“Nona, kereta sudah datang,” ucap Xiumei dengan langkah tergesa masuk ke kamar Jiali. Namun, tatapan muram tuannya itu segera membungkam senyum kecil Xiumei. Tanpa banyak berkata, Xiumei mendekati Jiali, membantu gadis itu berdiri.
Jiali diam, membiarkan jubah indah disampirkan pada bahunya. Sebuah kipas bulat turut disodorkan kepadanya. Tanpa ekspresi, Jiali menerima kipas itu, lantas menggunakannya untuk menutupi sebagian wajah.
“Mari, Nona.”
Langkah pertama keluar dari kamar begitu berat. Saat kakinya menyentuh lantai luar, Jiali berhenti, menoleh ke belakang. Pandangannya tampak sayu, hatinya ikut bertanya, Apa ini takdirku? Beginikah akhirnya hidupku?
“Nona?”
Panggilan Xiumei memecah lamunan. Jiali menarik napas panjang, memaksa dirinya mengangguk pelan lantas melangkah keluar rumah menuju gerbang kediaman keluarga Han. Tepat sebelum menaiki kereta pengantin, ia kembali menoleh ke belakang.
Kenangan masa kecil, suara tawa di lorong-lorong rumah, dan kehangatan keluarganya berkelebat seperti bayang-bayang di air. Tangannya menggenggam kipas semakin erat, lalu ia melangkah masuk ke kereta.
Kereta beroda empat itu mulai bergerak perlahan. Ditarik oleh dua kuda putih yang dihiasi kain merah berbentuk bunga, suara roda yang berderak melintasi jalan batu seakan menggema di hati Jiali.
Jiali menyeka air mata kemudian menyingkap sedikit tirai jendela kereta. Sorak-sorai penduduk yang mengantarkan kepergiannya membuat hati Jiali bertambah sakit.
Xiumei masuk ke dalam kereta lantas duduk di alas karpet merah. “Nona, Tuan Dunrui sudah terlebih dahulu pergi ke istana. Semua barang-barang juga sudah dikirim. Setelah upacara selesai, kita akan langsung pergi ke karesidenan Yang Mulia Yuwen. Perjalanan akan melelahkan, jangan sungkan memanggilku bila Nona butuh bantuan,” ucap Xiumei.
Refleks Jiali menahan tangan Xiumei ketika gadis itu hendak keluar dari tandu kereta. “Xiumei, apa tidak ada cara lain untuk menggagalkan upacara ini?”
Wajah Xiumei yang berubah gelisah membuat Jiali curiga. Xiumei yang memang tidak pernah berbohong pada Jiali akhirnya bersuara. “Nona, itu, hmm, itu ….”
“Ada apa? Kamu punya rencana?”
“Tidak Nona, hanya saja ....”
“Apa?” Xiumei bungkam. “apa yang kau coba sembunyikan dariku?” selidik Jiali.
“Tidak ada Nona.”
“Aku tahu pasti ada sesuatu.”
Mendapat tatapan menyelidik dari Jiali, sontak dengan cepat Xiumei menutupi kain yang melilit pinggangnya. Jiali menarik tangan Xiumei. “Apa yang kau sembunyikan?” Jiali membuka telapak tangannya. “Berikan padaku!”
Xiumei menggeleng. “Nona, hamba tidak mengerti,” jawab Xiumei dengan suara bergetar.
“Berikan atau aku akan memulangkan kamu ke rumah orang tuamu!”
Dalam sedetik Xiumei sudah bersujud di kaki Jiali. “Tidak Nona, jangan lakukan itu Nona!”
Jiali membantu Xiumei untuk kembali menegakkan punggung. “Kalau begitu, berikan kepadaku!”
Tangan Xiumei gemetaran ketika ia menyerahkan secarik kertas terlipat dua yang terselip di kain tersebut. Jiali menarik paksa kertas itu, matanya membulat ketika membaca kata demi kata yang tertulis di kertas.
“Kapan kamu mendapatkannya? Kenapa kamu tidak memberitahukan ini?”
“Nona, ini ide buruk. Hamba tidak ingin Nona berada dalam bahaya lagi,” bela Xiumei.
Jiali kembali membaca isi dari surat yang ia yakini ditulis oleh Yunqin.
Taman Paviliun Selatan. Temui aku. Aku akan meminta Kaisar untuk menjadikanmu sebagai selirku.
“Sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan.”
“Nona.”
“Keluarlah.”
“Nona, tapi ini ….”
Menyadari tidak ada gunanya berdebat, Xiumei melangkah keluar. Di dalam kereta yang semakin jauh menuju istana, Jiali menatap surat itu lagi dengan perasaan campur aduk.
***
Gerbang istana terbuka lebar. Kereta pengantin masuk lantas berbelok ke arah paviliun Selatan. Jiali menyembunyikan kertas di sela gaun pengantin lantas turun setelah kereta sepenuhnya berhenti.
“Nona, Yang Mulia Kaisar meminta Nona untuk beristirahat terlebih dahulu di paviliun,” ucap Xiumei meneruskan pesan dari seorang kasim.
“Kenapa?”
“Yang Mulia Yuwen masih mempersiapkan diri.”
Jiali hanya mengangguk pelan. Sepertinya Dewa sedang berada di pihaknya. Jiali mencondongkan tubuh ke arah Xiumei, berbisik, “Ada sesuatu yang harus aku selesaikan.”
Punggung Xiumei menegak, bulu kuduk di belakang lehernya meremang. Baginya permintaan Jiali persis seperti perintah hukuman mati.
“Nona, hamba tidak bisa membiarkan Nona pergi.”
“Ke mana aku bisa pergi Xiumei? Apa kamu tidak melihat kalau paviliun dijaga sangat ketat?”
Xiumei meneguk ketakutannya lantas menatap ke sekeliling. Jiali benar. Prajurit memang berada di setiap sudut.
“Nona, tapi itu bukan ide yang bagus.”
“Percayalah padaku. Aku hanya ingin berbincang sebentar saja dengan Kakak Yunqin.”
“Nona, hamba mohon.”
“Xiumei, tolong aku, sejak pertunangan kami dibatalkan, kami belum pernah berjumpa lagi. Kalaupun ini mungkin akan menjadi salam perpisahan, aku tetap ingin melakukannya.”
“Nona—“
“Percayalah padaku,” potong Jiali meyakinkan.
“Nona yakin hanya sebentar?”
Jiali mengangguk-angguk. “Iya.”
“Nona, meski upacara belum dimulai, tetapi seluruh kerajaan tahu kalau Nona adalah calon istri Yang Mulia Yuwen, kalau sampai ada yang melihat—“
“Kalau begitu, kamu berjaga di sini. Jangan sampai ada yang mengikuti aku ke taman.”
Terpaksa Xiumei mengangguk lantas menatap Jiali yang bergegas pergi menuju taman.
Seluruh taman di dalam istana begitu indah, tetapi taman di bagian Selatan adalah yang paling sering dibicarakan. Pucuk rumput yang baru dipangkas masih harum, bunga-bunga mekar sempurna. Namun, Jiali tidak bisa menikmati semuanya.
Mata Jiali menatap ke setiap sudut. Sesekali duduk lantas kembali berdiri dengan cemas berharap Yunqin muncul dalam sekejap.
“Bukankah seharusnya Anda tidak berkeliaran di sini?”
Suara dingin itu membuat tubuh Jiali menegang. Ia berbalik cepat hingga ornamen penghias kepalanya beradu. Spontan Jiali mundur selangkah karena pria yang menurutnya amat menyebalkan itu berjalan mendekat. Beberapa pengawal berpakaian zirah tampak menyertainya membuat Jiali semakin gugup.
“Bukankah seharusnya Anda tidak berkeliaran di sini?” ulangnya.
Jiali tidak suka kata 'berkeliaran' ditujukan untuknya. Dirinya terdengar seperti seekor binatang liar yang mengganggu.
“Haruskah saya bertanya hal yang sama lebih dari dua kali?”
“Kakak Gu, bisakah meninggalkan aku sendiri di sini?” pinta Jiali setengah memelas. Melihat ekspresi lawan bicaranya, Jiali kembali berkata. “Kakak Gu apa Kakak sudah menyampaikan pesanku pada Yang Mulia Yuwen?”
“Ya, tentu saja.”
“Benarkah? Aku merepotkan, maaf Kakak Gu.”
Yuwen tersenyum kecut. “Saya bertugas mengantar Nyonya ke aula upacara.”
Dari balik kipasnya Jiali tersenyum hingga matanya sedikit menyipit. “Pergilah terlebih dahulu. Ada sesuatu yang harus aku lakukan.”
