Share

Bab 06. Ancaman.

Author: Ine Time
last update Last Updated: 2025-02-10 14:02:47

“Nona, kereta sudah datang,” ucap Xiumei dengan langkah tergesa masuk ke kamar Jiali. Namun, tatapan muram tuannya itu segera membungkam senyum kecil Xiumei. Tanpa banyak berkata, Xiumei mendekati Jiali, membantu gadis itu berdiri.

Jiali diam, membiarkan jubah indah disampirkan pada bahunya. Sebuah kipas bulat turut disodorkan kepadanya. Tanpa ekspresi, Jiali menerima kipas itu, lantas menggunakannya untuk menutupi sebagian wajah.

“Mari, Nona.”

Langkah pertama keluar dari kamar begitu berat. Saat kakinya menyentuh lantai luar, Jiali berhenti, menoleh ke belakang. Pandangannya tampak sayu, hatinya ikut bertanya, Apa ini takdirku? Beginikah akhirnya hidupku?

“Nona?”

Panggilan Xiumei memecah lamunan. Jiali menarik napas panjang, memaksa dirinya mengangguk pelan lantas melangkah keluar rumah menuju gerbang kediaman keluarga Han. Tepat sebelum menaiki kereta pengantin, ia kembali menoleh ke belakang.

Kenangan masa kecil, suara tawa di lorong-lorong rumah, dan kehangatan keluarganya berkelebat seperti bayang-bayang di air. Tangannya menggenggam kipas semakin erat, lalu ia melangkah masuk ke kereta.

Kereta beroda empat itu mulai bergerak perlahan. Ditarik oleh dua kuda putih yang dihiasi kain merah berbentuk bunga, suara roda yang berderak melintasi jalan batu seakan menggema di hati Jiali.

Jiali menyeka air mata kemudian menyingkap sedikit tirai jendela kereta. Sorak-sorai penduduk yang mengantarkan kepergiannya membuat hati Jiali bertambah sakit.

Xiumei masuk ke dalam kereta lantas duduk di alas karpet merah. “Nona, Tuan Dunrui sudah terlebih dahulu pergi ke istana. Semua barang-barang juga sudah dikirim. Setelah upacara selesai, kita akan langsung pergi ke karesidenan Yang Mulia Yuwen. Perjalanan akan melelahkan, jangan sungkan memanggilku bila Nona butuh bantuan,” ucap Xiumei.

Refleks Jiali menahan tangan Xiumei ketika gadis itu hendak keluar dari tandu kereta. “Xiumei, apa tidak ada cara lain untuk menggagalkan upacara ini?” 

Wajah Xiumei yang berubah gelisah membuat Jiali curiga. Xiumei yang memang tidak pernah berbohong pada Jiali akhirnya bersuara. “Nona, itu, hmm, itu ….”

 “Ada apa? Kamu punya rencana?”

“Tidak Nona, hanya saja ....”

“Apa?” Xiumei bungkam. “apa yang kau coba sembunyikan dariku?” selidik Jiali. 

“Tidak ada Nona.”

“Aku tahu pasti ada sesuatu.”

Mendapat tatapan menyelidik dari Jiali, sontak dengan cepat Xiumei menutupi kain yang melilit pinggangnya. Jiali menarik tangan Xiumei. “Apa yang kau sembunyikan?” Jiali membuka telapak tangannya. “Berikan padaku!”

Xiumei menggeleng. “Nona, hamba tidak mengerti,” jawab Xiumei dengan suara bergetar.

“Berikan atau aku akan memulangkan kamu ke rumah orang tuamu!”

Dalam sedetik Xiumei sudah bersujud di kaki Jiali. “Tidak Nona, jangan lakukan itu Nona!”

Jiali membantu Xiumei untuk kembali menegakkan punggung. “Kalau begitu, berikan kepadaku!”

Tangan Xiumei gemetaran ketika ia menyerahkan secarik kertas terlipat dua yang terselip di kain tersebut. Jiali menarik paksa kertas itu, matanya membulat ketika membaca kata demi kata yang tertulis di kertas.

“Kapan kamu mendapatkannya? Kenapa kamu tidak memberitahukan ini?”

“Nona, ini ide buruk. Hamba tidak ingin Nona berada dalam bahaya lagi,” bela Xiumei.

Jiali kembali membaca isi dari surat yang ia yakini ditulis oleh Yunqin.

