“Apa aku memiliki ayah? Kenapa kita selalu terus berdua saja?”
Olivia tersentak kaget, pupil matanya melebar, dalam beberapa detik wanita itu membeku tidak dapat berkata-kata, apalagi menjawab pertanyaan sederhana Leary.
“Apa aku juga memiliki kakek nenek seperti di dalam dongeng?” tanya Leary lagi memperhatikan keterdiaman Olivia yang membeku. Keterdiaman Olivia yang tidak menjawab menambah rasa ingin tahu Leary.
“Kenapa kau menanyakannya?” bisik Olivia terbata.
Leary berkedip pelan, merasakan kesedihan mendalam di mata Olivia, lama anak itu terdiam sampai akhirnya dia menjawab. “Jika aku punya ayah, bukankah nanti, ayah akan memukul orang-orang yang jahat kepada kita? Aku juga mau di gendong oleh ayah, aku mau melakukan natal bersama seperti anak-anak lainnya yang berkumpul dengan keluarga, dapat hadiah dari nenek kakek mereka,” jawab Leary pelan penuh kepolosan.
Hati Olivia tertohok begitu dalam sampai terasa sakit mendengar jawaban sederhana puterinya, mata Olivia mulai panas didesak ingin menangis.
“Ibu,” Leary mengusap wajah Olivia dengan tangan mungilnya. Leary mulai merasakan sakit di dalam dadanya begitu melihat sepasang mata Olivia yang berkaca-kaca tidak seperti biasanya.
“Leary_”
“Aku tidak apa-apa,” sela Leary memotong ucapan Olivia. “Tadi aku hanya asal bicara saja. Aku juga tetap bahagia meski hanya punya Ibu, jadi Ibu jangan bersedih,” hibur Leary dengan senyuman dan menyembunyikan kesedihan di hatinya sendiri.
Olivia tertunduk tidak bisa menjawab, dipeluknya Leary lebih kuat tanpa berkata-kata. Perlahan Leary membalas pelukannya dan kembali memejamkan matanya, anak itu mulai tertidur dan tidak melanjutkan percakapannya dengan Olivia.
Olivia tersenyum sedih, menatap puterinya yang kini mulai tertidur lelap. Hatinya begitu sakit karena ketidak berdayaanya yang tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana Leary yang sampai sekarang tidak mengetahui siapa keluarganya yang sebenarnya.
Rasa sesak memenuhi dada, tanpa sadar air mata lolos terjatuh di sudut mata Olivia.
Olivia tahu seberapa besar rasa penasaran Leary tentang ayahnya dan keluarganya, Olivia dapat melihatnya dari tatapan iri Leary disetiap kali dia melihat anak-anak seusianya bisa digendong ayahnya dan berdiri di antara keluarganya.
Setiap kali Olivia membawakan buku dongeng, Leary hanya ingin buku dongeng tentang keluarga. Leary sering bertanya, mengapa orang-orang memiliki keluarga, namun dia hanya memiliki Olivia.
Olivia tidak bisa melihat hal seperti ini terus berlangsung lebih lama lagi, dia harus segera menuntaskan dendamnya agar bisa membawa Leary kepada keluarganya dan membuat Leary berhenti menatap iri anak-anak lainnya yang dia lihat.
***
Wony duduk di depan meja riasnya, wanita itu tidak berhenti memperhatikan wajah cantiknya yang sudah terpoles make up lebih tebal dari biasanya. Ekspresi di wajah Wony terlihat marah penuh kesuraman karena make upnya yang tebal itu belum cukup bisa menutupi luka di wajahnya yang semula mulus tanpa cacat.
Gara-gara semalam, Wony harus mengeluarkan banyak uang untuk operasi darurat pengawalnya yang mengalami luka parah, dia juga dituntut kerugian atas luka yang mereka dapat.
Tangan Wony mengepal kuat di atas meja riasnya, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang tidak terkendali begitu teringat kejadian memalukan semalam.
Olivia tidak hanya melukai pengawalnya saja, dia juga sudah meninggalakan luka di wajah Wony dan membuat sebagian rambutnya terpotong begitu saja.
Olivia tahu jika kebanggaan Wony selama ini adalah wajahnya yang cantik, dan Olivia menyasar wajah Wony. Akibat perbuatan Olivia, Wony tidak bisa tidur sepanjang malam, dia sangat takut luka yang Olivia buat di wajahnya akan meninggalkan bekas.
