"Angkat tanganmu! Lebih tinggi lagi!"
Suara keras Dunrui memecah keheningan aula keluarga Han. Padahal pria tua itu terkenal akan pribadinya yang tenang dan bijaksana. Namun, apa yang terjadi kemarin telah mengubah air tenang menjadi badai.
Xiumei, pelayan setia yang tak pernah meninggalkan sisi Jiali, tersungkur berlutut, menangis tersedu-sedu. Tangan mungilnya menggenggam ujung gaun sutra Han Dunrui dengan putus asa.
"Hamba mohon, Tuan! Jangan hukum Nona seperti ini. Semalaman Nona sudah berlutut tanpa makan ataupun minum. Nona hanya—"
"Tutup mulutmu, Xiumei!" bentak Dunrui, matanya menyala penuh amarah. Tubuhnya gemetaran karena ledakan emosi. "Dia tidak akan lolos begitu saja! Aku sudah bertanya baik-baik padanya, apakah dia mau hadir di upacara pernikahan, tapi apa? Dia malah mengacaukannya!” sentaknya dengan telunjuk teracung-acung ke udara.
Jiali menunduk lebih dalam. Lututnya kebas karena terlalu lama berlutut. Bagaimanapun, Ia tidak berniat begitu, tetapi saat ini ayahnya tidak akan bisa percaya padanya.
"Ayah,” lirihnya coba menurunkan emosi yang membakar Dunrui.
"Diam!" Dunrui kembali menatap putrinya dengan mata yang memerah dan telunjuk kembali terarah pada Jiali. “kamu sadar dengan yang sudah kamu perbuat? Yang Mulia Yunqin meninggalkan setengah upacara hanya untuk mencarimu lalu berkelahi dengan Pangeran Kedua! Pangeran Kedua terluka!”
Wajah Jiali refleks terangkat. “Berkelahi? Ayah, aku—”
“Cukup Jiali! Pangeran Mahkota hampir membunuh Pangeran Kedua dan itu semua karena ulahmu!”
"Ayah, percayalah, aku tidak bermaksud seperti itu," tegas Jiali mulai menaikan nada bicaranya.
"Percaya?" Dunrui tertawa getir. Ia membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan Jiali. "Katakanlah padaku Jiali, apa yang akan kita lakukan? Yang Mulia Kaisar sangat menyayangi Pangeran Kedua.” Dunrui kembali duduk. Dari semua amarahnya ada rasa cemas akan keselamatan Jiali. Ia takut putrinya akan dihukum karena kejadian kemarin.
Jiali diam sejenak, lalu bergerak mendekati ayahnya sembari tetap setengah berlutut. "Ayah, aku, kemarin aku bertemu Kakak Gu, aku sudah mengatakan kalau aku tidak ingin menikah dengan pangeran kedua dan—”
"Apa?" Dunrui langsung menegakkan tubuhnya.
Jiali mengangguk. “Kakak Gu, Gu Yu Yong. Pengawal kepercayaan Pangeran Kedua.”
"Gu Yu Yong? Jiali … kau ….” Dunrui meremas dada. Tidak tahu kejutan apa lagi yang akan didapatkan dari putrinya.
Jiali kembali menganggukkan kepala. "Aku memberitahunya bahwa aku tidak ingin menikah dengan Pangeran Kedua. Aku yakin, dia akan menyampaikan pesanku dengan jelas kepada Pangeran Kedua."
"Kamu pikir ini main-main, Jiali?!" suara Dunrui meninggi. “Kau pikir, apa yang akan terjadi padamu bila pernikahanmu dengan Pangeran Kedua tidak terlaksana? Apa? Kita akan lenyap Jiali!"
Sebelum Jiali sempat menjawab, suara langkah kaki yang cepat mendekat membuat percakapan mereka terhenti. Seorang pelayan pria masuk tergesa-gesa, wajahnya tegang. "Tuan, Kasim Agung Hong Li datang membawa titah dari Yang Mulia Kaisar Tao.”
Dunrui tertegun. Wajahnya yang semula memerah mendadak berubah pucat pasi. Ia tahu kabar yang dibawa pasti tidak akan menguntungkan mereka.
Sekujur tubuh Dunrui lemas, bahkan ia tidak bisa merasakan tulang-tulang tubuhnya bekerja dengan baik. Bibirnya gemetar, lidahnya ikut kelu. Ia terlambat. Seharusnya ia tidak banyak berpikir. Seharusnya semalam ia sudah membawa pergi Jiali.
Sudah tujuh generasi dari keluarga Han mengabdi pada kerajaan. Seharusnya Jiali bisa mendapat satu keringanan. Tidak masalah kalau Jiali hanya diasingkan. Dunrui akan memohon pada Yang Mulia Kaisar Tao.
