Yuwen menatap para prajurit yang berlatih di aula. Semuanya harus disiapkan lebih serius. Hari-hari yang berlalu sejak kepulangan rombongan kekaisaran terasa makin menegangkan.Rumor tentang rencana gila Yunqin bisa terwujud bila didukung penuh oleh Wei Junsu. Ini berbahaya.“Yang Mulia.”Yuwen melirik Yu Yong yang datang kemudian memberi hormat padanya. “Katakan. Bagaimana kondisi di perbatasan?”“Sudah beberapa petang, tidak ada yang mencurigakan. Perompak yang beberapa waktu lalu terlihat mendekati perbatasan kembali ke pegunungan.”Yuwen diam sesaat. “Meski begitu, kita tidak boleh lengah. Terlebih Hangzi belum memiliki bupati baru.”“Yang Mulia, apa sebaiknya kita menambah penjagaan di sekitar karesidenan khususnya paviliun nyonya?”Kali ini Yuwen memberikan perhatian penuh pada Yu Yong dengan berbalik menatapnya. “Apa yang menjadi pertimbanganmu Yu Yong? Katakanlah.”“Beberapa waktu belakangan, kita tidak selalu bersama dengan Nyonya. Urusan pemerintahan masih berada di bawah ta
“Tidak ingin berurusan dengan istana? Hah! Apa dia lupa kalau dia adalah anak dari kaisar!” Jiali mengusap lehernya. Ia masih ingat dingin pedang yang Yuwen tempelkan di sana. “apa aku gila karena lupa kalau dia sangat menyebalkan?” gerutu Jiali sembari mondar-mandir.Xiumei menarik lengan Jiali, membimbingnya duduk lantas menuangkan air untuk majikan tersayangnya. “Tenang, Nyonya. Yang Mulia tidak begitu.”Cepat Jiali menusuk Xiumei dengan tatapannya. “Terus saja kau bela dia! Kau buta? Kau sendiri lihat apa yang sudah dia lakukan padaku!“Nyonya, tentu saja semua akan tersinggung bila menyebut ibu mereka begitu.”“Ya, aku tahu aku salah, tapi dia yang keterlaluan!”“Nyonya, bagi Yang Mulia, Nyonya adalah wanita satu-satunya, paling berharga, paling istimewa.”Mendengar Xiumei begitu menegaskan kata “paling” di setiap ucapannya, Jiali malah curiga. “Apa yang dia janjikan sampai kau terus membelanya?”Xiumei menggeleng. “Nyonya, meski Yang Mulia pernah mempunyai empat selir, tetapi h
Yu Yong diam mengamati Yuwen yang sudah seminggu ini memiliki aktivitas baru, yaitu duduk diam sembari menatap jepit rambut logam. Yu Yong yakin pemilik jepit rambut logam itu tak lain adalah Han Jiali. Ekspresi aneh dari wajah Yuwen membuat Yu Yong penasaran.“Yang Mulia.” Yuwen mengangkat sedikit tatapannya. “Aula berlatih sudah siap. Apa kita bisa memulai pelatihan untuk para dayang?”Yuwen menyelipkan jepit rambut logam ke dalam kantung di balik pakaiannya lalu bangkit. “Lakukan apa yang ingin kau lakukan,” ucapnya yang kemudian pergi setelah menepuk pundak Yu Yong.Kaki Yuwen melangkah menuju gazebo yang berada tepat di depan paviliun Jiali. Langkahnya terhenti tepat di tengah jembatan yang melengkung. Yuwen menarik napas dalam-dalam lalu menatap puluhan bunga teratai yang merekah di bawah jembatan.Seharusnya Yuwen tidak terusik oleh ucapan Jiali. Cinta yang Jiali sebutkan memang tidak pernah Yuwen pikirkan. Baginya cinta adalah sebuah malapetaka. Penyebab kekacauan pada keluarg
