Damar melangkah keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Kantor polisi itu tampak ramai, dengan berbagai orang berlalu-lalang, sebagian besar tampak bermasalah. Saat ia masuk, tatapan tajam beberapa petugas langsung mengarah padanya, mungkin karena penampilannya yang sangat berbeda dari kebanyakan orang di sana.
Di sudut ruangan, ia melihat sekumpulan anak-anak dengan wajah babak belur dan pakaian lusuh. Mereka duduk di bangku panjang, beberapa menunduk, sementara yang lain bersikap seolah tidak peduli. Seorang polisi menghampiri Damar dengan ekspresi penuh selidik.
"Anda siapa?" tanya polisi itu.
Damar hendak menjawab, "Saya Damar Pratam-" namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Kesadarannya kembali. Itu bukan namanya lagi. Ia mengoreksi diri.
"Saya Arman Wijaya," katanya.
Polisi itu mengangguk, lalu menunjuk seorang anak laki-laki yang duduk terpisah dari yang lain. Anak itu tampak lebih muda, dengan wajah keras yang berusaha menyembunyikan sesuatu.
"Itu anak Anda, Zicho," kata polisi itu.
Damar mendekat dan berjongkok di depan anak itu. "Kamu kelas berapa?" tanyanya dengan suara setenang mungkin.
Zicho tidak menjawab. Dia hanya menatap Damar dengan penuh kebencian, mendelik dengan tajam seperti ingin menusuknya dengan mata itu.
Damar menghela napas. Sepertinya anak ini sama menyebalkannya dengan Zizi.
Polisi itu kembali berbicara. "Zicho terkena razia saat ikut balapan liar dan tawuran antar geng motor. Usianya masih 15 tahun. Seharusnya Anda sebagai orang tua tidak membiarkannya berkeliaran setiap malam dan memiliki motor."
Damar mengepalkan tangannya, ingin marah. Namun, ia tahu, kemarahan tidak akan menyelesaikan apa pun. Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
"Saya minta maaf karena sudah merepotkan kalian," katanya dengan nada tulus. "Apa saya bisa membawa anak saya pulang sekarang?"
Polisi itu mengangguk. Namun, saat Damar hendak melangkah, polisi itu mengulurkan tangan, ekspresinya berubah seolah mengharapkan sesuatu.
Damar menatap tangan itu sejenak, lalu menyambutnya dengan tegas tanpa memberikan apa pun. Dengan suara dingin, ia berkata, "Seorang polisi seharusnya jujur dan bijaksana. Terima kasih atas kerja keras kalian."
Polisi itu tampak kecewa, tetapi tidak berkata apa-apa.
Saat Damar hendak keluar bersama Zicho, matanya tiba-tiba tertumbuk pada sesuatu di papan pengumuman kantor polisi. Sebuah koran tua tertempel di sana, dengan headline yang membuat dadanya mencelos.
"Seorang dosen mengalami kecelakaan tragis dan tewas di tempat."
Damar berdiri terpaku. Foto di dalam artikel itu adalah dirinya. Atau, lebih tepatnya, dirinya yang dulu—Damar Pratama.
Matanya menelusuri artikel itu dengan cepat. Kecelakaan tragis. Mobil terguling. Tidak ada korban selamat.
Sebuah teguran dari seorang polisi membuyarkan lamunannya. Damar segera mengambil koran itu, melipatnya, lalu melangkah keluar tanpa berkata apa-apa.
Di dalam mobil, ia menatap koran itu dalam diam. Tangannya mengepal di atas kertas yang berisi kenyataan pahit bahwa dirinya yang lama memang telah "mati."
Dan kini, ia hidup sebagai seseorang yang sama sekali berbeda.
Mobil melaju meninggalkan kantor polisi. Damar duduk di kursi belakang bersama Zicho, sementara sopir fokus mengemudikan kendaraan mewah itu. Di dalam mobil yang sunyi, Damar menatap anak laki-laki di sampingnya dengan tatapan tajam.
"Kamu tahu betapa berbahayanya balapan liar dan tawuran itu?" suara Damar terdengar tegas.
Zicho tidak menjawab. Dia hanya menatap ke luar jendela dengan ekspresi bosan.
Damar mendesah panjang, mencoba menahan emosinya. "Kamu masih lima belas tahun, Zicho. Masih sekolah. Seharusnya kamu belajar, bukan malah bergaul dengan geng motor."
Zicho tetap diam.
"Kenapa kamu melakukannya?" tanya Damar lagi.
Anak itu menoleh, menatap Damar dengan ekspresi penuh tantangan. "Bukan urusan Papa."
Damar mengernyit. Dia mencoba memahami anak ini, tapi Zicho benar-benar sulit diajak bicara.
"Jangan salah paham. Aku bukan hanya sekadar marah karena kamu ditangkap polisi," lanjut Damar, nada suaranya lebih lembut. "Aku benar-benar khawatir. Kamu bisa saja terluka parah atau bahkan kehilangan nyawa."
Zicho mendengus, lalu menyandarkan kepalanya ke jendela. "Lucu sekali Papa tiba-tiba peduli. Biasanya juga nggak pernah perduli aku hidup atau mati."
