Share

Pertengkaran Kecil

Penulis: Planet Zamzan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-05 18:43:00

Damar melangkah mendekati Wilona yang masih duduk tenang di sofa. Wanita itu terlihat anggun seperti biasanya, dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Cangkir teh di tangannya tampak berembun, menandakan bahwa isinya masih hangat.

Tanpa ragu, Damar berdiri di hadapannya. “Aku ingin bicara.”

Wilona meliriknya sekilas, lalu mengangkat alis. “Tentang apa?”

Damar menarik napas dalam, berusaha menekan emosi yang masih bergejolak dalam dadanya. “Tentang anak-anak kita.”

Wilona menaruh cangkirnya di meja kecil di sampingnya. “Apa lagi sekarang?”

Damar melipat tangan di depan dada. “Sebenarnya, bagaimana caramu mendidik mereka? Kenapa tidak ada satu pun yang memiliki sopan santun dan sikap yang baik?”

Wilona terkekeh kecil, tapi nada tawanya terdengar penuh sindiran. “Maksudmu, kenapa mereka tidak seperti anak-anak keluarga harmonis di film-film? Kenapa mereka tidak bersikap manis dan memanggil ‘Papa’ dengan penuh kasih sayang?”

Damar mengerutkan kening. “Aku serius, Wilona.”

Wilona menghela napas lelah, lalu bersandar ke sofa. “Aku tidak tahu kenapa kamu tiba-tiba berubah begini, Arman. Tapi kalau kamu benar-benar ingin tahu, jawabannya sederhana. Semua ini adalah hasil didikanmu sendiri.”

Damar terdiam.

Wilona menatapnya lurus, ekspresinya dingin. “Kamu yang membebaskan mereka selama ini. Kamu tidak pernah peduli bagaimana mereka tumbuh, bagaimana mereka bergaul, bagaimana mereka menjalani hidup. Kamu hanya memastikan mereka memiliki uang yang cukup untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan. Itu saja.”

Damar tidak bisa berkata-kata.

“Jadi, kenapa kamu tiba-tiba ribut sekarang?” lanjut Wilona dengan nada tajam. “Bukankah kamu sendiri yang memilih untuk tidak peduli selama ini?”

Damar menelan ludah. Dia tidak bisa membantah. Memang bukan dia yang melakukan semua itu, tapi Arman.

Tapi sekarang, dia berada dalam tubuh Arman.

Dia memalingkan wajah, mencoba mencerna kata-kata Wilona. “Kamu tidak khawatir?” tanyanya pelan. “Tentang Zicho? Tentang bagaimana dia bergaul dengan anak-anak seperti itu?”

Wilona menatapnya tanpa ekspresi. “Aku sudah terlalu lelah untuk khawatir. Kalau aku melarang, dia akan melawan. Kalau aku memarahinya, dia akan menghilang berhari-hari. Kalau aku mengabaikannya, setidaknya dia masih pulang ke rumah.”

Damar mengepalkan tangannya. Ada sesuatu yang terasa salah dalam situasi ini, dalam kehidupan keluarga ini. Tidak ada kedekatan, tidak ada kepedulian, hanya ketidakpedulian yang bertahun-tahun tertanam begitu dalam hingga sulit untuk diperbaiki.

Dia akhirnya menghela napas, merasa kepalanya semakin berat.

Wilona mengambil cangkir tehnya kembali. “Jadi, sekarang apa yang akan kamu lakukan, Arman?” tanyanya, menyesap minumannya dengan tenang.

Damar tidak menjawab. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

Damar menatap Wilona dengan serius. “Aku akan menghukum mereka.”

Wilona yang sedang menikmati tehnya hampir tersedak. Dia menatap Damar dengan tatapan penuh ketidakpercayaan, lalu tiba-tiba tertawa kecil. “Hukuman?” ujarnya, meletakkan cangkirnya kembali ke meja. “Lucu sekali. Sejak kapan Arman Wijaya merasa perlu menghukum anak-anaknya?”

