"Beberapa bulan lalu, Sandra mulai bisa mengingat. Namun ingatannya belum kembali seperti semula, ia hanya bisa mengingat tentang Ayah. Karena itu, dengan terpaksa keluarga Sandra menghubungi Ayah. Sandra masih menganggap Ayah sebagai calon suaminya," ujar ayah sambil menundukkan kepala.
"Apa?! Ayah gak berbohong, kan?" tanya Riana."Untuk apa Ayah berbohong? Asal kalian tahu, Ayah juga merasa gak nyaman saat ini. Hati Ayah hancur dan sangat sakit," jawabnya sungguh-sungguh.Riana menatap ayah dan berkata, "Kalau Ayah masih mencintai ibu, Mas Rio dan aku, kenapa Ayah melakukan semua ini? Pasti ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan ini,""Situasinya gak sesederhana itu, Ria," kata ayah sambil mengurut pelipisnya."Apanya yang sulit, Yah? Apa Ayah masih mencintai Tante Sandra? Lalu bagaimana dengan ibu?" tanya Riana."Ria, Sandra dulu telah sangat banyak berkorban untuk Ayah dan keluarga. Dulu nenekmu sempat sakit parah, dan tidak ada biaya untuk berobat. Saat itu Sandra dan keluarganya membantu Ayah untuk membiayai operasi nenek. Kalau Sandra gak memberi pertolongan, pasti nenek akan meninggal saat itu juga. Masih banyak hal yang dilakukan oleh dia, yang gak dapat Ayah bayar sampai saat ini," bebernya."Jadi Ayah berusaha membela diri dan membenarkan tindakan Ayah ini?""Bukan begitu, Nak. Ayah bukan sedang membenarkan diri atau ingin kalian memaklumi. Ayah hanya ingin mengatakan, situasi ini juga sangat rumit dan membuat ayah ada dalam posisi yang sulit," jawab papa.Riana melipat kedua tangannya di depan dada dan bertanya, "Jadi Ayah bersama dengan Tante Sandra atas dasar cinta atau hutang budi? Atau Ayah merasa bersalah padanya?""Nak, keluarga Sandra menuntut ayah untuk mendampingi dia sampai sehat kembali. Saat ini kondisinya masih lemah, dia hanya mau makan jika ayah yang menyuapinya. Semangat hidup dan kemauannya untuk sembuh bergantung pada ayah," ujarnya. "Aku cuma mau mendengar pilihan Ayah saat ini. Ayah pilih keluarga kita atau Tante Sandra?" tanya Riana tegas."Maaf, Nak. Untuk saat ini ayah gak bisa meninggalkan Sandra. Ayah harap kalian bisa mengerti dan ayah minta kalian untuk bersabar, tunggulah ayah kembali! Saat ini ayah harus menyelesaikan urusan dengan Sandra dan keluarganya." Hadi mengusap wajahnya."Hahaha.. Ayah egois sekali! Ayah ingin kembali pada kami suatu saat nanti? Apa semua pria memang seperti itu? Jahat sekali! Jadi itu jawaban Ayah? Oke, semuanya cukup bagiku. Aku sudah mendengar dari mulut Ayah, bahwa Ayah memilih dia. Silakan Ayah pergi dari kehidupan kami sekarang dan untuk selamanya!" seru Riana.Beberapa pasang mata pengunjung menatap ke arah Riana. Ia mengambil tas ranselnya dan berjalan keluar dari kafe itu. David mengikuti langkah Riana, meninggalkan Ayah Riana yang duduk terpaku di tempatnya.Tangis Riana pecah saat ia sampai di tempat parkir kafe tersebut. Ia terduduk di tanah dan menangis dengan keras. Ia sudah tidak dapat menahan perasaannya lagi. Riana tidak peduli pada tatapan dan kasak kusuk pengunjung di sekitarnya. David memeluk Riana, lalu membantunya untuk berdiri dan membawanya ke sudut tempat parkir yang tidak terlalu ramai. Ia sangat memaklumi dan mengerti perasaan gadis itu."Aku tahu, kamu gak mungkin bisa menangis di rumah nanti. Jadi menangislah sepuasmu! Aku akan memberi kamu waktu, sampai kamu merasa lega dan lebih baik. Duduklah di sini! Aku akan membeli minuman dulu, ya," kata David.David meninggalkan Riana beberapa saat dan membiarkannya sendiri. Setelah itu, ia kembali sambil membawa dua gelas minuman."Ria, minum dulu!" kata David sambil menyodorkan gelas minuman pada Riana."Terimakasih, Mas. Maaf kalau aku membuat kamu malu dengan sikapku yang seperti anak