Damar tersentak. Ada luka dalam yang tersembunyi di balik kata-kata anak itu. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Aku mungkin memang bukan ayah yang baik di masa lalu," kata Damar hati-hati. "Tapi aku ingin mencoba memperbaikinya."
Zicho tidak menjawab. Alih-alih mendengarkan, dia malah memejamkan mata, seolah tidak mau mendengar sepatah kata pun lagi.
Damar merasa pusing. Dia tidak menyangka kehidupannya berubah begitu drastis. Kini, dia bukan hanya harus menjalankan peran sebagai seorang CEO, tapi juga menjadi seorang ayah bagi dua anak yang sama-sama sulit dihadapi.
Dia mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan pikirannya. "Zicho, dengarkan aku baik-baik. Hidup ini bukan sekadar melakukan hal-hal yang membuatmu merasa hebat di depan teman-temanmu. Kamu harus berpikir panjang ke depan. Apa yang kamu lakukan sekarang bisa menentukan masa depanmu."
Zicho masih diam, matanya tetap tertutup seolah tidak peduli.
Damar menghela napas. "Dengar, aku tidak akan membiarkanmu terus seperti ini. Kamu bukan anak jalanan. Kamu punya keluarga, punya kesempatan untuk hidup dengan lebih baik."
Tidak ada respons.
Damar akhirnya menyerah untuk saat ini. Dia menyandarkan tubuhnya ke jok mobil, menatap ke luar jendela.
Anak ini keras kepala. Sama seperti Zizi.
Mobil berhenti di depan rumah megah dengan gerbang tinggi yang perlahan terbuka secara otomatis. Begitu roda mobil melewati halaman yang luas, Zicho langsung membuka pintu tanpa menunggu sopir.
“Zicho!” panggil Damar dengan nada tegas.
Namun, anak itu sama sekali tidak menghiraukannya. Dengan langkah cepat dan santai, Zicho berjalan menuju pintu utama rumah, seolah apa yang baru saja terjadi di kantor polisi bukanlah sesuatu yang penting.
Damar menghela napas panjang, merasa frustasi. Dia turun dari mobil dengan wajah serius, menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya.
“Zicho, kita belum selesai bicara!” serunya lagi.
Zicho tetap tidak menoleh. Anak itu langsung masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya tanpa sedikit pun rasa hormat.
Damar mengusap wajahnya, mencoba menekan rasa kesal yang mulai merayap. Sikap anak itu benar-benar membuat kepalanya sakit. Dia belum selesai mengomeli, belum selesai menasihati, tapi Zicho sudah bertindak seakan semuanya tidak penting.
Seorang pelayan yang berdiri di dekat pintu menundukkan kepala dengan sopan. “Selamat datang, Tuan,” katanya hati-hati.
Damar hanya mengangguk sekilas, lalu melangkah masuk ke dalam rumah dengan perasaan lelah. Baru beberapa hari dalam tubuh Arman, dan dia sudah harus menghadapi dua anak yang sulit diatur serta kehidupan yang penuh teka-teki.
Saat melewati ruang tamu, dia melihat Wilona yang sedang duduk di sofa dengan secangkir teh di tangannya. Wanita itu hanya melirik sekilas tanpa bertanya apa pun. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan sikap Zicho yang bermasalah.
Damar menghela napas lagi. Ini akan menjadi lebih sulit dari yang ia kira.
“Ini harus berjalan sempurna,” suara Damar terdengar tegas, menggetarkan ruangan rapat yang kini lebih hidup. Ruang pertemuan yang dulunya sunyi kini penuh dengan kegelisahan dan semangat. Di meja panjang, timnya duduk, mempersiapkan segalanya untuk proyek baru yang sudah dipersiapkan matang-matang. Damar memimpin rapat dengan ketegasan, matanya yang tajam sesekali melirik ke layar proyektor yang menampilkan diagram dan angka-angka yang menggambarkan proyeksi masa depan perusahaan.Rachel duduk di sebelahnya, memegang sebuah tablet, siap untuk mempresentasikan strategi pemasaran yang telah dirancangnya dengan cermat. Rambutnya yang hitam mengilap tergerai rapi, sementara matanya menunjukkan kepastian dan keteguhan. Damar tahu bahwa Rachel adalah tangan kanannya yang tak tergantikan dalam perjalanan baru mereka. Meskipun banyak yang menganggapnya sebagai istri yang hanya berdiri di samping Damar, Rachel telah membuktikan dirinya lebih dari itu.“Damar,” Rachel memulai dengan suara tena
“Damar, ini dia.” Rachel menggenggam tangan suaminya dengan erat, matanya terfokus pada meja pengadilan di depan mereka. Keheningan menyelimuti ruang sidang, kecuali suara detak jam yang terasa semakin keras di telinga. Semua mata tertuju pada hakim yang duduk dengan wajah serius, memegang palu yang telah siap dipukul. Ini adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu—saat keputusan akhir akan dibacakan.Damar menatap ke depan, namun hatinya terasa berat. Sidang ini sudah berlangsung begitu lama, dan meski kebenaran sudah terungkap, meski segala kebohongan telah dihancurkan, perasaan di dalam dirinya tak semudah itu hilang. Richard Santoso, pria yang telah menghancurkan hidupnya, akhirnya harus menanggung akibat dari semua perbuatannya. Tetapi, meski begitu, ada perasaan campur aduk yang tidak bisa ia pungkiri. Marah, lega, dan sedikit takut—takut akan apa yang akan datang setelah semuanya berakhir.“Saudara-saudara, saatnya untuk menjatuhkan vonis,” suara hakim memecah keheningan. “Richard
