"Mas yakin?" tanya Riana sambil menatap kakaknya.
"Iya. Apapun akan aku lakukan untuk ibu. Apa kamu tega melihat ibu disakiti seperti itu? Kita harus merebut kembali ayah dari tangan pelakor itu," ujar Mario yakin."Tapi ibu tidak ingin kita melakukan itu, Mas. Bagaimana kalau sampai ibu tahu kita menemui ayah dan wanita itu?"Mario melirik ke arah kamar ibu, lalu meletakkan jari telunjuk di bibirnya, ia berbisik, "Ssst... Pelankan suaramu! Ibu gak akan tahu kalau kita gak memberi tahu dia. Ayo kita pergi sekarang, selagi ibu masih tidur!" "Tapi kita belum tahu dimana ayah sekarang. Apalagi alamat wanita itu, darimana kita bisa mendapatkannya?" tanya Riana."Coba kamu buka dan cari informasi di ponsel ibu!" kata Mario.Riana menuruti saja permintaan kakaknya. Ia membuka pintu kamar ibu dengan sangat hati-hati, lalu mengambil ponsel dari atas meja. Riana keluar dari kamar itu sambil menggenggam ponsel milik ibu.Dengan mudah Riana membuka layar benda pipih itu, karena ibu memang tidak pernah mengunci layarnya. Riana mulai membuka pesan di aplikasi hijau, ia membaca satu per satu pesan mulai dari posisi yang paling atas.Jantung Riana berdebar, sesekali ia menghela nafas, dan menggigit bibirnya. Mario menatap ekspresi wajah Riana dan berharap adiknya berhasil menemukan suatu informasi yang penting.Setelah beberapa saat lamanya, mata Riana tertuju pada suatu percakapan. "Mas.." kata Riana."Apa? Ada apa?" tanya Mario mendekat."Ternyata yang memberi informasi mengenai perselingkuhan ayah adalah Tante Dewi," jawab Riana.Mario mengambil ponsel di tangan Riana dan bertanya, "Mana?"Mario membaca percakapan ibu dengan Tante Dewi. Tante Dewi menyampaikan bahwa ia melihat ayah dan seorang wanita tinggal di dekat rumahnya. Tante Dewi mengirim beberapa foto yang diambil secara diam-diam."Rumah wanita itu di dekat rumah Tante Dewi. Mas Rio masih ingat alamat rumah Tante Dewi?" tanya Riana.Mario berpikir sejenak dan berusaha mengingat alamat rumah itu. Dahulu ibu pernah memintanya untuk diantar ke rumah Tante Dewi."Iya, aku masih ingat. Nama perumahannya Perumahan Permata Permai, lokasinya tidak terlalu jauh dari sini. Ternyata ibu sudah datang ke sana dan memergoki ayah sedang bersama dengan wanita itu," jawab Mario."Kasihan ibu. Pasti hati ibu sangat sakit saat menangkap basah ayah sedang bersama dengan wanita itu." Riana menghapus air mata yang kembali mengalir tanpa permisi."Ayo kita ke sana sekarang! Aku yakin ayah juga ada di sana," kata Mario sambil menyambar kunci sepeda motor dari atas meja.Riana tertegun sesaat, tetapi akhirnya ia melangkah mengikuti Mario. Riana menutup pintu dan pergi meninggalkan rumah itu.Masih memakai seragam sekolah, Mario dan Riana menyusuri jalan yang ramai siang itu. Karena kejutan pahit siang itu, mereka bahkan belum sempat mengisi perut sepulang sekolah tadi. Rasa lapar dan selera makan mereka lenyap seketika.Mario menghentikan sepeda motornya di sebuah warung."Kita makan dulu, ya," ujar Mario."Aku gak lapar, Mas," kata Riana."Aku juga, tapi kita harus makan. Kalau kita sakit, kasihan ibu," kata Mario.Riana menyetujui perkataan kakaknya dan akhirnya mau masuk ke dalam warung sederhana itu."Hapus air matamu, jangan menangis terus! Nanti semua orang pikir kita ini pasangan yang sedang bertengkar," bisik Mario.Hubungan Mario dan Riana sebagai kakak beradik memang sangat dekat. Usia keduanya hanya berjarak dua tahun. Tak jarang orang yang melihat Mario dan Riana akan berpikir bahwa mereka sejoli yang sedang menjalin cinta.Teman-teman sekolah mereka awalnya juga tidak menyangka jika Mario adalah kakak kandung Riana. Mario yang bertubuh tinggi dan berwajah tampan membuat beberapa murid perempuan