Walau berat hati, akhirnya melangkah ke gerbang utama diikuti Xiumei yang membantu Jiali berdiri.
Di depan gerbang, Kasim Agung Hong Li berdiri tegak dengan raut wajah tenang. Beberapa prajurit berpedang mengapit Kasim Agung seolah memang kedatangannya adalah sesuatu yang harus dijaga ketat.
Kasim Agung mengangkat tangan. Seorang pelayan yang membawa baki mendekat, ia meraih gulungan sutra emas di atasnya. "Saya Qing Tao, memerintahkan agar pernikahan antara Pangeran Kedua Qing Yuwen dan Han Jiali diselenggarakan sebelum matahari terbenam esok hari," ucap Hong Li lantang, membacakan dekret dari gulungan sutra emas yang dipegangnya.
Dunrui yang bersujud sontak mengangkat pandangannya, tidak percaya dengan apa yang telah didengar. Dilihatnya Hong Li kembali menyerahkan, gulungan itu pada pelayan yang berdiri di sampingnya.
"Bangunlah, Tuan Han," ujar Hong Li membantu Dunrui berdiri. "Hadiah pernikahan telah disiapkan oleh istana. Mohon periksa dan pastikan semuanya sesuai dengan kehormatan yang layak bagi calon istri Pangeran Kedua."
Dunrui hanya mengangguk kikuk lantas membuka salah satu peti yang dibawa para pelayan. Isinya perhiasan giok, emas, dan sutra terbaik yang dipersiapkan khusus untuk pengantin perempuan. Tangannya bergetar saat menutup kembali peti itu.
“Tuan, ini semua, ini ….”
Kasim Agung Hong Li melanjutkan, "Yang Mulia berharap tidak ada lagi halangan dalam pelaksanaan pernikahan ini. Patuhi titah ini, Tuan Han."
Setelah memberikan salam singkat, Hong Li dan rombongannya pergi, meninggalkan Dunrui yang berdiri dengan tubuh lemas. Ia menoleh perlahan ke arah Jiali yang berdiri tak jauh darinya. Tatapannya penuh kepedihan, sementara Jiali hanya menunduk dalam diam.
***
Malam itu, suasana di kediaman keluarga Han terasa berat. Dunrui duduk di aula dengan kepala tertunduk. Xiumei berdiri di dekatnya, menggenggam baki berisi teh yang sejak tadi tak disentuh tuannya.
"Tuan,” panggil Xiumei dengan suara pelan.
"Aku tetap merasa aneh." Dunrui menatap Xiumei. "Kemasi barang-barangmu. Esok hari, setelah pernikahan selesai, kalian akan pergi ke karesidenan Pangeran Kedua di Hangzi. Kau harus ikut bersama Jiali.”
Xiumei mengangguk patuh, memberikan hormat lalu pergi ke kamar Jiali. Di sana, ia mendapati sang majikan sedang duduk di lantai dengan tatapan kosong. Pakaian dan barang-barangnya sudah hampir selesai dikemas.
Xiumei melirik ke arah mejam makanan yang dibawanya masih belum disentuh Jiali. "Nona, apa aku harus memanaskan makanannya lagi?” Jiali diam. “Nona.”
Jiali mendongak, matanya merah karena terlalu banyak menangis. "Apa aku memang tidak punya pilihan? Apa aku harus pergi?”
"Nona, tidak ada yang bisa melawan titah kaisar," balas Xiumei lembut.
“Aku masih bisa menerima pernikahanku dengan Kakak Yunqin dibatalkan, tetapi soal menikahi Pangeran Kedua … itu lain cerita.”
“Nona.”
“Apa yang bisa aku lakukan di perbatasan sana? Aku tidak bisa membayangkannya. Bagaimana kalau aku kesulitan? Siapa yang akan membantuku? Siapa?” cecar Jiali histeris sembari mengguncangkan bahu Xiumei.
“Nona, pangeran kedua tidak akan membiarkan Nona berada dalam kesulitan.”
Jiali melepaskan bahu Xiumei. “Oh, jadi sekarang kamu berada di pihaknya?” tuding Jiali.
“Tidak, Nona. Sampai mati pun Xiumei akan berada di sisi Nona.”
Jiali mendesah pasrah lalu duduk di samping Xiumei. “Masalahnya adalah dia yang akan memberiku kesulitan. Coba kamu pikir, ayah sangat yakin kalau semalam aku berniat mengacaukan acara pernikahan, seharusnya kaisar menghukum aku, bukannya malah meneruskan niatnya menjadikan aku sebagai istri dari pangeran kedua. Ini tidak masuk akal Xiumei!”
“Nona, sebaiknya kita menerima semua ini dengan lapang dada.”
“Menerima? Kamu meminta aku menerimanya setelah aku mendengar segalanya tentang dia?”
