"Kau telah mencuri kalung milik Raja Black Dacros."
Tunggu! Kenapa dia bisa tahu? Aku menunduk dan mendapati kalungku yang benar-benar tersembunyi di balik pakaian kerjaku. Tak ada yang bisa melihat kalung itu, kecuali.... "Kenapa kau bisa mengetahuinya?" tanyaku sambil menyipitkan mataku curiga. "Aku bisa dengan mudah melihat apa yang ada di balik pakaianmu," jawabnya dengan santai. Mataku langsung membelalak dan darahku terasa mendidih saat itu juga. Berani-beraninya dia! Kurang ajar! Dia benar-benar pria lancang! "Kau! Kau sungguh lancang!" teriakku yang membuatnya terkejut bukan main dengan ekspresi wajah tak terima. Dengan serta-merta aku mengeluarkan taringku dan mengarahkan tangan kananku ke arahnya, membuatnya terlempar jauh hingga menabrak tembok pembatas. Jari-jari tanganku sedikit kulengkungkan, dan Giga meringis kesakitan dengan sorot mata kebingungan. "Apa kau tak pernah diajarkan sopan santun, huh? Dasar laki-laki kurang ajar!" pekikku sambil berlari menerjangnya. "Apa maksudmu? Aku....ugh!" Tak kubiarkan Giga melawanku sama sekali. Aku meninju wajah tampannya itu hingga babak belur dan pedangnya kulemparkan sejauh mungkin hingga ia tidak bisa meraihnya. Kedua tangannya memegang kedua sisi kepalaku, namun dengan cepat aku mengarahkan taringku ke lehernya.Sebelum aku sempat menancapkan taring indahku ini ke kulit putihnya, tiba-tiba saja tubuhku ditarik dari belakang dengan cepat. "Lepaskan! Aku belum merobek mulut kurang ajarnya itu! Aku akan membunuhnya! Dasar laki-laki mesum berhati batu!" teriakku sambil meronta-ronta. Aku bahkan tidak sadar kacamataku sudah terlempar entah kemana. "Tenanglah, Sayang. Kau tahu kan, gigitanmu bisa membunuh Black Dacros," bisik suara berat yang seketika membuatku merinding. Tiba-tiba aku kembali merasa lapar. Bau ini, bau ini benar-benar membangkitkan sisi laparku. Lapar yang sama seperti yang kurasakan kemarin. Ini bukan bau dacros. Ini...aku tidak tahu ini bau apa. Rasanya aku bisa mati lemas jika tidak segera menghentikan rasa laparku. "Kau juga merasakannya, bukan? Kau juga kelaparan?" Aku terkesiap. Dengan cepat aku melepaskan pelukan pria itu dan berlari menjauhinya. Aku menatapnya waspada, hingga tanpa sadar kedua sayapku keluar beserta taring dan cakarku. "Sayap emas! Yang Mulia, Anda harus berhati-hati. Dia bisa mencelakakan Anda," teriak Giga sambil menggenggam pedangnya dengan erat. Wajahnya sudah mulai pulih sedikit demi sedikit dan bekas lebamnya juga mulai berkurang. Aku tidak memedulikan apa yang akan dilakukan oleh Giga. Aku hanya waspada pada dacros mesum di hadapanku yang sedang tersenyum senang. Ugh, terlalu silau! "Jangan dekati aku!" teriakku saat dacros pria itu menghampiriku dengan santai. Aku melangkah mundur seraya membuka telapak tangan kananku hingga keluar pedang emas dari sana. Kenapa aku harus sepanik ini saat menghadapi dacros sialan itu? Pasti gara-gara mimpi menjijikkan itu! Mimpi yang selalu menghampiriku setiap malam sejak aku berhasil kabur dari istananya. "Hmm, ternyata benar apa yang dikatakan oleh beberapa dacros yang pernah melihatmu. Kau begitu cantik...dan berbahaya," gumam pria itu. "Tetap di tempatmu atau aku akan membunuhmu!" jeritku. Kugerakkan tangan kiriku ke arahnya, namun tubuhku malah menabrak dinding dan terjepit. Aku terkesiap. Pedangku terlepas dari tanganku dan pria itu mengecup bibirku. Rasanya sesuatu di dalam diriku meronta-ronta ingin meledak saat itu juga. Aku menginginkan yang lebih dari ini.Tanpa sadar aku membalas ciumannya dengan rakus, lalu mengeluarkan taringku