Beranda / Romansa / Kembalinya Hasrat Sang CEO / Sifat Yang Sulit Dirubah

Share

Sifat Yang Sulit Dirubah

Penulis: Planet Zamzan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-05 18:42:05

Damar melangkah keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Kantor polisi itu tampak ramai, dengan berbagai orang berlalu-lalang, sebagian besar tampak bermasalah. Saat ia masuk, tatapan tajam beberapa petugas langsung mengarah padanya, mungkin karena penampilannya yang sangat berbeda dari kebanyakan orang di sana.

Di sudut ruangan, ia melihat sekumpulan anak-anak dengan wajah babak belur dan pakaian lusuh. Mereka duduk di bangku panjang, beberapa menunduk, sementara yang lain bersikap seolah tidak peduli. Seorang polisi menghampiri Damar dengan ekspresi penuh selidik.

"Anda siapa?" tanya polisi itu.

Damar hendak menjawab, "Saya Damar Pratam-" namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Kesadarannya kembali. Itu bukan namanya lagi. Ia mengoreksi diri.

"Saya Arman Wijaya," katanya.

Polisi itu mengangguk, lalu menunjuk seorang anak laki-laki yang duduk terpisah dari yang lain. Anak itu tampak lebih muda, dengan wajah keras yang berusaha menyembunyikan sesuatu.

"Itu anak Anda, Zicho," kata polisi itu.

Damar mendekat dan berjongkok di depan anak itu. "Kamu kelas berapa?" tanyanya dengan suara setenang mungkin.

Zicho tidak menjawab. Dia hanya menatap Damar dengan penuh kebencian, mendelik dengan tajam seperti ingin menusuknya dengan mata itu.

Damar menghela napas. Sepertinya anak ini sama menyebalkannya dengan Zizi.

Polisi itu kembali berbicara. "Zicho terkena razia saat ikut balapan liar dan tawuran antar geng motor. Usianya masih 15 tahun. Seharusnya Anda sebagai orang tua tidak membiarkannya berkeliaran setiap malam dan memiliki motor."

Damar mengepalkan tangannya, ingin marah. Namun, ia tahu, kemarahan tidak akan menyelesaikan apa pun. Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

"Saya minta maaf karena sudah merepotkan kalian," katanya dengan nada tulus. "Apa saya bisa membawa anak saya pulang sekarang?"

Polisi itu mengangguk. Namun, saat Damar hendak melangkah, polisi itu mengulurkan tangan, ekspresinya berubah seolah mengharapkan sesuatu.

Damar menatap tangan itu sejenak, lalu menyambutnya dengan tegas tanpa memberikan apa pun. Dengan suara dingin, ia berkata, "Seorang polisi seharusnya jujur dan bijaksana. Terima kasih atas kerja keras kalian."

Polisi itu tampak kecewa, tetapi tidak berkata apa-apa.

Saat Damar hendak keluar bersama Zicho, matanya tiba-tiba tertumbuk pada sesuatu di papan pengumuman kantor polisi. Sebuah koran tua tertempel di sana, dengan headline yang membuat dadanya mencelos.

"Seorang dosen mengalami kecelakaan tragis dan tewas di tempat."

Damar berdiri terpaku. Foto di dalam artikel itu adalah dirinya. Atau, lebih tepatnya, dirinya yang dulu—Damar Pratama.

Matanya menelusuri artikel itu dengan cepat. Kecelakaan tragis. Mobil terguling. Tidak ada korban selamat.

Sebuah teguran dari seorang polisi membuyarkan lamunannya. Damar segera mengambil koran itu, melipatnya, lalu melangkah keluar tanpa berkata apa-apa.

Di dalam mobil, ia menatap koran itu dalam diam. Tangannya mengepal di atas kertas yang berisi kenyataan pahit bahwa dirinya yang lama memang telah "mati."

Dan kini, ia hidup sebagai seseorang yang sama sekali berbeda.

