Beranda / Romansa / Kembalinya Sang Pangeran / Bab 07. Pernikahan Agung.

Share

Bab 07. Pernikahan Agung.

Penulis: Ine Time
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-10 19:17:53

Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama.

“Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan.

Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia.

Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka.

Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bagaimana wajah sang suami. Meski tidak terlihat jelas, Jiali tahu tidak ada kebahagiaan yang terpancar di sana. Jiali yakin, mereka hanya sekadar bagian dari sebuah formalitas besar, sebagai pion dalam permainan, tetapi mengapa terus dilanjutkan?

Mengapa Yuwen mau melanjutkannya? Mengapa?

“Melangkahlah, Nona,” bisik Xiumei mendorong punggung Jiali dengan lembut. Walau enggan, akhirnya Jiali memulai langkah pertamanya menyusuri karpet merah, mengikuti irama genderang yang menggema di sekitarnya.

Walau berat, tetapi langkahnya pasti membawa dirinya semakin dekat ke altar. Di setiap pijakan, bayangan masa depannya terasa semakin gelap. Entah masih boleh berharap akan ada keajaiban atau tidak, tetapi bila Jiali berada di sini, ia tahu akan ada masalah berat yang akan menanti keluarga Han kelak.

Setelah mencapai altar, kedua mempelai saling berhadapan.

“Pengantin, bersiaplah untuk memberikan penghormatan,” seru kepala prosesi, suaranya menggema di aula, memecah keheningan yang mendalam.

“Pertama, hormat kepada langit dan bumi!”

Jiali dan Qing Yuwen menundukkan badan bersama, kepala mereka mengarah ke lantai sebagai simbol penghormatan kepada dewa-dewa yang menjadi saksi pernikahan.

“Kedua, hormat kepada orang tua!”

Mereka kembali menunduk, kali ini menghadap barisan keluarga. Jiali bisa merasakan tatapan sendu ayahnya yang sesekali menyeka air mata. Pernikahan ini sungguh terjadi, dan ia hanya bisa berharap bahwa semua ini tidak akan berakhir terlalu buruk.

“Ketiga, hormat kepada pasangan masing-masing!”

Jantung Jiali berdebar keras. Ia menegakkan tubuhnya dengan perlahan menghadap Qing Yuwen yang berdiri kokoh di hadapannya. Mereka menundukkan kepala satu sama lain.

Mata Jiali sempat melirik melalui celah kecil tirai sutra di depan wajahnya, mencoba mencari petunjuk dari wajah sang mempelai pria. Namun, ia hanya menangkap kilatan dingin dari matanya yang tersembunyi di balik tirai mutiara.

Yakin tidak akan ada kehangatan, apalagi cinta yang mungkin akan terpancar dari pria ini.

“Pernikahan resmi dimulai!”

Sorakan dari tamu undangan menggema di aula. Musik meriah mulai mengalun, lentera merah bersinar lebih terang. Jiali masih tidak bisa merasakan kebahagiaan. Semua terasa asing dan jauh, seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.

***

Di sudut lain, sorak-sorai dari aula pernikahan membakar tubuh Yunqin. Perlahan ia pergi tanpa kehadirannya sempat disadari siapapun. Alunan musik memudar di belakangnya. Langkahnya terasa semakin berat dibakar amarah yang tak bisa dibendung.

Rasanya jarak yang tidak seberapa menuju shufang—ruang khusus miliknya sebagai pangeran mahkota di paviliun Timur istana. Begitu masuk, ia menghempaskan pintu hingga terbuka lebar, membuat suara kayunya berderak keras.

Dalam napas yang memburu, Yunqin menatap meja yang penuh dengan gulungan perkamen dan buku. Kemarahan yang ia tahan meledak. Gulungan perkamen bertebaran, sementara buku-buku jatuh dengan bunyi berat ketika ia menghempaskan semua benda di atas meja dan itu tidak cukup untuk meredakan amarahnya.

“Mengapa aku harus diam saja?” teriak Yunqin. Tangannya mengepal kuat, gemetar menahan kesakitan yang dalam.

Jeritan amarah Yunqin yang menggema di dalam shufang membuat pengawal yang berjaga di luar mempererat genggaman mereka, sampai-sampai pengawal tersebut tidak menyadari keberadaan Sun Li Wei yang kian mendekat. “Yang Mulia,” ucap pengawal memberikan hormat dengan khawatir.