Damar tetap berdiri tegak, tidak terpengaruh dengan tawa sinis itu. “Mereka harus belajar untuk melakukan hal yang benar. Aku tidak akan membiarkan mereka terus-menerus seperti ini.”

Wilona menggelengkan kepala, masih tersenyum sinis. “Dengar, Arman. Kau tidak punya hak untuk itu. Selama ini, kau tidak pernah peduli bagaimana mereka tumbuh. Lalu sekarang, tiba-tiba kau ingin menjadi seorang ayah yang baik? Jangan menggelikan.”

Damar mengepalkan tangannya, tapi dia memilih diam. Berdebat dengan Wilona tidak akan menghasilkan apa pun. Dia tahu, jika dia terus bertengkar, itu hanya akan memperburuk keadaan.

Dia akhirnya menghela napas dan berbalik, melangkah menuju tangga. “Aku akan ke kamar.”

Namun, baru beberapa langkah, suara Wilona menghentikannya. “Jangan lupa, malam ini kau tidak boleh telat.”

Damar terhenti, menoleh dengan bingung. “Kenapa?”

Wilona mendesah panjang, tampak semakin kesal. “Jangan bilang kau bahkan belum membaca kartu undangannya?”

Damar diam sejenak, mencoba mengingat. Tentu saja dia belum membaca apa pun. Dia bahkan tidak tahu di mana kartu undangan yang dimaksud.

Melihat ekspresinya yang kosong, Wilona mendengus kesal. “Astaga, Arman. Aku benar-benar tidak mengerti ada apa denganmu akhir-akhir ini.”

Damar mengangkat tangan, mencoba menenangkan situasi. “Baiklah, aku akan membacanya sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban dari Wilona, dia kembali melangkah menuju lantai atas, menuju kamarnya. Entah acara apa yang dimaksud, tapi sekarang dia harus segera mencari tahu.

Sesampainya di kamar, Damar langsung melihat sebuah kartu undangan elegan berwarna hitam dengan aksen emas di atas meja kerjanya. Dia mengambilnya dan membaca isinya dengan saksama.

"Peresmian Butik Perhiasan Eksklusif Wilona Jewelry"

Di bawahnya tertulis dengan jelas bahwa acara ini akan dihadiri oleh berbagai tamu istimewa, termasuk pengusaha ternama, selebriti, dan beberapa pejabat penting. Damar menghela napas, merasa heran kenapa Wilona begitu marah hanya karena dia tidak membaca undangan ini lebih awal.

"Jadi hanya ini alasannya? Hanya karena peresmian tokonya?" gumamnya dalam hati.

Dia duduk di kursi dan mengusap wajahnya dengan lelah. Terlalu banyak hal yang terjadi dalam waktu singkat, dan dia masih belum bisa memahami bagaimana bisa terjebak dalam tubuh pria lain, seorang pria yang kehidupannya begitu jauh berbeda darinya.

Matanya kemudian tertuju pada koran yang tadi dia ambil dari kantor polisi. Perlahan, dia membukanya dan menatap berita di halaman utama.

"Seorang dosen mengalami kecelakaan tunggal dan meninggal di tempat"

Damar membaca kalimat itu berulang kali, mencoba mencerna setiap kata yang tertulis.

"Kecelakaan tunggal?"

Jantungnya berdegup lebih cepat. Dia ingat dengan jelas saat kecelakaan itu terjadi. Bukan kecelakaan tunggal. Ada sebuah truk besar yang muncul tiba-tiba di hadapannya, melaju dengan kecepatan tinggi sebelum menghantam mobilnya. Damar masih bisa merasakan dentuman keras, suara kaca pecah, dan tubuhnya yang terlempar ke dalam kehampaan.

Namun, di koran ini, tidak ada satu pun disebutkan tentang truk itu. Tidak ada saksi mata yang diwawancarai, tidak ada detail tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Damar meremas koran itu dengan tangannya, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. "Ini janggal. Sangat janggal."

