Damar melangkah mendekati Wilona yang masih duduk tenang di sofa. Wanita itu terlihat anggun seperti biasanya, dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Cangkir teh di tangannya tampak berembun, menandakan bahwa isinya masih hangat.
Tanpa ragu, Damar berdiri di hadapannya. “Aku ingin bicara.”
Wilona meliriknya sekilas, lalu mengangkat alis. “Tentang apa?”
Damar menarik napas dalam, berusaha menekan emosi yang masih bergejolak dalam dadanya. “Tentang anak-anak kita.”
Wilona menaruh cangkirnya di meja kecil di sampingnya. “Apa lagi sekarang?”
Damar melipat tangan di depan dada. “Sebenarnya, bagaimana caramu mendidik mereka? Kenapa tidak ada satu pun yang memiliki sopan santun dan sikap yang baik?”
Wilona terkekeh kecil, tapi nada tawanya terdengar penuh sindiran. “Maksudmu, kenapa mereka tidak seperti anak-anak keluarga harmonis di film-film? Kenapa mereka tidak bersikap manis dan memanggil ‘Papa’ dengan penuh kasih sayang?”
Damar mengerutkan kening. “Aku serius, Wilona.”
Wilona menghela napas lelah, lalu bersandar ke sofa. “Aku tidak tahu kenapa kamu tiba-tiba berubah begini, Arman. Tapi kalau kamu benar-benar ingin tahu, jawabannya sederhana. Semua ini adalah hasil didikanmu sendiri.”
Damar terdiam.
Wilona menatapnya lurus, ekspresinya dingin. “Kamu yang membebaskan mereka selama ini. Kamu tidak pernah peduli bagaimana mereka tumbuh, bagaimana mereka bergaul, bagaimana mereka menjalani hidup. Kamu hanya memastikan mereka memiliki uang yang cukup untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan. Itu saja.”
Damar tidak bisa berkata-kata.
“Jadi, kenapa kamu tiba-tiba ribut sekarang?” lanjut Wilona dengan nada tajam. “Bukankah kamu sendiri yang memilih untuk tidak peduli selama ini?”
Damar menelan ludah. Dia tidak bisa membantah. Memang bukan dia yang melakukan semua itu, tapi Arman.
Tapi sekarang, dia berada dalam tubuh Arman.
Dia memalingkan wajah, mencoba mencerna kata-kata Wilona. “Kamu tidak khawatir?” tanyanya pelan. “Tentang Zicho? Tentang bagaimana dia bergaul dengan anak-anak seperti itu?”
Wilona menatapnya tanpa ekspresi. “Aku sudah terlalu lelah untuk khawatir. Kalau aku melarang, dia akan melawan. Kalau aku memarahinya, dia akan menghilang berhari-hari. Kalau aku mengabaikannya, setidaknya dia masih pulang ke rumah.”
Damar mengepalkan tangannya. Ada sesuatu yang terasa salah dalam situasi ini, dalam kehidupan keluarga ini. Tidak ada kedekatan, tidak ada kepedulian, hanya ketidakpedulian yang bertahun-tahun tertanam begitu dalam hingga sulit untuk diperbaiki.
Dia akhirnya menghela napas, merasa kepalanya semakin berat.
Wilona mengambil cangkir tehnya kembali. “Jadi, sekarang apa yang akan kamu lakukan, Arman?” tanyanya, menyesap minumannya dengan tenang.
Damar tidak menjawab. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Damar menatap Wilona dengan serius. “Aku akan menghukum mereka.”
Wilona yang sedang menikmati tehnya hampir tersedak. Dia menatap Damar dengan tatapan penuh ketidakpercayaan, lalu tiba-tiba tertawa kecil. “Hukuman?” ujarnya, meletakkan cangkirnya kembali ke meja. “Lucu sekali. Sejak kapan Arman Wijaya merasa perlu menghukum anak-anaknya?”
