"Apa kamu percaya pada Ayah? Kamu mau membela dia yang jelas-jelas sudah mengkhianati ibu dan meninggalkan kita?" tanya Mario sambil menunjuk Riana.
"Mas, aku tidak tahu, apa aku bisa mempercayai ayah atau tidak. Bagiku semuanya telah berubah dengan sangat tiba-tiba, keluarga kita, kondisi di rumah," ujar Riana. "Aku tidak akan memaafkan ayah dan juga q yang membenarkan sikapnya. Sudah kukatakan padamu, jangan temui dia lagi! Anggap saja ayah kita sudah meninggal. Ingat itu, Ria!" kata Mario. "Sudahlah, jangan kasar seperti itu, Rio. Ini juga sangat berat dan sulit untuk Riana. Dengan keadaan ini dan semua yang telah terjadi, kalian tidak boleh saling menyalahkan. Kalian harus bersatu dan bangkit. Tunjukkan bahwa kalian kuat dan bisa bertahan," kata David. Mario terdiam, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Semua perkataan David memang benar dan masuk dalam logikanya. "Benar, kita harus tunjukkan pada ayah, wanita itu, dan semua orang, kalau kita bisa hidup tanpa Ayah. Kita buat Ayah merasa menyesal atas keputusan yang telah ia ambil," ujar Mario. Beberapa saat mereka diam, tak saling berbicara lagi. Riana dan Mario berusaha menata hati dan pikiran mereka. Apalagi di hadapan ibu nanti, mereka harus berusaha menunjukkan ketegaran, dan bahwa semuanya baik-baik saja. "Mas, ayo kita pulang! Ibu pasti cemas menunggu kita," kata Riana."Iya, ayo kita pulang! Maafkan perkataan Mas tadi, ya," ucap Mario sambil mengusap rambut adiknya. Mario dan Riana mengucapkan terimakasih pada David, lalu pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, mereka melihat ruang tamu sedikit berantakan. Ibu sedang mengeluarkan mesin jahit dan seluruh perlengkapannya. Dulu Mama Mario memang seorang penjahit profesional yang mempunyai cukup banyak pelanggan. Namun selama beberapa tahun Ibu Mario vakum, tidak menggunakan keterampilan menjahitnya, karena sibuk membantu bisnis ayah dan mengurus anak-anaknya. "Bu, ada apa ini?" tanya Riana sambil melihat ke sekelilingnya. "Eh, kalian baru pulang?" sambut ibu sambil tersenyum ceria. "Iya, maaf kami terlambat pulang, Bu. Tadi ada tugas kelompok. Kenapa Ibu mengeluarkan kembali alat-alat ini?" tanya Riana. "Ini, Ibu baru berpikir untuk kembali memulai usaha menjahit. Supaya Ibu bisa punya aktivitas dan tidak larut dalam kesedihan," jawab ibu. Mario terdiam, tidak langsung menanggapi perkataan mamanya itu. Mario berpikir, mungkin mamanya mulai memutar otak, untuk bisa membiayai sekolah mereka dan memenuhi kebutuhan hidup. "Apa Ibu yakin? Ria tidak mau Ibu terlalu lelah," kata Riana. Ibu tersenyum dan membelai wajah Riana dengan lembut. Ia menjawab, "Ibu bisa mengatur waktu, Sayang. Kalau lelah, pasti Ibu akan berhenti dan beristirahat," "Bu, apa kita sudah kehabisan uang? Bagaimana kalau Rio mencari pekerjaan paruh waktu untuk membantu Ibu?" tanya Mario. "Bukan seperti itu, Nak. Kalian tidak perlu ikut memusingkan masalah keuangan. Tugas kalian adalah belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh. Ibu tidak mau kamu memaksakan diri untuk bekerja. Pasti nanti nilai-nilai kalian akan menurun karena terlalu lelah. Ingat itu!" kata ibu sambil menatap Mario. Mario menghela nafas panjang dan menundukkan kepala, ia menggerutu, "Seharusnya urusan kebutuhan kita dan biaya sekolah adalah kewajiban pria yang tidak bertanggung jawab itu! Entah apa yang membuatnya tega meninggalkan kita dan membuat kita terlantar seperti ini,""Nak, jangan berkata seperti itu! Bagaimanapun juga dia adalah ayah kandungmu," ujar ibu. "Apa Ibu bisa memaafkan dia? Terbuat dari apa hati Ibu? Kalau aku, seumur hidup aku tidak akan memaafkan dia!" seru Mario sambil melangkah cepat dan masuk ke dalam kamarnya. "Bu, kalau Ibu memang akan memulai kembali usaha ini, aku akan membantu Ibu. Bagaimana kalau kita melakukan promosi melalui media sosial?" usul Riana. "Wah, bagus juga, Sayang. Ini ada beberapa kain sisa dan masih cukup bagus. Ibu akan membuat beberapa model pakaian untukmu dan Rio. Nanti kita promosikan melalui akun media sosial. Bagaimana?" tanya ibu. "Iya, Bu. Nanti Riana juga ingin belajar menjahit, supaya Ria bisa membantu Ibu," jawab Riana. "Boleh, Sayang. Ibu senang kalau kamu mau belajar juga, tapi kamu harus mengutamakan tugas sekolahmu, oke?" kata ibu. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. "Kamu belum makan siang, kan? Makanlah! Ibu sudah memasak untuk kalian. Kamu langsung cuci tangan dan makan duluan, ya. Ibu akan memanggil Mario," ujar ibu. "Iya, Bu" jawab Riana. Ibu mengetuk pintu kamar Mario dan mengajaknya untuk makan siang. ---Ibu mulai menjahit pakaian untuk Riana. Keterampilan mama ternyata tidak luntur, walaupun sudah lama berhenti menjadi penjahit. Setelah pakaian itu jadi, Riana segera mencobanya. Mario membantu Riana membuat video dan merekamnya bergaya memamerkan pakaian yang ia kenakan. Beberapa pelanggan lama merasa senang setelah mengetahui bahwa ibu kembali aktif menerima jahitan. Jahitan yang rapi dan nyaman dipakai membuat pelanggan merasa puas dan turut mempromosikan jasa menjahit ibu. Dua minggu sejak mulai melakukan promosi, beberapa pelanggan baru dan lama mulai datang untuk menjahit pakaian. Tak jarang, ibu sampai harus menjahit sampai larut malam. "Ibu lelah?" kata Riana sambil meletakkan segelas teh manis di meja. "Ah, tidak koq. Ibu senang karena promosi kita berhasil. Dalam satu minggu kemarin, hasil menjahit Ibu cukup banyak. Terimakasih, Sayang," katanya. Riana memijat lembut bahu ibu dan berkata, "Yang penting, Ria tidak mau Ibu sampai sakit karena terlalu lelah," Ibu tersenyum dan memegang tangan Riana, "Iya, Sayang,""Bu, Ria mau mencoba belajar menjual buket bunga dan jajanan seperti ini," kata Riana sambil menunjukkan contoh foto di ponselnya. "Wah, bagus juga, Nak. Tidak ada salahnya mencoba," kata Ibu.---Riana mulai belajar merangkai buket bunga dan belajar dari internet. Setelah mampu membuatnya, Riana mulai menjual melalui media sosial. Beberapa teman sekolah Riana dan Mario mulai memesan buket itu. Mario membantu melakukan promosi di media sosial dan menawarkan pada teman-temannya. Mario juga membantu untuk mengantarkan jahitan atau buket bunga itu ke orang yang memesannya. "Bu, lihat ini, hasil penjualan buket bunga dan makananku selama satu minggu," kata Riana sambil menunjukkan lima lembar uang ratusan ribu rupiah. Ibu tersenyum dan membelai rambut Riana, lalu berkata, "Wah, lumayan, ya. Kamu hebat, Sayang,""Iya, Bu. Terimakasih. Semoga usaha kita ini lancar, ya Bu," kata Riana. "Amin, Nak," jawab ibu. Riana terus bersyukur, karena usahanya mulai membuahkan hasil. Riana dan Mario kini bisa menghasilkan uang, tidak perlu meminta uang saku pada ibu.Riana juga mulai belajar menjahit dari ibunya. Ia mulai membantu ibu melakukan pekerjaan yang ringan, seperti memasang kancing, menjahit jahitan sederhana dan bekerja sama melakukan pekerjaan rumah.Cindy menatap Riana dengan bingung. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia berharap Mario akan kembali membuka hatinya untuk sang mantan kekasih. Cindy mengikuti langkah Mario menuju halaman belakang rumah itu. Di situ sepi dan hanya ada mereka berdua. Cindy dan Mario kini berdiri berhadapan dan saling memandang. Ada rasa yang berbeda saat mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Sekarang semua rahasia dan kesalahpahaman di antara mereka juga sudah terungkap dengan jelas. "Ada apa, Rio?" Mata Cindy bergerak indah, dengan bibir merah alami yang mampu menggetarkan kembali hati Mario. "Mm... Akhirnya semua sudah jelas sekarang. Aku minta maaf karena sudah salah menilai kamu, Cin. Aku langsung pergi tanpa mendengar penjelasanmu," kata Mario. Cindy menghela nafas lega. Sebenarnya sudah lama ia menantikan saat seperti ini. Perpisahan dengan Mario membuatnya rapuh dan hancur, apalagi mereka berpisah saat rencana pernikahan sudah di depan mata. "Semuanya sudah berla
Wajah Sandra mulai berubah pucat. Rahasia yang ia simpan selama ini ternyata sudah terbongkar. Hadi dan keluarganya mempunyai lebih dari cukup bukti dan saksi yang akan membuat Sandra mendapatkan hukuman berat. Sebelum Mario dan David menaikkan Sandra ke dalam mobil, Sandra melihat pintu pagar rumahnya terbuka lebar. Semua karyawan dan penjaga tak berdaya untuk menolong Sandra, karena David juga menghubungi anak buahnya untuk datang dan berjaga di depan pintu gerbang. Tepat pada saat itu, Sandra yang tidak mau dibawa ke kantor polisi melihat satu kesempatan untuk melarikan diri. Ia berencana untuk melarikan diri dan memaksa salah satu anak buahnya yang ada di pintu gerbang untuk membawanya kabur. dengan sekuat tenaga Sandra memutar roda kursi rodanya. David dan Mario terkejut dan segera mengejar Sandra. "Hentikan dia!" David berteriak pada penjaga dan anak buahnya. Melihat beberapa pria bersiaga untuk menghalanginya, Sandra bergegas berbelok ke arah lain. Sandra hanya berpikir un