Dia berusaha mengingat kembali detail terakhir sebelum semuanya menjadi gelap. Ada kilatan lampu dari kendaraan besar, suara klakson yang memekakkan telinga, lalu hantaman keras yang membuat seluruh tubuhnya terasa remuk.

Tapi jika itu benar kecelakaan tunggal, ke mana perginya truk itu? Mengapa tidak ada laporan tentang kendaraan lain?

Damar menatap bayangannya di cermin di seberang ruangan. Yang dia lihat bukanlah dirinya, tetapi wajah Arman Wijaya yang dingin dan penuh wibawa.

Ada sesuatu yang salah. Dan dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Damar terlalu sibuk dengan kehidupan barunya hingga lupa untuk menggali apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya atau Damar asli yang telah mati. Apa yang menyebabkan terjadinya kecelakaan itu dan jika itu benar disengaja, siapakah dalangnya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Informasi Yang Mengejutkan

    Rachel, wanita yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya kini ada dihadapannya. Namun, mengapa dia ada di sini?Wanita itu seolah sadar sedang diperhatikan. Perlahan, ia menoleh ke arah Damar, dan untuk sesaat mata mereka bertemu. Bibirnya sedikit melengkung, bukan dalam senyum ramah, tetapi lebih seperti ekspresi penuh arti, seolah menyimpan rahasia yang hanya dia yang tahu.Damar masih terdiam, pikirannya berputar cepat mencoba memahami situasi ini. Apakah dia benar-benar nyata? Ataukah ini hanya ilusi karena pikirannya masih kacau setelah semua yang terjadi?Damar masih memandang Rachel dengan tatapan tak percaya. Wanita itu, yang dulu ia kenal sebagai sosok sederhana dan penuh kesopanan, kini berdiri di depannya dengan senyum genit dan penuh percaya diri.“Tuan Arman Wijaya,” suara Rachel terdengar manis namun mengandung nada menggoda. “Sudah lama sekali kita tak bertemu.”Damar sedikit tersentak. Bukan hanya karena kemunculannya yang tiba-tiba, tetapi juga karena caranya berbicar

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Bayangan Masalalu

    Malam itu, Damar sudah berdandan dengan setelan jas rapi berwarna hitam yang telah disiapkan oleh para pelayan. Kemejanya berwarna putih dengan dasi kupu-kupu yang terpasang sempurna di lehernya. Namun, butuh waktu lama bagi Damar untuk akhirnya bisa mengenakan dasi itu dengan benar. Ia sama sekali tidak terbiasa memakainya, dan sempat kesulitan hingga akhirnya salah satu pelayan membantunya.Saat keluar dari kamar, ia melihat Wilona, Zizi, dan Zicho yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Ketiganya tampak elegan dalam pakaian resmi. Wilona mengenakan gaun hitam panjang yang berkilauan dengan aksesoris berlian yang mencerminkan status sosialnya. Zizi dengan gaun merah marun pendek yang anggun, sementara Zicho mengenakan jas biru tua dengan wajah bosan.Wilona mendengus begitu melihat Damar mendekat. “Kau butuh waktu lama sekali. Kita hampir terlambat,” katanya dengan nada ketus.Damar hanya bisa menghela napas dalam hati. Ia memang membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya karena ke

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Pertengkaran Kecil

    Damar melangkah mendekati Wilona yang masih duduk tenang di sofa. Wanita itu terlihat anggun seperti biasanya, dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Cangkir teh di tangannya tampak berembun, menandakan bahwa isinya masih hangat.Tanpa ragu, Damar berdiri di hadapannya. “Aku ingin bicara.”Wilona meliriknya sekilas, lalu mengangkat alis. “Tentang apa?”Damar menarik napas dalam, berusaha menekan emosi yang masih bergejolak dalam dadanya. “Tentang anak-anak kita.”Wilona menaruh cangkirnya di meja kecil di sampingnya. “Apa lagi sekarang?”Damar melipat tangan di depan dada. “Sebenarnya, bagaimana caramu mendidik mereka? Kenapa tidak ada satu pun yang memiliki sopan santun dan sikap yang baik?”Wilona terkekeh kecil, tapi nada tawanya terdengar penuh sindiran. “Maksudmu, kenapa mereka tidak seperti anak-anak keluarga harmonis di film-film? Kenapa mereka tidak bersikap manis dan memanggil ‘Papa’ dengan penuh kasih sayang?”Damar mengerutkan kening. “Aku serius, Wilona.”Wilona menghel