Damar tetap berdiri tegak, tidak terpengaruh dengan tawa sinis itu. “Mereka harus belajar untuk melakukan hal yang benar. Aku tidak akan membiarkan mereka terus-menerus seperti ini.”
Wilona menggelengkan kepala, masih tersenyum sinis. “Dengar, Arman. Kau tidak punya hak untuk itu. Selama ini, kau tidak pernah peduli bagaimana mereka tumbuh. Lalu sekarang, tiba-tiba kau ingin menjadi seorang ayah yang baik? Jangan menggelikan.”
Damar mengepalkan tangannya, tapi dia memilih diam. Berdebat dengan Wilona tidak akan menghasilkan apa pun. Dia tahu, jika dia terus bertengkar, itu hanya akan memperburuk keadaan.
Dia akhirnya menghela napas dan berbalik, melangkah menuju tangga. “Aku akan ke kamar.”
Namun, baru beberapa langkah, suara Wilona menghentikannya. “Jangan lupa, malam ini kau tidak boleh telat.”
Damar terhenti, menoleh dengan bingung. “Kenapa?”
Wilona mendesah panjang, tampak semakin kesal. “Jangan bilang kau bahkan belum membaca kartu undangannya?”
Damar diam sejenak, mencoba mengingat. Tentu saja dia belum membaca apa pun. Dia bahkan tidak tahu di mana kartu undangan yang dimaksud.
Melihat ekspresinya yang kosong, Wilona mendengus kesal. “Astaga, Arman. Aku benar-benar tidak mengerti ada apa denganmu akhir-akhir ini.”
Damar mengangkat tangan, mencoba menenangkan situasi. “Baiklah, aku akan membacanya sekarang.”
Tanpa menunggu jawaban dari Wilona, dia kembali melangkah menuju lantai atas, menuju kamarnya. Entah acara apa yang dimaksud, tapi sekarang dia harus segera mencari tahu.
Sesampainya di kamar, Damar langsung melihat sebuah kartu undangan elegan berwarna hitam dengan aksen emas di atas meja kerjanya. Dia mengambilnya dan membaca isinya dengan saksama.
"Peresmian Butik Perhiasan Eksklusif Wilona Jewelry"
Di bawahnya tertulis dengan jelas bahwa acara ini akan dihadiri oleh berbagai tamu istimewa, termasuk pengusaha ternama, selebriti, dan beberapa pejabat penting. Damar menghela napas, merasa heran kenapa Wilona begitu marah hanya karena dia tidak membaca undangan ini lebih awal.
"Jadi hanya ini alasannya? Hanya karena peresmian tokonya?" gumamnya dalam hati.
Dia duduk di kursi dan mengusap wajahnya dengan lelah. Terlalu banyak hal yang terjadi dalam waktu singkat, dan dia masih belum bisa memahami bagaimana bisa terjebak dalam tubuh pria lain, seorang pria yang kehidupannya begitu jauh berbeda darinya.
Matanya kemudian tertuju pada koran yang tadi dia ambil dari kantor polisi. Perlahan, dia membukanya dan menatap berita di halaman utama.
"Seorang dosen mengalami kecelakaan tunggal dan meninggal di tempat"
Damar membaca kalimat itu berulang kali, mencoba mencerna setiap kata yang tertulis.
"Kecelakaan tunggal?"
Jantungnya berdegup lebih cepat. Dia ingat dengan jelas saat kecelakaan itu terjadi. Bukan kecelakaan tunggal. Ada sebuah truk besar yang muncul tiba-tiba di hadapannya, melaju dengan kecepatan tinggi sebelum menghantam mobilnya. Damar masih bisa merasakan dentuman keras, suara kaca pecah, dan tubuhnya yang terlempar ke dalam kehampaan.
Namun, di koran ini, tidak ada satu pun disebutkan tentang truk itu. Tidak ada saksi mata yang diwawancarai, tidak ada detail tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Damar meremas koran itu dengan tangannya, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. "Ini janggal. Sangat janggal."