Wony takut, jika dia tidak lagi bisa cantik seperti biasanya, orang-orang akan berhenti memujanya, begitu pula dengan Darrel yang akan semakin menjauhinya.
“Jalang sialan itu, aku tidak akan melupakan penghinaan yang dia buat. akan kubuat dia menyesal,” geram Wony dipenuhi oleh amarah. “Dia harus lebih cacat dari hari ini.”
***
Hari ke empat di desa Bibury..
Hari yang cerah terasa hangat di kulit, seharian ini Leary pergi berlarian berkeliling mengitari rumah-rumah yang ada di sekitarnya, anak itu mencari-cari anak kecil seusianya hanya untuk membagikan permen dan berkenalan.
Kini Leary duduk sendirian di pinggiran sungai, memperhatikan riak air yang jernih bergerak di atas bebatuan.
Leary terlihat tenang dengan kesendiriannya seakan hal seperti ini sudah terbiasa untuknya.
Keterdiaman Leary berakhir, anak itu terperanjat tiba-tiba begitu melihat anak yang tidak sengaja dilihatnya kemarin kembali terlihat melewati jembatan. Kini, anak laki-laki itu tidak membawa lagi karung kentang, namun karung arang yang belum disusun.
Pandangan mereka bertemu, anak laki-laki itu segera tertunduk dan mempercepat langkahnya.
“Kau tinggal di sini?” tanya Leary memanggil memberanikan diri.
Jach berhenti melangkah dan melihat kesekitar untuk memastikan jika Leary mengajaknya bicara.
Leary segera terbangun dan berlari mendekat, anak itu tersenyum lebar dengan wajah mungil terangkat menatap Jach. “Namaku Leary, aku dan ibuku baru ke sini kemarin. Namamu siapa?” tangan Leary terulur mengajak bersalaman.
Jach masih terdiam, melihat ketulusan di mata Leary yang menatapnya dengan hangat. Jach sedikit terkejut karena ada orang yang mau menyapanya lebih dulu, bisanya orang-orang lebih banyak mengabaikannya dan mengangapnya aneh.
Jach menerima uluran tangan Leary yang bersih dan kecil, berbanding balik dengan tangannya yang kasar dipenuhi kapalan, kurus dan kotor karena setiap hari harus bekerja.
Jach berdeham menetralkan rasa gugupnya setelah cukup lama diam tidak pernah terlibat percakapan dengan orang-orang asing. “Jach.”
To Be Continued..
Langit terlihat memerah, dalam waktu beberapa menit lagi akan benar-benar tenggelam. Leary duduk di rerumputan melihat banyaknya daun semanggi yang tumbuh subur.Gadis kecil itu terlihat merenung teringat Petri yang pernah dia beri daun semanggi.Petri, entah mengapa Leary ingin lebih dekat dengannya dan terus memikirkannya. Leary gelisah melihat Petri yang terlihat bersedih.“Apa yang kau lakukan di sini? Masuklah,” titah Chaning yang datang menyusul, sekilas pria itu melihat jauh keberadaan Ferez yang masih menunggangi kudanya di pacuan.Wajah Leary terangkat, menatap lekat Chaning yang kini disinari sinar matahari sore. Pria itu terlihat kuat, indah dan hangat, sehangat matahari sore.Leary tidak bersuara, namun anak itu terus menatap Chaning dalam diam, Leary bergumul dalam pikirannya mencoba untuk merangkai sesuatu untuk diungkapkan.“Kenapa?” tanya Chaning yang menyadari sesuatu.Leary segera berdiri. “Paman, apa boleh saya berteman baik dengan Petri?” tanya Leary terdengar seper
Ferez berjalan sendirian keluar dari kantin sekolah, beberapa saat yang lalu dia sempat pergi ke kelas Leary untuk memastikan keadaannya karena ingin tahu keadaannya. Ferez tidak menemukan keberadaannya, dia sempat berpikir Leary pergi ke kantin sekolah, namun ternyata Leary juga tidak ada.Cukup jauh Ferez melangkah akhirnya dia sampai di taman sekolah, tidak membutuhkan waktu lama untuknya mencari Leary karena kini perhatiannya langsung tertuju pada gadis kecil itu yang kini tersenyum melambaikan tangannya pada Petri yang beranjak pergi meninggalkannya.Ferez juga melihat Duke yang kini tengah berdiri di bawah pohon, Ferez tidak habis pikir dengan keputusan ayahnya yang mengirim Duke dibandingkan pengawal lainnya. Padahal Duke memiliki fisik yang mencolok dibandingkan dengan Romero.Tanpa pikir panjang Ferez segera pergi menghampiri Leary.“Ferez,” sapa Leary dengan senyuman lebar terlihat senang.“Bagaimana kelas pertamamu?” tanya Ferez seraya duduk, namun tatapannya yang tajam it
