“Maaf bila sikap dan keterus teranganku malah membuat jengah,” kata Awan.
“Bukan, bukan salahmu. Mungkin hanya aku yang terlalu terbawa suasana,” kata Dayu seraya mencoba tersenyum.
“Berjanjilah tak akan lagi memikirkan perasaanku. Lakukan apa yang membuatmu nyaman. Aku tak akan mengharapkan lebih dari sekedar menjadi obat untukmu,” lanjut Dayu semakin membuat Awan merasa tak enak.
Tipe gadis yang akan melakukan apapun untuk orang dicintainya seperti Dayu selalu membuat Awan tak bisa bernapas lega. Kini, dia yang mengalaminya sendiri. Inilah yang membuat Awan selalu menghindar terlibat dalam romansa. Jengah yang hadir malah membuat mereka berjeda.
“Aku bahkan tak tahu harus bagaimana. Aku bukan menolakmu. Aku bukan tak memikirkanmu. Aku hanya menghindari hal buruk yang mungkin terjadi nanti,” kata Awan mencoba berkompromi dengan perasaannya sendiri.
“Jangan pikirkan nanti. Aku tak akan menyesali apapun yang akan terjadi. Aku memikirkan yang sekarang. Ak
Patik, Awan dan Radika berjalan ke arah Kesultanan. Dayu mereka tinggalkan di rumahnya karena nanti pada saatnya akan pergi lagi bersama Awan.Begitu memasuki kota raja, prajurit yang mengenal Radika memberikan penghormatan. Radika hanya mengangguk. Dia belum begitu siap dengan perubahan kedudukan yang akan terjadi pada dirinya sebentar lagi. Bisakah dia?“Pangeran,” sapa prajurit di pintu gerbang Kesultanan.“Aku ingin bertemu dengan Ki Sadewa, katakan padanya untuk menemuiku di pendapa,” kata Radika membuat salah satu dari prajurit itu segera undur diri untuk menyampaikan pesan itu.Radika mengajak Awan dan Patik ke pendapa.“Silakan duduk Kangmas dan Paman Patik, kita menunggu Ki Sadewa,” kata Radika seraya duduk bersama mereka di bawah.Seorang emban datang untuk menanyakan apa yang harus dia suguhkan.“Wah, wah, akhirnya kamu menginjakkan kakimu lagi ke sini,” kata Ki
Resi Sangkala dan Santo sudah berjalan jauh keluar dari hutan dan mulai memasuki daerah yang padat penduduk. Mereka harus berhenti sejenak karena tak ingin menimbulkan kecurigaan. Seharusnya pasukan yang di panggil Ratno bisa mendapati mereka di area ini kalau tidak ada hambatan.Benar dugaan mereka. Dari arah berlawanan sepasukan prajurit datang. Ratno terlihat berada di depan mereka.“Maaf Resi, kami harus menyiapkan Kesultanan dan juga mewartakan kemangkatan Sultan Adiraja sepanjang jalan,” kata Ratno begitu mereka bertemu.“Tak apa. Kami juga baru saja sampai di sini,” kata Resi Sangkala.Setelah merasa cukup beristirahat mereka bergegas untuk kembali ke Kesultanan segera.Beberapa orang mengambil alih tandu yang berisi jenazah Sultan Adiraja. Mereka berjalan beriringan. Sepanjang jalan pedukuhan sudah banyak rakyat yang memberi penghormatan terakhir kepada Sultan mereka. Walaupun banyak kejadian yang tidak