Mobil melaju meninggalkan kantor polisi. Damar duduk di kursi belakang bersama Zicho, sementara sopir fokus mengemudikan kendaraan mewah itu. Di dalam mobil yang sunyi, Damar menatap anak laki-laki di sampingnya dengan tatapan tajam.

"Kamu tahu betapa berbahayanya balapan liar dan tawuran itu?" suara Damar terdengar tegas.

Zicho tidak menjawab. Dia hanya menatap ke luar jendela dengan ekspresi bosan.

Damar mendesah panjang, mencoba menahan emosinya. "Kamu masih lima belas tahun, Zicho. Masih sekolah. Seharusnya kamu belajar, bukan malah bergaul dengan geng motor."

Zicho tetap diam.

"Kenapa kamu melakukannya?" tanya Damar lagi.

Anak itu menoleh, menatap Damar dengan ekspresi penuh tantangan. "Bukan urusan Papa."

Damar mengernyit. Dia mencoba memahami anak ini, tapi Zicho benar-benar sulit diajak bicara.

"Jangan salah paham. Aku bukan hanya sekadar marah karena kamu ditangkap polisi," lanjut Damar, nada suaranya lebih lembut. "Aku benar-benar khawatir. Kamu bisa saja terluka parah atau bahkan kehilangan nyawa."

Zicho mendengus, lalu menyandarkan kepalanya ke jendela. "Lucu sekali Papa tiba-tiba peduli. Biasanya juga nggak pernah perduli aku hidup atau mati."

Damar tersentak. Ada luka dalam yang tersembunyi di balik kata-kata anak itu. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

"Aku mungkin memang bukan ayah yang baik di masa lalu," kata Damar hati-hati. "Tapi aku ingin mencoba memperbaikinya."

Zicho tidak menjawab. Alih-alih mendengarkan, dia malah memejamkan mata, seolah tidak mau mendengar sepatah kata pun lagi.

Damar merasa pusing. Dia tidak menyangka kehidupannya berubah begitu drastis. Kini, dia bukan hanya harus menjalankan peran sebagai seorang CEO, tapi juga menjadi seorang ayah bagi dua anak yang sama-sama sulit dihadapi.

Dia mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan pikirannya. "Zicho, dengarkan aku baik-baik. Hidup ini bukan sekadar melakukan hal-hal yang membuatmu merasa hebat di depan teman-temanmu. Kamu harus berpikir panjang ke depan. Apa yang kamu lakukan sekarang bisa menentukan masa depanmu."

Zicho masih diam, matanya tetap tertutup seolah tidak peduli.

Damar menghela napas. "Dengar, aku tidak akan membiarkanmu terus seperti ini. Kamu bukan anak jalanan. Kamu punya keluarga, punya kesempatan untuk hidup dengan lebih baik."

Tidak ada respons.

Damar akhirnya menyerah untuk saat ini. Dia menyandarkan tubuhnya ke jok mobil, menatap ke luar jendela.

Anak ini keras kepala. Sama seperti Zizi.

Mobil berhenti di depan rumah megah dengan gerbang tinggi yang perlahan terbuka secara otomatis. Begitu roda mobil melewati halaman yang luas, Zicho langsung membuka pintu tanpa menunggu sopir.

“Zicho!” panggil Damar dengan nada tegas.

Namun, anak itu sama sekali tidak menghiraukannya. Dengan langkah cepat dan santai, Zicho berjalan menuju pintu utama rumah, seolah apa yang baru saja terjadi di kantor polisi bukanlah sesuatu yang penting.

Damar menghela napas panjang, merasa frustasi. Dia turun dari mobil dengan wajah serius, menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya.

“Zicho, kita belum selesai bicara!” serunya lagi.

Zicho tetap tidak menoleh. Anak itu langsung masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya tanpa sedikit pun rasa hormat.

Damar mengusap wajahnya, mencoba menekan rasa kesal yang mulai merayap. Sikap anak itu benar-benar membuat kepalanya sakit. Dia belum selesai mengomeli, belum selesai menasihati, tapi Zicho sudah bertindak seakan semuanya tidak penting.

