Share

BAB 8: Menyimpan Rasa Penasaran

“Apa aku memiliki ayah? Kenapa kita selalu terus berdua saja?”

Olivia tersentak kaget, pupil matanya melebar, dalam beberapa detik wanita itu membeku tidak dapat berkata-kata, apalagi menjawab pertanyaan sederhana Leary.

 “Apa aku juga memiliki kakek nenek seperti di dalam dongeng?” tanya Leary lagi memperhatikan keterdiaman Olivia yang membeku. Keterdiaman Olivia yang tidak menjawab menambah rasa ingin tahu Leary.

“Kenapa kau menanyakannya?” bisik Olivia terbata.

Leary berkedip pelan, merasakan kesedihan mendalam di mata Olivia, lama anak itu terdiam sampai akhirnya dia menjawab. “Jika aku punya ayah, bukankah nanti, ayah akan memukul orang-orang yang jahat kepada kita? Aku juga mau di gendong oleh ayah, aku mau melakukan natal bersama seperti anak-anak lainnya yang berkumpul dengan keluarga, dapat hadiah dari nenek kakek mereka,” jawab Leary pelan penuh kepolosan.

Hati Olivia tertohok begitu dalam sampai terasa sakit mendengar jawaban sederhana puterinya, mata Olivia mulai panas didesak ingin menangis.

“Ibu,” Leary mengusap wajah Olivia dengan tangan mungilnya. Leary mulai merasakan sakit di dalam dadanya begitu melihat sepasang mata Olivia yang berkaca-kaca tidak seperti biasanya.

“Leary_”

“Aku tidak apa-apa,” sela Leary memotong ucapan Olivia. “Tadi aku hanya asal bicara saja. Aku juga tetap bahagia meski hanya punya Ibu, jadi Ibu jangan bersedih,” hibur Leary dengan senyuman dan menyembunyikan kesedihan di hatinya sendiri.

Olivia tertunduk tidak bisa menjawab, dipeluknya Leary lebih kuat tanpa berkata-kata. Perlahan Leary membalas pelukannya dan kembali memejamkan matanya, anak itu mulai tertidur dan tidak melanjutkan percakapannya dengan Olivia.

Olivia tersenyum sedih, menatap puterinya yang kini mulai tertidur lelap. Hatinya begitu sakit karena ketidak berdayaanya yang tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana Leary yang sampai sekarang tidak mengetahui siapa keluarganya yang sebenarnya.

Rasa sesak memenuhi dada, tanpa sadar air mata lolos terjatuh di sudut mata Olivia.

Olivia tahu seberapa besar rasa penasaran Leary tentang ayahnya dan keluarganya, Olivia dapat melihatnya dari tatapan iri Leary disetiap kali dia melihat anak-anak seusianya bisa digendong ayahnya dan berdiri di antara keluarganya.

Setiap kali Olivia membawakan buku dongeng, Leary hanya ingin buku dongeng tentang keluarga. Leary sering bertanya, mengapa orang-orang memiliki keluarga, namun dia hanya memiliki Olivia.

Olivia tidak bisa melihat hal seperti ini terus berlangsung lebih lama lagi, dia harus segera menuntaskan dendamnya agar bisa membawa Leary kepada keluarganya dan membuat Leary berhenti menatap iri anak-anak lainnya yang dia lihat.

***

Wony duduk di depan meja riasnya, wanita itu tidak berhenti memperhatikan wajah cantiknya yang sudah terpoles make up lebih tebal dari biasanya. Ekspresi di wajah Wony terlihat marah penuh kesuraman karena make upnya yang tebal itu belum cukup bisa menutupi luka di wajahnya yang semula mulus tanpa cacat.

Gara-gara semalam, Wony harus mengeluarkan banyak uang untuk operasi darurat pengawalnya yang mengalami luka parah, dia juga dituntut kerugian atas luka yang mereka dapat.

Tangan Wony mengepal kuat di atas meja riasnya, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang tidak terkendali begitu teringat kejadian memalukan semalam.

Olivia tidak hanya melukai pengawalnya saja, dia juga sudah meninggalakan luka di wajah Wony dan membuat sebagian rambutnya terpotong begitu saja.

Olivia tahu jika kebanggaan Wony selama ini adalah wajahnya yang cantik, dan Olivia menyasar wajah Wony. Akibat perbuatan Olivia, Wony tidak bisa tidur sepanjang malam, dia sangat takut luka yang Olivia buat di wajahnya akan meninggalkan bekas.

Wony takut, jika dia tidak lagi bisa cantik seperti biasanya, orang-orang akan berhenti memujanya, begitu pula dengan Darrel yang akan semakin menjauhinya.

“Jalang sialan itu, aku tidak akan melupakan penghinaan yang dia buat. akan kubuat dia menyesal,” geram Wony dipenuhi oleh amarah. “Dia harus lebih cacat dari hari ini.”

***

Hari ke empat di desa Bibury..

Hari yang cerah terasa hangat di kulit, seharian ini Leary pergi berlarian berkeliling mengitari rumah-rumah yang ada di sekitarnya, anak itu mencari-cari anak kecil seusianya hanya untuk membagikan permen dan berkenalan.

Kini Leary duduk sendirian di pinggiran sungai, memperhatikan riak air yang jernih bergerak di atas bebatuan.

Leary terlihat tenang dengan kesendiriannya seakan hal seperti ini sudah terbiasa untuknya.

Keterdiaman Leary berakhir, anak itu terperanjat tiba-tiba begitu melihat anak yang tidak sengaja dilihatnya kemarin kembali terlihat melewati jembatan. Kini, anak laki-laki itu tidak membawa lagi karung kentang, namun karung arang yang belum disusun.

Pandangan mereka bertemu, anak laki-laki itu segera tertunduk dan mempercepat langkahnya.

“Kau tinggal di sini?” tanya Leary memanggil memberanikan diri.

Jach berhenti melangkah dan melihat kesekitar untuk memastikan jika Leary mengajaknya bicara.

Leary segera terbangun dan berlari mendekat, anak itu tersenyum lebar dengan wajah mungil terangkat menatap Jach. “Namaku Leary, aku dan ibuku baru ke sini kemarin. Namamu siapa?” tangan Leary terulur mengajak bersalaman.

Jach masih terdiam, melihat ketulusan di mata Leary yang menatapnya dengan hangat. Jach sedikit terkejut karena ada orang yang mau menyapanya lebih dulu, bisanya orang-orang lebih banyak mengabaikannya dan mengangapnya aneh.

Jach menerima uluran tangan Leary yang bersih dan kecil, berbanding balik dengan tangannya yang kasar dipenuhi kapalan, kurus dan kotor karena setiap hari harus bekerja.

Jach berdeham menetralkan rasa gugupnya setelah cukup lama diam tidak pernah terlibat percakapan dengan orang-orang asing. “Jach.”

To Be Continued..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status