Share

Satu Per Satu Berbenturan

Ketukan pintu membangunkan Awan. Patik terlihat bergegas keluar dari dapur.

“Oh kamu Nduk,” kata Patik melihat Dayu sudah berada di depannya pagi ini.

“Aku bawakan sarapan Paman, Ibu membuat pecel kembang turi kesukaanmu,” kata Dayu menyerahkan bungkusan daun jati ke tangan Patik.

“Terima kasih, seharusnya kamu tidak usah repot. Awan belum mandi, tunggulah di sini,” kata Patik membuat Awan bergegas ke kamar mandi yang disebut pakiwan oleh Patik.

Bangunan segi empat tanpa atap, berisi pancuran untuk mandi.

Kakinya sudah membaik. Kepalanya sudah tak sepening kemarin. Sepertinya dia harus pelan-pelan menelaah apa yang terjadi di sini.

Sesudah memakan sarapannya Awan menemui Dayu yang duduk di kursi panjang di emperan rumah.

“Kamu sudah membaik?” tanya Dayu begitu Awan duduk di sampingnya.

“Lumayan,” jawab Awan singkat.

“Kamu ingin berjalan-jalan? Suasana sekitar sini sudah banyak berubah setelah 10 tahun kamu pergi,” kata Dayu seraya berdiri.

Awan gamang. Tetapi sepertinya dia harus mengenal tempat ini. Agar ingatannya bisa merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi. Dia berdiri, menghampiri Dayu yang lebih dulu berjalan ke halaman.

Mereka menyusuri jalan setapak di tepi hutan.

“Dulu, kita sering masuk ke sana mencari jamur, lalu Paman Patik akan marah kalau kita terlalu jauh masuk ke dalam,” kata Dayu sambil terkekeh mengingat kelakuan mereka dahulu.

“Apakah dulu aku juga seaneh ini?” tanya Awan.

“Kamu selalu aneh bagiku. Dulu, kamu terus mengatakan akan mencari ilmu yang bisa membuatmu memutar waktu. Dan akan menjaga Ibundamu agar tetap hidup,” kata Dayu.

“Ilmu memutar waktu?” tanya Awan heran.

“Iya, kamu selalu mengatakan itu saat bersamaku, sampai aku kesal. Kamu bilang, akan membuat keadaan baik-baik saja dengan memutar kembali waktu ke masa Ayahandamu masih ada,” lanjut Dayu.

“Kita duduk di sana,” kata Dayu menunjuk batu besar di pinggir sungai.

“Dulu kita sering menghabiskan sore di sini. Kamu mencari ikan dan aku menunggumu di sini,” lanjut Dayu membuat Awan mengernyitkan dahinya.

Awan berhenti berjalan matanya bersibobrok dengan bayangan hitam bermata merah di balik pohon di hutan.

“Hei tunggu!” teriak Awan bergegas ke arah bayangan itu berada.

Tetapi bayangan itu sudah tak terlihat lagi. Awan menggosok matanya, tetap tak ditemukannya bayangan itu.

“Ada apa?” tanya Dayu saat Awan terlihat kebingungan.

“Apa kamu melihat sesosok bermata merah di sana tadi?” tanya Awan seraya mengedarkan pandangannya.

“Tidak, tidak ada siapa-siapa di sana,” kata Dayu menunjuk pepohonan lebat itu.

Awan memegang kepalanya yang kembali pening.

“Bantu aku duduk,” desis Awan membuat Dayu memapah Awan ke batu besar itu.

Awan menyandarkan tubuhnya, mengatur nafasnya dan menjernihkan pikirannya. Jelas dia melihat bayangan itu. Berdiri mengawasinya. Kemana dia menghilang? Yang lebih penting adalah siapa dia? Pikiran Awan berkecamuk.

“Kamu kenapa sih? Kamu bukan seperti kamu,” tanya Dayu membuat Awan menghela nafasnya berat.

“Aku sendiri tak tahu dengan yang sedang terjadi. Aku tidak berasal dari sini. Aku tidak punya ingatan tentang Pangeran atau siapapun itu,” papar Awan membuat Dayu melotot.

“Kamu bicara apa sih?” Dayu tak paham dengan ucapan Awan.

“Lihat aku, apa aku memang Pangeran atau orang yang kamu maksud?” kata Awan.

Dayu kemudian menatap Awan tajam. Tangan meraih wajah Awan dan membingkainya.