Seorang pelayan yang berdiri di dekat pintu menundukkan kepala dengan sopan. “Selamat datang, Tuan,” katanya hati-hati.

Damar hanya mengangguk sekilas, lalu melangkah masuk ke dalam rumah dengan perasaan lelah. Baru beberapa hari dalam tubuh Arman, dan dia sudah harus menghadapi dua anak yang sulit diatur serta kehidupan yang penuh teka-teki.

Saat melewati ruang tamu, dia melihat Wilona yang sedang duduk di sofa dengan secangkir teh di tangannya. Wanita itu hanya melirik sekilas tanpa bertanya apa pun. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan sikap Zicho yang bermasalah.

Damar menghela napas lagi. Ini akan menjadi lebih sulit dari yang ia kira.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Informasi Yang Mengejutkan

    Rachel, wanita yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya kini ada dihadapannya. Namun, mengapa dia ada di sini?Wanita itu seolah sadar sedang diperhatikan. Perlahan, ia menoleh ke arah Damar, dan untuk sesaat mata mereka bertemu. Bibirnya sedikit melengkung, bukan dalam senyum ramah, tetapi lebih seperti ekspresi penuh arti, seolah menyimpan rahasia yang hanya dia yang tahu.Damar masih terdiam, pikirannya berputar cepat mencoba memahami situasi ini. Apakah dia benar-benar nyata? Ataukah ini hanya ilusi karena pikirannya masih kacau setelah semua yang terjadi?Damar masih memandang Rachel dengan tatapan tak percaya. Wanita itu, yang dulu ia kenal sebagai sosok sederhana dan penuh kesopanan, kini berdiri di depannya dengan senyum genit dan penuh percaya diri.“Tuan Arman Wijaya,” suara Rachel terdengar manis namun mengandung nada menggoda. “Sudah lama sekali kita tak bertemu.”Damar sedikit tersentak. Bukan hanya karena kemunculannya yang tiba-tiba, tetapi juga karena caranya berbicar

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Bayangan Masalalu

    Malam itu, Damar sudah berdandan dengan setelan jas rapi berwarna hitam yang telah disiapkan oleh para pelayan. Kemejanya berwarna putih dengan dasi kupu-kupu yang terpasang sempurna di lehernya. Namun, butuh waktu lama bagi Damar untuk akhirnya bisa mengenakan dasi itu dengan benar. Ia sama sekali tidak terbiasa memakainya, dan sempat kesulitan hingga akhirnya salah satu pelayan membantunya.Saat keluar dari kamar, ia melihat Wilona, Zizi, dan Zicho yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Ketiganya tampak elegan dalam pakaian resmi. Wilona mengenakan gaun hitam panjang yang berkilauan dengan aksesoris berlian yang mencerminkan status sosialnya. Zizi dengan gaun merah marun pendek yang anggun, sementara Zicho mengenakan jas biru tua dengan wajah bosan.Wilona mendengus begitu melihat Damar mendekat. “Kau butuh waktu lama sekali. Kita hampir terlambat,” katanya dengan nada ketus.Damar hanya bisa menghela napas dalam hati. Ia memang membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya karena ke

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Pertengkaran Kecil

    Damar melangkah mendekati Wilona yang masih duduk tenang di sofa. Wanita itu terlihat anggun seperti biasanya, dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Cangkir teh di tangannya tampak berembun, menandakan bahwa isinya masih hangat.Tanpa ragu, Damar berdiri di hadapannya. “Aku ingin bicara.”Wilona meliriknya sekilas, lalu mengangkat alis. “Tentang apa?”Damar menarik napas dalam, berusaha menekan emosi yang masih bergejolak dalam dadanya. “Tentang anak-anak kita.”Wilona menaruh cangkirnya di meja kecil di sampingnya. “Apa lagi sekarang?”Damar melipat tangan di depan dada. “Sebenarnya, bagaimana caramu mendidik mereka? Kenapa tidak ada satu pun yang memiliki sopan santun dan sikap yang baik?”Wilona terkekeh kecil, tapi nada tawanya terdengar penuh sindiran. “Maksudmu, kenapa mereka tidak seperti anak-anak keluarga harmonis di film-film? Kenapa mereka tidak bersikap manis dan memanggil ‘Papa’ dengan penuh kasih sayang?”Damar mengerutkan kening. “Aku serius, Wilona.”Wilona menghel