Li Wei menoleh sedikit ke belakang. “Kalian tunggu di sini,” katanya kepada pelayan yang mengekor langkahnya.

Ia masuk dengan langkah hati-hati. Jubah sutra ungu yang ia kenakan tergerai anggun. Rambutnya tertata rapi. Li Wei mempersiapkan hari ini dengan baik.

Sudah banyak yang ia dengar tentang calon istri dari adik iparnya, tetapi Li Wei tidak menyangka kalau amarah Yunqin sebesar ini.

Sorot matanya tajam mengamati Yunqin yang kalut. Wajahnya menggambarkan kebingungan dan rasa sakit yang terpendam. Ya, bukankah dirinya adalah istri sah?

“Yang Mulia,” Sun Li Wei memanggil dengan suara lembutnya. Namun, suara itu jelas tidak terdengar di telinga Yunqin yang terbalut dalam amarah.

Yunqin diam, jangankan mau membalas panggilannya, ia saja malas menoleh. Namun, ketika Li Wei mendekat, akhirnya Yunqin berbalik. Matanya menyala dengan emosi yang tidak bisa disembunyikan.

“Pergilah,” ucapnya dengan suara serak, berusaha menahan dirinya agar tidak meluapkan lebih banyak amarah.

Li Wei meremas saputangan sutra yang digenggamnya. “Seharusnya kita masih berada di aula utama untuk memberkati pernikahan adik Yuwen.”

“Pergilah!” ulang Yunqin kali ini lebih berat, suaranya menggema di ruangan.

“Yang Mulia.” Li Wei mencoba bertahan, berusaha menenangkan hatinya.

Yunqin menatapnya tajam, hatinya gelisah. “Pergilah!” Yunqin membentak. Suaranya bergetar penuh kekuatan yang tak bisa diganggu gugat.

Li Wei masih berusaha untuk tenang. “Apa kau masih memikirkan Jiali? Mantan tunanganmu?”

Kalimat itu menusuk Yunqin. Rahangnya mengeras, dan tatapannya berubah suram. “Li Wei, jangan membahas ini. Kau tidak tahu apa-apa.” Suaranya rendah, penuh kebingungan yang terpendam.

“Hamba tahu,” balas Sun Li Wei, suaranya mulai gemetar. “Kau marah karena wanita itu menikah dengan adikmu. Apa artinya aku bagimu? Yang Mulia, sekarang aku adalah istrimu. Kita belum menyempurnakan upacara pernikahan di kamar pengantin. Yang Mulia berdiri di sini seperti pria yang kehilangan segalanya hanya karena seorang wanita dari masa lalumu—”

“Cukup!” Yunqin membentak keras, membuat Li Wei tersentak mundur. Keheningan menelan ruangan, hanya terdengar napas terputus-putus dari Sun Li Wei yang tampak terkejut dengan amarah Yunqin. Yunqin menyadari ucapan Li Wei memang benar adanya. Yunqin merapikan lengan bajunya, berbalik, dan berjalan ke pintu. “Aku tidak ingin membahas ini, Li Wei,” katanya dingin, tanpa menoleh.

Li Wei tidak mengejarnya. Ia hanya berdiri mematung, menatap punggung Yunqin yang semakin jauh. Begitu Yunqin menghilang di balik pintu, tangis yang ia tahan akhirnya pecah.

Ia menunduk, memungut salah satu buku yang tergeletak di lantai. Tangannya gemetar saat melihat nama “Han Jiali” tertulis di salah satu halaman bersama puisi indah yang Li Wei yakin ditulis oleh suaminya. Setiap kata dalam puisi itu jelas melukai hatinya lebih dalam.

Li Wei tertawa pelan lantas menyeka air matanya. Ia adalah seorang putri dari negara besar. Mengapa di sini statusnya lebih rendah dari putri seorang saudagar saja? Li Wei mengerti Yunqin memerlukan waktu untuk menerimanya, tetapi bagaimana dengan perasaannya sendiri? Bagaimana dengan dirinya yang kini hanya dianggap sebagai bayangan masa lalu yang tak terjamah oleh Yunqin?