“Titah pernikahan ini berasal dari Yang Mulia Kaisar Qing Tao sendiri. Bahkan Dewa pun tidak bisa membatalkan pernikahan ini.”
Jiali mempererat genggamannya di gagang kipas. “Aku ta-tahu,” ucapnya terbata.
“Lantas apa yang sedang Nyonya lakukan di sini? Apa tidak masalah bagi Nyonya kalau kepala Tuan Han Dunrui terlepas dari tubuhnya?” tanya Yuwen.
Jiali menelan ludah, membayangkannya saja ia tidak berani. “Apa kamu sudah mengatakan pesanku pada Tuan Yuwen?” ulang Jiali
“Ya. Bukankah aku sudah mengatakan iya?
“Lalu kenapa pernikahan ini masih terlaksana? Kenapa dia keras kepala sekali,” cicit Jiali.
“Hamba masih bisa mendengar, Nyonya.”
“Kalau begitu, aku tidak akan sungkan. Aku penasaran mengapa pangeran kedua masih mau melanjutkan pernikahan sementara dia tahu aku tidak mau menikah dengannya. Semua orang tahu kalau Yang Mulia Kaisar Tao amat menyayangi Pangeran Kedua, kalau pangeran sendiri yang memintanya, Yang Mulia Kaisar Tao pasti mempertimbangkan!”
Jiali mundur selangkah ketika pria yang ada di hadapannya itu membungkukkan tubuh ke arahnya. Nyali Jiali seluruhnya padam ketika pria itu menatapnya sadis.
“Bila percakapan ini didengar Yang Mulia Yuwen, hamba sangat penasaran, pelajaran apa yang akan Yang Mulia Yuwen berikan pada Anda.”
Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama. “Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan. Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia. Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka.Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bag
Hembusan angin membawa aroma lembut bunga plum sekaligus satu kenangan yang terkubur jauh di sudut hati Jiali. Bayang akan dahan-dahan penuh dengan bunga putih mengalir ke dalam pikirannya. Di detik itu seakan-akan ia kembali ke memori masa kecilnya.Itu adalah hari penentuan pertunangannya dengan Yunqin. Saat itu, Jiali masih berumur tujuh tahun. Tentunya belum mengerti bahwa takdirnya akan diikat dengan seorang pangeran mahkota penerus takhta. Semua orang di sekitarnya tersenyum, larut dalam kegembiraan yang terlalu besar untuk dipahami oleh seorang anak kecil. Ia gembira karena mengenakan gaun cantik pemberian sang ayah; berwarna seputih bunga-bunga yang mengelilingi taman tempat pesta digelar, juga ornamen emas dan giok terbaik."Jangan takut," kata seorang anak lelaki dengan suara lembut yang berdiri di depannya, mengenakan jubah merah dihiasi sulaman naga emas. Jiali mengangkat wajah, menatap Yunqin yang dipikirnya hanya seorang bocah sama sepertinya. Mata besar Jiali yang di
Tenda utama diterangi oleh cahaya temaram lentera. Bayangan api seolah melompat-lompat di permukaan kain tenda. Qing Yuwen duduk diam di atas bangku kayu, luka panjang di lengannya sedang dibersihkan dengan kain yang dibasahi ramuan herbal. Nampak jelas jejak kelelahan dalam matanya.Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecut. Luka di lengannya memang perih, tetapi bukankah seharusnya ia sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti ini? Dibandingkan semua pertempuran sudah berlalu, ini hanyalah luka kecil. Refleks tangannya yang bebas menyentuh punggung. Bekas luka besar yang sudah memudar, tetapi tetap meninggalkan jejak kasar di kulitnya teraba. Bekas luka itu adalah kenangan dari salah satu pertempuran terberat yang pernah ia jalani. Saat itu, pasukan kekaisaran terjebak di lembah sempit Baiyun. Mereka disergap oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Qing Yuwen, yang saat itu masih berpangkat Jenderal Muda, memimpin sayap kanan pasukan, ia tahu prajuritnya mulai kehilangan pe