Taman Paviliun Selatan. Temui aku. Aku akan meminta Kaisar untuk menjadikanmu sebagai selirku.

“Sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan.”

“Nona.”

“Keluarlah.”

“Nona, tapi ini ….”

Menyadari tidak ada gunanya berdebat, Xiumei melangkah keluar. Di dalam kereta yang semakin jauh menuju istana, Jiali menatap surat itu lagi dengan perasaan campur aduk.

***

Gerbang istana terbuka lebar. Kereta pengantin masuk lantas berbelok ke arah paviliun Selatan. Jiali  menyembunyikan kertas di sela gaun pengantin lantas turun setelah kereta sepenuhnya berhenti.

“Nona, Yang Mulia Kaisar meminta Nona untuk beristirahat terlebih dahulu di paviliun,” ucap Xiumei meneruskan pesan dari seorang kasim.

“Kenapa?”

“Yang Mulia Yuwen masih mempersiapkan diri.”

Jiali hanya mengangguk pelan. Sepertinya Dewa sedang berada di pihaknya. Jiali mencondongkan tubuh ke arah Xiumei, berbisik, “Ada sesuatu yang harus aku selesaikan.”

Punggung Xiumei menegak, bulu kuduk di belakang lehernya meremang. Baginya permintaan Jiali persis seperti perintah hukuman mati.

“Nona, hamba tidak bisa membiarkan Nona pergi.”

“Ke mana aku bisa pergi Xiumei? Apa kamu tidak melihat kalau paviliun dijaga sangat ketat?”

Xiumei meneguk ketakutannya lantas menatap ke sekeliling. Jiali benar. Prajurit memang berada di setiap sudut.

“Nona, tapi itu bukan ide yang bagus.”

“Percayalah padaku. Aku hanya ingin berbincang sebentar saja dengan Kakak Yunqin.”

“Nona, hamba mohon.”

“Xiumei, tolong aku, sejak pertunangan kami dibatalkan, kami belum pernah berjumpa lagi. Kalaupun ini mungkin akan menjadi salam perpisahan, aku tetap ingin melakukannya.” 

“Nona—“

“Percayalah padaku,” potong Jiali meyakinkan.

“Nona yakin hanya sebentar?”

Jiali mengangguk-angguk. “Iya.”

“Nona, meski upacara belum dimulai, tetapi seluruh kerajaan tahu kalau Nona adalah calon istri Yang Mulia Yuwen, kalau sampai ada yang melihat—“

“Kalau begitu, kamu berjaga di sini. Jangan sampai ada yang mengikuti aku ke taman.”

Terpaksa Xiumei mengangguk lantas menatap Jiali yang bergegas pergi menuju taman.

Seluruh taman di dalam istana begitu indah, tetapi taman di bagian Selatan adalah yang paling sering dibicarakan. Pucuk rumput yang baru dipangkas masih harum, bunga-bunga mekar sempurna. Namun, Jiali tidak bisa menikmati semuanya.

Mata Jiali menatap ke setiap sudut. Sesekali duduk lantas kembali berdiri dengan cemas berharap Yunqin muncul dalam sekejap.  

“Bukankah seharusnya Anda tidak berkeliaran di sini?”

Suara dingin itu membuat tubuh Jiali menegang. Ia berbalik cepat hingga ornamen penghias kepalanya beradu. Spontan Jiali mundur selangkah karena pria yang menurutnya amat menyebalkan itu berjalan mendekat. Beberapa pengawal berpakaian zirah tampak menyertainya membuat Jiali semakin gugup.

“Bukankah seharusnya Anda tidak berkeliaran di sini?” ulangnya.

Jiali tidak suka kata 'berkeliaran' ditujukan untuknya. Dirinya terdengar seperti seekor binatang liar yang mengganggu.

“Haruskah saya bertanya hal yang sama lebih dari dua kali?”

“Kakak Gu, bisakah meninggalkan aku sendiri di sini?” pinta Jiali setengah memelas. Melihat ekspresi lawan bicaranya, Jiali kembali berkata. “Kakak Gu apa Kakak sudah menyampaikan pesanku pada Yang Mulia Yuwen?”

“Ya, tentu saja.”

“Benarkah? Aku merepotkan, maaf Kakak Gu.”

Yuwen tersenyum kecut. “Saya bertugas mengantar Nyonya ke aula upacara.”

Dari balik kipasnya Jiali tersenyum hingga matanya sedikit menyipit. “Pergilah terlebih dahulu. Ada sesuatu yang harus aku lakukan.”