Apa yang Jiali pikirkan?Apa yang sedang direncanakan Jiali?Tujuan Yuwen bukan hanya untuk menemukan Jiali, tetapi untuk menjawab dua pertanyaan besar itu. Yuwen yakin kalau Jiali adalah seorang wanita yang masih belum bisa dipercaya seutuhnya.Atau ….Mungkin Yuwen yang keliru? Setelah banyak yang dilalui dan perbincangan langsung dengan Han Dunrui, Yuwen tahu kalau ayah mertuanya jelas tidak berambisi atau belum berambisi.Kekuasaan jelas adalah satu hal yang lebih manis dari madu.Yuwen memacu kudanya lebih cepat. Angin menusuk wajahnya, tetapi kegelisahan jauh lebih tajam menghajarnya. Ia tidak peduli para pengawal kewalahan mengejar. Ia tidak peduli jalanan berbatu bisa membuat kudanya tergelincir. YangKereta kuda terlihat di ujung jalan. Dalam kepala Yuwen mulai menyusun kata-kata yang ingin ia lontarkan pada Jiali. Yuwen bergerak ke sisi kanan. Ia menarik tali kekang, melesat lebih dekat ke sisi kereta, hingga kudanya sejajar dengan kepala kuda-kuda penarik.Suara ringkikan
Udara malam di kaki gunung Fuxie menusuk tulang. Kabut tipis mulai turun, membungkus pepohonan yang menjulang rapat di sekeliling. Bulan telah berada di posisi puncak.Di antara aroma dedaunan basah dan tanah lembap, Yuwen duduk tegap di atas kudanya, pandangannya tajam menyapu jalan setapak yang nyaris tak terlihat. Matanya lebih jeli dari seekor serigala yang mengintai mangsa.Cahaya obor dari para penjaga lain menari-nari di dalam keremangan malam. Belum ada satu pun yang memberi kabar seolah Jiali lenyap ditelan bumi.Angin berembus pelan, membawa denging samar dari serangga malam bercampur suara dedaunan bergesekan. Sejak sore, Yuwen telah menelusuri jalur ini bahkan jalur lain yang tak lazim dilewati siapa pun kecuali para pencari kayu atau penyelundup barang kecil.Lagi-lagi Yuwen menatap langit yang sudah kehilangan rona birunya. Sudah lewat tengah malam. Belum ada kabar sama sekali.Tubuhnya tetap diam, tetapi rahangnya mengeras. Dada Yuwen turut merasa sesak ketika dua perta
“Lepaskan!” jerit Jiali ketika tubuhnya diseret ke luar. Tentu saja mereka tidak mendengar. Lelaki bertangan kasar itu semakin tergesa membawanya melewati lorong sempit yang semakin lama semakin lembab dan gelap.Gemerincing rantai di pergelangan tangan Jiali menyatu dengan desir langkah mereka. Ketika mereka sampai di sebuah tangga batu, salah seorang pria yang bertubuh paling kekar menendang pintu kayu yang membatu di atasnya.Cahaya bulan menyambut Jiali. Itu bukan rumah biasa. Bangunan itu seperti reruntuhan benteng tua di tepian pelabuhan. Debur ombak terdengar jelas di kejauhan, bersama suara ringkik kuda dan aba-aba lelaki bertubuh besar. Di kejauhan, kapal besar berjaga, tampak siap berlayar.“Cepat! Nakhoda bilang kita angkat sauh sebelum fajar,” seru salah satu pria.Jiali digiring mendekati kapal. Sebuah papan kayu telah diturunkan dari geladak. Beberapa gadis lain sudah meringkuk di dalam kerangkeng kecil di dermaga, seperti hewan dagangan.“Aku harus berpikir cepat,” de
Asap tipis masih menggantung di udara ketika Yuwen melangkah turun dari kuda. Matanya menatap tajam ke arah dermaga yang berantakan. Geladak kapal utama terbakar sebagian, tali tambat terputus, dan papan lambungnya miring ke arah air. Ada jejak kekacauan, jejak darah, tetapi tidak ada tubuh. Tidak ada siapa pun. Yuwen menepis asap dengan tangannya lantas menyusuri geladak. Satu persatu memeriksa sisa-sisa yang tertinggal. Sebuah kain sobek terjepit di sela papan mendapat perhatiannya. Ia mengangkatnya pelan. Potongan kecil dari lengan baju khas pelayan karesidenan. Biru pucat, dengan benang keperakan di ujungnya. Ya, Yuwen tidak mungkin keliru. Pelipis Yuwen mengencang. Di kejauhan, matahari mulai terbit, sinarnya menyentuh permukaan air. Yu Yong mendekat cepat. “Ada kapal kecil yang terlihat meninggalkan perairan ini sebelum fajar. Arah perjalanannya ke selatan, menuju Zijian. Beberapa warga bilang kapal itu membawa kargo dan penumpang.” Yuwen masih menatap kain di tangannya.
