Tabuhan genderang menggema di aula utama. Nyala lentera yang digantung di tiap pilar kayu berukir naga, memenuhi istana. Hamparan karpet merah menjulur dari altar besar hingga ke pintu gerbang aula sebagai perlambang jalan keberuntungan bagi pasangan yang akan memulai hidup baru bersama.
“Ini hanya formalitas,” bisik Jiali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergejolak serta membujuk dirinya agar tidak terpukau oleh semua kemegahan, kemeriahan pesta pernikahan. Di ujung karpet, Qing Yuwen berdiri tegak dengan jubah pengantin pria berwarna merah marun. Hiasan tirai mutiara menggantung di mahkotanya menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya wajah, bahkan seluruh tubuhnya terasa tertutup, seolah ia menyembunyikan dirinya dari dunia. Jiali menatapnya dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian. Seperti sebuah bayangan, Qing Yuwen hadir tanpa bisa digenggam oleh Jiali. Matanya tidak bisa menembus tirai mutiara yang membatasi mereka. Jiali memicingkan mata, mencoba melihat bagaimana wajah sang suami. Meski tidak terlihat jelas, Jiali tahu tidak ada kebahagiaan yang terpancar di sana. Jiali yakin, mereka hanya sekadar bagian dari sebuah formalitas besar, sebagai pion dalam permainan, tetapi mengapa terus dilanjutkan? Mengapa Yuwen mau melanjutkannya? Mengapa? “Melangkahlah, Nona,” bisik Xiumei mendorong punggung Jiali dengan lembut. Walau enggan, akhirnya Jiali memulai langkah pertamanya menyusuri karpet merah, mengikuti irama genderang yang menggema di sekitarnya. Walau berat, tetapi langkahnya pasti membawa dirinya semakin dekat ke altar. Di setiap pijakan, bayangan masa depannya terasa semakin gelap. Entah masih boleh berharap akan ada keajaiban atau tidak, tetapi bila Jiali berada di sini, ia tahu akan ada masalah berat yang akan menanti keluarga Han kelak. Setelah mencapai altar, kedua mempelai saling berhadapan. “Pengantin, bersiaplah untuk memberikan penghormatan,” seru kepala prosesi, suaranya menggema di aula, memecah keheningan yang mendalam. “Pertama, hormat kepada langit dan bumi!” Jiali dan Qing Yuwen menundukkan badan bersama, kepala mereka mengarah ke lantai sebagai simbol penghormatan kepada dewa-dewa yang menjadi saksi pernikahan. “Kedua, hormat kepada orang tua!” Mereka kembali menunduk, kali ini menghadap barisan keluarga. Jiali bisa merasakan tatapan sendu ayahnya yang sesekali menyeka air mata. Pernikahan ini sungguh terjadi, dan ia hanya bisa berharap bahwa semua ini tidak akan berakhir terlalu buruk. “Ketiga, hormat kepada pasangan masing-masing!” Jantung Jiali berdebar keras. Ia menegakkan tubuhnya dengan perlahan menghadap Qing Yuwen yang berdiri kokoh di hadapannya. Mereka menundukkan kepala satu sama lain. Mata Jiali sempat melirik melalui celah kecil tirai sutra di depan wajahnya, mencoba mencari petunjuk dari wajah sang mempelai pria. Namun, ia hanya menangkap kilatan dingin dari matanya yang tersembunyi di balik tirai mutiara. Yakin tidak akan ada kehangatan, apalagi cinta yang mungkin akan terpancar dari pria ini. “Pernikahan resmi dimulai!” Sorakan dari tamu undangan menggema di aula. Musik meriah mulai mengalun, lentera merah bersinar lebih terang. Jiali masih tidak bisa merasakan kebahagiaan. Semua terasa asing dan jauh, seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. *** Di sudut lain, sorak-sorai dari aula pernikahan membakar tubuh Yunqin. Perlahan ia pergi tanpa kehadirannya sempat disadari siapapun. Alunan musik memudar di belakangnya. Langkahnya terasa semakin berat dibakar amarah yang tak