“Bagaimanapun, Pangeran Yuwen adalah jenderal perang terbaik yang dimiliki istana. Kelak, Nona akan mendapatkan gelar nyonya jenderal agung—“
"Berhenti membual!” potong Jiali yang tiba-tiba bangkit. “Ini semua karena Gu Yu Yong! Dia pasti tidak mengatakan pesanku dengan benar! Lihat saja nanti, aku akan memberinya pelajaran!”
“Nona.”
"Xiumei, ini bukan lagi tentang kehormatanku atau keluargaku. Pernikahan ini hanya akan memenjarakanku dalam permainan mereka.”
Jiali terdiam sejenak, lalu berdiri mendekati jendela yang menghadap ke taman belakang. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya.
Xiumei mendekati Jiali. “Bagaimanapun keadaannya, hamba akan tetap berada di sisi Nona.”
Jiali menoleh lantas tersenyum. “Ya, aku berharap selalu begitu. Pergilah, aku ingin tidur."
"Baik, Nona."
Pagi menjelang, dan persiapan upacara pernikahan mulai dilakukan. Kecantikan Jiali kian terpancar. Ia mengenakan gaun merah terbuat dari sutra berkualitas tinggi, dengan lapisan kain yang mengalir anggun hingga menyentuh lantai. Motif naga juga phoenix dilambangkan penuh kesempurnaan.
Kepalanya dihiasi mahkota Fengguan megah, berlapis emas dan permata, dengan hiasan lonceng kecil juga jumbai mutiara yang menjuntai di sekitar wajahnya. Rambutnya ditata dalam gaya sanggul tinggi, disertai sisir dan tusuk konde berhiaskan motif bunga atau burung phoenix.
Riasannya lembut. Pipi bersemu merah muda dan bibir merah cerah. Lambang kebahagiaan dan keberuntungan seolah terpatri di wajah Jiali.
Xiumei mundur beberapa langkah lalu memandangi Jiali. Dilihat dari sisi manapun, Jiali adalah pengantin wanita tercantik yang pernah dilihatnya.
Dunrui masuk, ia diam sejenak memandangi putrinya. “Apa semua sudah siap?” tanya Dunrui coba meredam rasa haru dalam dada.
Jiali mengangguk lemah. “Ya.”
“Jiali, ayah akan bertanya sekali lagi padamu. Apa mau menikah dengan Pangeran Kedua?”
“Ayah.”
Dunrui diam sejenak lantas kembali melanjutkan. “Ayah tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi bawalah pakaian secukupnya. Pergi ke Utara. Ada perahu yang akan membawamu dan Xiumei jauh ke seberang lautan. Ayah akan coba menahan pasukan istana. Pergilah Jiali.”
Jiali menyentuh lengan Dunrui, ia masih tidak yakin akan apa yang harus ia lakukan, tetapi di titik ini, melarikan diri bukanlah jalan terbaik. "Tenanglah Ayah. Aku akan mencari cara agar semuanya selesai dengan baik."
Musim semi sudah berganti tiga kali sejak peristiwa berdarah itu. Semua orang cuma melanjutkan hidup tanpa benar-benar seutuhnya melupakan rasa sakit.Burung-burung kecil terbang rendah di atas atap paviliun, dan aroma wangi teh melati menggantung di udara. Daun-daun plum berguguran perlahan, menyentuh pelataran berlumut yang basah oleh embun kemarin. Semburat jingga menyelimuti langit sore Hangzi. Jiali meletakkan kembali surat yang sudah ia baca berulang di atas meja. Pandangannya jauh menatap ke tengah taman.Tawa malaikat kecil yang ia pikir tidak akan bisa didengar, membuatnya tersenyum.“Ceng'er! Berhentilah bermain! Kemarilah!”Sepasang mata bulat bening, penuh rasa ingin tahu menatap Jiali. Bocah lelaki itu melambaikan tangan. Pipinya tampak kemerahan. Senyum lebar tidak pernah benar-benar lepas dari wajahnya.Qing Lianceng mengenakan jubah kecil berwarna hijau muda dengan motif awan yang dijahit rapi oleh tangan Xiumei sendiri. Kaki mungilnya berlari tanpa alas di pelataran
“AAAAAAAGHH!!”Yunqin menerjang lebih dulu. Pedangnya melayang dalam ayunan panjang, liar, berbahaya tidak terarah.Yuwen menangkis. Logam beradu logam, percikan api melesat. Suara benturan keras memantul di seluruh pelataran. Yuwen mundur setengah langkah.Belum sempat menyeimbangkan diri, Yunqin sudah menyerang lagi. Kali ini lebih cepat, lebih beringas. Tebasan menyilang ke dada, tikaman rendah, lalu ayunan tinggi ke arah kepala. Semuanya dilakukan tanpa jeda.Yuwen belum punya ruang untuk menyerang balik. Ia menangkis, bertahan, mundur.“KAU AKAN MATI!” raung Yunqin, matanya merah, wajahnya nyaris kehilangan bentuk manusia karena amarah.Yuwen kembali menangkis. Sial! Satu pukulan keras membuatnya hilang keseimbangan. Tumitnya terpeleset di genangan darah yang mengering di atas batu hingga tubuhnya terhempas ke tanah.Jiali menjerit, “Yuwen!!”Yuwen menoleh dan Yunqin tidak memberikan jeda untuk keduanya berinteraksi. Ia melompat maju, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, siap me
Langkah kaki Jiali berdentam cepat menyusuri lorong batu yang sepi. Napasnya memburu, keringat membasahi pelipis. Ia tidak berhenti. Ia yakin sudah berlari sejauh mungkin, tetapi ….“Jiali!! Berhenti!! Jangan lari dariku!!”Suara di belakangnya semakin jelas. Sekilas ia menoleh. Cukup untuk melihat sosok lelaki itu berlari menerobos lorong sempit dengan wajah penuh amarah.“Jiali! Berhenti!!”Jiali tidak akan berhenti. Sudut lorong bercabang di hadapannya. Tanpa ragu, Jiali memilih jalur ke kiri. Arah menuju gerbang utara.“Berlarilah Jiali, Yuwen ada di sana, dia di sana,” bisiknya berulang-ulang seperti mantra yang membuatnya tetap kuat.