“Aku tidak pernah menerima kekecewaan dari pelanggan. Kau mengerti?” Pertanyaan yang jelas sebuah ancaman membuyarkan lamunan Jiali. Ia melirik Madam Fei. Wajah wanita itu penuh bedak dan rambut disanggul rapi.“Jangan diam saja. Kalau kau bisa memuaskan orang ini, mungkin kau tak perlu menjual seluruh tubuhmu malam ini. Dia berniat membelimu dariku, tapi aku ingin tahu apa kau bisa memberikan lebih dari ini,” lanjutnya.Madam Fei membuka pintu dengan satu hentakan, mendorong Jiali masuk lantas pergi meninggalkan Jiali sendirian.Kamar itu kecil, pengap. Cat dinding kayunya mengelupas, memamerkan serat kasar dan bercak lembab di beberapa sudut. Aroma anyir dan manis menyengat. Kesatuan aneh antara dupa murahan dan sisa tubuh manusia yang pernah berkegiatan di dalamnya.Ranjang yang ditutupi kain merah marun kusam berdiri di tengah ruangan. Di atasnya tergeletak bantal tipis yang warnanya sudah berubah, dan sebuah selimut ringan yang tampak tak pernah dicuci. Tirai renda tergantung di
“Nyonya ingin mandi dulu atau langsung beristirahat?” tanya Xiumei berjalan pelan ke sisi Jiali.Jiali tak menjawab. Ia duduk di kursi rias. Matanya kosong menatap ke depan.Xiumei melepaskan jepit-jepit di rambut Jiali, bertanya lagi, “Kudapan malam, Nyonya? Dapur menyiapkan sup kacang merah.”Masih tak ada suara.Xiumei menggigit bibir. Berpikir apakah Jiali masih syok karena tadi ikut melihat proses persalinan. Ia beringsut, mencoba menawarkan lagi, “Kalau begitu, hamba ambilkan teh hangat—”“Pergilah, Xiumei.” Suaranya pelan, tetapi cukup untuk membuat Xiumei membeku. Xiumei memberi hormat. “Baik, Nyonya.”Langkahnya perlahan menjauh, pintu ditutup tanpa suara.Jiali masih diam di tempat. Menatap ke arah cermin di hadapannya. Namun, refleksi yang tampak bukan pantulan bayang dirinya.Yang dilihatnya adalah wajah Zili. Mata lelaki itu basah oleh rasa takut kehilangan, mencengkeram kedua tangan Qing An seolah dunia runtuh bila istrinya pergi.Hati Jiali bertanya. Apakah Yuwen akan
Qiongshing tiba kamar Kaisar, tapi di ambang pintu langkahnya tertahan karena matanya menangkap sosok lain selain sang Kaisar.Permaisuri Wei Junsu tengah duduk anggun di sisi tempat tidur, menatap tabib yang sedang meracik ramuan di mangkuk porselen. Kaisar sendiri bersandar lemah di bantal, wajahnya pucat, dahi sedikit basah oleh peluh.Qiongshing berdiri diam. Belum sempat ia mengucapkan salam atau pertanyaan apapun, suara serak Kaisar memecah keheningan.“Aku tidak apa-apa,” ucapnya pelan, seolah memahami apa yang terlintas di benak Qiongshing. “hanya sedikit pusing.”Qiongshing menunduk sopan, tetapi matanya tak lepas dari Permaisuri Junsu. Ia segera memalingkan wajah dan hendak mundur keluar ruangan, tak ingin terlihat lancang atau menyela kebersamaan pasangan utama istana.Namun, sebelum ia bisa berbalik sepenuhnya, suara Junsu terdengar, tenang, tetapi penuh selidik.“Kedatanganmu pasti membawa kabar penting, bukan begitu, Qiongshing?” ucapnya dengan senyum tipis. “terlebih, k