bisa dibendung. Rasanya jarak yang tidak seberapa menuju shufang—ruang khusus miliknya sebagai pangeran mahkota di paviliun Timur istana. Begitu masuk, ia menghempaskan pintu hingga terbuka lebar, membuat suara kayunya berderak keras. Dalam napas yang memburu, Yunqin menatap meja yang penuh dengan gulungan perkamen dan buku. Kemarahan yang ia tahan meledak. Gulungan perkamen bertebaran, sementara buku-buku jatuh dengan bunyi berat ketika ia menghempaskan semua benda di atas meja dan itu tidak cukup untuk meredakan amarahnya. “Mengapa aku harus diam saja?” teriak Yunqin. Tangannya mengepal kuat, gemetar menahan kesakitan yang dalam. Jeritan amarah Yunqin yang menggema di dalam shufang membuat pengawal yang berjaga di luar mempererat genggaman mereka, sampai-sampai pengawal tersebut tidak menyadari keberadaan Sun Li Wei yang kian mendekat. “Yang Mulia,” ucap pengawal memberikan hormat dengan khawatir. Li Wei menoleh sedikit ke belakang. “Kalian tunggu di sini,” katanya kepada pelayan yang mengekor langkahnya. Ia masuk dengan langkah hati-hati. Jubah sutra ungu yang ia kenakan tergerai anggun. Rambutnya tertata rapi. Li Wei mempersiapkan hari ini dengan baik. Sudah banyak yang ia dengar tentang calon istri dari adik iparnya, tetapi Li Wei tidak menyangka kalau amarah Yunqin sebesar ini. Sorot matanya tajam mengamati Yunqin yang kalut. Wajahnya menggambarkan kebingungan dan rasa sakit yang terpendam. Ya, bukankah dirinya adalah istri sah? “Yang Mulia,” Sun Li Wei memanggil dengan suara lembutnya. Namun, suara itu jelas tidak terdengar di telinga Yunqin yang terbalut dalam amarah. Yunqin diam, jangankan mau membalas panggilannya, ia saja malas menoleh. Namun, ketika Li Wei mendekat, akhirnya Yunqin berbalik. Matanya menyala dengan emosi yang tidak bisa disembunyikan. “Pergilah,” ucapnya dengan suara serak, berusaha menahan dirinya agar tidak meluapkan lebih banyak amarah. Li Wei meremas saputangan sutra yang digenggamnya. “Seharusnya kita masih berada di aula utama untuk memberkati pernikahan adik Yuwen.” “Pergilah!” ulang Yunqin kali ini lebih berat, suaranya menggema di ruangan. “Yang Mulia.” Li Wei mencoba bertahan, berusaha menenangkan hatinya. Yunqin menatapnya tajam, hatinya gelisah. “Pergilah!” Yunqin membentak. Suaranya bergetar penuh kekuatan yang tak bisa diganggu gugat. Li Wei masih berusaha untuk tenang. “Apa kau masih memikirkan Jiali? Mantan tunanganmu?” Kalimat itu menusuk Yunqin. Rahangnya mengeras, dan tatapannya berubah suram. “Li Wei, jangan membahas ini. Kau tidak tahu apa-apa.” Suaranya rendah, penuh kebingungan yang terpendam. “Hamba tahu,” balas Sun Li Wei, suaranya mulai gemetar. “Kau marah karena wanita itu menikah dengan adikmu. Apa artinya aku bagimu? Yang Mulia, sekarang aku adalah istrimu. Kita belum menyempurnakan upacara pernikahan di kamar pengantin. Yang Mulia berdiri di sini seperti pria yang kehilangan segalanya hanya karena seorang wanita dari masa lalumu—” “Cukup!” Yunqin membentak keras, membuat Li Wei tersentak mundur. Keheningan menelan ruangan, hanya terdengar napas terputus-putus dari Sun Li Wei yang tampak terkejut dengan amarah Yunqin. Yunqin menyadari ucapan Li Wei memang benar adanya. Yunqin merapikan lengan bajunya, berbalik, dan berjalan ke pintu. “Aku tidak ingin membahas ini, Li Wei,” katanya dingin, tanpa menoleh. Li Wei tidak mengejarnya. Ia hanya berdiri mematung, menatap punggung Yunqin yang semakin jauh. Begitu Yunqin menghilang di balik pintu, tangis yang ia tahan akhirnya pecah. Ia menunduk, memungut salah satu buku yang