Di ruang kerjanya yang sunyi, Qing Yuwen melanjutkan lukisannya dengan gerakan tangan yang tegas dan terukur. Sesekali ia menatap coretan hitam yang mulai membentuk pemandangan pegunungan di atas kertas. Tanpa menoleh, ia mendengarkan laporan Yu Yong yang berdiri di sampingnya."Tabib sudah memeriksa Nyonya. Kondisinya stabil," kata Yu Yong, nadanya penuh kehati-hatian. "Yang Mulia, hamba sudah meminta tabib untuk turut memeriksa kondisi Yang Mulia.”Ujung alis Yuwen naik. “Apa yang salah denganku?”“Yang Mulia terluka oleh serangan Pangeran Mahkota dan para bandit, mana mungkin tidak ada yang salah.”Yuwen mengangkat tangannya. “Aku sudah mengobatinya.”“Yang Mulia—”“Aku rasa kedatanganmu ke sini, bukan bertujuan untuk membicarakan ini,” potong Yuwen.Yu Yong mengangguk. “Bandit yang kita lepaskan kembali ke markasnya di sebelah selatan Gunung Fuxie, ada seseorang yang mencurigakan, tetapi hamba tidak pernah melihatnya datang ke istana.”“Kalau begitu, ini akan semakin menarik. Teta
Langkah cepat Xiumei terhenti oleh suara sepatu yang mendekat. “Yang Mulia!” serunya kaget langsung membungkuk dalam-dalam saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Yuwen berdiri tegak dengan tangan menggenggam sebuah gulungan surat. Matanya tajam saat memandang Xiumei, membuat gadis itu gemetar. “Ini milikmu?” tanyanya sambil mengangkat surat tersebut. Walau hanya sekilas memandang Xiumei mengenali tulisan tangannya sendiri. Wajahnya memucat. Ia langsung bersimpuh, tubuhnya bergetar. “Hamba … tidak tahu bagaimana surat itu bisa sampai di tangan Yang Mulia,” katanya dengan suara kecil. “Tidak perlu tahu bagaimana,” jawab Yuwen dingin. “Kau seharusnya tahu peraturan. Surat keluar dari karesidenan ini harus memiliki capku. Tanpa izin, surat ini tidak boleh dikirimkan. Seharusnya majikanmu tahu hal ini!” “Hamba mohon ampun!” Xiumei menunduk lebih dalam, hampir menyentuh tanah. “Ini sepenuhnya kesalahan hamba. Nyonya sama sekali tidak tahu menahu soal surat ini.” Yuwen menaik
Meski dari kejauhan, Yuwen jelas mengamati Jiali, mengikuti setiap langkahnya tanpa suara. Di belakangnya, Yu Yong juga diam, menyaksikan dengan cermat. “Yang Mulia,” bisik Yu Yong, menunjuk ke sudut taman, “Lihat, Nyonya Chu Hua dan pelayannya di sana, mengawasi Nyonya Han.”Yuwen menatap ke arah yang dimaksud. Dengan ekspresi datar, ia berkata, “Biarkan saja. Jangan ikut campur.” Mata Yuwen tetap tertuju pada Jiali yang mulai mendekati tepi danau.Jiali berdiri di sana, tampaknya terlarut dalam pikiran. Tubuhnya bergoyang-goyang sedikit lalu menengadah ke arah langit. Jiali tersenyum, matanya menyipit karena silau akan sinar matahari. Yuwen memperhatikan tiap detail kecil raut wajah Jiali.Memang, masih banyak wajah lebih cantik yang sering Yuwen temui, tetapi penilaiannya pada wajah Jiali tidak berubah. Kesan lembut dan ceria membingkai wajah Jiali. Mata besar dan bulatnya memancarkan ekspresi semangat. Hidungnya kecil dan ramping, seimbang dengan bibirnya yang penuh dengan bentuk