kecil tadi, Mas," ucap Riana."Gak apa-apa, Ria, aku sama sekali gak merasa malu dengan sikapmu," ujar David. David mengusap bahu Riana, gadis cantik yang sejak dulu telah dikenalnya sebagai adik dari sahabatnya. Selama ini ia menganggap Riana seperti adiknya sendiri. Demikian juga Riana, yang menganggap teman-teman Mario seperti kakaknya sendiri. Namun David menyadari bahwa saat ini Riana telah bertumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan menarik. Entah sejak kapan rasa itu hadir, tetapi kini David menyadari bahwa Riana telah ada di dalam hatinya. Perasaan cinta telah tumbuh seiring dengan waktu yang berlalu.Namun David masih mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya pada Riana. Apalagi saat ini, Mario dan Riana sedang menghadapi masa yang berat dan sulit."Mas, aku harus bagaimana?" tanya Riana sambil terisak lagi. David tidak dapat menahan diri, melihat gadis yang ia sukai menangis dan menderita. Ia menarik Riana ke dalam pelukannya. Riana awalnya terkejut, tetapi saat ini ia memang sedang membutuhkan sebuah bahu untuk bersandar dan meluapkan segala kesedihannya.Selama beberapa menit, Riana menyandarkan kepalanya di dada bidang David. Ia menangis sampai air matanya terasa kering. Setelah itu, ia mulai bisa menguasai dirinya.Riana menjauhkan tubuhnya dari David, lalu mengusap kedua air matanya. David mengulurkan tisu pada Riana dan menatapnya dengan tatapan teduh nan menenangkan."Ria, apa kamu sudah merasa lebih baik? Mau pulang sekarang?" tanya David.Riana mengambil ponselnya dari dalam saku."Aku telepon Mas Mario dulu. Aku ingin menceritakan semua cerita ayah tadi padanya. Tapi rasanya terlalu sulit bagiku untuk mengatakan semua itu di rumah, di depan ibu," katanya."Ya sudah, coba hubungi Mario. Kita bertemu di tempat lain saja," ujar Mario.Riana segera menghubungi Mario dan meminta dijemput di suatu tempat. Setelah sepakat berjumpa di sebuah taman, Riana dan David segera menuju ke tempat itu.Akhirnya Riana dan David tiba di taman itu. Mereka menunggu sejenak dan duduk di kursi yang tersedia. Tak lama kemudian, Mario datang dengan sepeda motornya. Mario masih mengenakan seragam sekolahnya, yang kini terlihat sedikit berantakan. Riana bisa mencium aroma rokok dari baju dan mulut kakaknya. Riana tahu pasti, bahwa Mario juga merasa tertekan dan sangat sakit. Namun karena Mario adalah seorang laki-laki, tentu ia berusaha menghadapinya dengan cara yang berbeda. Ia berusaha tidak menunjukkan tangis dan rasa sakitnya. Mario, yang biasanya selalu terlihat rapi dan tampan, setelah kepergian sang ayah berubah menjadi lebih cuek dan sedikit berantakan. Rambut dan seragam Mario juga sering terlihat berantakan. "Ria, apa yang Ayah bicarakan?" tanya Mario.Riana menceritakan semua perkataan ayah pada Mario, juga mengenai pilihan ayah saat ini. Mario terlihat gusar mendengar cerita itu, berulangkali nafasnya menderu dan sorot matanya terlihat marah."Aku yakin, semua cerita itu hanya karangan papa untuk membela diri. Aku gak akan percaya dan terhanyut mendengar cerita dongeng seperti itu!" seru Mario."Apa kamu percaya pada Ayah? Kamu mau membela dia yang jelas-jelas sudah mengkhianati ibu dan meninggalkan kita?" tanya Mario sambil menunjuk Riana. "Mas, aku tidak tahu, apa aku bisa mempercayai ayah atau tidak. Bagiku semuanya telah berubah dengan sangat tiba-tiba, keluarga kita, kondisi di rumah," ujar Riana. "Aku tidak akan memaafkan ayah dan juga q yang membenarkan sikapnya. Sudah kukatakan padamu, jangan temui dia lagi! Anggap saja ayah kita sudah meninggal. Ingat itu, Ria!" kata Mario. "Sudahlah, jangan kasar seperti itu, Rio. Ini juga sangat berat dan sulit untuk Riana. Dengan keadaan ini dan semua yang telah terjadi, kalian tidak boleh saling menyalahkan. Kalian harus bersatu dan bangkit. Tunjukkan bahwa kalian kuat dan bisa bertahan," kata David. Mario terdiam, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Semua perkataan David memang benar dan masuk dalam logikanya. "Benar, kita harus tunjukkan pada ayah, wanita itu, dan semua orang, kalau kita bisa hidup tanpa Ayah. Kita buat Ay