jatuh hati. Awalnya beberapa teman yang menyukai Mario merasa cemburu pada Riana.Mario dan Riana selalu pulang bersama dengan sepeda motor. Jika keluar dari kelas lebih dulu, Mario akan menanti Riana di tempat parkir. Demikian juga sebaliknya, Riana akan sabar menanti Mario jika ia keluar lebih dahulu.Mario dan Riana memakan makanan mereka dan tidak saling bicara. Mereka hanyut dengan pikiran masing-masing dan berusaha menguatkan diri untuk menerima kenyataan buruk yang mungkin akan mereka lihat nanti."Sudah?" tanya Mario pada Riana."Iya," jawab Riana, sekalipun nasi di piringnya masih terisi separuh lebih. Ia sudah memaksakan diri untuk memakan makanannya, tetapi hanya sanggup menelan beberapa suap saja. Ia sudah tidak tertarik untuk menghabiskan makanannya. Mario mendekati penjual warung dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari sakunya. Setelah menerima uang kembalian, Mario dan Riana segera meninggalkan warung itu.Mereka kembali pada rencana semula, yaitu mencari alamat wanita itu. Mario membelokkan sepeda motornya memasuki gerbang Perumahan Permata Permai, tempat Tante Dewi tinggal. Riana mulai melihat foto yang dikirimnya dari ponsel mama dan mencari rumah yang mirip dengan foto itu. Foto yang dikirim oleh Tante Dewi tidak terlalu jelas menunjukkan nomor atau lokasi tepat rumah tersebut, karena memang diambil secara sembunyi-sembunyi. Namun Riana berusaha mencari meja, kursi, dan taman yang mirip dengan yang ada di foto itu. Cukup lama mereka berkeliling, tetapi nyatanya tak semudah yang dibayangkan. Rumah-rumah yang ada di dalam perumahan itu hampir serupa satu dengan yang lainnya."Mas, apa kita harus menemui Tante Dewi?" celetuk Riana."Kita coba cari sendiri dulu, ya," jawab Mario.Mereka berputar sekali lagi di blok dekat rumah Tante Dewi. Ketika nyaris putus asa, Riana dan Mario melihat sosok ayah sedang duduk di salah satu teras rumah. Ayah hanya diam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Tanpa berpikir panjang, Mario segera memarkir sepeda motornya dan turun. Mario masuk ke halaman rumah itu dan mendekati ayahnya. Riana berjalan di belakang Mario, dan menatap sang ayah dari balik tubuh kakaknya. "Kalian," kata ayah terkejut.Wajah Mario memerah, ia bertanya dengan suara keras, "Jadi Ayah dan wanita itu tinggal di sini?"Tak lama kemudian, seorang wanita yang duduk di kursi roda keluar dari rumah itu."Ada apa, Mas? tanya wanita itu sambil menatap Mario dan Riana dengan heran.Mario dan Riana terpaku menatap wanita itu, wajahnya cukup cantik, tapi mengapa ia tega merebut papa mereka?"Jadi Ayah meninggalkan ibu demi wanita penyakitan ini?" seru Mario sambil menunjuk wanita itu.Plakk...Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Mario. Mario dan Riana terkejut, tak menyangka papa akan melakukan hal itu. "Ayah.. Seumur hidupku Ayah gak pernah menampar aku seperti tadi. Sekarang Ayah tega memukul aku hanya demi dia?"Mario memegang pipinya yang terasa panas, tapi rasa nyeri di hatinya adalah yang paling menghancurkan dirinya."Ayah jahat! Aku benci Ayah!" seru Riana sambil menahan tangan Mario yang terkepal.Darah muda Mario berkecamuk saat ini, ingin rasanya ia membalas ayah, atau memukuli wanita tak berdaya itu. Namun Mario masih mengingat pesan ibunya, untuk tidak melakukan hal yang mungkin bisa berbahaya atau membuat ibunya sedih. Sambil menangis Riana menarik Mario untuk menjauh, ia sangat menyesal telah datang ke rumah itu. Sikap ayah telah membuat rasa sakit dan kebencian makin meluap di dadanya."Aku gak mau bertemu denganmu lagi. Mulai sekarang, Anda bukanlah ayahku lagi!" rutuk Mario sesaat sebelum berpaling. Mario dan Riana melangkah pergi, meninggalkan rumah itu. Riana masih menoleh melihat ayah yang terduduk gemetar melihat telapak tangannya sendiri. Tangan yang telah menyakiti darah dagingnya sendiri dan menggores luka yang entah kapan bisa pulih kembali. Riana masih tersedu ketika ia duduk di atas sepeda motor. Mario masih terdiam, nafasnya memburu menahan amarahnya. Figur ayah penyayang
