"Ayah jahat! Aku benci Ayah!" seru Riana sambil menahan tangan Mario yang terkepal.
Darah muda Mario berkecamuk saat ini, ingin rasanya ia membalas ayah, atau memukuli wanita tak berdaya itu. Namun Mario masih mengingat pesan ibunya, untuk tidak melakukan hal yang mungkin bisa berbahaya atau membuat ibunya sedih. Sambil menangis Riana menarik Mario untuk menjauh, ia sangat menyesal telah datang ke rumah itu. Sikap ayah telah membuat rasa sakit dan kebencian makin meluap di dadanya."Aku gak mau bertemu denganmu lagi. Mulai sekarang, Anda bukanlah ayahku lagi!" rutuk Mario sesaat sebelum berpaling. Mario dan Riana melangkah pergi, meninggalkan rumah itu. Riana masih menoleh melihat ayah yang terduduk gemetar melihat telapak tangannya sendiri. Tangan yang telah menyakiti darah dagingnya sendiri dan menggores luka yang entah kapan bisa pulih kembali. Riana masih tersedu ketika ia duduk di atas sepeda motor. Mario masih terdiam, nafasnya memburu menahan amarahnya. Figur ayah penyayang dan sangat ia kagumi telah hancur dalam sekejap mata. Kini yang ada hanyalah rasa sakit dan benci yang berkecamuk. Dalam diam, air mata Mario mengalir melalui sudut matanya. "Mas, ayo kita pulang!" bisik Riana."Iya, tapi jangan menangis lagi di depan ibu! Jangan mengatakan pada ibu, kalau ayah menampar aku tadi!" terdengar suara Mario yang bergetar."Iya, Mas. Aku mengerti," kata Riana sambil mengusap air matanya.Mario dan Riana sampai akhirnya sampai di rumah. Ibu sudah menanti kedua anaknya di teras dengan cemas. Mata ibu terlihat sembab karena terlalu lama menangis."Kalian dari mana?" tanya ibu yang langsung bangkit berdiri dan menghampiri kedua anaknya. "Ibu sudah bangun? Tadi kami.." jawab Riana sambil berpikir."Ada tugas kelompok, Bu. Mario mengantar Riana ke rumah temannya," potong Mario.Ibu menatap Mario dan Riana bergantian, mungkin sebagai seorang ibu, mudah baginya menangkap jika anaknya tak berkata yang sebenarnya. Riana menundukkan kepala, takut menatap mata ibu, karena mungkin ibu akan menangkap kebohongannya. "Itu kenapa wajah kamu?" tanya ibu cemas ketika melihat bekas tamparan di wajah Mario."Ah, bukan apa-apa, Bu. Aku mandi dulu ya, gerah," kata Mario sambil menjauh dan bergegas masuk ke dalam rumah. Ibu beralih menatap Riana yang masih tertunduk diam. Riana tidak terbiasa berbohong pada ibu. Namun jika mengatakan hal yang sebenarnya terjadi, pasti ibu akan lebih merasa sakit daripada anak-anaknya. "Kalian gak bohong kan, Nak?" tanya ibu cemas.Riana mencoba tersenyum dan menggelengkan kepala."Jangan membuat ibu cemas, ya! Ibu hanya punya kalian saat ini," bisik ibu sambil memeluk Riana.Riana memeluk sambil mengusap punggung ibunya."Ibu tenang saja, kami sudah besar. Kami tidak akan melakukan hal yang bisa membuat Ibu sedih, marah, dan terluka. Kita akan lewati ini bersama," jawabnya.---Hari demi hari berlalu, tanpa terasa satu minggu telah berlalu sejak peristiwa pahit itu. Riana kini banyak berdiam diri di rumah, berusaha mendampingi ibu menghabiskan waktu bersama.Sepulang dari sekolah, Riana akan menemani ibu berbincang, membantunya memasak, dan membersihkan rumah. Mario selalu berpesan pada Riana, untuk selalu menemani ibu dan tidak membiarkannya sendirian.Riana berusaha tegar dan ceria di depan ibu, tetapi saat di dalam kamar sendirian, ia sering menangis dalam diam.Rasa sakit, benci, dan marah berbaur menjadi satu. Namun tak bisa dipungkiri, Riana juga merindukan sosok ayah. Ayah selama ini sangat lembut dan penyayang. Terasa sulit untuk mempercayai bahwa ayah bisa membagi hatinya dengan wanita lain di luar sana.Dalam hati Riana masih berharap semua ini hanyalah mimpi buruk, ia berharap akan segera bangun dan mendapati ayahnya kembali pulang.Seringkali Riana menangis sampai tertidur saat malam hari. Ia juga tahu pasti, ibu melakukan hal yang sama. Berusaha kuat dan tabah di depan anak-anaknya, tapi rapuh saat sedang sendirian.