Kereta perbekalan dari istana tiba di halaman belakang karesidenan, deretan pelayan tampak sibuk memindahkan peti-peti dan karung dari kereta ke paviliun penyimpanan.Suara gesekan roda di atas batu kerikil terdengar jelas, bercampur dengan perintah dari Yu Yong yang sedang memeriksa daftar barang.Di sudut lain, Xiumei memeriksa perbekalan Jiali untuk perjalanan ke Guan. Sesekali ia melihat ke arah kereta, merasa heran dengan banyaknya barang yang datang kali ini.Saat itulah seorang pria dengan pakaian pelayan istana menghampirinya. Wajahnya cemas, matanya terus melirik ke arah Yu Yong yang berdiri tidak jauh."Anda Nona Xiumei, pelayan Nyonya Han, bukan?" bisik pria itu, suaranya rendah penuh tekanan.Xiumei mengernyit, merasa janggal. "Iya, betul. Ada apa?"Pria itu melirik ke sekeliling lagi, lalu menyodorkan sesuatu yang tergulung kecil. "Ini surat untuk Nyonya Han. Dari Tuan Han Dunrui. Mohon sembunyikan baik-baik. Jangan sampai diperiksa oleh penjaga, apalagi Tuan Yu Yong."Ma
Keanggunan Chu Hua memang memikat, tetapi di balik senyum itu ada banyak lapisan tersembunyi. Semenjak kedatangan Jiali, semakin sulit bagi Chu Hua untuk mendekati Yuwen. Bahkan perhatian Yuwen pada Jiali terasa semakin berlebihan. Posisi Chu Hua semakin terancam. Perasaan itu akhirnya memuncak. Kini, Chu Hua tidak bisa lagi menyembunyikan ketidakpuasan yang melanda. Dalam hati, Chu Hua tahu semakin sulit baginya memikat Yuwen bila Jiali masih ada di sisi Yuwen. Hari itu, saat angin lembut berhembus melalui jendela kamar, Chu Hua memutuskan untuk memanggil ketiga selir lainnya. Mereka akan berkumpul di ruang pertemuan yang jarang digunakan, tempat di mana percakapan bisa berlangsung tanpa takut didengar pelayan atau pengawal. Sesaat setelah kedatangan selir-selir lainnya, suasana terasa canggung, penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Chu Hua duduk dengan anggun di kursinya, sementara selir lainnya menunggu perintah dengan hati-hati. “Jadi, kalian tahu kalau Yang Mulia akan
“Sungguh? Aku menyebutnya begitu?” Xiumei mengangguk, “Apa … dia marah?”Kali ini Xiumei tidak berkomentar bahkan tidak memberikan reaksi apa-apa. Jiali mendesah, terdiam sesaat lalu melipat lengan di atas dada.“Ah, sudahlah, dia memang bedebah sialan. Seharusnya dia minta maaf padaku atau setidaknya menjelaskan tentang alasannya dia tidak mau membatalkan pernikahannya dengan Qilan. Xiumei, apa kau sudah mencari tahu siapa Mei Qilan?”Xiumei mengangguk kecil. Tangannya bergerak ke sisi pinggang, menarik selembar catatan kecil yang terselip rapi di balik ikat kainnya. Ia membukanya perlahan dan mulai membaca dengan suara pelan, tetapi jelas."Mei Qilan. Putri dari Klan Meiyang. Klan tua yang dulu dikenal sebagai pelindung utara kekaisaran. Dia adalah perempuan pertama yang diizinkan mengikuti pelatihan militer penuh di keluarga itu, tapi juga yang pertama diusir."Jiali mengangkat dagunya sedikit. "Kenapa?""Karena dia membentuk kelompok sendiri tanpa izin. Pasukan yang tidak tunduk p
“Nyonya ingin mandi dulu atau langsung beristirahat?” tanya Xiumei berjalan pelan ke sisi Jiali.Jiali tak menjawab. Ia duduk di kursi rias. Matanya kosong menatap ke depan.Xiumei melepaskan jepit-jepit di rambut Jiali, bertanya lagi, “Kudapan malam, Nyonya? Dapur menyiapkan sup kacang merah.”Masih tak ada suara.Xiumei menggigit bibir. Berpikir apakah Jiali masih syok karena tadi ikut melihat proses persalinan. Ia beringsut, mencoba menawarkan lagi, “Kalau begitu, hamba ambilkan teh hangat—”“Pergilah, Xiumei.” Suaranya pelan, tetapi cukup untuk membuat Xiumei membeku. Xiumei memberi hormat. “Baik, Nyonya.”Langkahnya perlahan menjauh, pintu ditutup tanpa suara.Jiali masih diam di tempat. Menatap ke arah cermin di hadapannya. Namun, refleksi yang tampak bukan pantulan bayang dirinya.Yang dilihatnya adalah wajah Zili. Mata lelaki itu basah oleh rasa takut kehilangan, mencengkeram kedua tangan Qing An seolah dunia runtuh bila istrinya pergi.Hati Jiali bertanya. Apakah Yuwen akan