“Titah pernikahan ini berasal dari Yang Mulia Kaisar Qing Tao sendiri. Bahkan Dewa pun tidak bisa membatalkan pernikahan ini.”

Jiali mempererat genggamannya di gagang kipas. “Aku ta-tahu,” ucapnya terbata.

“Lantas apa yang sedang Nyonya lakukan di sini? Apa tidak masalah bagi Nyonya kalau kepala Tuan Han Dunrui terlepas dari tubuhnya?” tanya Yuwen.

Jiali menelan ludah, membayangkannya saja ia tidak berani. “Apa kamu sudah mengatakan pesanku pada Tuan Yuwen?” ulang Jiali

“Ya. Bukankah aku sudah mengatakan iya?

“Lalu kenapa pernikahan ini masih terlaksana? Kenapa dia keras kepala sekali,” cicit Jiali.

“Hamba masih bisa mendengar, Nyonya.”

“Kalau begitu, aku tidak akan sungkan. Aku penasaran mengapa pangeran kedua masih mau melanjutkan pernikahan sementara dia tahu aku tidak mau menikah dengannya. Semua orang tahu kalau Yang Mulia Kaisar Tao amat menyayangi Pangeran Kedua, kalau pangeran sendiri yang memintanya, Yang Mulia Kaisar Tao pasti mempertimbangkan!”

Jiali mundur selangkah ketika pria yang ada di hadapannya itu membungkukkan tubuh ke arahnya. Nyali Jiali seluruhnya padam ketika pria itu menatapnya sadis.

“Bila percakapan ini didengar Yang Mulia Yuwen, hamba sangat penasaran, pelajaran apa yang akan Yang Mulia Yuwen berikan pada Anda.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 155. Kembalinya Sang Pangeran.

    Musim semi sudah berganti tiga kali sejak peristiwa berdarah itu. Semua orang cuma melanjutkan hidup tanpa benar-benar seutuhnya melupakan rasa sakit.Burung-burung kecil terbang rendah di atas atap paviliun, dan aroma wangi teh melati menggantung di udara. Daun-daun plum berguguran perlahan, menyentuh pelataran berlumut yang basah oleh embun kemarin. Semburat jingga menyelimuti langit sore Hangzi. Jiali meletakkan kembali surat yang sudah ia baca berulang di atas meja. Pandangannya jauh menatap ke tengah taman.Tawa malaikat kecil yang ia pikir tidak akan bisa didengar, membuatnya tersenyum.“Ceng'er! Berhentilah bermain! Kemarilah!”Sepasang mata bulat bening, penuh rasa ingin tahu menatap Jiali. Bocah lelaki itu melambaikan tangan. Pipinya tampak kemerahan. Senyum lebar tidak pernah benar-benar lepas dari wajahnya.Qing Lianceng mengenakan jubah kecil berwarna hijau muda dengan motif awan yang dijahit rapi oleh tangan Xiumei sendiri. Kaki mungilnya berlari tanpa alas di pelataran

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 154. Akhir Dari Sepenuh Jiwa Mencintaimu.

    “AAAAAAAGHH!!”Yunqin menerjang lebih dulu. Pedangnya melayang dalam ayunan panjang, liar, berbahaya tidak terarah.Yuwen menangkis. Logam beradu logam, percikan api melesat. Suara benturan keras memantul di seluruh pelataran. Yuwen mundur setengah langkah.Belum sempat menyeimbangkan diri, Yunqin sudah menyerang lagi. Kali ini lebih cepat, lebih beringas. Tebasan menyilang ke dada, tikaman rendah, lalu ayunan tinggi ke arah kepala. Semuanya dilakukan tanpa jeda.Yuwen belum punya ruang untuk menyerang balik. Ia menangkis, bertahan, mundur.“KAU AKAN MATI!” raung Yunqin, matanya merah, wajahnya nyaris kehilangan bentuk manusia karena amarah.Yuwen kembali menangkis. Sial! Satu pukulan keras membuatnya hilang keseimbangan. Tumitnya terpeleset di genangan darah yang mengering di atas batu hingga tubuhnya terhempas ke tanah.Jiali menjerit, “Yuwen!!”Yuwen menoleh dan Yunqin tidak memberikan jeda untuk keduanya berinteraksi. Ia melompat maju, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, siap me

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 153. Mahkota Terakhir.