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Sifat Yang Sulit Dirubah

    Damar melangkah keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Kantor polisi itu tampak ramai, dengan berbagai orang berlalu-lalang, sebagian besar tampak bermasalah. Saat ia masuk, tatapan tajam beberapa petugas langsung mengarah padanya, mungkin karena penampilannya yang sangat berbeda dari kebanyakan orang di sana.Di sudut ruangan, ia melihat sekumpulan anak-anak dengan wajah babak belur dan pakaian lusuh. Mereka duduk di bangku panjang, beberapa menunduk, sementara yang lain bersikap seolah tidak peduli. Seorang polisi menghampiri Damar dengan ekspresi penuh selidik."Anda siapa?" tanya polisi itu.Damar hendak menjawab, "Saya Damar Pratam-" namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Kesadarannya kembali. Itu bukan namanya lagi. Ia mengoreksi diri."Saya Arman Wijaya," katanya.Polisi itu mengangguk, lalu menunjuk seorang anak laki-laki yang duduk terpisah dari yang lain. Anak itu tampak lebih muda, dengan wajah keras yang berusaha menyembunyikan sesuatu."Itu anak Anda, Zic

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Kehidupan Yang Tak Dikenal

    Pagi itu, Damar akhirnya menerima kenyataan. Ia bukan lagi seorang dosen yang santai. Kini, ia adalah Arman Wijaya, seorang CEO besar dengan kehidupan yang tampaknya dipenuhi ketegangan. Setelah bersiap dengan setelan jas yang sudah tergantung di lemari, Damar berjalan keluar kamar, saat ia tiba di depan kamar Wilona yang sedikit terbuka, ia melihat Wilona sedang bersiap-siap.Wilona tampil elegan seperti biasa, mengenakan gaun berwarna krem yang anggun dengan perhiasan berkilauan. Damar teringat sesuatu.Tadi malam, saat mencari informasi tentang Arman di internet, ia menemukan bahwa Wilona bukan hanya seorang istri. Ia adalah pemilik toko perhiasan antik terkenal. Ia memiliki jaringan bisnis yang cukup luas di kalangan sosialita. Toko miliknya termasuk butik perhiasan eksklusif yang hanya menerima pelanggan kelas atas.Mengingat informasi itu, Damar menyapa Wilona dengan hangat.“Selamat pagi. Jadi, kamu mau berangkat ke butik hari ini?”Wilona yang sedang memakai anting langsung be

  • Kembalinya Hasrat Sang CEO   Mencari Jati Diri

    Damar berdiri di lorong lantai atas, dihadapkan pada banyak pintu yang berjajar rapi. Ia menghela napas panjang. Sial, ini rumah atau hotel?Kebingungan menyelimutinya. Ia sama sekali tidak tahu di mana kamarnya. Satu-satunya cara adalah mengeceknya satu per satu.Damar membuka pintu pertama di sebelah kirinya. Ruangan itu kosong. Tapi ketika ia melangkah masuk, ia menyadari nuansa kamar itu sangat berbeda dari yang ia bayangkan. Dindingnya berwarna biru gelap dengan beberapa poster mobil balap dan action figure yang tertata rapi di rak. Ada meja belajar dengan buku-buku pelajaran yang tertata, meskipun tampak jarang disentuh.Ini bukan kamarnya. Sepertinya ini kamar seorang anak laki-laki, tapi Damar tidak melihat tanda-tanda ada penghuni di dalamnya. Ia mengerutkan kening. Siapa pemilik kamar ini?Tanpa berpikir panjang, ia keluar dan menutup pintu kembali.Damar mencoba pintu kedua, tapi ternyata terkunci. Ketika ia hendak mencari cara lain untuk membukanya, matanya menangkap sesua

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status