---Sebagai anak laki-laki, Mario mempunyai sikap yang berbeda dalam menghadapi persoalan keluarganya. Ia lebih sering menyibukkan diri di luar rumah.Sejak dulu Mario memang rutin bermain basket dan juga sesekali bermain musik bersama teman-temannya. Bersama beberapa teman sekolah, Mario membuat sebuah grup musik. Mario memainkan alat musik gitar dalam grup itu."Rio, tumben kamu belum pulang?" tanya seorang teman Mario.Biasanya setelah bermain basket, Mario akan istirahat sejenak dan langsung pulang ke rumahnya."Aku lagi malas saja di rumah," jawab Mario."Tumben, apalagi akhir pekan begini, biasanya kamu dan keluarga pergi atau punya acara sendiri," kata teman Mario.Mario menghela nafas panjang, baginya itu hanya tinggal kenangan yang mungkin tidak akan terulang kembali."Sepertinya hal itu gak akan terjadi lagi," jawab Mario.Teman Mario yang bernama David itu terkejut mendengar perkataannya."Memangnya kenapa? Sepertinya keluargamu sedang ada masalah, ya? Cerita saja kalau kamu mau, siapa tahu bisa membuat perasaanmu lebih baik," kata David.Mario mengeluarkan sebatang rokok dari dalam tasnya dan menyulutnya."Eh, sejak kapan kamu merokok lagi?" tanya David heran.Sebagai anak SMA yang sedang mencari jati diri dan penuh rasa ingin tahu, Mario dan beberapa teman memang pernah mencoba merokok. Namun Mario berhenti merokok ketika ayahnya mengetahui dan menegurnya."Ayahku selingkuh, Vid. Keluargaku hancur," ucap Mario.David melotot dan bertanya, "Hah?! Kamu serius? Ibumu itu cantik dan sangat baik, Rio. Masa ayahmu tega mengkhianati dia demi wanita lain?""Aku dan Ria melihatnya sendiri, Vid. Dulu aku sangat mengagumi ayah, tapi sekarang aku sangat membenci dia. Aku gak akan mau bertemu, memanggil dan menganggap dia sebagai ayahku lagi. Aku gak akan menuruti lagi perkataan orang munafik itu!" ujar Mario geram."Sabar, Rio. Apa kamu sudah selidiki lebih jauh? Maksudku ayah dan ibumu sudah lama menikah. Selama ini juga mereka harmonis dan bahagia, kan? Aku rasa alasan di balik ini semua," kata David."Aku gak peduli! Bagiku ayahku telah melakukan kesalahan besar, menyakiti ibu, aku, dan Ria. Demi wanita itu, ayah memilih untuk meninggalkan kami. Jangan membela pria itu di hadapanku!""Bukan aku membela ayahmu, Rio. Kita ini masih muda dan belum menikah, mungkin banyak hal yang kita gak tahu. Apa yang terjadi dalam keluargamu, apa masalah yang dialami orang tuamu, mungkin gak semuanya kamu ketahui," kata David lagi.Mario tertunduk diam, ia menghisap rokoknya dalam. Namun ia tetap teguh membenci sang ayah, ia tidak tertarik untuk apapun lagi mengenai ayahnya. Baginya semuanya sudah hancur dan berlalu. Sebuah kenangan pahit yang ingin segera ia kubur dalam-dalam dan tak ingin ia ingat lagi seumur hidupnya.Cindy menatap Riana dengan bingung. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia berharap Mario akan kembali membuka hatinya untuk sang mantan kekasih. Cindy mengikuti langkah Mario menuju halaman belakang rumah itu. Di situ sepi dan hanya ada mereka berdua. Cindy dan Mario kini berdiri berhadapan dan saling memandang. Ada rasa yang berbeda saat mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Sekarang semua rahasia dan kesalahpahaman di antara mereka juga sudah terungkap dengan jelas. "Ada apa, Rio?" Mata Cindy bergerak indah, dengan bibir merah alami yang mampu menggetarkan kembali hati Mario. "Mm... Akhirnya semua sudah jelas sekarang. Aku minta maaf karena sudah salah menilai kamu, Cin. Aku langsung pergi tanpa mendengar penjelasanmu," kata Mario. Cindy menghela nafas lega. Sebenarnya sudah lama ia menantikan saat seperti ini. Perpisahan dengan Mario membuatnya rapuh dan hancur, apalagi mereka berpisah saat rencana pernikahan sudah di depan mata. "Semuanya sudah berla
Wajah Sandra mulai berubah pucat. Rahasia yang ia simpan selama ini ternyata sudah terbongkar. Hadi dan keluarganya mempunyai lebih dari cukup bukti dan saksi yang akan membuat Sandra mendapatkan hukuman berat. Sebelum Mario dan David menaikkan Sandra ke dalam mobil, Sandra melihat pintu pagar rumahnya terbuka lebar. Semua karyawan dan penjaga tak berdaya untuk menolong Sandra, karena David juga menghubungi anak buahnya untuk datang dan berjaga di depan pintu gerbang. Tepat pada saat itu, Sandra yang tidak mau dibawa ke kantor polisi melihat satu kesempatan untuk melarikan diri. Ia berencana untuk melarikan diri dan memaksa salah satu anak buahnya yang ada di pintu gerbang untuk membawanya kabur. dengan sekuat tenaga Sandra memutar roda kursi rodanya. David dan Mario terkejut dan segera mengejar Sandra. "Hentikan dia!" David berteriak pada penjaga dan anak buahnya. Melihat beberapa pria bersiaga untuk menghalanginya, Sandra bergegas berbelok ke arah lain. Sandra hanya berpikir un