    Langkah kaki Jiali berdentam cepat menyusuri lorong batu yang sepi. Napasnya memburu, keringat membasahi pelipis. Ia tidak berhenti. Ia yakin sudah berlari sejauh mungkin, tetapi ….“Jiali!! Berhenti!! Jangan lari dariku!!”Suara di belakangnya semakin jelas. Sekilas ia menoleh. Cukup untuk melihat sosok lelaki itu berlari menerobos lorong sempit dengan wajah penuh amarah.“Jiali! Berhenti!!”Jiali tidak akan berhenti. Sudut lorong bercabang di hadapannya. Tanpa ragu, Jiali memilih jalur ke kiri. Arah menuju gerbang utara.“Berlarilah Jiali, Yuwen ada di sana, dia di sana,” bisiknya berulang-ulang seperti mantra yang membuatnya tetap kuat.

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 152. Pengecut Menjijikkan.

    “Kau akan melarikan diri di tengah perang yang akan menghancurkan rakyatmu?"Langkah Yunqin dan Jiali terhenti. Keduanya menatap wanita yang bersandar di pilar lorong. Dia yang balas menatap dengan tangan menggenggam pedang yang ujungnya berlumur darah.“Qilan,” cicit Jiali."Apa tidak pernah ada yang memanggilmu dengan sebutan bajingan menjijikkan?"Mei Qilan berjalan mendekat. Tiap langkahnya seperti gaung nyaring di lorong batu yang kosong. Darah masih menetes dari ujung pedangnya, menggurat lantai dengan warna merah.“Kau membakar istanamu sendiri hanya karena seorang wanita?” tanyanya menunjuk Jiali dengan sorot mata, “wanita yang tidak ingin bersamamu kau masih ingin menyeretnya dalam pelarianmu? Kau bodoh atau bagaiman

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 151. Gerbang yang Terbuka.

    Di sisi utara, barisan utama pasukan Hangzi telah tiba dan bergabung bersama Yuwen. Kuda-kuda tempur meringkik liar. Feilong berdiri di garis depan, Yuwen duduk tegak di atas punggungnya. Yu Yong mendekat. “Yang Mulia, gerbang selatan berhasil didobrak pasukan Pangeran Zeming. Pasukan dari Menteri Xi serta Nona Qilan bergerak mengosongkan kota. Rakyat Anming akan dievakuasi.”“Bagus. Aku tidak akan bisa menahan amarah Zeming ketika dia melihat Yunqin, tetapi tidak boleh ada rakyat yang menjadi korban.”Kaisar Tao yang berada di barisan kedua akhirnya maju setelah mendengar ucapan Yuwen. Setengah hatinya malu karena ternyata pangeran mahkota bisa menyebabkan kekacauan ini, lalu setengahnya bangga karena anaknya yang lain masih memikirkan rakyat.“Wen’er, kau begitu memikirkan rakyat, kalau begitu, izinkan aku bicara pada penjaga gerbang. Aku masih hidup, kita tidak perlu membuang darah dari para prajurit setia Anming.”Yuwen terdiam lalu menatap ke arah puncak istana yang berdiri meg

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 150. Kebenaran Menyerbu.

    Aroma bunga sedap malam memenuhi ruangan. Di atas meja giok, beberapa kotak ukiran emas dibuka satu per satu, menampilkan perhiasan baru yang didatangkan khusus dari negeri seberang. Gelang, kalung, bahkan sisir berhias zamrud. Semua itu dipamerkan dengan harapan menyenangkan satu orang, yaitu Han Jiali.Jiali menarik napas dalam-dalam. Kemewahan yang disodorkan di hadapannya membuat dadanya sesak menahan muak.Sang kaisar tampak duduk di sebelahnya, mengamati ekspresi Jiali, berharap ada sedikit senyum di sana.“Apakah hadiah ini tidak cukup menarik hatimu?” Yunqin menyentuh gelang emas dengan ukiran naga dan phoenix. Jiali tidak menjawab, tetapi kini ia menatap Yunqin. “Apa Yang Mulia sungguh mencintai hamba?”Yunqin bangkit dari duduk kemudian menghampiri Jiali. Diraihnya tangan Jiali hingga istrinya itu terpaksa berdiri. “Tentu saja. Aku akan memberikan semuanya untukmu. Aku akan membuatmu bahagia.”Jiali menarik tangannya dari genggaman Yunqin. “Bahagia? Yang Mulia ingin hamba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status