Genggamannya pada buku semakin erat, seolah ingin menghancurkan kenangan yang ada di dalamnya. “Perjalanan menuju Hangzi sangat panjang. Segala hal bisa terjadi. Kecelakaan kereta, mungkin … bandit?” Senyum tipis terbit di bibirnya walau tidak ada kebahagiaan di sana. Hanya kekosongan yang mengisi hatinya.

Li Wei berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan kenangan yang tak bisa dihapuskan begitu saja. Langkahnya manta. Dalam dirinya, ia tahu bahwa keputusan yang akan diambil selanjutnya bisa mengubah segalanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 108. Malam Di Ujung Pedang

    Kamar pengantin malam itu tidak megah, tidak terbalut tirai merah, tidak ada lentera kertas berhiaskan doa panjang. Hanya ada meja bundar kecil di tengah ruangan. Sepasang pengantin telah duduk dalam debar jantung yang sama.Pintu terdengar diketuk, Jiali dan Yuwen menoleh. Perlahan pintu terbuka. Shu Qiongshing masuk lebih dulu, mengenakan pakaian berwarna hijau pucat. Di belakangnya, Hui Fen membawa baki, dan Xiumei berjalan paling belakang sambil menunduk malu-malu.“Maaf kalian menunggu lama,” ucap Qiongshing dengan senyum yang lembut.Jiali hendak berdiri, tetapi Qiongshing memberi isyarat untuk tetap duduk. “Kami hanya membawa tradisi kecil yang tidak boleh dilewatkan,” lanjut Qiongshing.Hui Fen meletakkan baki di meja. Di atasnya, dua cawan kecil dari tembikar porselen terukir awan dengan bunga plum saling bersisian. Arak dalamnya hangat, uapnya masih naik pelan. Di dalam baki juga terisi satu piring kecil berisi kurma serta buah kastanye sebagai lambang harapan akan keturuna

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 107. Pulang Bersama.

    Kereta-kereta kekaisaran berderet rapi. Kain penutupnya dihiasi lambang phoenix dan naga. Walau tanpa pengawalan ketat, semua yang melihat tahu kalau mereka adalah rombongan resmi istana.Han Dunrui berdiri di depan rumahnya. Ada kesedihan bercampur bahagia yang tidak bisa disembunyikan.Jiali mendekat, lalu berlutut perlahan di hadapan ayahnya. Tangan Dunrui langsung terangkat, berusaha menahan, tetapi tidak berhasil membuat Jiali bangkit dari penghormatan terdalam untuknya.“Ayah,” ucapnya pelan. “kali ini aku benar-benar akan pulang ke rumah suamiku.”Dunrui menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk dengan mata yang mulai basah. “Ya, pergilah, Putriku.”Jiali bangkit. Dunrui memeluknya pelan, lalu melepaskannya dengan satu helaan napas berat.“Aku pergi, Ayah,”Dunrui kembali mengangguk. “Ya, dan jangan pulang karena sedih lagi. Kalau kau pulang nanti, pulanglah karena rindu dan ditemani suamimu.”Jiali mengangguk. “Iya, Ayah.”Di belakang mereka, Lien Hua mendekat sambil menggande

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 106. Pengikatan Paling Utuh.

    “Sungguh? Dia menangis?”Xiumei mengangguk, tangannya masih menata rambut Jiali. “Iya. Tuan Gu Yu Yong sendiri yang mengatakannya. Yang Mulia berkata, 'kau kembali?’ lalu menangis.”Jiali tertawa kecil. “Aku tidak percaya semua ini terjadi.”Xiumei menyelipkan jepit emas lalu mundur selangkah. “Selesai, Nyonya.”“Aku gugup sekali, apa semua orang sudah datang?”Xiumei mengangguk. “Sudah, Nyonya, tetapi sepertinya Tuan Kasim Hong mewakili kehadiran kaisar.”“Ya, aku tahu. Yuwen bilang sebaiknya memang tidak datang karena khawatir ada hal yang akan terjadi di pihak lawan.”Xiumei duduk di lantai, menaruh kedua tangannya di dengkul Jiali. “Nyonya, apa kita bisa menunda sebentar saja upacara pernikahan ini? Kita bisa membongkar kereta pengangkut di toko. Aku rasa ada pakaian pengantin yang bagus.”Jiali menggeleng. “Tidak Xiumei. Kali ini tidak ada hiasan apapun kecuali restu dan cinta dari Yuwen. Itu yang paling penting.”Xiumei bangkit berdiri, lalu dengan hati-hati membantu Jiali bangu

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 105. Dermaga Menjadi Saksi Bisu.