Mario dan keluarganya sampai di depan kediaman Sandra. Tentu saja mereka juga membawa serta Raka dan Mira. Raka dan Mira akan bersaksi bahwa mereka memang menerima perintah dari Sandra dan anak buahnya untuk menjalankan skenario yang ia buat. Pagar pintu rumah itu tertutup rapat. Tak ada yang menduga kalau seorang wanita yang cacat di dalam rumah itu bisa mengendalikan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. David dan Mario pun yakin, bahwa Raka dan Mira akan terkejut nantinya saat melihat kondisi Sandra yang sebenarnya. David turun lebih dulu dari mobil dan berbincang sejenak dengan penjaga rumah. David memang beberapa kali pernah datang ke rumah itu untuk mengantar mamanya, sehingga semua penjaga dan asisten rumah tangga sudah mengenalnya. "Apa Tante Sandra ada di rumah?" tanya David pada seorang pria bertubuh besar dan berkacamata. "Apa Mas David sudah punya janji?" tanya pria itu. "Saya keponakan Tante Sandra. Apa saya harus membuat janji untuk bertemu dengan tante saya se
"Masuk!" Seorang anak buah David mendorong Miranda alias Mira masuk ke rumah Mario. Wanita itu ingin menolak, tapi tentu tenaganya kalah besar jika dibandingkan dengan tiga orang pria bertubuh besar yang berada di dekatnya. Mario dan semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar menemui Mira. "Miranda...." Mario menatap wanita itu, kini dengan rasa yang berbeda. Mira menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap wajah Mario. Penampilan dan riasan wajah Mira kini jauh berbeda. Ia berdandan lebih menor dan menjadi dirinya sendiri. Sikap dan gayanya juga terkesan lebih angkuh daripada Miranda yang biasa dikenal oleh Mario. Setelah beberapa saat menghindar dari pandangan mata mantan kekasih palsunya, Mira akhirnya memberanikan diri menatap mata Mario. Semua bisa melihat rasa kesal dan kemarahan Mario saat itu. "Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura menjadi kekasihku?" tanya Mario. "Rio, sebaiknya kita bicara di dalam. Gak enak dilihat dan didengar orang lain." Hana mengingatkan Mar
"Aku sama sekali gak tahu identitasnya, Rio. Aku hanya mengenalnya sebagai Tante Jelita. Saat aku mendengar suaranya, sepertinya dia wanita yang tegas. Dia juga punya anak buah dan bisa mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya," kata Raka. "Kenapa semuanya serba kebetulan seperti ini? Apa wanita itu ada hubungannya dengan Miranda? Kenapa sepertinya orang itu punya rencana untuk menghancurkan hidupku dan hubunganku dengan Cindy?" tanya Mario. "Benar, Mas. Sepertinya rencana ini sudah diatur dengan rapi oleh seseorang," kata Riana. "Siapa orang yang bisa berbuat setega itu?" tanya Cindy. "Hanya satu orang yang bisa berbuat seperti itu." Mario menatap ibu dan ayahnya. "Apa mungkin ini rencana Tante Sandra? Tapi itu gak mungkin, kan?" kata Riana. "Aku juga punya kecurigaan yang sama, Ria. Seumur hidupku, aku hanya menemukan satu orang yang begitu berambisi menghancurkan kehidupan orang lain," ujar Mario. "Tapi Sandra sekarang sakit, Nak. Dia bukan lagi Sandra yang da
"Tolong tunggu sebentar, Tante! Saya datang untuk menjelaskan semuanya." Cindy memegang tangan Hana dengan erat. "Menjelaskan tentang apa? Bukankah semuanya sudah jelas? Kalian sudah resmi menikah, kan? Tolong jangan usik Mario lagi! Saat ini dia sedang dalam kondisi yang gak baik," kata Hana. Mendengar keributan di depan, Riana keluar dari kamarnya. Ia segera mendekat ketika melihat kedatangan Cindy."Bu, jangan marah dulu! Mbak Cindy juga batal menikah, Bu," kata Riana. "Apa?! Kenapa?" Suara Hana mulai melunak saat mendengar cerita Riana. Riana memang belum sempat menceritakan apa yang ia ketahui dari Cindy, karena ia ingin Cindy yang menceritakan sendiri pada Mario dan orang tuanya. "Bu, biarkan mereka masuk dulu! Mereka pasti baru saja sampai. Aku akan membuat minuman dan memanggil Mas Rio. Mbak Cindy akan menceritakan semuanya pada kita," kata Riana. Hana akhirnya mengijinkan Cindy dan Raka masuk ke dalam rumah. Cindy dan Raka duduk di sofa, sementara Riana membuatkan minuma