tergeletak di lantai. Tangannya gemetar saat melihat nama “Han Jiali” tertulis di salah satu halaman bersama puisi indah yang Li Wei yakin ditulis oleh suaminya. Setiap kata dalam puisi itu jelas melukai hatinya lebih dalam. Li Wei tertawa pelan lantas menyeka air matanya. Ia adalah seorang putri dari negara besar. Mengapa di sini statusnya lebih rendah dari putri seorang saudagar saja? Li Wei mengerti Yunqin memerlukan waktu untuk menerimanya, tetapi bagaimana dengan perasaannya sendiri? Bagaimana dengan dirinya yang kini hanya dianggap sebagai bayangan masa lalu yang tak terjamah oleh Yunqin? Genggamannya pada buku semakin erat, seolah ingin menghancurkan kenangan yang ada di dalamnya. “Perjalanan menuju Hangzi sangat panjang. Segala hal bisa terjadi. Kecelakaan kereta, mungkin … bandit?” Senyum tipis terbit di bibirnya walau tidak ada kebahagiaan di sana. Hanya kekosongan yang mengisi hatinya. Li Wei berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan kenangan yang tak bisa dihapuskan begitu saja. Langkahnya manta. Dalam dirinya, ia tahu bahwa keputusan yang akan diambil selanjutnya bisa mengubah segalanya.“Bagaimana perhiasan baru yang aku kirimkan pagi ini?”Suara itu tenang. Lembut. Memanjakan, tetapi tidak menyenangkan bagi Jiali.Pantas bila Jiali enggan menanggapi. Ia memilih untuk menatap meja kamarnya yang kini dipenuhi kotak-kotak perhiasan berukir emas, permata merah delima, liontin terbuat dari giok langka. Perhiasan istimewa untuk permaisuri yang dianggap hinaan untuk tawanan. Yunqin sudah masuk sepenuhnya. “Tidak menyukainya?” tanyanya lagi mendekati Jiali yang duduk di sisi ranjang.“Hamba tidak bisa memakainya,” jawab Jiali pelan, “hamba rasa tidak perlu memakai itu semua … untuk berdiam diri di kamar.”Yunqin tertawa kecil. “Apa kau bosan? Aku akan menemanimu berjalan-jalan ke taman istana.”“Tidak perlu.”“Aku mengirimkan semua ini agar kau tahu betapa berharganya dirimu kini. Tidak ada wanita di negeri ini yang bisa menandingimu, Jiali.”Jiali tidak menjawab. Semua kata yang keluar dari bibir Yunqin … menjijikkan.Yunqin memandangi wajah Jiali. “Kau mau kita pergi k
“Aku … tidak bisa diam,” desis Yuwen menoleh ke arah Xiumei. “Sekarang … dia benar-benar sendirian! Tanpaku, tanpa ayahnya, tanpa Xiumei!”“Yang Mulia, harap redakan amarah Yang Mulia,” mohon Menteri Xi membungkuk.Yuwen menarik kerah zirah sang menteri. “Kalau satu helai rambut Jiali jatuh atau tubuhnya disentuh Yunqin,” gumamnya, “akan kubakar seluruh istana.”“Kalau itu terjadi, aku akan membantumu menyiapkan obor.”Yuwen menoleh lalu melepaskan cengkeramannya pada Menteri Xi. Qilan mendekat, jubahnya tampak basah. Senyumnya mengembang sempurna ketika ia melangkah di antara keduanya.“Kalau kau mati sekarang, anakmu tidak akan memiliki ayah. Sia-sia sudah pengorbanan Jiali. Yuwen-ge, saat ini kau tidak punya apa-apa.”Yuwen ingin bicara, tetapi Qilan mendekatinya. Qilan menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, tidak terlewat satu senti pun.“Terluka. Dibuang istana. Tidak memiliki gelar. Tidak memiliki tentara atau …. senjata.” Qilan menunjuk kaki Yuwen. “Bahkan kau tidak punya k