    “Jiali!!” Suara itu mengguncang malam, memecah langit di atas dermaga yang sunyi. “Jiali! Han Jiali!” Suara itu datang lagi. Liar. Patah. Panik. Mengalahkan suara langkah kuda yang menghentak tanah seperti detak jantung. Yuwen memacu Feilong secepat angin, jubahnya mengepak, suaranya memekikkan satu nama yang tak pernah diizinkan keluar selama ini. “Jiali! Han Jiali!!” Di atas kapal, Jiali yang sedari tadi duduk diam di geladak mendongak pelan. Matanya mengerjap, ia mendengar sesuatu yang membuat helaan napasnya terputus, tetapi tubuhnya masih diam. “Jiali!!” Jiali berdiri. Sayup suara itu terdengar kembali, tetapi ia tidak berani berharap, tidak mau menoleh. “Jiali!” Suara itu terus memanggil. Suara yang dulu ditunggu, kini datang ketika ia sudah tidak menemukan kata untuk kembali. Xiumei, yang duduk tak jauh dari Jiali, menoleh tajam. “Nyonya, apa Nyonya mendengar itu?” “Jiali!!” Xiumei bangkit setelah yakin mendengar samar jeritan itu. “Jiali!!!!” “Bukankah itu suara

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 104. Tanpa Pamit, Tanpa Siapa-siapa.

    Jiali membuka satu per satu peti yang datang dari istana. Tangannya tak gemetar, tetapi jelas matanya tidak setegar tangannya. Xiumei berdiri tepat di sampingnya. Cemas karena kiriman dari istana ini sebagai satu tanda terakhir kalau memang tidak akan ada jalan untuk kembali. Jiali membuka kotak terakhir, tetapi tangannya tidak langsung menyentuh benda di dalamnya. Xiumei meremat tangannya sendiri. Meski tidak dikeluarkan, Xiumei tahu benda itu adalah jubah pemberian Yuwen. Benda yang paling disayangi Jiali. Hadiah pertama dari Yuwen. “Xiumei,” ucapnya pelan. “Ya, Nyonya?” “Tolong, buang kotak ini.” Xiumei coba untuk memahami, tetapi ia tidak tahan untuk bertanya, “Nyonya, apakah ini—” “Xiumei, walau sulit untuk tidak mengingatnya lagi, tapi aku ingin membuang benda yang akan mengingatkan aku padanya,” potong Jiali. Xiumei membungkuk, mengangkat kotak itu. “Baik, Nyonya.” “Buang sekarang karena sebentar lagi kita akan pergi.” “Baik, Nyonya.” Setelah Xiumei pe

  • Kembalinya Sang Pangeran   Bab 103. Di Ambang Pergi, Di Ujung Sesal.

    Bangunan yang selama dua dekade menjadi wajah keluarga Han terlihat megah dari luar, tetapi kini di dalamnya ... tidak ada satu pun yang tersisa.Han Dunrui berdiri di ambang pintu, menatap ruangan besar yang kini kosong. Rak-rak yang dulu penuh gulungan kain mahal, sekarang tinggal bayangannya di lantai. Lampu gantung di tengah ruangan tak lagi menyala. Suasananya lebih hening dari pemakaman.Dunrui mengembuskan napas panjang. Ia melangkah keluar. Seorang pelayan menutup dua pintu besar lalu Dunrui memutar kunci besi yang sudah mulai berkarat di pinggirannya. Suara kunci itu bergema di pagi yang masih sunyi, mengiris seperti retak pelan di dalam dadanya.“Turunkan papan namanya,” ucapnya pelan.Dua pelayan yang menunggu di sisi kanan langsung mengangguk, lalu membawa tangga bambu dan alat lainnya. Satu per satu, sekrup dilepas, paku ditarik. Papan besar bertuliskan Toko Han Seribu Kain tampak mulai bergoyang.Dunrui mendongak. Sorot matanya menahan banyak hal. Meski nantinya di temp

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status