Share

Bab 5. Karma Untuk Gabriella

"Saya nyatakan kalian sebagai pasangan suami istri yang baru, selamat!"

Begitu pernyataan dari sang pendeta diumumkan, Leticia segera membuka matanya dan menjauhkan wajah mereka yang sangat dekat. Suara tepuk tangan yang cukup riuh dari bangku tamu terdengar. Entah sejak kapan mereka—para bodyguard Tytan—mengisi bangku-bangku kosong itu.

Pipi Leticia yang telah memanas karena malu, semakin mengeluarkan rona merah alami. Tytan tidak mengindahkan apa yang ia katakan tadi, entah dia tidak mendengarnya. Leticia kini sama sekali tidak bisa mengangkat wajahnya, bahkan bingung harus menatap kemana.

"Silahkan tanda tangani buku nikahnya untuk dilaporkan pada pemerintah agar pernikahan kalian sah secara hukum." Suara pendeta membuat atensi Leticia beralih.

Dengan tangan gemetar ia membubuhkan tanda tangannya, lalu kemudian Tytan. Setelah semua proses pernikahan selesai, pendeta itupun pergi. Barulah Leticia dan Tytan menoleh dan berbalik ke belakang. Saat itulah Leticia begitu terkejut, mendapati orang-orang Tytan yang berbondong-bondong ke arah mereka.

"Selamat, Tuan muda!"

"Tuan muda, Anda terlihat gagah tadi."

"Anda juga terlihat cantik dan serasi dengan Tuan kami, Nyonya."

"Nyonya, saya ucapkan selamat dengan tulus."

Berbagai ucapan selamat, datang membanjiri Tytan dan Leticia dari para pria berwajah sangar ini. Ucapan mereka juga terdengar tulus, penuh sarat akan turut kebahagiaan.

Jujur saja, saat pertama kali Leticia bertemu Tytan dan melihat bawahannya, ia sangat takut. Bahkan sempat curiga juga kepadanya. Namun, orang-orang bertato dengan bekas luka yang menghiasi wajah mereka, nyatanya bisa membuat ekspresi bahagia dan mengucapkan selamat dengan tulus.

Leticia yang sempat terkejut dan malu, akhirnya turut tersenyum. "Iya, terima kasih semuanya."

"Nyonya, Anda bisa mengandalkan saya untuk mengawal Anda kemanapun!"

"Tidak, dia tidak gesit, biar saya yang menjadi penjaga Anda."

"Tuan, pilih saya!"

"Kalian semua, cukup!" seru Tytan datar namun penuh penekanan.

Orang-orang yang tiba-tiba sibuk dan heboh berebut posisi sebagai penjaga Leticia, semuanya diam. Leticia tidak mengerti kenapa mereka begitu berlebihan dalam memperlakukannya. Bahkan sampai ingin menjadi penjaganya. Ia mengerti jika Tytan berasal dari keluarga terpandang yang pasti memiliki saingan, tetapi Leticia pikir ia bisa menjaga dirinya sendiri.

"Tuan–"

"Diego, kau tidak mendengarku? Leticia ketakutan!" potong Tytan kesal pada salah satu bawahannya yang mulai berbicara lagi. Pria tersebut menunduk menyesal setelah sebelumnya melirik ke arah Leticia.

"Tidak apa-apa, Tytan. Aku hanya sedikit terkejut," ucap Leticia angkat suara, mencoba menenangkan Tytan dan situasi yang menjadi tidak bagus.

Kemudian gadis itu berbicara lagi, menolak secara halus pada mereka, "Terima kasih atas niat baik kalian, tetapi kurasa aku masih bisa menjaga diriku sendiri."

Ekspresi mereka semua berubah saat Leticia mengutarakan penolakannya. Seolah merasa aneh pada pilihannya karena seorang penjaga adalah suatu keharusan. Ia bukan anggota kerajaan penting yang mana harus selalu dikawal 'kan?

"Tetapi, Nyonya–"

"Diego, berhenti." Lagi-lagi pria bernama Diego itu terkena teguran, kali ini dari seorang pria lainnya yang lebih tua.