“Awan, kamu urus Dayu, aku akan mengurus Radika. Pastikan peluru itu keluar. Aku hanya mempunyai pinset dan pisau kecil ini, buat luka baru jika tak memungkinkan,” perintah Resi Sangkala sangat jelas.“Apakah kamu punya obat bius Guru?” tanya Awan berharap ada obat bius untuk menghalau rasa sakit yang mungkin timbul.“Sayangnya tak ada. Suruh saja mereka menggigit kain yang kita gulung untuk menahan gemeretak gigi karena kesakitan,” usul Resi Sangkala.Ratno dan Patik tanggap segera mengambil kain di lemari yang di sudut dan mengangsurkan ke Radika dan Dayu yang terlihat menahan sakit dan semakin lemah.“Dayu, dengarkan aku. Dengarkan baik-baik, aku tidak akan membiarkanmu mati. Akan kulakukan semampuku untuk menolongmu. Bekerja samalah denganku,” kata Awan seraya mengangsurkan kain itu ke mulut Dayu.Dengan anggukan lemah Dayu membuka mulutnya dan menggigit kain itu. Awan membalik posis
Patik yang melihat wajah kesal Sultan Adiraja hanya bisa menahan napasnya. Bila ingin membuat semua ini adil, maka harus ada perang tanding. Bukan keroyokan.“Kita akan berperang atau kamu lebih memilih perang tanding?” tawar Patik pada akhirnya.Sultan Adiraja menimbang keputusannya. Bila berperang mungkin dia akan kalah karena Ratno dan Santo belum pada tataran yang bisa disandingkan dengan musuhnya itu. Dia tidak tahu kekuatan Resi Sangkala, Patik juga pasti mempunyai kekuatan yang besar, dilihat dari sikapnya yang tenang. Awan juga terlihat tenang, dia akan menjadi lawan yang seimbang untuk Radika. Walaupun dia tak tahu gadis di samping Awan itu, akan tetapi bila dia ada di sana, kemungkinan besar gadis itu juga mempunyai kekuatan.“Biarkan anak muda yang memperlihatkan bagaimana beradu kekuatan. Aku akan mengajukan Radika untuk berperang tanding dengan Awan,” kata Sultan Adiraja pada akhirnya.Awan yang mendengar
Sapto terengah-engah saat berlari dari pekatnya hutan di malam hari. Keadaan yang mengharuskannya segera menyampaikan pesan itu membuat dia harus berkejaran dengan waktu. Tujuan berada di depan. Orang yang dia cari ternyata sudah jauh pergi dari keramaian.Bulan yang separo mengiringi langkahnya, dengan kecepatan yang di atas rata-rata Sapto seolah tak punya beban tubuh. Tenaganya hampir habis, tapi pesan ini harus tersampaikan sebelum hari berganti.Bukit kecil itu tetap dengan susah payah harus didakinya. Rumah ganjil dan segala sesuatu yang lain di sana sejenak membuat Sapto merasa di dunia lain. Benar kata orang, bahwa bukit ini adalah tempat aneh.Tergesa diketuknya pintu yang sangat ganjil baginya. Tulisan dari arang yang berisi kode-kode aneh dan pegangan pintu yang berisi angka yang sangat asing bagi Sapto.Seseorang membuka pintu. Lelaki tua yang belum terlalu tua.“Ada apa?” tanya lelaki itu.“Saya m
Dayu dengan konsentrasi penuh membuat aliran energinya menyelimuti Awan sehingga dia tak merasakan lagi serangan Patik dan Resi Sangkala. Semakin lama kekuatan Dayu semakin mantap dan berkembang.“Aku menyerah!” teriak Awan kelelahan.Kekuatannya sudah berada diambang batas. Dia merebahkan badannya dan mengangkat tangannya tanda tak kuat lagi melawanPatik dan Resi Sangkala yang juga terengah-engah akhirnya menyelesaikan latihan itu. Mereka berdua kemudian mengatur napas dan berlalu dari ruang bawah itu.“Aku akan masak untuk kalian,” kata Resi Sangkala.“Aku akan memastikan nasinya cukup untuk mengisi tenaganya lagi,” timpal Patik menggoda Awan yang hanya bisa memejamkan mata karena sudah tak sanggup berkata-kata.Dayu kemudian menghampirinya. Duduk di sampingnya dan menatap Awan lekat. Laki-laki ini bahkan tidak mengeluh untuk menerima serangan itu hanya agar dia bisa berkembang. Tanp