Qiongshing tiba kamar Kaisar, tapi di ambang pintu langkahnya tertahan karena matanya menangkap sosok lain selain sang Kaisar.Permaisuri Wei Junsu tengah duduk anggun di sisi tempat tidur, menatap tabib yang sedang meracik ramuan di mangkuk porselen. Kaisar sendiri bersandar lemah di bantal, wajahnya pucat, dahi sedikit basah oleh peluh.Qiongshing berdiri diam. Belum sempat ia mengucapkan salam atau pertanyaan apapun, suara serak Kaisar memecah keheningan.“Aku tidak apa-apa,” ucapnya pelan, seolah memahami apa yang terlintas di benak Qiongshing. “hanya sedikit pusing.”Qiongshing menunduk sopan, tetapi matanya tak lepas dari Permaisuri Junsu. Ia segera memalingkan wajah dan hendak mundur keluar ruangan, tak ingin terlihat lancang atau menyela kebersamaan pasangan utama istana.Namun, sebelum ia bisa berbalik sepenuhnya, suara Junsu terdengar, tenang, tetapi penuh selidik.“Kedatanganmu pasti membawa kabar penting, bukan begitu, Qiongshing?” ucapnya dengan senyum tipis. “terlebih, k
"Nyonya, tadi pagi Tuan Gu Yu Yong datang,” ungkap Xiumei hati-hati sembari menyisir pelan rambut Jiali. Xiumei terdiam menunggu Jiali berkomentar lalu meletakkan sisir giok di meja. “Nyonya, katanya ... Yang Mulia Kaisar memerintahkan Yang Mulia kembali ke istana untuk persiapan pernikahan,” lanjut Xiumei ragu.Tetap tidak ada reaksi dari Jiali.Xiumei menelan ludah, lalu melanjutkan, “Tuan Gu juga bilang, kalau Nyona tak ingin ikut ... itu tidak apa. Yang Mulia tidak memaksa.”Diam. Hening yang menggantung seolah membuat waktu terhenti.Xiumei mulai panik dalam hati. Ia takut Jiali akan meledak, meneriaki, memecahkan cermin, atau kembali menghilang seperti sebelumnya. Namun, Jiali hanya menoleh perlahan, menatap Xiumei dalam-dalam.“Bersiaplah,” ucapnya mantap. “Aku akan ikut tinggal di istana. Aku akan menemui ayah untuk berpamitan.”Xiumei menegang. Tangannya refleks meremas sisi jubahnya sendiri. Entah mengapa Xiumei berharap Nyonya-nya itu berteriak, menangis, membalikkan meja
Langit belum sepenuhnya gelap ketika Yuwen kembali ke kediaman keluarga Han. Jejak langkahnya terlihat cepat, seolah berharap dirinya sampai sebelum semuanya terlambat.Begitu melewati lorong panjang menuju kamar Jiali, pandangannya langsung tertarik pada sosok di kejauhan. Istrinya tampak duduk sendiri di dalam gajebo yang terletak di tengah taman kecil, dikelilingi semak dan pohon-pohon muda yang sedang merekah. Bahunya merunduk, dan dari tempatnya berdiri, Yuwen bisa melihat betapa kosongnya sorot mata Jiali. Ia tidak pernah melihat Jiali seperti itu sebelumnya. Yuwen hendak kembali melangkah, tetapi lengannya ditarik oleh seseorang. Yuwen menoleh.“Jangan dekati dia dulu,” ujar Dunrui.Ayah mertuanya berdiri di sisinya, pandangannya lurus ke arah gajebo. Di belakangnya, Xiumei berdiri menunduk, membawa baki berisi mangkuk kecil dan semangkuk bubur hangat yang mulai kehilangan uap.“Dia baru kembali tadi sore. Tak bilang apa-apa soal ke mana perginya,” lanjut Dunrui pelan, sepert