"Mari kita bicarakan hal ini lain kali," sambung Tytan.

"Gaspar, bawa barang-barang milik Leticia. Kita akan pergi ke rumahku di Madrid sekarang juga," lanjutnya memerintah kepada pria setengah baya yang tadi menegur Diego.

"Baik, Tuan muda." Dia menunduk patuh lantas berlalu keluar.

"Dan kalian semua bersiaplah untuk kembali bekerja." Diikuti oleh orang-orang sisanya yang pergi dengan patuh, begitu perintah Tytan turun.

Setelah orang-orang tersebut pergi, tinggallah tersisa Leticia dan Tytan. Ingatan Leticia tiba-tiba kembali pada ciuman sakral pernikahan mereka. Ia menjadi salah tingkah dan dilanda kecanggungan untuk memulai pembicaraan lagi.

"Leticia, mengenai tadi, aku akan menjelaskannya lebih banyak saat kita tiba di rumah," ujar Tytan yang memulai pembicaraan.

Leticia memberanikan diri menatap pada pria yang telah resmi menjadi suaminya ini. Wajah Tytan sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hal tersebut setidaknya membuat Leticia tenang dan tidak malu lagi.

"Baiklah, aku pasti akan berusaha menyesuaikan diri dengan keluarga dan lingkunganmu." Tytan mengangguk sekali dengan mengerti.

"Kalau begitu aku akan pergi dulu untuk berbicara pada mereka lagi. Apa kau ingin berganti pakaian dulu sebelum pergi?" tanya Tytan kemudian, melihat bagaimana penampilan gadis itu. Takut jika ia merasa tidak nyaman selama 3 jam lebih di dalam mobil.

"Hm? Kurasa tidak usah," jawabnya menolak sembari menggeleng.

Sebelum Leticia hendak berbicara kembali, suara langkah sepatu hak seseorang mengalihkan pandangan mereka. Untuk sementara Leticia lagi-lagi melupakan kehadirannya. Ia pikir wanita itu pergi di tengah upacara. Entah sejak kapan dia telah memperhatikan interaksi mereka tadi. Atau dia memang tidak beranjak dari tempatnya sejak awal.

Leticia berusaha mengingat pembicaraan di antara Tytan dan dirinya tadi. Memastikan jika mereka tidak berbicara sesuatu yang membuat Gabriella bisa curiga. Seingatnya memang tidak ada, tetapi interaksi mereka berdua tadi bukankah terlalu canggung sebagai pasangan yang akan memiliki anak? Leticia merasa cukup cemas sekarang.

"Leticia, selamat untuk pernikahan kalian." Suaranya mendayu dengan lembut, tetapi selalu berhasil membuat Leticia ketakutan. Dalam sekejap suasana kembali berubah ekstrim.

"I-ibu, ternyata Ibu masih di sini. Terima kasih sudah hadir sampai akhir dan memberikanku selamat," ucap Leticia berusaha untuk tidak membuat konfrontasi dengannya.

"Tentu saja, kau harus mendapatkan selamat setidaknya dari salah satu keluargamu. Apalagi kau sedang mengandung." Perkataannya semakin membuat Leticia tegang dan berkeringat dingin.

"Kupikir ini keputusan yang baik karena Tuan Castellano pasti–"

"Nyonya Ramona," sela Tytan lebih dulu memotong ucapan dari ibu mertua tirinya itu.

Gabriella sejak tadi memang tampak menghindari tatapan Tytan. Ketika sang menantu angkat suara, wanita itu jelas tersentak dan mengubah ekspresi wajahnya. Di hadapan Leticia, sekali lagi Gabriella tampak seperti seekor mangsa yang berhadapan dengan pemburu. Gemetar ketakutan dan berkeringat dingin, seperti bagaimana Leticia selama ini di hadapannya. Mungkinkah ini adalah karma untuknya?

"Apa Anda sudah selesai mengucapkan selamat pada istriku?" tanyanya dengan nada menyindir.

Wanita itu menaikkan sedikit kepalanya, mendongak dan bertemu tatap dengan netra Tytan. Ia terlihat jelas berusaha menahan ketakutannya. Mencoba tersenyum, lebih tepatnya memaksakan. "Boleh saya berbicara sebentar pada putri saya untuk mengucapkan salam perpisahan?"