“Apa boleh saya duduk di sini?” tanya Leary memberanikan diri.Sekali lagi Petri menarik napasnya dalam-dalam, dan berkata, “Duduklah.”Leary memutuskan untuk duduk di samping Petri, sementara Duke berdiri menunggu di bawah pohon sambil berbicara dengan seorang anak laki-laki yang meminta tolong kepadanya karena bolanya menyangkut di dahan pohon.Leary dan Petri duduk berdampingan, keduanya terlihat terjebak dalam kecanggungan meski hatinya saling memiliki rasa penasaran dan bertanya-tanya ingin tahu kabar masing-masing.Petri melirik Leary yang kini membuka bekal makanannya di atas pangkuannya. “Kau mulai sekolah hari ini?”Leary mengangguk dengan senyuman.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Petri lagi.“Luar biasa, saya sangat senang.”Petri ikut tersenyum meski jauh di dalam lubuk hatinya dia merasa sedikit iri karena tidak bisa pergi bersama ke sekolah dengan adiknya, malahan kini mereka berdua tampak seperti dua orang asing yang sedang mengobrol.Leary mengambil roti isi yang dibuat o
Noah menopang dagunya memperhatikan gurunya tengah berbicara di depan, perhatiannya sempat teralihkan pada Petri yang tengah membaca buku. Sejak kejadian hari itu, Petri menjadi jarang sekolah, dia harus menanggung banyak tanggung jawab dan lebih mementingkan untuk belajar khusus bisnis dibandingkan dengan sekolah umum untuk anak-anak seusianya.Keadaan Darrel tidak kunjung membaik dan dia terus mendapatkan perhatian khusus, bisa dikatakan mungkin kini keadaan jauh lebih buruk. Beruntung Adelle sering datang membantu Petri dikala dia kesulitan. Kini kediaman keluarga McCwin sudah kosong tidak berpenghuni, Petri lebih memilih tinggal bersama Andrew yang sampai saat ini masih setia kepadanya meski sudah mengundurkan diri.Karena kejadian di hari itu, Petri sempat tidak sekolah selama satu bulan, dia harus mendapatkan banyak bimbingan agar bisa melewati masa traumanya.Kini, Petri yang cerdas dan selalu kompetitif dalam belajar sudah berubah, dia lebih banyak diam dan menyendiri, menja
Chaning dan Liebert duduk dalam ketegangan, kehadiran kedua pria itu membuat seseorang guru yang mengurus administrasi pendaftaran sekolah sempat dibuat diam dan tersenyum canggung.Hari kemarin seseorang bertubuh tinggi besar dangan wajah bertato yang datang memberikan semua berkas keperluan, dan kini yang datang menjadi wali adalah dua pria bertubuh besar.Chaning dan Liebert berpenampilan rapi, namun aura mematikan mereka tetap saja tidak bisa dihindarkan. Terlebih, sebelumnya Russel pernah bertemu dengan Chaning yang pernah mendaftarkan Ferez.Nama Benvolio sangat begitu jarang digunakan, dan nama itu dikenal sebagai nama klan besar keluarga mafia.“Kita pernah bertemu sebelumnya, Anda orang tuanya Ferez?” ucap Russel berbasa-basi, padahal sebelumnya dia sudah dihubungi secara khusus oleh petinggi sekolah bahwa akan ada tamu penting yang akan medaftar anaknya sekolah.Chaning mengangguk samar.Russel berdeham pelan sambil menyeka keringat dingin di keningnya. “Jadi, anak atas nama