Bel sekolah sudah berbunyi, pertanda jam pelajaran sudah berakhir. Riana merapikan buku dan alat tulisnya, lalu memasukannya ke dalam tas. Seperti biasanya, Riana berjalan ke tempat parkir dan menunggu Mario di dekat sepeda motornya. Mario yang duduk di kelas tiga memang sering keluar lebih lama daripada Riana. Beberapa teman Riana sudah pulang lebih dulu, dan tempat parkir itu mulai lengang. Tiba-tiba Riana terkejut melihat sosok pria yang sangat ia kenal menghampiri dirinya. "Riana, anakku," kata Ayah Riana. "Ayah," ucap Riana terkejut. Mario dan David yang baru saja tiba di tempat parkir terpaku melihat ayah dan Riana sedang berdiri berhadapan."Ria, kenapa kamu masih mau bicara dengannya?" tegur Mario. "Mas, Ayah baru saja datang...." ucap Riana mencoba menjelaskan. Ayah menatap Mario dan Riana penuh harap dan berkata, "Rio, Ria, ada yang mau Ayah bicarakan,""Sudah aku katakan, aku gak sudi bertemu atau bicara dengan Anda," tolak Mario acuh. "Sebentar saja, Nak. Kita haru
"Beberapa bulan lalu, Sandra mulai bisa mengingat. Namun ingatannya belum kembali seperti semula, ia hanya bisa mengingat tentang Ayah. Karena itu, dengan terpaksa keluarga Sandra menghubungi Ayah. Sandra masih menganggap Ayah sebagai calon suaminya," ujar ayah sambil menundukkan kepala."Apa?! Ayah gak berbohong, kan?" tanya Riana."Untuk apa Ayah berbohong? Asal kalian tahu, Ayah juga merasa gak nyaman saat ini. Hati Ayah hancur dan sangat sakit," jawabnya sungguh-sungguh.Riana menatap ayah dan berkata, "Kalau Ayah masih mencintai ibu, Mas Rio dan aku, kenapa Ayah melakukan semua ini? Pasti ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan ini,""Situasinya gak sesederhana itu, Ria," kata ayah sambil mengurut pelipisnya."Apanya yang sulit, Yah? Apa Ayah masih mencintai Tante Sandra? Lalu bagaimana dengan ibu?" tanya Riana."Ria, Sandra dulu telah sangat banyak berkorban untuk Ayah dan keluarga. Dulu nenekmu sempat sakit parah, dan tidak ada biaya untuk berobat. Saat itu Sandra dan kelu
"Apa kamu percaya pada Ayah? Kamu mau membela dia yang jelas-jelas sudah mengkhianati ibu dan meninggalkan kita?" tanya Mario sambil menunjuk Riana. "Mas, aku tidak tahu, apa aku bisa mempercayai ayah atau tidak. Bagiku semuanya telah berubah dengan sangat tiba-tiba, keluarga kita, kondisi di rumah," ujar Riana. "Aku tidak akan memaafkan ayah dan juga q yang membenarkan sikapnya. Sudah kukatakan padamu, jangan temui dia lagi! Anggap saja ayah kita sudah meninggal. Ingat itu, Ria!" kata Mario. "Sudahlah, jangan kasar seperti itu, Rio. Ini juga sangat berat dan sulit untuk Riana. Dengan keadaan ini dan semua yang telah terjadi, kalian tidak boleh saling menyalahkan. Kalian harus bersatu dan bangkit. Tunjukkan bahwa kalian kuat dan bisa bertahan," kata David. Mario terdiam, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Semua perkataan David memang benar dan masuk dalam logikanya. "Benar, kita harus tunjukkan pada ayah, wanita itu, dan semua orang, kalau kita bisa hidup tanpa Ayah. Kita buat Ay