dan menancapkannya pada lehernya. Kuhisap darahnya yang terasa begitu lezat. Ahh, ini adalah darah paling lezat yang pernah kuminum. "Ya, Sayang. Hisaplah sesukamu. Puaskan dirimu," bisiknya lalu mengerang. "Yang Mulia! Anda bisa mati jika terkena gigitannya!" teriak Giga seraya berlari ke arah kami sambil mengacungkan pedangnya. Pria itu mengangkat sebelah tangannya dan Giga mendadak berhenti. Dia memandang dacros yang saat ini sedang kuhisap darahnya dengan tatapan tak terima. Kedua tangannya mengepal erat dan matanya menatapku geram. Aku melepaskan taringku setelah terlalu banyak menghisap darahnya, lalu menjauh dari dacros pria itu dengan linglung. Tidak! Apa yang terjadi? Kenapa aku menjadi seperti ini? "Kau sudah puas, Sayang? Aku yakin kau masih belum merasa puas." Ya, aku memang masih belum puas. Aku masih merasa lapar. Sialan! Apa yang terjadi denganku? Tiba-tiba air mataku mengalir tanpa bisa kucegah. Kedua sayapku mulai menghilang, begitu juga dengan taring dan cakarku. "Apa yang terjadi denganku?" "Sayang..." "Berhenti memanggilku sayang, Hayden! Kau benar-benar menjijikkan!" teriakku dengan suara serak. Hayden hanya mengangkat sebelah alisnya, lalu tersenyum lembut. Dalam sekejap, aku sudah berada dalam pelukannya. "Itu normal, Sayang. Kau akan merasa lapar ketika bertemu denganku." "Tapi kemarin aku juga merasa lapar meskipun tidak bertemu denganmu," bantahku sambil berusaha melepaskan pelukannya. "Siapa bilang kau tak bertemu denganku? Aku mendatangi kamarmu di rumah dua vampir itu," jawabnya dengan tersenyum jahil, lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Dan aku bisa melihat semua yang kau lakukan, termasuk melakukan itu saat kau tak sadarkan diri," bisiknya. Tubuhku membeku. Melakukan....apa? Jadi...jadi kemarin itu bukanlah mimpi? Tapi...tapi.... Aku melihat matanya dengan pandangan bertanya. "Aku melakukannya dengan melalui pikiran tentu saja. Kau tahu, saat kau kelaparan, hanya itu yang bisa menghentikan rasa laparmu," ucapnya dengan mata berbinar. Mulutku menganga dengan mata membelalak. Apa-apaan itu? Aku bahkan tak pernah mendengar hal-hal yang seperti itu. Aku bukan succubus menjijikkan yang akan memperoleh energi dengan melalui itu. "Kau pasti hanya memanfaatkan kesempatan. Dasar dacros bajingan! Kau benar-benar menjijikkan!" makiku sambil memukuli dadanya sekuat mungkin dengan geram. "Hei, itu adalah hal yang biasa di antara mate, Sayang. Coba saja kau tanyakan pada kedua teman vampirmu itu, apa yang akan mereka lakukan jika bertemu dengan mate mereka," jawabnya setelah menangkap kedua tanganku. "Apa maksudmu dengan mate?" tanyaku dengan nafas terengah-engah. "Mate, kau tahu, pasangan hidup, belahan jiwa, atau manusia menyebutnya dengan jodoh." "Bukan itu maksudku!" bentakku lalu menyentakkan tanganku dan mendekati Giga yang langsung bersikap siaga. "Kita adalah mate, Sayang. Apa kau tidak melihat betapa cocoknya kita? Kau menyerangku dan kita bertarung dengan sangat panas dua minggu yang lalu sampai..." "Hentikan!" teriakku dengan wajah memanas. Bisa kulihat wajah Giga yang juga memerah dan segera mengalihkan pandangannya dariku. "Kenapa? Bukankah itu kenyataannya? Kau merayuku demi mendapatkan kalungku untuk melarikan diri ke dunia manusia. Tapi pada akhirnya aku malah mengetahui bahwa kau adalah mate-ku," lanjutnya. Dalam sekejap dia telah berada di belakangku dan menghirup leherku. "Aku tidak pernah merayumu." Tubuhku merinding dan rasa laparku semakin meningkat. "Hentikan," desisku. "Aku juga kelaparan, Sayang," bisiknya sambil menggoda tengkukku dengan lidahnya. Aku mendesah tanpa sadar dan tubuhku terasa lemas. Kenapa aku berubah menjadi menjijikkan begini? Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Bagaimanapun juga aku masih berstatus sebagai tunangan Alvon meskipun dia telah berselingkuh dengan Airis. Brengsek! Aku selalu ingin meledak tiap kali mengingat percintaan mereka di kamar perempuan binal yang sayangnya adalah kakak tiriku itu. Cepat-cepat aku membuka mata dan menatap tajam Giga yang langsung siaga dengan pedangnya. Dia menggeram dan membuka mulutnya sehingga menampakkan taringnya yang tajam padaku. Aku mengeluarkan pedang emas dari tangan kananku, tombak emas dari tangan kiriku, dan kembali mengeluarkan sayapku. Aku sudah dikuasai oleh amarah sekarang. "Candice, kuasai amarahmu! Kau akan memancing dacros lain!" teriak Hayden yang kini terlempar jauh dariku. Aku tak peduli! Yang ada di pikiranku saat ini hanyalah membunuh. Tiba-tiba wajah Giga berubah menjadi Alvon yang sedang menyeringai padaku. Brengsek! Tanpa pikir panjang, aku melesat sambil mengayunkan pedangku ke arahnya, yang langsung ditahan oleh Alvon dengan menggunakan pedangnya sehingga menimbulkan percikan api. Aku harus membunuhnya. Dia adalah dacros yang paling brengsek. "Aku akan membunuhmu, Alvon," desisku sebelum mengayunkan tombakku padanya. Tepat sasaran! Tombak itu mengenai dada kanan Alvon dan kini dia menjerit kesakitan. "Jadi hanya segitu kemampuanmu? Mana yang katanya pejuang paling tangguh itu, hm?" tanyaku dengan nada dingin. Alvon menatapku dengan sorot mata memohon. Cih! Aku tak sudi memaafkan pengkhianat. Ketika aku akan mengayunkan pedangku ke jantungnya, Hayden buru-buru menepis tanganku sehingga pedangku terjatuh. "Apa yang kau lakukan?" pekikku tak terima. "Dia bukan Alvon, Sayang, tapi Giga," sergah Hayden seraya berlari mendekati Alvon. Apa? Tidak mungkin! Sudah jelas bahwa dia adalah Alvon. "Giga, bertahanlah. Setelah ini aku akan mengobatimu," pesan Hayden sebelum kembali menghampiriku. "Kendalikan amarahmu. Kau mengundang perhatian makhluk supernatural lain di sekitar sini. Dalam waktu satu menit demon dan vampir akan sampai ke tempat ini, dan itu akan memancing dacros untuk datang ke sini. Ayolah, Sayang. Kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin," bujuk Hayden sambil memegang kedua sisi kepalaku. Mata biru sapphire-nya seperti memadamkan api amarah yang berkobar dalam diriku. Aku bagaikan tenggelam dalam lautan yang sejuk di kedalaman matanya. "Bagus! Tetaplah seperti itu. Tenang, kendalikan emosimu, jangan sampai kau kehilangan kendali dan kesadaranmu." Bagaikan terhipnotis, api amarah dalam diriku langsung padam begitu saja tanpa sisa. Aku bahkan sudah melupakan Alvon dan Airis. Yang ada di pikiranku saat ini hanyalah Hayden. "Hayden," bisikku sambil masih menatap kedua matanya. "Iya, Ratuku," jawabnya dengan binar lega di matanya. "Aku lapar," bisikku dengan air liur yang berkali-kali lipat lebih banyak dari biasanya. Hayden terkekeh geli lalu menyatukan kening kami. Mendadak pikiranku dipenuhi dengan hal-hal yang tak seharusnya. Aku benar-benar menjijikkan sekarang. Kenapa aku bisa berubah menjadi begitu bernafsu pada raja mesum dan playboy di depanku ini? Padahal aku benar-benar sangat membencinya hingga ke tulang dan sel-sel tubuhku sejak aku mengetahui tentangnya 50 tahun yang lalu. "Aku sangat membencimu, Raja Mesum," desisku sambil mencengkeram kedua lengannya sampai menusuk dagingnya. "Aku sangat mencintaimu, Sayang. Calon tatuku," jawabnya dengan menyeringai