“Kau akan melarikan diri di tengah perang yang akan menghancurkan rakyatmu?"Langkah Yunqin dan Jiali terhenti. Keduanya menatap wanita yang bersandar di pilar lorong. Dia yang balas menatap dengan tangan menggenggam pedang yang ujungnya berlumur darah.“Qilan,” cicit Jiali."Apa tidak pernah ada yang memanggilmu dengan sebutan bajingan menjijikkan?"Mei Qilan berjalan mendekat. Tiap langkahnya seperti gaung nyaring di lorong batu yang kosong. Darah masih menetes dari ujung pedangnya, menggurat lantai dengan warna merah.“Kau membakar istanamu sendiri hanya karena seorang wanita?” tanyanya menunjuk Jiali dengan sorot mata, “wanita yang tidak ingin bersamamu kau masih ingin menyeretnya dalam pelarianmu? Kau bodoh atau bagaiman
Di sisi utara, barisan utama pasukan Hangzi telah tiba dan bergabung bersama Yuwen. Kuda-kuda tempur meringkik liar. Feilong berdiri di garis depan, Yuwen duduk tegak di atas punggungnya. Yu Yong mendekat. “Yang Mulia, gerbang selatan berhasil didobrak pasukan Pangeran Zeming. Pasukan dari Menteri Xi serta Nona Qilan bergerak mengosongkan kota. Rakyat Anming akan dievakuasi.”“Bagus. Aku tidak akan bisa menahan amarah Zeming ketika dia melihat Yunqin, tetapi tidak boleh ada rakyat yang menjadi korban.”Kaisar Tao yang berada di barisan kedua akhirnya maju setelah mendengar ucapan Yuwen. Setengah hatinya malu karena ternyata pangeran mahkota bisa menyebabkan kekacauan ini, lalu setengahnya bangga karena anaknya yang lain masih memikirkan rakyat.“Wen’er, kau begitu memikirkan rakyat, kalau begitu, izinkan aku bicara pada penjaga gerbang. Aku masih hidup, kita tidak perlu membuang darah dari para prajurit setia Anming.”Yuwen terdiam lalu menatap ke arah puncak istana yang berdiri meg
Aroma bunga sedap malam memenuhi ruangan. Di atas meja giok, beberapa kotak ukiran emas dibuka satu per satu, menampilkan perhiasan baru yang didatangkan khusus dari negeri seberang. Gelang, kalung, bahkan sisir berhias zamrud. Semua itu dipamerkan dengan harapan menyenangkan satu orang, yaitu Han Jiali.Jiali menarik napas dalam-dalam. Kemewahan yang disodorkan di hadapannya membuat dadanya sesak menahan muak.Sang kaisar tampak duduk di sebelahnya, mengamati ekspresi Jiali, berharap ada sedikit senyum di sana.“Apakah hadiah ini tidak cukup menarik hatimu?” Yunqin menyentuh gelang emas dengan ukiran naga dan phoenix. Jiali tidak menjawab, tetapi kini ia menatap Yunqin. “Apa Yang Mulia sungguh mencintai hamba?”Yunqin bangkit dari duduk kemudian menghampiri Jiali. Diraihnya tangan Jiali hingga istrinya itu terpaksa berdiri. “Tentu saja. Aku akan memberikan semuanya untukmu. Aku akan membuatmu bahagia.”Jiali menarik tangannya dari genggaman Yunqin. “Bahagia? Yang Mulia ingin hamba