“Damar!” Rachel berbisik dengan suara tegang, menggenggam tangan suaminya yang duduk di sebelahnya. Pandangannya tertuju pada pria di kursi terdakwa, Richard Santoso, yang kini duduk dengan wajah pucat, matanya menatap kosong ke depan. Kamar pengadilan dipenuhi suara gemuruh dari wartawan dan penonton yang penasaran, membuat udara terasa semakin sesak. Damar memalingkan wajahnya dari Richard, menatap Rachel dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Kita hampir sampai di sini, Rachel,” bisiknya. “Jangan khawatir.”Namun, meski kata-kata itu terdengar menenangkan, hati Damar tidak bisa begitu saja tenang. Sidang ini, yang telah dinanti-nanti, juga berarti akan menutup babak kelam dalam hidupnya. Ia ingat dengan jelas betapa sakitnya kehilangan begitu banyak karena pria di hadapannya itu. Kehidupan yang hancur, kebohongan yang ditanamkan, dan ancaman yang datang dari Richard yang seakan tidak pernah habis. Sekarang, semua itu harus diakhiri. Di ruangan ini, di bawah tatapan para juri dan hakim
"Apakah kamu benar-benar siap untuk ini?" suara Detektif Arif terdengar tenang, namun ada ketegangan yang jelas dalam suaranya. Wilona berdiri di depan meja interogasi, tangan gemetar erat menggenggam dokumen yang ia simpan dengan hati-hati. Rasa sesak di dadanya membuatnya sulit bernapas, namun ia tahu tidak ada jalan lain."Aku... aku harus," jawab Wilona dengan suara serak, mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ada di tangannya ke detektif yang menatapnya serius. "Ini satu-satunya cara agar semuanya berakhir."Detektif Arif mengangguk pelan, memberi isyarat agar Wilona duduk. Namun, wanita itu tetap berdiri, menatap dokumen di tangannya seolah itu adalah benda yang bisa mengubah hidupnya. Begitu banyak waktu yang ia habiskan untuk menyembunyikan segalanya. Selama ini ia pikir dia melindungi dirinya sendiri dengan mengikuti setiap perintah Richard, tapi sekarang, setelah semuanya terbongkar, ia tahu betapa naifnya ia."Jadi, Richard Santoso yang selama ini kamu ikuti, itu benar
"Terbang, terbang sekarang juga!" Richard hampir berteriak, matanya liar, pandangannya gelisah, saat pilot di depan ruang kokpit pesawat pribadi sibuk dengan prosedur lepas landas. Wajah Richard terlihat pucat, lebih pucat dari biasanya. Ia menekan tombol di tangan, menunggu detik-detik yang penuh ketegangan. Sekelilingnya terasa sesak. Pandangannya jatuh pada dokumen yang tergeletak di meja kecil di sampingnya—berisi rincian transaksi ilegal yang akan membawa banyak orang ke dalam masalah besar.Namun, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan itu. Dia harus pergi. Harus keluar dari negara ini. Tidak ada lagi tempat yang aman baginya di tanah ini, tidak lagi setelah semua bukti itu tersebar di media. Damar dan Rachel sudah melakukannya. Mereka berhasil menggulingkan reputasinya, dan ia merasa dunia runtuh di sekelilingnya."Pulang, dan semuanya beres," Richard bergumam pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri. "Aku akan memulai hidup baru. Pindah ke tempat yang tidak ada hukum,
"Wilona, jawab telepon ini!" Damar hampir berteriak, matanya menatap ponsel yang tak kunjung memberi tanda apa pun selain suara detakan jantungnya yang semakin cepat. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Rachel duduk di sampingnya, wajahnya penuh kecemasan. Mereka tahu, jika Wilona memang menghubungi mereka, itu berarti ada sesuatu yang sangat penting—dan mereka harus segera datang."Kenapa nggak nyambung?" Rachel bertanya dengan nada gugup. “Apa yang terjadi? Dia nggak bisa sampai dalam keadaan bahaya lagi, Damar. Kamu harus cepat!”Damar mengarahkan mobil dengan kecepatan tinggi, melintasi jalan-jalan kota yang gelap. Hatinya berdebar, tubuhnya menegang. Wilona sudah terlalu lama terperangkap dalam kekacauan ini, dan jika mereka terlambat… Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang terus membuncah. Mereka tidak punya banyak waktu.Akhirnya, ponsel Damar berdering. Wilona. Ia langsung menjawab tanpa ragu.“Damar… cepat ke sini,” suara Wilona terdengar terengah