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Sifat Yang Sulit Dirubah

    Damar melangkah keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Kantor polisi itu tampak ramai, dengan berbagai orang berlalu-lalang, sebagian besar tampak bermasalah. Saat ia masuk, tatapan tajam beberapa petugas langsung mengarah padanya, mungkin karena penampilannya yang sangat berbeda dari kebanyakan orang di sana.Di sudut ruangan, ia melihat sekumpulan anak-anak dengan wajah babak belur dan pakaian lusuh. Mereka duduk di bangku panjang, beberapa menunduk, sementara yang lain bersikap seolah tidak peduli. Seorang polisi menghampiri Damar dengan ekspresi penuh selidik."Anda siapa?" tanya polisi itu.Damar hendak menjawab, "Saya Damar Pratam-" namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Kesadarannya kembali. Itu bukan namanya lagi. Ia mengoreksi diri."Saya Arman Wijaya," katanya.Polisi itu mengangguk, lalu menunjuk seorang anak laki-laki yang duduk terpisah dari yang lain. Anak itu tampak lebih muda, dengan wajah keras yang berusaha menyembunyikan sesuatu."Itu anak Anda, Zic

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Kehidupan Yang Tak Dikenal

    Pagi itu, Damar akhirnya menerima kenyataan. Ia bukan lagi seorang dosen yang santai. Kini, ia adalah Arman Wijaya, seorang CEO besar dengan kehidupan yang tampaknya dipenuhi ketegangan. Setelah bersiap dengan setelan jas yang sudah tergantung di lemari, Damar berjalan keluar kamar, saat ia tiba di depan kamar Wilona yang sedikit terbuka, ia melihat Wilona sedang bersiap-siap.Wilona tampil elegan seperti biasa, mengenakan gaun berwarna krem yang anggun dengan perhiasan berkilauan. Damar teringat sesuatu.Tadi malam, saat mencari informasi tentang Arman di internet, ia menemukan bahwa Wilona bukan hanya seorang istri. Ia adalah pemilik toko perhiasan antik terkenal. Ia memiliki jaringan bisnis yang cukup luas di kalangan sosialita. Toko miliknya termasuk butik perhiasan eksklusif yang hanya menerima pelanggan kelas atas.Mengingat informasi itu, Damar menyapa Wilona dengan hangat.“Selamat pagi. Jadi, kamu mau berangkat ke butik hari ini?”Wilona yang sedang memakai anting langsung be

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Mencari Jati Diri

    Damar berdiri di lorong lantai atas, dihadapkan pada banyak pintu yang berjajar rapi. Ia menghela napas panjang. Sial, ini rumah atau hotel?Kebingungan menyelimutinya. Ia sama sekali tidak tahu di mana kamarnya. Satu-satunya cara adalah mengeceknya satu per satu.Damar membuka pintu pertama di sebelah kirinya. Ruangan itu kosong. Tapi ketika ia melangkah masuk, ia menyadari nuansa kamar itu sangat berbeda dari yang ia bayangkan. Dindingnya berwarna biru gelap dengan beberapa poster mobil balap dan action figure yang tertata rapi di rak. Ada meja belajar dengan buku-buku pelajaran yang tertata, meskipun tampak jarang disentuh.Ini bukan kamarnya. Sepertinya ini kamar seorang anak laki-laki, tapi Damar tidak melihat tanda-tanda ada penghuni di dalamnya. Ia mengerutkan kening. Siapa pemilik kamar ini?Tanpa berpikir panjang, ia keluar dan menutup pintu kembali.Damar mencoba pintu kedua, tapi ternyata terkunci. Ketika ia hendak mencari cara lain untuk membukanya, matanya menangkap sesua

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status