Dia berusaha mengingat kembali detail terakhir sebelum semuanya menjadi gelap. Ada kilatan lampu dari kendaraan besar, suara klakson yang memekakkan telinga, lalu hantaman keras yang membuat seluruh tubuhnya terasa remuk.
Tapi jika itu benar kecelakaan tunggal, ke mana perginya truk itu? Mengapa tidak ada laporan tentang kendaraan lain?
Damar menatap bayangannya di cermin di seberang ruangan. Yang dia lihat bukanlah dirinya, tetapi wajah Arman Wijaya yang dingin dan penuh wibawa.
Ada sesuatu yang salah. Dan dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Damar terlalu sibuk dengan kehidupan barunya hingga lupa untuk menggali apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya atau Damar asli yang telah mati. Apa yang menyebabkan terjadinya kecelakaan itu dan jika itu benar disengaja, siapakah dalangnya?
“Ini harus berjalan sempurna,” suara Damar terdengar tegas, menggetarkan ruangan rapat yang kini lebih hidup. Ruang pertemuan yang dulunya sunyi kini penuh dengan kegelisahan dan semangat. Di meja panjang, timnya duduk, mempersiapkan segalanya untuk proyek baru yang sudah dipersiapkan matang-matang. Damar memimpin rapat dengan ketegasan, matanya yang tajam sesekali melirik ke layar proyektor yang menampilkan diagram dan angka-angka yang menggambarkan proyeksi masa depan perusahaan.Rachel duduk di sebelahnya, memegang sebuah tablet, siap untuk mempresentasikan strategi pemasaran yang telah dirancangnya dengan cermat. Rambutnya yang hitam mengilap tergerai rapi, sementara matanya menunjukkan kepastian dan keteguhan. Damar tahu bahwa Rachel adalah tangan kanannya yang tak tergantikan dalam perjalanan baru mereka. Meskipun banyak yang menganggapnya sebagai istri yang hanya berdiri di samping Damar, Rachel telah membuktikan dirinya lebih dari itu.“Damar,” Rachel memulai dengan suara tena
“Damar, ini dia.” Rachel menggenggam tangan suaminya dengan erat, matanya terfokus pada meja pengadilan di depan mereka. Keheningan menyelimuti ruang sidang, kecuali suara detak jam yang terasa semakin keras di telinga. Semua mata tertuju pada hakim yang duduk dengan wajah serius, memegang palu yang telah siap dipukul. Ini adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu—saat keputusan akhir akan dibacakan.Damar menatap ke depan, namun hatinya terasa berat. Sidang ini sudah berlangsung begitu lama, dan meski kebenaran sudah terungkap, meski segala kebohongan telah dihancurkan, perasaan di dalam dirinya tak semudah itu hilang. Richard Santoso, pria yang telah menghancurkan hidupnya, akhirnya harus menanggung akibat dari semua perbuatannya. Tetapi, meski begitu, ada perasaan campur aduk yang tidak bisa ia pungkiri. Marah, lega, dan sedikit takut—takut akan apa yang akan datang setelah semuanya berakhir.“Saudara-saudara, saatnya untuk menjatuhkan vonis,” suara hakim memecah keheningan. “Richard
“Damar!” Rachel berbisik dengan suara tegang, menggenggam tangan suaminya yang duduk di sebelahnya. Pandangannya tertuju pada pria di kursi terdakwa, Richard Santoso, yang kini duduk dengan wajah pucat, matanya menatap kosong ke depan. Kamar pengadilan dipenuhi suara gemuruh dari wartawan dan penonton yang penasaran, membuat udara terasa semakin sesak. Damar memalingkan wajahnya dari Richard, menatap Rachel dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Kita hampir sampai di sini, Rachel,” bisiknya. “Jangan khawatir.”Namun, meski kata-kata itu terdengar menenangkan, hati Damar tidak bisa begitu saja tenang. Sidang ini, yang telah dinanti-nanti, juga berarti akan menutup babak kelam dalam hidupnya. Ia ingat dengan jelas betapa sakitnya kehilangan begitu banyak karena pria di hadapannya itu. Kehidupan yang hancur, kebohongan yang ditanamkan, dan ancaman yang datang dari Richard yang seakan tidak pernah habis. Sekarang, semua itu harus diakhiri. Di ruangan ini, di bawah tatapan para juri dan hakim