"Nyonya, tadi pagi Tuan Gu Yu Yong datang,” ungkap Xiumei hati-hati sembari menyisir pelan rambut Jiali. Xiumei terdiam menunggu Jiali berkomentar lalu meletakkan sisir giok di meja. “Nyonya, katanya ... Yang Mulia Kaisar memerintahkan Yang Mulia kembali ke istana untuk persiapan pernikahan,” lanjut Xiumei ragu.Tetap tidak ada reaksi dari Jiali.Xiumei menelan ludah, lalu melanjutkan, “Tuan Gu juga bilang, kalau Nyona tak ingin ikut ... itu tidak apa. Yang Mulia tidak memaksa.”Diam. Hening yang menggantung seolah membuat waktu terhenti.Xiumei mulai panik dalam hati. Ia takut Jiali akan meledak, meneriaki, memecahkan cermin, atau kembali menghilang seperti sebelumnya. Namun, Jiali hanya menoleh perlahan, menatap Xiumei dalam-dalam.“Bersiaplah,” ucapnya mantap. “Aku akan ikut tinggal di istana. Aku akan menemui ayah untuk berpamitan.”Xiumei menegang. Tangannya refleks meremas sisi jubahnya sendiri. Entah mengapa Xiumei berharap Nyonya-nya itu berteriak, menangis, membalikkan meja
Langit belum sepenuhnya gelap ketika Yuwen kembali ke kediaman keluarga Han. Jejak langkahnya terlihat cepat, seolah berharap dirinya sampai sebelum semuanya terlambat.Begitu melewati lorong panjang menuju kamar Jiali, pandangannya langsung tertarik pada sosok di kejauhan. Istrinya tampak duduk sendiri di dalam gajebo yang terletak di tengah taman kecil, dikelilingi semak dan pohon-pohon muda yang sedang merekah. Bahunya merunduk, dan dari tempatnya berdiri, Yuwen bisa melihat betapa kosongnya sorot mata Jiali. Ia tidak pernah melihat Jiali seperti itu sebelumnya. Yuwen hendak kembali melangkah, tetapi lengannya ditarik oleh seseorang. Yuwen menoleh.“Jangan dekati dia dulu,” ujar Dunrui.Ayah mertuanya berdiri di sisinya, pandangannya lurus ke arah gajebo. Di belakangnya, Xiumei berdiri menunduk, membawa baki berisi mangkuk kecil dan semangkuk bubur hangat yang mulai kehilangan uap.“Dia baru kembali tadi sore. Tak bilang apa-apa soal ke mana perginya,” lanjut Dunrui pelan, sepert
“Yang Mulia, kamar sudah disiapkan. Yang Mulia sudah bisa beristirahat,” ujar Yu Yong yang muncul dari arah selatan kediaman Keluarga Han.Yuwen tidak menjawab, hanya mengangkat dagu ke arah kursi kosong di depannya. “Duduklah. Temani aku minum.”Tanpa banyak tanya, Yu Yong duduk. Yuwen mengambil cawan kosong dan menuangkannya penuh, lalu dengan tenang mengisi cawan miliknya yang nyaris kering.“Katanya malam ini, aku tidak memiliki Istri,” lanjut Yuwen sambil menatap permukaan arak.“Yang Mulia, hamba dengar dari Xiumei, Nyonya menyukai—”“Sebaiknya kau tidak menikah,” potong Yuwen memutar cawan di jemari lantas meneguk isinya hingga tak bersisa.“Mohon ampun Yang Mulia, tapi hba rasa sepertinya lebih baik Yang Mulia mulai membujuk nyonya,” sarannya.Yuwen memiringkan kepala, menatap Yu Yong dengan mata setengah menyipit lalu tertawa pelan. “Aku? Membujuknya?”Yu Yong terdiam. Belakangan ini, Yu Yong lega karena sepertinya Yuwen mulai membuka diri. Meskipun Yuwen masih mencurigai Jia
Semua orang waspada ketika sosok berpakaian hitam melompat turun dari plafon lalu mendarat tanpa suara di depan mereka. Wajahnya tersembunyi di balik topeng kain hitam yang hanya menyisakan sorot matanya saja.Yu Yong langsung melangkah maju. Pedangnya dicabut ketika lelaki bertopeng itu mengangkat tangan lantas melepas penutup wajahnya.Topeng hitam itu jatuh ke lantai. Semua terdiam.Jiali membeku seolah seluruh dunia berhenti berputar.“Yuwen?” bisiknya nyaris tak terdengar.Mata mereka bertemu. Tak ada senyum dan tentu saja akan ada yang menuntut penjelasan pada akhirnya. Yuwen menyapu pandangannya ke seluruh ruangan sebelum berhenti pada Qilan sementara Qilan maju mendekat lantas tersenyum. “Baiklah, aku rasa semua sudah lengkap. Jadi, mari ikut aku.”Mei Qilan berbalik pergi meninggalkan keheningan canggung. Tak seorang pun bergerak, hingga akhirnya Yuwen mendahului langkah, menyusulnya tanpa berkata sepatah kata pun.Jiali menatap punggung suaminya yang menjauh, dadanya sesak