seperti idiot. "Aku bukan calon ratumu, brengsek!" sergahku sambil semakin menekankan kukuku ke dalam dagingnya. Hayden justru tertawa kecil dan itu membuatku semakin jengkel padanya. "Kau malah merangsangku dengan tindakanmu itu, Sayang." "Dasar gila!" "Ehem...Yang Mulia, mereka sudah hampir sampai. Bagaimana dengan nasib saya?" sela Giga sambil berusaha mencabut tombak emasku dengan dahi berkerut. Hayden sama sekali tak menoleh. Dia malah sibuk denganku sambil mengarahkan tangannya ke arah Giga. Dengan cepat tombak emasku keluar dari tubuh Giga dan melayang ke arahku, kemudian masuk ke dalam tubuhku setelah sebelumnya melebur menjadi cahaya.Hal yang sama juga terjadi pada pedangku yang terlempar jauh dari posisiku saat ini. Dengan perlahan sayapku menghilang dan dalam sekejap kami sudah berpindah tempat. "Di mana ini...Hayden, hentikan!" pekikku begitu aku mendengar suara robekan. "Aku tidak mau melakukannya sebelum kita menikah."Sudah cukup aku dibodohi oleh laki-laki sebelumnya. Aku tidak mau kembali terjerumus ke dalam jurang kesesatan itu lagi."Xyan Uzair," kataku ketika bayi laki-laki yang sangat tampan dan lucu itu kini tengah diserahkan oleh ibu mertuaku untuk kususui. Aku menatap bayi yang baru kulahirkan satu jam yang lalu itu dengan hati berbunga-bunga. Kedua matanya mengerjap lucu ketika melihatku. Tiba-tiba dia tertawa, membuat Dessidra dan Ester langsung mendesah dengan wajah gemas. "Kenapa kau menamai dia dengan nama itu, sayang?" tanya Hayden sambil membelai rambutku. Dia mencium keningku lalu kening Xyan, membuat bayi kecilku semakin tertawa riang. "Ah, aku jadi iri. Kapan aku bisa membuat yang seperti itu juga?" tanya Ester dengan kedua sudut bibir menekuk ke bawah, lalu melirik suaminya yang hanya memasang wajah datar meskipun kedua matanya tak lepas dari Xyan. "Xyan artinya sinar matahari. Kau tahu, dulu aku pernah bertemu dengannya di alam mimpiku ketika aku bersama dengan Zam. Waktu itu Zam menyuruhku untuk memakan banyak tanaman Arconium, dan Xyan versi balita datang membawakan semangkuk madu untukku.
Hayden POV Aku buru-buru mendatangi Candice yang tiba-tiba menangis di depan batu hitam itu. Sebenarnya hal yang sudah biasa terjadi, karena banyak manusia yang juga tiba-tiba menangis dan bertingkah aneh di sekitar Ka'bah. Aku kemarin bahkan melihat seorang pria muda yang berteriak-teriak seperti orang gila sambil melihat kesana kemari, seolah-olah dia mendadak lupa sedang berada dimana. Dia juga berteriak tidak bisa melihat Ka'bah, padahal Ka'bah berada tepat di hadapannya. Hassa menjelaskan padaku bahwa manusia itu memiliki niat yang tidak murni ketika datang ke tempat ini. Uang yang dia gunakan juga didapatkan dari jalan yang dilaknat oleh Tuhan, sehingga ketika datang kesini, Tuhan membuatnya tidak bisa melihat Ka'bah yang merupakan rumah-Nya. Ternyata semua dosa yang pernah dilakukan oleh manusia dan jin di masa lalu atau yang sedang berlangsung, akan langsung mendapatkan balasannya ketika berada di tempat ini. Tidak ada yang lolos dari tempat ini, untuk itulah disebut dengan
