Share

Siapa Aku?

Awan terbangun karena mendengat suara orang bercakap di depan rumah. Dengan susah payah Awan mencoba bangkit. Suara Patik sedang berbincang dengan perempuan. Apakah perempuan tadi?

“Iya Nduk, Awan sudah kembali. Paman juga bingung, dia sepertinya lupa denganku. Coba kamu bicara dengannya. Siapa tahu dia mengingatmu. Kalian kan cukup dekat dulu,” kata Patik membuat Awan hampir tersungkur karena terkejut.

“Lho kok bangun. Istirahat saja kalau masih merasa pusing,” kata Patik seraya menahan tubuh Awan.

Gadis bernama Dayu itu menyelidik ke arah Awan. Matanya tajam. Membuat Awan merasa dikuliti.

“Kamu mau duduk di sini?” tanya Patik menunjuk bangku panjang yang terletak di emperan rumah.

Awan mengangguk dan berjalan tertatih. Berat kepalanya dan kakinya yang masih sakit membuat dia terlihat lemah.

“Nduk temani dia. Aku harus menyelesaikan masakanku,” kata Patik membuat Dayu mendekat dengan ragu.

“Jangan takut, aku bukan orang jahat,” kata Awan spontan melihat keraguan gadis itu.

“Kamu benar lupa padaku?” tanya Dayu membuat Awan mengangguk lemah, dia bahkan tidak tahu di mana dia sekarang berada.

“Kamu juga tidak ingat tentang Paman Patik?” desak Dayu.

“Aku bukan tidak ingat, aku bahkan tidak tahu siapa aku sekarang,” desis Awan.

Dayu mendadak memegang kening Awan, membuatnya bergeser menjauh.

“Apa yang kamu lakukan?” kata Awan jengah.

“Aku hanya ingin mengecek apakah badanmu panas dan kamu menginggau karenanya,” kaya Datu sambil menatap Awan tajam.

“Jangan menatapku seolah aku adalah pesakitan,” Awan memalingkan mukanya dan menatap hutan di depan rumah itu.

“Kamu benar-benar melupakan kami,” kata Dayu sendu.

Awan berusaha menangani pikirannya sendiri. Jeda antara kenyataan yang sekarang dihadapinya dengan otaknya yang masih mencerna apa yang terjadi seolah berpacu. Jeda itu tak memberi ruang pada tubuhnya untuk bekerja maksimal. Ada tarik menarik yang membuat dirinya kewalahan.

“Kamu tidak apa-apa?” Dayu yang melihat Awan meringgis kesakitan khawatir.

“Berapa usia Awan saat pergi dari rumah ini untuk mencari Resi dari bukit seberang gunung?” tanya Awan memastikan.

“15 tahun, 10 tahun yang lalu usiamu 15 tahun. Hanya beda satu tahun denganku, saat kamu pergi aku masih berusia 14 tahun,” kata Dayu membuat kepala Awan kembali berdenyut keras.

Awan merasakan kepalanya berputar. Tangannya mencengkeram pinggiran kursi panjang yang di dudukinya.

Dayu yang melihat hal itu panik, memegang tubuh Awan agar tak terjatuh.

“Paman! Tolong!” teriak Dayu memanggil Patik yang segera berlari keluar dari dapur.

“Kenapa?” tanya Patik cemas.

Dia lalu membawa tubuh Awan kembali masuk.

“Pulanglah Nduk. Besok ke sini lagi kalau tidak repot. Temani Awan,” kata Patik disambuta anggukan Dayu yang masih khawatir dengan keadaan Awan.

Awan memejamkan matanya. Usia 15 tahun, 10 tahun yang lalu, rentang usianya sangat tepat dengan usianya sekarang. Awan ingat pada usia 15 tahun orang tuanya bilang dia pernah koma selama 5 bulan di rumah sakit karena kecelakaan yang terjadi. Saat sadar dari koma Awan bicara meracau hingga harus menjalani terapi selama kurang lebih setahun hingga keadaannya stabil. Apakah kejadian koma yang dia alami di dunia yang di sana berhubungan dengan dunia yang sekarang sihadapinya? Ah, kepalanya semakin berdenyut tak karuan. Awan meringkuk menenangkan dirinya sendiri.

“Kalau Pangeran merasa sakit saat mengingat kejadian lalu. Jangan dipaksa. Mungkin ada alasan kenapa Tuhan membuatmu tidak mengingat kejadian yang telah berlalu. Aku bersyukur kamu selamat itu saja,” kata Patik menenangkan.

Bagi Awan ini siksaan.

Patik kemudian membersihkan luka di kaki Awan.

“Lukanya sudah membaik Pangeran. Aku akan menaburkan lagi obatnya,” kata Patik seraya mengganti kain pembungkus luka dengan yang baru.

Awan diam tak bereaksi. Kepalanya nyeri melebihi kakinya sekarang.