"Apakah kamu benar-benar siap untuk ini?" suara Detektif Arif terdengar tenang, namun ada ketegangan yang jelas dalam suaranya. Wilona berdiri di depan meja interogasi, tangan gemetar erat menggenggam dokumen yang ia simpan dengan hati-hati. Rasa sesak di dadanya membuatnya sulit bernapas, namun ia tahu tidak ada jalan lain."Aku... aku harus," jawab Wilona dengan suara serak, mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ada di tangannya ke detektif yang menatapnya serius. "Ini satu-satunya cara agar semuanya berakhir."Detektif Arif mengangguk pelan, memberi isyarat agar Wilona duduk. Namun, wanita itu tetap berdiri, menatap dokumen di tangannya seolah itu adalah benda yang bisa mengubah hidupnya. Begitu banyak waktu yang ia habiskan untuk menyembunyikan segalanya. Selama ini ia pikir dia melindungi dirinya sendiri dengan mengikuti setiap perintah Richard, tapi sekarang, setelah semuanya terbongkar, ia tahu betapa naifnya ia."Jadi, Richard Santoso yang selama ini kamu ikuti, itu benar
"Terbang, terbang sekarang juga!" Richard hampir berteriak, matanya liar, pandangannya gelisah, saat pilot di depan ruang kokpit pesawat pribadi sibuk dengan prosedur lepas landas. Wajah Richard terlihat pucat, lebih pucat dari biasanya. Ia menekan tombol di tangan, menunggu detik-detik yang penuh ketegangan. Sekelilingnya terasa sesak. Pandangannya jatuh pada dokumen yang tergeletak di meja kecil di sampingnya—berisi rincian transaksi ilegal yang akan membawa banyak orang ke dalam masalah besar.Namun, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan itu. Dia harus pergi. Harus keluar dari negara ini. Tidak ada lagi tempat yang aman baginya di tanah ini, tidak lagi setelah semua bukti itu tersebar di media. Damar dan Rachel sudah melakukannya. Mereka berhasil menggulingkan reputasinya, dan ia merasa dunia runtuh di sekelilingnya."Pulang, dan semuanya beres," Richard bergumam pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri. "Aku akan memulai hidup baru. Pindah ke tempat yang tidak ada hukum,
"Wilona, jawab telepon ini!" Damar hampir berteriak, matanya menatap ponsel yang tak kunjung memberi tanda apa pun selain suara detakan jantungnya yang semakin cepat. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Rachel duduk di sampingnya, wajahnya penuh kecemasan. Mereka tahu, jika Wilona memang menghubungi mereka, itu berarti ada sesuatu yang sangat penting—dan mereka harus segera datang."Kenapa nggak nyambung?" Rachel bertanya dengan nada gugup. “Apa yang terjadi? Dia nggak bisa sampai dalam keadaan bahaya lagi, Damar. Kamu harus cepat!”Damar mengarahkan mobil dengan kecepatan tinggi, melintasi jalan-jalan kota yang gelap. Hatinya berdebar, tubuhnya menegang. Wilona sudah terlalu lama terperangkap dalam kekacauan ini, dan jika mereka terlambat… Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang terus membuncah. Mereka tidak punya banyak waktu.Akhirnya, ponsel Damar berdering. Wilona. Ia langsung menjawab tanpa ragu.“Damar… cepat ke sini,” suara Wilona terdengar terengah