Share

Bab 4 Lima Tahun Kemudian

Lima tahun berlalu

Karen Esme masih terbaring di ranjangnya empuk.

Ia tidak memedulikan alarmnya yang menunjukkan jam 8 pagi di Tokyo karena begitu lelah.

“Mom, bangun,” ucap balita laki-laki mencium kedua pipi Karen, ”Sudah siang, Mom” 

Dirasa tidak ada pergerakan, bocah itu menepuk-nepuk pipi sang ibu. “Bangun mom, atau ayah yang akan membangunkan,” ancamnya berusaha seram.

Diam-diam, Karen pun tersenyum mengetahui usaha anaknya itu. Namun, matanya berat untuk terbuka. “Lima menit lagi sayang, mom masih ngantuk.”

Untungnya, tak ada lagi suara dari anak kecil itu. 

Namun, Karen dapat merasakan bocah itu ikut berbaring di samping sang ibu–melupakan seorang pria tampan yang sedang berkutat membuat sarapan. 

Arashi Takahashi, pria tampan berkebangsaan Jepang itu melihat ke arah pintu kamar Karen dan menemukan bocah kecil kesayangannya tak juga keluar dari kamar ibunya. 

Dengan gemas, Arashi membuka pintu kamar tersebut dan menemukan sepasang ibu dan anak itu meringkuk bersama dengan mata terpejam. 

Srak!

Arashi membuka gorden, mematikan pendingin ruangan, lalu menarik selimut yang masih bertengger di tubuh Karen. 

Kelakuannya persis seperti ibu-ibu membangunkan anaknya.

“Karen Esme!” panggil Arashi, “Kenshin Takahashi!”

“Dalam hitungan lima kalian tidak bangun, tidak ada sarapan untuk kalian!” 

Mendengar ancaman itu, bahkan pada hitungan satu, ibu dan anak itu langsung bangun.

“Ayah!” 

Anak bernama Kenshin itu mengulurkan tangannya agar Arashi menggendongnya sembari tersenyum agar pria itu tak marah.

Ketika sudah dalam gendongan, Ken mengedipkan sebelah matanya pada Karen. 

Hal itu dibalas oleh Karen yang menyatukan ibu jari dan telunjuknya membentuk love.

Dalam hati, Karen begitu bersyukur.

Ia kini hidup lebih baik dan bahagia bersama Kenshin, anak semata wayangnya. 

Terlebih ada Arashi. Kakak laki-laki beda ibu dari Karen itu bahkan rela menemaninya dari nol, hingga kini berhasil membangun sebuah perusahaan startup di bidang IT Service dan periklanan. 

Karen pandai di bidang grafis, illustrator, dan pemasaran, sementara Arashi pandai di bidang bahasa pemrograman, analisis, dan bisnis. 

Mereka adalah kolaborasi yang pas!

Ting!

Suara notifikasi email di ponsel menyadarkan Karen dari lamunan.

Ia pun membuka ponsel dan menemukan bahwa perusahaannya diundang asosiasi investor yang mau berinvestasi pada perusahaan startup yang kompeten dalam bidangnya.

“Menarik,” gumam Karen ingin mengikuti presentasi tersebut. Ia yakin perusahaannya mampu bersaing. Karen berniat mendiskusikan hal tersebut pada Arashi.

“Mom!”

Teriakan sang putra yang tengah menunggunya kembali terdengar–membuat Karen tertawa.

*

“Hai, nona cantik. Mana oleh-oleh untukku? Bukankah kamu baru saja pulang dari luar negeri?” sapa Glen pada wanita berwajah mirip dengan Diaz.

Ellen tersenyum ketus. “Aku ke sana bekerja bang, bukan berlibur.” 

Setelah mengatakan itu, adik bungsu Diaz langsung berlalu–meninggalkan Glen dan masuk ke ruangan sang kakak.

“Ada apa? Tidak biasanya kamu mau datang ke kantor abang?”

Ellen mencebikkan bibir, kesal.

Baginya, pria di depannya ini tak pernah berubah. Selalu terus terang dan sangat sibuk. Tak paham kah dia bahwa wanita itu terkadang butuh sedikit basa-basi untuk menambah waktu pertemuan?

“Ayolah bang, tidak bisakah kau lebih ramah? Kesannya, abang tak suka aku datang ke sini dan ingin aku segera pergi.”

“Syukurlah kalau kamu paham,” ucap Diaz enteng. 

“Ck!” decak Ellen, “kalau abang seperti itu terus, tak akan ada wanita yang tahan bersamamu.”

Mata pria itu sontak mendelik tajam. “Bicara atau pulang saja, Ellen,” ucapnya datar.

“Baiklah, baiklah. Dasar papan triplek.”

Ellen pun mengambil ponsel pintarnya di dalam tas. Perempuan itu mengotak-atik sebentar lalu memberikan pada Diaz. 

“Namanya Karen Esme, desainer grafis yang merancang semua desain promosi acara fashion show yang aku ikuti.”

Diaz sontak melihat foto yang diberikan Ellen.

Jatungnya berdetak lebih cepat. 

“Abang harus membayar mahal informasi ini,” ucap Ellen seraya menggerakkan kedua alisnya naik turun.

“Kebetulan macam apa ini? Wanita ini terlampau sama kalau dikatakan mirip,” ucap Diaz menyeringai sinis.

Ellen mengendikkan bahu. “Ya sudah itu urasan abang, aku akan kirimkan foto itu, jangan lupa untuk mengirimkan uang ke rekeningku.”

Setelah mengucapkan itu, Ellen mengambil ponselnya, lalu mengecup pipi sang kakak kemudian berlalu begitu saja.

Diaz mengepalkan tangannya menahan emosi.

Pria itu lalu memanggil Glen dan memerintahkannya dengan cepat. “Minta orang untuk menyelidiki orang itu.”

Meski terkejut, asistennya itu menjalankan perintah Diaz dengan cepat. 

Dan dalam dua hari, Glen pun menyerahkannya pada pria itu. 

Diaz tersenyum miring kala membaca informasi tentang orang tersebut.

“Sepertinya kamu bersenang-senang, bahkan kamu tak pernah menunjukkan senyum seperti itu padaku,” gumam Diaz saat memandang foto seorang wanita dengan senyum menawan.

Hanya saja, dada Diaz tiba-tiba bergemuruh saat membaca informasi bahwa ada seorang pria Jepang yang selama tiga tahun terakhir ini mendampingi wanita tersebut. 

Sayangnya, tidak ada informasi apapun mengenai pria tersebut. 

“Bisa-bisanya kamu bahagia bersama pria lain, sedangkan aku harus menderita setiap malam, bahkan obat pun tak bisa membuatku tertidur.” 

Rahangnya mengeras sebelum otaknya berhasil merencanakan sesuatu.

Tak lama, senyum miring tercetak di wajah pria itu. “Tunggulah Elok … oh bukan, Karen Esme. Kamu pasti sangat merindukanku, bukan?” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status