas aja kau hati-hati, Mi. Barangkali itu gondoruwo yang menyamar. Macam cerita emaknya si Nurul dulu. Ingat kan?"
"Bu, mau kopi satu sama gula sekalian satu kilo," ucap Bu RT yang tiba-tiba datang, memotong ucapan Bu Santi.
"Eh, Bu RT. Tumben Bu RT beli kopi? Ada tamu?" tanya Bu Santi.
Kuakui Bu Santi memang begitu ramah pada pembeli. Bukan tipe ibu warung yang cerewet dan suka cemberut. Bahkan jika pun berhutang dia juga tetap melayani dengan ramah. Hanya saja bicaranya memang terlalu frontal. Dia berkata apa adanya tanpa disaring terlebih dahulu.
"Iya. Itu ada suami si Laksmi bertamu," sahut Bu RT sembari menatapku. Aku sedikit terkejut karena saat lewat tadi rumahnya benar-benar sepi.
"Mas Darma di sana, Bu?" tanyaku.
"Iya."
Buru-buru Bu Santi mendekat ke Bu RT dengan membawa pesanannya.
"Beneran, Bu? Suami si Laksmi?" tanya Bu Santi sembari melotot.
"Iya. Kenapa?"
"Jadi benar kalau dia memang si Darma?" tanya Bu Santi sekali lagi.
"Kamu ini bicara apa sih? Ya benar to! Mau siapa lagi?"
"Itu kata orang-orang yang pulang hantunya si Darma, Bu RT. Kan si Darma udah meninggal!"
Bu Santi benar-benar loss kalau bicara. Bahkan dia tidak sungkan mengatakan itu meski ada aku. Melihat raut wajah kaget Bu Santi aku menahan tawa.
"Hust! Rumor itu gak bener. Hati-hati kalau ngomong nanti jatuhnya fitnah! Wong suami Laksmi barusan salaman kok sama Bapak. Lagian gak mungkin arwah seseorang yang udah meninggal berkeliaran!" sahut Bu RT sambil menyodorkan sejumlah uang.
Bu Santi menerima tapi degan raut wajah yang tak percaya.
"Bu, ini aku juga udah. Sekalian tambah cokelat dan jelly," ujarku yang membuat Bu Santi yang tengah bengong terperanjat.
Aku menggelengkan kepala. Agak lucu juga. Yang pulang suamiku tetapi yang heboh seluruh kampung.
"Mi! Ati-ati kau ya kalo tengah malam!" teriak Bu Santi yang masih sempat-sempatnya bicara begitu padahal ada banyak pembeli yang antri.
"Ada-ada saja mereka," gumamku sendiri.
Eh, tapi, kalau kata Bu RT Mas Darma benar ke sana, itu artinya Mas Darma benar-benar ingat dan tentunya dia benar Mas Darma suamiku. Setidaknya aku sedikit lega. Tinggal menyelidiki sikap Mas Darma dan pembalut bekas yang disimpannya.
***
Sekitar beberapa meter dari rumah, aku menghentikan langkah ketika melihat seorang nenek tua tengah memperhatikan rumahku dari sebelah samping yang ditumbuhi tanaman jagung.
Badannya bungkuk, wajahnya penuh keriput. Jalannya tertatih-tatih. Namun, matanya awas memandang rumahku dengan raut wajah serius.
Siapa nenek tua itu? Aku tak pernah melihat sosoknya sebelumnya.
Makam Mas Darma benar-benar kacau. Seolah ada yang sengaja menggali dan mengeluarkan jasad Mas Darma. Tak jauh dari makam Mas Darma, aku memang melihat sebuah cangkul. Kuduga itu akat yang digunakan pelaku untuk mengeruk makam Mas Darma. "Buk, ini tulang apa, Buk? Katanya kita ke makam Bapak. Kok banyak tulang besar-besar, Buk?"Aku mengusap dada, menahan sesak dan juga air mata yang hendak meluap. Siapa? Siapa yang tega melakukan ini, Tuhan! Aku yakin ini perbuatan orang-orang yang masih menaruh dendam terhadap Mas Darma. "Buk, Danu takut, Buk," lirih Danu. Kulirik mereka berdua yang kemudian saling berpegangan tangan. Pandangannya menatap sekeliling dengan raut wajah tegang. Allah ... Allah .... Terus kubisikkan nama Allah dalam hati. Aku harus kuat. Perlahan, aku bangkit. Menghampiri Danu dan Mira, mencoba menjelaskan sesederhana mungkin berharap bisa mereka pahami. "Nak, perlu kalian tahu. Tidak semua orang suka sama kita. Seperti kali ini, ada yang gak suka sama Bapak sehin
Sampai di rumah, rupanya Pak Ustad dan beberapa orang masih ada di sana. Aku jadi tak enak hati, kasihan Pak Ustad menunggu lama.Mataku terfokus pada karung yang tergeletak di sebelah tangga. Hatiku berdenyut, aku ingat karung itu."Alhamdulillah kalian sudah pulang. Bagaimana keadaan Mira, Pak?" tanya Pak Ustad."Alhamdulillah sudah mendingan, Pak Ustad.""Syukurlah. Jadi bagaimana keputusan Ibu dan Bapak? Tulang belulang Almarhum sudah diambil oleh bapak-bapak ini. Jika memang setuju, pukul sepuluh kita lakukan pemakaman dengan layak. Lebih cepat lebih baik." "Alhamdulillah, terima kasih, Pak Ustad. T-tapi, bagaimana dengan warga? Apa mereka setuju untuk dimakamkan di desa ini?" tanyaku ragu."InsyaAllah mereka tidak keberatan. Sudah kami bicarakan sebelumnya. Untuk salat jenazah, saya pribadi tidak bisa memaksakan mereka. Jika pun mereka tidak mau, tidak apa-apa. Siapa yang mau saja. Yang penting sudah kita perlakukan jenazah dengan baik dan sesuai anjuran." "Baik, Pak Ustad. Al