Dua bulan berlalu setelah aku bertemu dengan Hassa di pusat bumi, dan aku memutuskan untuk tinggal di rumah pria itu yang ternyata tak jauh dari lokasi pusat bumi berada. Hayden setuju saja dengan keputusanku, karena dia sendiri merasa penasaran. Hassa tinggal bersama istrinya, sedang dua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di daerah lain. Umur Hassa sudah ribuan tahun, mungkin dua ribu lebih. Dia menjadi saksi hidup ketika utusan terakhir diutus ke bumi untuk menyampaikan agama bagi seluruh umat. "Kalian luar biasa. Baru dua bulan sudah mengerti hampir seluruh ajaran agama kami. Bukan hal yang mudah bagi siapapun untuk menerima ajaran kami. Bahkan manusia pun banyak yang menyangkalnya," ucap Hassa ketika kami baru saja menyelesaikan materi tentang hidup bertetangga. "Hayden dulunya adalah seorang raja, sedangkan aku..." Aku mengedikkan bahu. "Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku memang penasaran dengan segala hal yang berhubungan dengan Sang Pencipta. Apalagi sejak melihat pusat bumi
"Pusat bumi...pusat bumi... Apa ini tempatnya?" tanyaku setelah mendarat di daratan berwarna serba putih dan terasa sangat dingin. Untungnya aku tidak terlalu merasakan hawa di bumi, karena tubuhku tidak sesolid tubuh manusia. "Kau yakin ini tempatnya?" tanya Hayden balik dengan kening berkerut. Ia terlihat sama sekali tidak yakin dengan tempat yang kami pijaki sekarang. Di sepanjang mata melihat, hanya ada warna putih yang berasal dari butiran salju yang menutupi tanah. "Hmm, aku tidak tahu. Tadi kau lihat sendiri tempat ini berada di tengah-tengah bumi," jawabku. Hayden mengedarkan pandangannya sekali lagi, lalu menggeleng. "Tidak ada kekuatan di sini. Bahkan anak buah Azazil saja tidak ada di sini. Sepertinya bukan tempat ini."Aku kembali memeluknya dan melesat ke atas. Pusat bumi itu yang bagaimana? Di tengah-tengah? Atau poros bumi? "Apa aku menembus bumi saja, ya? Siapa tahu di sana ada batu hitam," gumamku sambil mencari lokasi mana yang bisa kutembus dengan mudah. "Biar
"Aku tetap tidak setuju dengan kebijakan kakek. Kita harus lebih memikirkan apa dampak yang akan terjadi di masa depan."Aku menguap setelah hampir 2 jam menunggu Hayden dan kakek Dante yang masih saja belum selesai membahas soal kebijakan baru yang dibuat oleh kakek Dante. Aku sudah mendengar apa yang mereka bicarakan meskipun aku sedang berada di taman kerajaan, tapi lama-lama aku bosan dan mengantuk. Mereka ini kenapa ribet sekali, sih? Padahal aku sendiri sudah bisa memilih kebijakan mana yang lebih aman untuk rakyat. Tapi dua pria itu masih tetap kukuh dengan pendapat masing-masing. "Masih lama, ya?" tanyaku pada Dessidra yang ikut duduk di sampingku. Sejak kakek Dante mengambil alih kerajaan dan status Aiden diturunkan kembali menjadi Pangeran, Dessidra terlihat jauh lebih santai dan bahagia. Dia tidak lagi terlihat tertekan seperti dulu. Apalagi hubungannya dengan Aiden semakin lengket. Aku bahkan harus menyumpal telingaku ketika mereka mulai berisik. Ck, aku harus protes pa
Hayden POV Sejak meninggalkan ruang bawah tanah, Candice terlihat dingin. Auranya membuat siapapun yang melewatinya menjauh dengan wajah ketakutan. Tentu saja mereka ketakutan, karena istriku masih memegang pedang emasnya seolah-olah dia akan menebas siapapun yang menghalangi jalannya. Semua pelayan yang melihatnya langsung berlari ketakutan dan berteriak, membuat beberapa ksatria langsung berlarian ke arah kami. Namun mereka langsung berhenti ketika melihat kondisi istriku, apalagi kedua sayapnya keluar. "Ada apa ini?" tanya Hexadius dengan wajah panik. Aku meringis melihat semua kekacauan ini. Siapa suruh mencari gara-gara dengan wanita hamil? Apalagi dia adalah pejuang tangguh yang bahkan diberikan kekuatan spesial oleh tangan kanan Gabriel. Aku juga tidak akan kaget jika dia bisa menghancurkan istana ini hanya dengan sekali ayunan pedangnya tanpa menyentuh. "Galeo membuatnya marah," jawabku sambil meraih tubuh istriku dan memeluknya dengan erat. "Lebih baik kau lihat dia di