Siang itu, Riana dan Mario tidak langsung pulang ke rumah. Riana harus membeli beberapa perlengkapan untuk pesanan buket makanan ringan. Riana senang mengerjakan semua pekerjaannya, walaupun keuntungan yang ia dapatkan belum seberapa jumlahnya. Setidaknya Riana merasa mempunyai aktivitas yang produktif, bisa sedikit meringankan beban mama, dan juga mengalihkan pikirannya dari persoalan yang sedang melanda keluarganya saat ini. Setelah mendapatkan semua barang yang diperlukan, Riana keluar dari toko dan membawa satu plastik besar. Mario memilih menunggu di tempat parkir karena tidak terlalu mengerti barang-barang yang harus dibeli. "Sudah?" tanya Mario ketika melihat Riana mendekat. "Iya, ayo pulang, Mas!" jawab Riana. Mereka kembali menempuh perjalanan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, mereka terkejut melihat pemandangan yang tidak biasa terjadi. Ibu terbaring di sofa dengan wajah pucat dan memegangi perutnya. Riana terkejut, hingga tanpa sadar plastik yang dibawanya terjat
Hadi terpaku melihat istri dan anak-anaknya berdiri di hadapannya. Ada rasa bersalah dan berkecamuk di dalam hatinya, apalagi melihat wajah Hana, istrinya yang pucat dan sepertinya sedang tidak sehat. Hadi tidak dapat menahan diri untuk melangkah dan mendekat, walaupun Mario, anak lelakinya jelas menolaknya. Mario sudah memalingkan wajahnya, dan terlihat ingin segera membawa ibu dan adiknya pergi. "Hana, kamu sakit?" tanya Hadi sambil mengulurkan tangan untuk memeriksa dahi istrinya seperti yang biasa ia lakukan. "Jangan sentuh Ibu!" kali ini Riana yang berbicara dengan geram. Tatapan Riana menusuk tajam, sampai ke dalam sanubari, membuat Hadi tak mampu berkata apapun lagi. Tidak pernah sekalipun Riana, anak manja dan manis itu bersikap seperti itu pada ayahnya. Hadi menarik kembali tangannya, lalu menatap ibu dari anak-anaknya itu. "Ayo, Bu!" kata Mario sembari menggandeng tangan ibunya.Hadi hanya menghela nafas panjang, lalu menatap kepergian istri dan anak-anaknya dalam kebek
Riana melihat ibunya menahan tangis di sepanjang jalan yang mereka lalui. Riana memejamkan mata, bibirnya terasa kelu, tak mampu mengucap sepatah katapun. Mereka tiba di rumah, Riana membantu ibu turun dari mobil dan menuntunnya ke kamar. Sementara Mario langsung mengembalikan mobil itu ke rumah Om Dedy. "Ibu istirahat, ya. Aku mau memasak makan malam untuk kita," kata Riana. "Nanti saja, Nak. Duduklah dahulu di sini! Temani Ibu sebentar saja," ucap wanita yang sangat dicintai oleh Riana itu. Riana mengurungkan niatnya untuk meninggalkan ibunya, ia duduk di tepi tempat tidur. "Ibu pasti sangat sedih karena melihat ayah bersama dengan wanita itu," kata Riana. Ibu menghela nafas panjang, tak bisa dipungkiri hatinya berdenyut nyeri. "Sudahlah, Nak. Biar ayahmu menjalani pilihan hatinya," jawab ibu. "Apa Ibu tahu siapa wanita itu?" Riana tak dapat lagi menanyakan pada ibunya tentang hal itu. "Ibu tidak mengenal dia, yang Ibu tahu, dia adalah cinta pertama ayahmu," "Jadi Ibu suda
Riana sedang sibuk mengerjakan beberapa pesanan buket bunga dan cokelat. Ruang tamu, sampai kamar Riana dipenuhi beberapa buket yang sudah jadi dan yang masih dalam proses pembuatan. Pita, kain, bunga-bunga, dan hiasan bertebaran di sana-sini. Beruntungnya, ibu sudah mulai bekerja di ruko milik sahabatnya. Jika tidak, pasti keadaan rumah ini akan semakin berantakan dengan mesin jahit dan barang-barang ibu. "Wah, berantakan sekali," kata Mario sambil keluar dari dapur membawa sepiring pisang goreng. Riana mengerucutkan bibirnya, memegang tengkuknya yang pegal dan menatap Mario. "Mas ini komentar saja, bantuin donk," kata Riana. "Mau aku bantu apa? Aku tidak bisa membuat buket seperti itu. Nanti aku salah, kamu malah marah," jawab Mario dengan santai. "Ih, bilang saja Mas tidak mau membantu," cerutu Riana. Mario tertawa melihat ekspresi wajah Riana yang lucu saat sedang marah. Ia lalu menyodorkan sepotong pisang goreng ke mulut Riana.Riana yang semula terlihat kesal langsung ter