“Pangeran mau makan sekarang? Masakan sudah siap. Lodeh terong kesukaanmu dengan tempe goreng, seperti permintaanmu dulu setiap hari,” kata Patik kembuat kepala Awan kembali merasakan desakan ingatan yang tak jelas.

Lodeh terong, bahkan makanan itu sama persis dengan kesukaannya di dunia yang sekarang ditinggalkan ya itu. Ah, perasaan berkecamuk membuat Awan semakin menahan nyeri kepalanya yang seolah akan meledak.

Patik akhirnya meninggalkan Awan karena reaksinya yang hanya terus menggerang menahan sakit kepala. Patik memberi ruang dan waktu kepada Awan untuk menguasai dirinya sendiri.

Setelah kesadarannya mulai kembali ke titik normal, Awan bangkit dan malangkah perlahan ke dapur. Perutnya ikutan melilit menahan lapar.

“Seharusnya menunggu saja di dalam biar aku bawakan makanannya ke dalam,” kata Patik seraya membantu Awan duduk di kursi.

“Aku harus bergerak agar pikiranku kembali normal,” kata Awan mencoba menguasai dirinya.

Patik gegas menyiapkan makan untuk Awan. Awan melahap makanan itu dengan harapan kekuatan karbohidrat yang dikonsumsinya bisa membawa kekuatan untuknya berpikir jernih.

“Apakah ada kejadian aneh di sekitar sini beberapa hari sebelum kemunculanku?” tanya Awan.

“Tidak ada. Hanya saja berita yang lewat mengatakan bahwa Sultan Adiraja sedang gencar mencari seseorang yang ditenggarai adalah dirimu. Beberapa hari sekali prajurit berpatroli, sampai puncaknya saat Pangeran pulang malam itu,” papar Patik.

Berarti yang terjadi di Bukit Tiga dengan keadaan di sini berbeda. Sepertinya gerbang waktu terbuka saat Awan berada di Bukit Tiga waktu itu, hingga dia tersedot masuk ke dunia ini. Tetapi siapa sosok bermata merah menyala yang mengatakan bahwa dia harus pulang?

“Apa kamu sudah ingat dengan apa yang terjadi?” tanya Patik memastikan.

“Aku hanya ingat sadar di reruntuhan di balik hutan itu. Naluriku mengatakan aku harus menghindari para prajurit itu, walau aku tak tahu yang terjadi,” kata Awan mencoba mengingat secara keseluruhan.

“Pangeran sempat pingsan di sana?” selidik Patik.

“Benar, tapi aku tak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi sebelumnya. Aku hanya ingat sedang berada di Bukit Tiga dan menyaksikan petir yang terus menyambar,” ingatannya sekilas kembali.

“Bukit Tiga?” tanya Patik heran. Tidak ada bukit yang bernama Tiga di sini.

“Reruntuhan di balik hutan itu bekas apa?” tanya Awan.

“Oh, itu bekas kediaman Ibundamu. Setelah pembataian yang dilakukan Pangeran Adiraja kala itu, seluruh peninggalan keluarga Ibundamu dihilangkan, untuk memastikan kamu tidak ada kesempatan untuk kembali,” papar Patik.

“Lalu kenapa mereka bisa kehilangan jejakmu dan jejakku?” Awan penasaran dengan cerita Pangeran antah berantah ini.

“Ayahandamu menyuruhku pergi jauh sebelum Pangeran Adiraja mangkar. Saat itu unurmu masih 5 tahun. Ayahandamu tahu apa yang akan terjadi, melihat gelagat adiknya Pangeran Adiraja. Ayahandamu membuangmu untuk melindungimu. Pangeran Adiraja tak mengenaliku karena memang dia jarang berada di Kasultanan utama. Dia hanya tahu kalau kamu dibuang bersama pembantu yang dipercaya jauh ke utara,” lanjut Patik membuat Awan mengernyitkan dahinya.

“Aku selalu mengatakan kamu adalah anakku, ibumu meninggal setelah melahirkanmu. Penduduk di sekitar sini tidak banyak bertanya, karena aku mengatakan pergi dari kampung halamanku untuk mencari penghidupan baru,” imbuh Patik.

“Daerah ini jauh dari kasultanan, dan jarang dikunjungi. Jadi kita aman di sini,” lanjut Patik.

Awan mengangguk-angguk mencoba menelaah informasi Patik. Penamaan tahun, penyebutan kasultanan, bukan kerajaan, semua seolah tumpang tindih. Tetapi kini Awan bisa menahan reaksinya agar tak menimbulkan gejolak yang berlebih dari tubuhnya.

Pangeran yang dibuang, perkataan sosok bermata merah menyala itu tentang pulang, membuktikan, semuanya harus Awan pecahkan. Dia tak tahu waktunya di sini sampai kapan, atau dia akan terjebak di sini selamanya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status