“Ini wajahmu. Ini masih raut mukamu saat kamu sedih, dan aku tahu ini kamu,” kata Dayu membuat Awan jengah.

Tetapi entah kenapa ada perasaan dingin menjalar dan meredakan gejolak perasaannya. Kepalanya berhenti berdenyut saat tangan Dayu menyentuh kulitnya.

Dayu kemudian duduk di dekat Awan. Gadis ini bahkan tak jengah seperti kebanyakan gadis di masa lalu yang menjaga jarak dengan laki-laki.

“Kamu tahu, setelah kepergianmu aku merasa sepi. Tak ada yang mengejarku saat aku berlarian di sepanjang jalan itu,” kata Dayu membuat kepala Awan kembali berdenyut.

“Maukah kamu menemaniku ke bukit yang katanya tempat bersemayan Resi yang di cari oleh Pangeran itu?” Dayu menoleh dan menatap Awan heran karena menyebut dirinya sendiri Pangeran itu.

“Itu sangat jauh, aku bahkan tidak tahu tempatnya,” kata Dayu.

“Tapi kalau itu bisa membawa kita berpetualang, aku akan sangat senang. Aku akan membujuk Ayah dan Ibu untuk mengijinkanku pergi,” kata Dayu lebih lanjut.

“Kalau itu bisa membuatku membuktikan sesuatu, kita akan ke sana,” kata Awan.

Dayu berdiri dan mengulurkan tangannya, memberi tanda pada Awan untuk berdiri. Awan meraih tangan itu dan kembali merasakan perasaan ganjil yang menentramkan. Sepertinya gadis ini mempunyai andil dalam kenyataan ini.

Mereka berjalan kembali pulang ke rumah.

“Aku pulang dulu, besok aku akan mengabarimu tentang ijin Ayah dan Ibu,” kata Dayu seraya mengembangkan senyumnya.

“Baiklah,” kata Awan seraya memperhatikan gadis itu sampai menghilang di belokan jalan.

“Pangeran dari mana saja?” tanya Patik begitu Awan memesuki halaman.

“Dayu mengajakku melihat sekeliling,” kata Awan seraya duduk di kursi panjang di emperan.

“Apakah kamu tahu arah mana bukit yang didatangi oleh Pangeranmu itu?” tanya Awan membuat Patik mengernyitkan dahinya.

“Ah maksudku arah mana aku harus pergi kalau ingin ke bukit itu,” Awan meralat kalimatnya.

“Oh itu, Pangeran berjalanlah ke selatan, kemudian mengikuti jalan sepanjang tepi hutan itu. Nanti setelah bertemu dengan desa, Pangeran bisa bertanya tentang bukit itu kepada penduduk di sana. Tanyakan saja tentang bukit yang dihuni oleh seorang Resi,” papar Patik.

“Apakah Pangeran akan ke sana lagi?” lanjut Patik khawatir.

“Aku harus memastikan tentang sesuatu,” kata Awan membuat Patik mengangguk.

“Apakah harus saya temani?” tanya Patik.

“Tidak, aku mengajak Dayu untuk pergi bersamaku,” kata Awan membuat Patik terkejut.

“Pangeran yakin? Tidak baik pemuda berkelana dengan seirang gadis tanpa ikatan,” kata Patik membuat Awan tersadar.

Ini bukan jaman modern, dan Awan lupa kenyataan itu hingga tak berpikir sejauh itu.

“Tapi aku memerlukan Dayu,” kata Awan mencoba membuat Patik mengerti.

“Kalau begitu kita akan pergi bertiga,” kata Patik memutuskan.

“Tapi—“ Awan menggantung kata-katanya karena bingung harus berkata apa.

“Kita pergi bertiga, atau Pangeran tidak boleh pergi bersama Dayu,” jawab Patik tegas.

“Baiklah,” kata Awan menyerah.

Mungkin memang dia harus membawa Patik juga untuk menjaga kalau dia tidak bisa memahami tentang apa yang akan dihadapinya nanti.

“Baik, aku akan meyiapkan perbekalan kita. Besok, aku akan menjual sebagian panenan untuk tambahan uang saku kita selama perjalan,” kata Patik lagi-lagi membuat Awan sadar, bahwa ini berbeda dengan dunia modern yang ditinggalinya.

Patik mengamati Awan yang seolah sedang memikirkan sesuatu. Kalau dengan pergi ke bukit itu lagi bisa membuat Pangerannya kembali ingat dengan dirinya dan semuanya, maka dia akan menemaninya ke sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status