"IBUK! IBUK! MBAK MIRA, IBUK!" Penjelasan Pak Ustad sontak terpotong karena teriakan Danu yang begitu histeris.Dia menghambur memelukku sembari menangis. Napasnya terpenggal."IBUK, MBAK MIRA, IBUK .... CEPAT!" Astaghfirullah! Kenapa Danu sehisteris ini. Apa yang terjadi dengan Mira?Kasak-kusuk warga kembali terdengar. Namun, tanpa memedulikan itu aku langsung masuk ke rumah menghampiri Mira yang terbaring di kasur. "Astaghfirullah, Nak!" pekikku kaget melihat Mira dalam keadaan kejang parah. Suhu tubuhnya panas tinggi. Matanya terbuka dengan bola mata menghadap ke atas. "PAKDHE, BUDHE!" teriakku sekencang mungkin. Aku tak kuasa menahan tangis. Aku tahu menangis bukan solusi. Namun, siapa yang tak khawatir melihat putrinya demikian. Aku khawatir sumpah serapah ibu-ibu barusan tentang karma Mas Darma menjadi kenyataan. "Ya Allah, Mira!" gumam Budhe tak kalah khawatir.Mira mengerang. Wajahnya pucat kemerahan. Aku begitu panik. Kami semua tidak bisa melakukan apa pun karena tidak
"LAKSMI! LAKSMII! KELUAR KAMU!" Pagi buta aku dikejutkan dengan teriakan warga. Apalagi ini? "LAKSMI CEPAT KELUAR ATAU KAMI BAKAR RUMAHMU?!" Astaghfirullah! Mira terkesiap. Namun, matanya masih terpejam. Dia tidak mengeluh. Namun dari ekspresi wajahnya aku tahu dia kesakitan. Bagaimana tidak, kemarin tubuh Mira dihantam ke sana ke mari saat Nyai berusaha melepaskan diri dari cekalan Pakdhe. Dia juga menendangi barang-barang di dapur hingga berserakan. Tentulah tubuhnya terasa sakit dan ngilu. "LAKSMI JANGAN MENGHINDAR KAMU! KAMU HARUS KELUAR DARI DESA INI!" "USIR LAKSMI! USIR LAKSMI!" sorakan warga makin terdengar heboh. Aku gemetar. Danu pun sampai terbangun dan ketakutan. "Buk, itu kenapa, Buk?" tanyanya risau. "Biar Ibuk yang lihat keluar, ya. Danu di sini jagain Mbak Mira," pintaku. Aku menoleh pada Mira yang masih berbaring dengan mata terpejam. Dia meringkuk sembari memeluk tubuhnya sendiri. Seperti kedinginan. Terpaksa aku harus membuka pintu, khawatir amarah
Tok tok tok!Deg! Siapa itu? Siapa yang bertamu maghrib-maghrib begini.Apa jangan-jangan Pakdhe?Setelah malam itu, saat Mas Darma datang padaku, aku menjadi begitu trauma. Aku khawatir kejadian yang sama akan terulang.Tok tok tok!Entah kenapa, detak jantungku makin berpacu dengan hebat seiring ketukan pintu yang terdengar."Assalamualaikum, Nduk. Ini Budhe."Seketika aku bernapas lega ketika mendengar ucapan salam dari luar sana. Rupanya benar, Pakdhe dan Budhe di depan. Ah, aku terlalu paranoid saat ini. Menjadi begitu penakut. Gegas aku membuka pintu. "Waalaikumussalam, Budhe," sahutku sembari membuka pintu."Ini, dimakan." Budhe menyodorkan rantang. "Budhe, aku mohon jangan repot-repot. Aku jadi gak enak. Budhe dan Pakdhe sudah mau membantu kami itu sudah sangat terima kasih," kataku tak enak hati. Kuletakkan rantang itu di meja bulat sudut ruangan. "Sudah sudah, itu namanya rezeki. Wong Budhe juga gak kerepotan kok," timpal Pakdhe. "Oh iya, di mana benda itu, Nduk? Kita bis
*Dia tidak terima dan ingin mengambil raga Mira sebagai tempat bersemayamnya. Rupanya ruh Nyai itu belum sepenuhnya pergi sebab ada barang miliknya yang tersisa. Yang jelas benda itu memiliki kesamaan dengan mahkota miliknya. Kita harus membakar benda itu sebelum dia berhasil merebut raga Mira. Karena jika sampai terlambat, maka ...." Pakdhe menggantung ucapannya."Maka apa, Pakdhe?" tanyaku tak sabar."Mira yang jadi korbannya, Nduk. Pakdhe tanya kepada Mbah Samun, kenapa makhluk itu begitu mengincar Mira. Katanya, mungkin Mira memiliki aura lebih yang membuat makhluk itu tertarik. Apa kamu ingat weton Mira?" Aku terdiam sejenak. Mengingat-ingat tanggal lahir Mira. "Kalau tidak salah, hari Selasa, Pakdhe. Tapi sebentar, aku lihat dulu. Aku ingat dulu Mas Darma pernah mencatat hari lahirnya di buku nikah kami."Aku beranjak. Membuka lemari dan mengambil tas kain yang berisi hal-hal penting milik kami. "Ini, Pakdhe." Aku menyerahkan buku nikah milikku. Ah, melihat itu aku jadi teri