Ruangan pengap itu kini menjadi ruang penuh kepanikan serta putus asa. Qiongshing mendekap erat Yuwen, sementara Dunrui juga para pelayan menutup hidung dan mulut dengan kain seadanya.“Kita akan … mati terpanggang di sini,” lirih salah satu pelayan.“Tidak! Pasti ada jalan!” seru Dunrui berusaha menenangkan hatinya sendiri. Yuwen mengurai dekapan Qiongshing. Meski lututnya gemetar, ia coba bangkit. Pandangannya menatap ke tiap-tiap orang lalu berjalan menuju pintu.“Aku … belum mencoba,” ucapnya pelan di sela batuk. “Yunqin … tidak bisa membunuhku.”Jalan keluar sudah di depan mata. Yuwen yakin bisa mendobrak pintu itu. Yuwen menyiapkan kuda-kuda lalu tiba-tiba ….Pintu kayu kapal terhantam dari luar.Serentak semua orang menoleh.Hantaman kedua menyusul. Api mulai menjalar ke atap, serpihan bara beterbangan. Yuwen mundur beberapa langkahLalu … hantaman terakhir Pintu itu terbuka!Asap menguar keluar. Yuwen menyipitkan mata. Dari celah kabut hitam itu muncullah dua siluet. Yuwen
“Tolong! Ada asap! Buka pintunya!” jerit salah salah satu pelayan pria yang segera maju menendang pintu.Asap semakin tebal. Yuwen mundur beberapa langkah. Ia hanya bisa menatap para pelayan pria yang coba mendobrak pintu.Qiongshing cepat mendekati Yuwen, ia coba menopang tubuh putranya yang tampak mulai lemas karena napasnya makin pendek.“Tuan Han! Yang Mulia!” seru seorang pelayan lain, “kami tidak bisa mendobraknya!”Han Dunrui ikut mendorong. “Buka!! Siapapun di luar sana! Buka pintunya!!!”Tidak ada jawaban.Asap telah membanjiri ruangan. Cahaya obor berkedip, nyaris tidak terlihat. Semua orang mulai terbatuk-batuk , lebih keras. Mereka mulai berebut udara bersih yang nyaris sirna.Qiongshing menutupi hidung Yuwen dengan lengan bajunya, berusaha kuat tidak peduli keselamatannya sendiri.“Kita harus keluar!” teriak pelayan wanita panik.Yuwen menggertakkan gigi. Matanya menatap ke seliling yang dipenuhi asap. “Jendela? Cari jendela atau kayu yang bisa dibongkar! Kita harus menge
Gaun pengantin yang tadi dikenakannya kini tergantung diam di balik tirai. Angin malam membuat kainnya berkibar pelan, menciptakan ilusi seolah pakaian itu bernapas. Jiali berdiri di depan cermin besar yang menyudut ke arah jendela. Cahaya bulan memantul di permukaan kaca, menyoroti siluet perempuan yang kini tidak memiliki apa-apa. Ia menggigit bibir bawahnya. Napas tercekat. Matanya memanas, tetapi Jiali tidak menangis. Tidak boleh. Ketukan lembut di pintu, disusul suara pelayan terdengar, “Yang Mulia Kaisar hendak masuk.” Jiali merapikan kerah jubah tipis yang ia kenakan lalu menoleh ke arah pintu. “Silakan masuk.” Pintu terbuka. Yunqin melangkah masuk tanpa tergesa. Ia mengenakan jubah malam berwarna gelap, rambut panjangnya disisir rapi. “Kau belum tidur?” tanyanya berusaha menyembunyikan kecewa karena ia belum bisa menikmati malam pengantin bersama. Jiali menunduk sedikit. “Belum, Yang Mulia.” “Aku harap malam ini tidak terasa berat. Semua orang memujimu hari ini. Perma
Meski langkah kakinya terantuk-terantuk di lorong batu yang licin. Ujung gaunnya basah, napasnya memburu, dan kedua tangannya tidak henti meremas erat sisi tubuhnya. Xiumei tidak akan berhenti. Di depan ruang tahanan, dua penjaga menatapnya. “Ampun ... tolong ... izinkan hamba masuk,” mohonnya setengah terisak. Kedua penjaga saling berpandangan. Salah satunya mengangguk lalu membuka pintu. Angin lembap dari dalam menyeruak. "Terima kasih, Tuan." Xiumei melangkah masuk. Suasana lengang menyambutnya. Ia mengedarkan pandangan pada ruangan yang telah kosong. “Mereka semua sudah dibawa keluar,” ungkap salah satu penjaga yang membuat Xiumei kembali menoleh. “Tidak!” Xiumei melangkah makin dalam. Ia menyusuri lorong-lorong yang masih menyimpan bau obat serta darah, sampai akhirnya berhenti tepat di depan sel tempat Yuwen biasa ditahan. Tangan kecilnya menggenggam jeruji yang dingin. Masih ada noda darah yang tertinggal di lantai, tetapi tubuh itu … tidak lagi di sana. Mereka su