Siang itu, Riana dan Mario tidak langsung pulang ke rumah. Riana harus membeli beberapa perlengkapan untuk pesanan buket makanan ringan. Riana senang mengerjakan semua pekerjaannya, walaupun keuntungan yang ia dapatkan belum seberapa jumlahnya. Setidaknya Riana merasa mempunyai aktivitas yang produktif, bisa sedikit meringankan beban mama, dan juga mengalihkan pikirannya dari persoalan yang sedang melanda keluarganya saat ini. Setelah mendapatkan semua barang yang diperlukan, Riana keluar dari toko dan membawa satu plastik besar. Mario memilih menunggu di tempat parkir karena tidak terlalu mengerti barang-barang yang harus dibeli. "Sudah?" tanya Mario ketika melihat Riana mendekat. "Iya, ayo pulang, Mas!" jawab Riana. Mereka kembali menempuh perjalanan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, mereka terkejut melihat pemandangan yang tidak biasa terjadi. Ibu terbaring di sofa dengan wajah pucat dan memegangi perutnya. Riana terkejut, hingga tanpa sadar plastik yang dibawanya terjat
Hadi terpaku melihat istri dan anak-anaknya berdiri di hadapannya. Ada rasa bersalah dan berkecamuk di dalam hatinya, apalagi melihat wajah Hana, istrinya yang pucat dan sepertinya sedang tidak sehat. Hadi tidak dapat menahan diri untuk melangkah dan mendekat, walaupun Mario, anak lelakinya jelas menolaknya. Mario sudah memalingkan wajahnya, dan terlihat ingin segera membawa ibu dan adiknya pergi. "Hana, kamu sakit?" tanya Hadi sambil mengulurkan tangan untuk memeriksa dahi istrinya seperti yang biasa ia lakukan. "Jangan sentuh Ibu!" kali ini Riana yang berbicara dengan geram. Tatapan Riana menusuk tajam, sampai ke dalam sanubari, membuat Hadi tak mampu berkata apapun lagi. Tidak pernah sekalipun Riana, anak manja dan manis itu bersikap seperti itu pada ayahnya. Hadi menarik kembali tangannya, lalu menatap ibu dari anak-anaknya itu. "Ayo, Bu!" kata Mario sembari menggandeng tangan ibunya.Hadi hanya menghela nafas panjang, lalu menatap kepergian istri dan anak-anaknya dalam kebek
Riana melihat ibunya menahan tangis di sepanjang jalan yang mereka lalui. Riana memejamkan mata, bibirnya terasa kelu, tak mampu mengucap sepatah katapun. Mereka tiba di rumah, Riana membantu ibu turun dari mobil dan menuntunnya ke kamar. Sementara Mario langsung mengembalikan mobil itu ke rumah Om Dedy. "Ibu istirahat, ya. Aku mau memasak makan malam untuk kita," kata Riana. "Nanti saja, Nak. Duduklah dahulu di sini! Temani Ibu sebentar saja," ucap wanita yang sangat dicintai oleh Riana itu. Riana mengurungkan niatnya untuk meninggalkan ibunya, ia duduk di tepi tempat tidur. "Ibu pasti sangat sedih karena melihat ayah bersama dengan wanita itu," kata Riana. Ibu menghela nafas panjang, tak bisa dipungkiri hatinya berdenyut nyeri. "Sudahlah, Nak. Biar ayahmu menjalani pilihan hatinya," jawab ibu. "Apa Ibu tahu siapa wanita itu?" Riana tak dapat lagi menanyakan pada ibunya tentang hal itu. "Ibu tidak mengenal dia, yang Ibu tahu, dia adalah cinta pertama ayahmu," "Jadi Ibu suda