“Untuk apa dia menyimpan belati itu? Apa bagusnya? Menyebalkan!”Xiumei yang sedang menyisir rambut tuannya, menahan senyum gugup. “Penarinya ... memang memukau, Nyonya. Mungkin Yang Mulia ingin menghargai sebuah karya seni dengan menyimpan satu kenang-kenangan.”Jiali mendengus. “Menghargai karya seni? Kenang-kenangan? Seharusnya dia memuji musikus, bukan menerima pemberian dari wanita bercadar yang menari ingin menggoda dia!”Xiumei mengatupkan mulut, sadar jawaban itu bukan untuk dibantah.“Kita mungkin akan tinggal lebih lama di ibu kota,” ucap Yuwen yang masuk tiba-tiba ke kamar Jiali lalu melepas jubah luar dan memberikannya pada Yu Yong yang mengekor di belakangnya. “ada beberapa hal yang ingin aku cari tahu,” sambungnya.“Apa? Tentang penari itu?”Yuwen tak langsung menjawab. Ia menatap Jiali lalu berjalan mendekat kemudian duduk di sisi tempat duduknya. “Aku belum sempat mengatakan apa-apa, tapi kau merasa ada yang aneh darinya juga, kan?”Jiali menyilangkan tangan di dada, m
“Kalian gagal dan masih berani ingin bertemu aku?”Di hadapannya, seorang perempuan berdiri santai. Rambut panjangnya dikepang rapi, dengan beberapa helai tergerai menggoda. Balutan pakaian hitam pas badan menonjolkan sisi menggoda yang ia milik. Parasnya terbilang secantik para bidadari dengan tatapan tajam juga tegas. Dikenal sebagai wanita yang bergerak seperti angin dan lihai memainkan pedang. Dialah Mei Qilan. “Aku sudah memperingatkanmu, Putri Sun,” ucapnya, “targetmu bukan wanita biasa. Dia adalah istri dari jenderal perang, pangeran kedua kerajaan ini. Kau pikir seseorang seperti itu akan mudah dijatuhkan?”Li Wei mengepalkan tangan, nadinya tampak berdenyut marah. “Aku membayarmu untuk menyelesaikan masalahku!”Qilan tersenyum tipis. “Kau membayar untuk keahlian kami, bukan untuk keajaiban. Kami bukan dewa.”Li Wei hendak membentak lagi, tetapi Qilan mengangkat satu jari. Gerakannya tenang, penuh peringatan.“Satu hal yang perlu kau pahami, Putri,” lanjutnya. “kami bukan or
Langit mulai dibalut warna jingga. Cahaya senja memantul di permukaan air. Berkilau indah seperti sutra emas.Jiali melemparkan kerikil ke danau, menimbulkan riak kecil yang perlahan menghilang.“Sudah puas mengerjaiku seharian penuh?”Jiali terkekeh. “Hari ini menyenangkan sekali,” jawabnya. “Kau suka?”Jiali mengangguk-angguk sambil menguap lebar, matanya berair. “Ya, kita harus melakukannya lagi nanti,” jawabnya lagi.Yuwen tersenyum kecil lalu mengusap kepala Jiali dengan lembut. “Ayo pulang. Kau sudah mengantuk.”Jiali menyandarkan kepala di bahu Yuwen lalu memejamkan mata. “Tunggu sebentar lagi,” bisiknya, suaranya mengantuk. “Aku suka ketenangan seperti ini. Berdua saja denganmu.”Mata Yuwen cepat menangkap kilat di ujung danau. Suara desau anak panah melesat cepat. Beruntung Yuwen sigap menarik Jiali kepelukan lantas berguling ke sebelah kiri.Kantuk Jiali lenyap ketika ia melihat anak panah menancap di tanah tempatnya tadi duduk.Yuwen bangkit, memicingkan mata. Meski dari j