“Aku paman kandungnya, aku akan menjadi walinya,” Liebert angkat bicara ditengah-tengah sarapan pagi yang akan dimulai.Pagi ini Chaning dan Liebert tengah berdiskusi mengenai sekolah pertama Leary, nampaknya diskusi itu sedikit terganggu karena Chaning dan Liebert sama-sama ingin menjadi wali Leary.Chaning menengok seketika, pria itu mendorong piring makanan untuk Ferez. “Apa kau sudah lupa? Sekarang aku menjadi ayah angkatnya secara sah, secara garis besar aku lebih berhak menjadi walinya.”Kening Liebert mengerut samar, pria itu tampak tidak setuju dengan apa yang telah Chaning katakan kepadanya. “Ayah angkat di atas kertas, Leary masih memanggilmu paman.”“Memangnya kenapa? Saat kecil, Ferez juga memanggilku Chaning dibandingkan dengan sebutan ayah. Lagi pula, Leary lebih dekat denganku.”Liebert tersenyum miring, pria langsung bersedekap sombong. “Oh ya? Jika kalian sangat dekat, apa kau tahu keahilannya?”“Apa maksudmu? Aku lebih tahu tentang dia dibandingkan denganmu,” debat C
Empat bulan kemudian..Leary terbaring dalam kegelisahan, gadis kecil itu terlihat beberapa kali melihat baju seragam sekolahnya yang digantung di depan lemari. Besok adalah hari pertama dia akan sekolah, Leary sangat gugup dan berdebar hebat tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok.Keadaan Leary sudah pulih sejak tiga bulan yang lalu, namun karena dia masih kesulitan berbicara dan takut dengan orang asing, butuh waktu lama untuknya bisa pulih seperti sekarang.Kini, Leary telah kembali menjadi anak yang penuh semangat dan selalu ceria. Sejak tinggal di rumah Chaning, secara perlahan Leary mendapatkan lebih banyak keberaniannya berkat dorongan semua orang.Chaning maupun Liebert, mereka berdua memang tidak begitu bisa bersikap manis dan lembut seperti orang lain. Namun, mereka berdua mampu memberikan banyak kenyamanan dan rasa aman untuk Leary, mereka berdua selalu menumbuhkan rasa percaya diri Leary agar dia berhenti berpikiran buruk lagi dengan orang-orang yang ada di se
Desa Bibury, tempat yang telah Leary tinggalkan, tempat kenangan terakhir Olivia hidup, kini berada di depan mata. Leary berdiri terpaku, berdiri di tengah-tengah rumah kecil sederhana dan kumuh. Pandangannya mengedar melihat ke penjuru tempat, merasakan kembali kenangan indah dirinya bersama ibunya dulu.Leary mengusap dadanya, merasakan sesuatu perasaan yang kosong kini terasa kembali penuh hanya dengan membayangkan wajah Olivia, mencium sisa-sisa aromanya yang masih tertinggal.Di tempat ini, Leary melewati masa indah terakhirnya bersama ibunya. Leary melangkah pelan dalam tuntunan Chaning, mendekati sebuah tungku perapian. Di tempat itu, Olivia menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan Leary. Leary masih ingat, dia memeluk tubuh Olivia yang semula hangat berubah dingin, Leary yang sudah berjanji untuk menjadi anak yang kuat menahan air matanya hingga hembusan napas terakhir Olivia, hingga detak jantung terakhirnya, Leary menangis tanpa suara agar Olivia tidak mendengarnya.
Leary terduduk di kursi rodanya dengan sebuah pakaian yang tebal, gadis kecil itu tidak berhenti memandangi Liebert yang sejak tadi menyisir rambutnya, membantu mengenakan pakaian tebal hingga membantu mempersiapkan kepergian mereka karena pulang dari rumah sakit.Suara ketukan di pintu terdengar, tidak terduga Petri berdiri di ambang pintu. Ini untuk pertama kalinya Petri keluar usai kejadian itu, kini konisi Petri sudah mulai stabil berkat bantuan dokter. Petri berdiri tertunduk terlihat ragu untuk menatap.“Apa aku dibolehkan masuk?” Tanya Petri terdengar pelan nyaris tidak terdengar.Liebert sempat terdiam, pria itu lebih dulu melihat reaksi Leary. Jika Leary ketakutan, maka Liebert akan menolak.Melihat Leary yang terlihat tenang, Liebert akhirnya segera berdiri. “Masuklah,” jawab Liebert memberi izin.Petri mencoba memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap Liebert, orang sudah menembak kaki ayahnya dengan kejam. Namun entah mengapa, tidak ada kebencian di dalam ha