Riana sedang sibuk mengerjakan beberapa pesanan buket bunga dan cokelat. Ruang tamu, sampai kamar Riana dipenuhi beberapa buket yang sudah jadi dan yang masih dalam proses pembuatan. Pita, kain, bunga-bunga, dan hiasan bertebaran di sana-sini. Beruntungnya, ibu sudah mulai bekerja di ruko milik sahabatnya. Jika tidak, pasti keadaan rumah ini akan semakin berantakan dengan mesin jahit dan barang-barang ibu. "Wah, berantakan sekali," kata Mario sambil keluar dari dapur membawa sepiring pisang goreng. Riana mengerucutkan bibirnya, memegang tengkuknya yang pegal dan menatap Mario. "Mas ini komentar saja, bantuin donk," kata Riana. "Mau aku bantu apa? Aku tidak bisa membuat buket seperti itu. Nanti aku salah, kamu malah marah," jawab Mario dengan santai. "Ih, bilang saja Mas tidak mau membantu," cerutu Riana. Mario tertawa melihat ekspresi wajah Riana yang lucu saat sedang marah. Ia lalu menyodorkan sepotong pisang goreng ke mulut Riana.Riana yang semula terlihat kesal langsung ter
"Ria, David menunggu jawabanmu," kata Mario. "Eh, kamu harusnya pergi dulu, Rio. Biarkan kami bicara berdua," ujar David sambil melirik ke arah Mario. "Enak saja, itu sih maumu berdua saja dengan adikku," ujar Mario. David meringis mendengar perkataan sahabatnya itu. Sementara Riana hanya diam menatap dua pria di hadapannya. "Mas David, terimakasih untuk semua kebaikan Mas selama ini. Tapi jujur, apa yang Mas katakan tadi membuat aku sangat kaget," ucap Riana dengan wajah polosnya. "Aku tahu, Ria. Maaf kalau ini terlalu mendadak dan mengejutkan kamu," kata David. "Mas, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu sekarang," ujar Riana. "Iya, aku siap menunggu dan memberi kamu waktu. Aku siap dengan apapun jawabanmu, setidaknya perasaanku sekarang cukup lega, karena aku sudah mengatakan semua padamu. Daripada aku hanya diam, memendam perasaanku, dan selalu merasa penasaran," jawab David sambil melirik Mario. "Apa sih? Kamu menyindir aku?" ujar Mario sambil melotot lucu. "Siapa yang me
Pagi itu, bel istirahat pertama sudah berbunyi. Mario memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam laci meja. Tak seperti biasanya, ia melihat David hanya termangu dan duduk di tempatnya. Mario berdiri dan menghampiri David yang duduk dua bangku di depannya. David memang lebih banyak diam dan terlihat sering memikirkan sesuatu. "Hei, tumben ga ke kantin?" tanya Mario. "Lagi malas saja, sudah sarapan juga tadi," jawab singkat David. "Lagi mikir apa sih? Aku perhatikan dari tadi kamu melamun terus," ujar Mario. "Ga ada masalah koq," jawabnya. "Pasti kamu masih memikirkan tentang jawaban Riana, iya kan?""Ah, kamu memang sahabat dan calon kakak iparku yang paling baik dan pengertian," ucap David sambil tersenyum. "Begitu saja galau. Kemarin katamu apapun jawaban dia kamu akan bisa terima, ga akan berubah sikap. Ini belum dijawab saja sudah seperti orang sakit gigi, galau, dan patah hati," ejek Mario. David menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal, ia menjawab Mario, "Bantu aku d
David mengakhiri panggilan telepon itu. Ia menatap Riana dan Mario yang spontan terdiam mendengar nama Sandra. "Vid, tantemu itu bernama Sandra?" tanya Mario. "Iya, aku tidak mengingat wajahnya, mungkin aku bertemu dengannya saat aku kecil. Tapi.. Nama Sandra itu banyak, kan? Aku yakin ini cuma kebetulan," jawab David. "Oh, iya. Mungkin cuma kebetulan, tidak mungkin tantemu itu wanita selingkuhan papaku," ujar Mario. "Sudahlah, jangan bahas itu! Kita kan mau senang-senang di sini. Lupakan sebentar masalah keluargamu, Rio," kata Cindy. Hari mulai gelap, dua pasang remaja itu harus segera kembali ke rumah. Saat berkumpul bersama orang yang dicintai dan sahabat tentunya membuat waktu terasa cepat berlalu. "Vid, kamu antar Cindy saja, ya. Aku pulang langsung sama Riana," kata Mario. "Yah, koq begitu?" ujar David dengan raut wajahnya kecewa. "Iya lah, rumah kalian kan searah. Aku dan Riana juga satu rumah. Jadi lebih efektif dan efisien buat kita semua. Kamu juga harus mengantar ma