Ekspresi datar dan mata elang obsidian gelap tersebut yang menunduk ke bawah pada Gabriella, menatapnya penuh keangkuhan. Netra yang sama itu menoleh ke arah Leticia di sampingnya dengan tatapan berbeda. Keduanya saling pandang sebelum akhirnya Tytan kembali pada Gabriella.

"Kupikir tanpa bertanya pada istriku dulu itu tidak perlu," jawab Tytan.

"Tetetapi, Tuan Cas–" Tatapan Tytan menajam pada Gabriella membuat perkataan wanita itu tidak selesai. Ia meneguk ludah dan melanjutkan dengan gugup, "Ti-tidak, maksud saya silahkan pergi. Le-leticia, jaga dirimu."

Tytan mendelik tajam sebelum akhirnya membawa sang istri keluar dari ruang utama gereja. Tangan yang ia genggam tadi masih terasa gemetar. Ia yakin jika Leticia masih ketakutan pada Gabriella, meski mereka telah berpisah.

"Leticia, kau baik-baik saja?" Tytan berhenti melangkah saat mereka telah di luar.

Gadis itu tersentak, mendengar suara suaminya yang tiba-tiba masuk ke dalam indra pendengarannya. Saking ketakutannya ia sampai tidak mendengar apapun apalagi melihat bagaimana Gabriella tadi. Hanya menyadari jika mereka kini telah ada di luar ruangan.

"Ha-hah? I-iya, aku tidak apa. Ayo kita pergi," ajak Leticia kemudian berjalan mendahului dengan kaki yang masih pincang.

"Kyaa! Tytan!" Leticia tersentak saat dalam sekejap tubuhnya melayang dan telah berada dalam gendongan pria itu. Secara alami kedua tangannya melingkari leher Tytan, tak peduli pipinya yang kembali merona malu. "Aku bisa jalan sendiri," bisiknya.

"Iya, tetapi kamu terluka." Tytan melihat sekilas pada Leticia sebelum akhirnya berjalan kembali setelah istrinya sudah diam.

***

Sementara itu, Gabriella yang masih diam mematung di tempat ia berdiri, tubuhnya bergetar. Matanya melotot tajam ke depan dengan wajah yang penuh keringat dingin. Kedua tangannya mengepal erat bersamaan dengan giginya yang bergemelutuk hingga rahangnya mengeras.

Harga diri Gabriella yang sangat tinggi telah terhina dan jatuh begitu saja berkat menantunya. Emosinya membumbung tinggi pada tingkat maksimal. Kekecewaan dan kekesalan menguasai karena tidak bisa melawan satu patah katapun dari seorang Tytan Castellano.

"Brengsek!" teriak Gabriella yang menggema di dalam ruangan sepi nan hening ini.

"Keparat, sialan, pria bajingan!" Gabriella memuntahkan seluruh umpatannya sembari memukul-mukul tas jinjingnya ke dinding.

Napasnya terengah-engah setelah berhenti dan puas meluapkan sebagian amarahnya. Ia menyugar rambutnya kasar, lalu berjalan mondar-mandir. Giginya menggigit bibir berlapis lipstik merah merona tersebut.

"Tytan Castellano, anjing sialan. Kau bukan apa-apa di hadapan Massimo, tetapi bertingkah layaknya bos di belakang!" geramnya masih dipenuhi emosi.

"Anak jalang itu, bagaimana bisa dia mengenal Tytan Castellano?!" tanyanya pada diri sendiri setelah merenung sebentar.

"Massimo, brengsek bajingan itu!" Gabriella dengan cepat merogoh tasnya dan mengambil ponselnya.

Setelah menekan nomor seseorang di kontaknya, ia menempelkan ponsel tersebut ke telinga. Menunggu dan menunggu sampai seorang operator yang menjawab.

"Massimo!" teriak Gabriella penuh kemarahan, sekali lagi suaranya menggema di ruangan besar tersebut.

-

-

-

To be continued

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status