Mario dan keluarganya sampai di depan kediaman Sandra. Tentu saja mereka juga membawa serta Raka dan Mira. Raka dan Mira akan bersaksi bahwa mereka memang menerima perintah dari Sandra dan anak buahnya untuk menjalankan skenario yang ia buat. Pagar pintu rumah itu tertutup rapat. Tak ada yang menduga kalau seorang wanita yang cacat di dalam rumah itu bisa mengendalikan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. David dan Mario pun yakin, bahwa Raka dan Mira akan terkejut nantinya saat melihat kondisi Sandra yang sebenarnya. David turun lebih dulu dari mobil dan berbincang sejenak dengan penjaga rumah. David memang beberapa kali pernah datang ke rumah itu untuk mengantar mamanya, sehingga semua penjaga dan asisten rumah tangga sudah mengenalnya. "Apa Tante Sandra ada di rumah?" tanya David pada seorang pria bertubuh besar dan berkacamata. "Apa Mas David sudah punya janji?" tanya pria itu. "Saya keponakan Tante Sandra. Apa saya harus membuat janji untuk bertemu dengan tante saya se
"Masuk!" Seorang anak buah David mendorong Miranda alias Mira masuk ke rumah Mario. Wanita itu ingin menolak, tapi tentu tenaganya kalah besar jika dibandingkan dengan tiga orang pria bertubuh besar yang berada di dekatnya. Mario dan semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar menemui Mira. "Miranda...." Mario menatap wanita itu, kini dengan rasa yang berbeda. Mira menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap wajah Mario. Penampilan dan riasan wajah Mira kini jauh berbeda. Ia berdandan lebih menor dan menjadi dirinya sendiri. Sikap dan gayanya juga terkesan lebih angkuh daripada Miranda yang biasa dikenal oleh Mario. Setelah beberapa saat menghindar dari pandangan mata mantan kekasih palsunya, Mira akhirnya memberanikan diri menatap mata Mario. Semua bisa melihat rasa kesal dan kemarahan Mario saat itu. "Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura menjadi kekasihku?" tanya Mario. "Rio, sebaiknya kita bicara di dalam. Gak enak dilihat dan didengar orang lain." Hana mengingatkan Mar
"Aku sama sekali gak tahu identitasnya, Rio. Aku hanya mengenalnya sebagai Tante Jelita. Saat aku mendengar suaranya, sepertinya dia wanita yang tegas. Dia juga punya anak buah dan bisa mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya," kata Raka. "Kenapa semuanya serba kebetulan seperti ini? Apa wanita itu ada hubungannya dengan Miranda? Kenapa sepertinya orang itu punya rencana untuk menghancurkan hidupku dan hubunganku dengan Cindy?" tanya Mario. "Benar, Mas. Sepertinya rencana ini sudah diatur dengan rapi oleh seseorang," kata Riana. "Siapa orang yang bisa berbuat setega itu?" tanya Cindy. "Hanya satu orang yang bisa berbuat seperti itu." Mario menatap ibu dan ayahnya. "Apa mungkin ini rencana Tante Sandra? Tapi itu gak mungkin, kan?" kata Riana. "Aku juga punya kecurigaan yang sama, Ria. Seumur hidupku, aku hanya menemukan satu orang yang begitu berambisi menghancurkan kehidupan orang lain," ujar Mario. "Tapi Sandra sekarang sakit, Nak. Dia bukan lagi Sandra yang da
"Tolong tunggu sebentar, Tante! Saya datang untuk menjelaskan semuanya." Cindy memegang tangan Hana dengan erat. "Menjelaskan tentang apa? Bukankah semuanya sudah jelas? Kalian sudah resmi menikah, kan? Tolong jangan usik Mario lagi! Saat ini dia sedang dalam kondisi yang gak baik," kata Hana. Mendengar keributan di depan, Riana keluar dari kamarnya. Ia segera mendekat ketika melihat kedatangan Cindy."Bu, jangan marah dulu! Mbak Cindy juga batal menikah, Bu," kata Riana. "Apa?! Kenapa?" Suara Hana mulai melunak saat mendengar cerita Riana. Riana memang belum sempat menceritakan apa yang ia ketahui dari Cindy, karena ia ingin Cindy yang menceritakan sendiri pada Mario dan orang tuanya. "Bu, biarkan mereka masuk dulu! Mereka pasti baru saja sampai. Aku akan membuat minuman dan memanggil Mas Rio. Mbak Cindy akan menceritakan semuanya pada kita," kata Riana. Hana akhirnya mengijinkan Cindy dan Raka masuk ke dalam rumah. Cindy dan Raka duduk di sofa, sementara Riana membuatkan minuma