“Yang Mulia, kamar sudah disiapkan. Yang Mulia sudah bisa beristirahat,” ujar Yu Yong yang muncul dari arah selatan kediaman Keluarga Han.Yuwen tidak menjawab, hanya mengangkat dagu ke arah kursi kosong di depannya. “Duduklah. Temani aku minum.”Tanpa banyak tanya, Yu Yong duduk. Yuwen mengambil cawan kosong dan menuangkannya penuh, lalu dengan tenang mengisi cawan miliknya yang nyaris kering.“Katanya malam ini, aku tidak memiliki Istri,” lanjut Yuwen sambil menatap permukaan arak.“Yang Mulia, hamba dengar dari Xiumei, Nyonya menyukai—”“Sebaiknya kau tidak menikah,” potong Yuwen memutar cawan di jemari lantas meneguk isinya hingga tak bersisa.“Mohon ampun Yang Mulia, tapi hba rasa sepertinya lebih baik Yang Mulia mulai membujuk nyonya,” sarannya.Yuwen memiringkan kepala, menatap Yu Yong dengan mata setengah menyipit lalu tertawa pelan. “Aku? Membujuknya?”Yu Yong terdiam. Belakangan ini, Yu Yong lega karena sepertinya Yuwen mulai membuka diri. Meskipun Yuwen masih mencurigai Jia
Semua orang waspada ketika sosok berpakaian hitam melompat turun dari plafon lalu mendarat tanpa suara di depan mereka. Wajahnya tersembunyi di balik topeng kain hitam yang hanya menyisakan sorot matanya saja.Yu Yong langsung melangkah maju. Pedangnya dicabut ketika lelaki bertopeng itu mengangkat tangan lantas melepas penutup wajahnya.Topeng hitam itu jatuh ke lantai. Semua terdiam.Jiali membeku seolah seluruh dunia berhenti berputar.“Yuwen?” bisiknya nyaris tak terdengar.Mata mereka bertemu. Tak ada senyum dan tentu saja akan ada yang menuntut penjelasan pada akhirnya. Yuwen menyapu pandangannya ke seluruh ruangan sebelum berhenti pada Qilan sementara Qilan maju mendekat lantas tersenyum. “Baiklah, aku rasa semua sudah lengkap. Jadi, mari ikut aku.”Mei Qilan berbalik pergi meninggalkan keheningan canggung. Tak seorang pun bergerak, hingga akhirnya Yuwen mendahului langkah, menyusulnya tanpa berkata sepatah kata pun.Jiali menatap punggung suaminya yang menjauh, dadanya sesak
“Untuk apa dia menyimpan belati itu? Apa bagusnya? Menyebalkan!”Xiumei yang sedang menyisir rambut tuannya, menahan senyum gugup. “Penarinya ... memang memukau, Nyonya. Mungkin Yang Mulia ingin menghargai sebuah karya seni dengan menyimpan satu kenang-kenangan.”Jiali mendengus. “Menghargai karya seni? Kenang-kenangan? Seharusnya dia memuji musikus, bukan menerima pemberian dari wanita bercadar yang menari ingin menggoda dia!”Xiumei mengatupkan mulut, sadar jawaban itu bukan untuk dibantah.“Kita mungkin akan tinggal lebih lama di ibu kota,” ucap Yuwen yang masuk tiba-tiba ke kamar Jiali lalu melepas jubah luar dan memberikannya pada Yu Yong yang mengekor di belakangnya. “ada beberapa hal yang ingin aku cari tahu,” sambungnya.“Apa? Tentang penari itu?”Yuwen tak langsung menjawab. Ia menatap Jiali lalu berjalan mendekat kemudian duduk di sisi tempat duduknya. “Aku belum sempat mengatakan apa-apa, tapi kau merasa ada yang aneh darinya juga, kan?”Jiali menyilangkan tangan di dada, m
“Kalian gagal dan masih berani ingin bertemu aku?”Di hadapannya, seorang perempuan berdiri santai. Rambut panjangnya dikepang rapi, dengan beberapa helai tergerai menggoda. Balutan pakaian hitam pas badan menonjolkan sisi menggoda yang ia milik. Parasnya terbilang secantik para bidadari dengan tatapan tajam juga tegas. Dikenal sebagai wanita yang bergerak seperti angin dan lihai memainkan pedang. Dialah Mei Qilan. “Aku sudah memperingatkanmu, Putri Sun,” ucapnya, “targetmu bukan wanita biasa. Dia adalah istri dari jenderal perang, pangeran kedua kerajaan ini. Kau pikir seseorang seperti itu akan mudah dijatuhkan?”Li Wei mengepalkan tangan, nadinya tampak berdenyut marah. “Aku membayarmu untuk menyelesaikan masalahku!”Qilan tersenyum tipis. “Kau membayar untuk keahlian kami, bukan untuk keajaiban. Kami bukan dewa.”Li Wei hendak membentak lagi, tetapi Qilan mengangkat satu jari. Gerakannya tenang, penuh peringatan.“Satu hal yang perlu kau pahami, Putri,” lanjutnya. “kami bukan or