“Nyonya ingin mandi dulu atau langsung beristirahat?” tanya Xiumei berjalan pelan ke sisi Jiali.Jiali tak menjawab. Ia duduk di kursi rias. Matanya kosong menatap ke depan.Xiumei melepaskan jepit-jepit di rambut Jiali, bertanya lagi, “Kudapan malam, Nyonya? Dapur menyiapkan sup kacang merah.”Masih tak ada suara.Xiumei menggigit bibir. Berpikir apakah Jiali masih syok karena tadi ikut melihat proses persalinan. Ia beringsut, mencoba menawarkan lagi, “Kalau begitu, hamba ambilkan teh hangat—”“Pergilah, Xiumei.” Suaranya pelan, tetapi cukup untuk membuat Xiumei membeku. Xiumei memberi hormat. “Baik, Nyonya.”Langkahnya perlahan menjauh, pintu ditutup tanpa suara.Jiali masih diam di tempat. Menatap ke arah cermin di hadapannya. Namun, refleksi yang tampak bukan pantulan bayang dirinya.Yang dilihatnya adalah wajah Zili. Mata lelaki itu basah oleh rasa takut kehilangan, mencengkeram kedua tangan Qing An seolah dunia runtuh bila istrinya pergi.Hati Jiali bertanya. Apakah Yuwen akan
“Sungguh? Aku menyebutnya begitu?” Xiumei mengangguk, “Apa … dia marah?”Kali ini Xiumei tidak berkomentar bahkan tidak memberikan reaksi apa-apa. Jiali mendesah, terdiam sesaat lalu melipat lengan di atas dada.“Ah, sudahlah, dia memang bedebah sialan. Seharusnya dia minta maaf padaku atau setidaknya menjelaskan tentang alasannya dia tidak mau membatalkan pernikahannya dengan Qilan. Xiumei, apa kau sudah mencari tahu siapa Mei Qilan?”Xiumei mengangguk kecil. Tangannya bergerak ke sisi pinggang, menarik selembar catatan kecil yang terselip rapi di balik ikat kainnya. Ia membukanya perlahan dan mulai membaca dengan suara pelan, tetapi jelas."Mei Qilan. Putri dari Klan Meiyang. Klan tua yang dulu dikenal sebagai pelindung utara kekaisaran. Dia adalah perempuan pertama yang diizinkan mengikuti pelatihan militer penuh di keluarga itu, tapi juga yang pertama diusir."Jiali mengangkat dagunya sedikit. "Kenapa?""Karena dia membentuk kelompok sendiri tanpa izin. Pasukan yang tidak tunduk p
Perkemahan telah kosong. Sisa asap tipis dari arang membumbung malas—naik ke langit fajar. Qing Yuwen berdiri diam, tatapannya terkunci pada tenda-tenda kosong. Ia tidak bergerak, tidak berbicara. Hanya berdiri di tengah keheningan yang lebih menusuk daripada ribuan teriakan perang. Di tiap detik yang berlalu menggores harga dirinya.Gu Yu Yong bergerak gelisah. Prajurit yang biasanya selalu tenang, kini seperti terperangkap di antara tugasnya yang harus menjelaskan situasi atau berusaha memadamkan amarah yang sedang memuncak dari tuannya. Ia coba membaca air wajah Yuwen, berharap mendapat petunjuk sekecil apapun tentang apa yang harus diucapkan.“Yang Mulia ….” Yu Yong akhirnya memecah keheningan, suaranya serak, penuh keragu-raguan. “Mungkin ini sebuah—”“Pengkhianatan. Jebakan yang sudah dipersiapkan untukku,” potong Yuwen, suaranya rendah, tetapi tajam, seperti pedang yang baru diasah. “Tidak ada dugaan lain.”Yu Yong terdiam. Tidak ada tanggapan yang bisa ia berikan karena tahu
"Kukira kau akan tetap bersembunyi di bawah bayang-bayang tugas, Adikku," ucap Yunqin dengan nada penuh sindiran. Yuwen menoleh dan tatapannya disambut senyum Yunqin. "Kehadiranmu di sini membuatku berpikir, apa rencana selanjutnya yang sudah ibuku untuk kita karena aku tahu kau tidak akan diberi tempat memainkan peran penting di istana ini." Yuwen tidak langsung menjawab. Ia menatap Yunqin sejenak, membaca bahasa tubuh kakaknya. "Meski begitu, sepertinya ayah kita berencana memberikan aku peran lagi. Kakak tenang saja, kali ini aku akan bermain dengan cara lebih menyenangkan," jawab Yuwen dingin. Yunqin tertawa kecil, tetapi matanya tidak menunjukkan tanda-tanda kegembiraan. "Bagus. Kalau begitu, kau hanya perlu melakukan apa yang diperintahkan kekaisaran." "Apa Kakak yakin kekaisaran ingin memerintahkan ke mana leherku bergerak?” Mata Yuwen turun memperhatikan pakaian megah pernikahan Yunqin. “Dari pakaianmu, aku rasa rencanamu tidak sesuai dengan perintah kekaisaran. Selamat
Mendengar namanya dipanggil, Yuwen menghampiri dengan penasaran. Ia menurunkan ujung pedang penjaga dengan telunjuknya lantas menatap wanita yang berada di hadapan penjaga.Penjaga tampak terkejut lantas membuka diri, membiarkan Yuwen maju. Wanita itu terkejut, mundur selangkah, mata lekat menatap Yuwen."Katakan, untuk apa seorang pelayan sepertimu mencari Pangeran Kedua?" ulangnya.Jiali terdiam sesaat, warna merah menyebar di wajahnya yang tersembunyi dibalik cadar. "P-pelayan? Aku?" Jiali mundur, seolah kata-kata itu adalah cambuk yang menyentuh kulitnya. "Kamu memanggilku pelayan?"Cepat Jiali menganalisa penampilan lawan bicaranya. Sepatunya hitam tinggi sampai betis dengan sol tebal dan plakat besi di bagian depan. Pakaiannya tampak mahal. Jiali tahu kualitas kain yang dikenakannya sangat tinggi. Motif naga terukir di lengan. Ornamen di tengah ikat kepalanya bukan besi biasa, melainkan lempengan dengan ukiran burung Phoenix di bagian depan.Wajahnya simetris, dengan rahang tega
Yuwen menyesal karena tidak langsung meninggalkan istana. Seharusnya ia pergi saja bersama Jiali melalui pintu rahasia lalu mencari penginapan. Di ujung Koridor yang diterangi lentera merah menyala, Yunqin berdiam, tampak memang sedang menunggu Yuwen. Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Pakaian pernikahan merah Yunqin memantulkan cahaya lentera, memperlihatkan sulaman naga emas yang berkilau seperti api. Sosoknya terlihat sempurna dalam balutan gaun itu, tetapi wajahnya yang tegang dan mata yang menyala marah menunjukkan kesan berbanding terbalik.."Di mana Jiali?” Pertanyaan Yunqin bisa langsung ditebak Yuwen. Tentu saja Yunqin melihatnya bersama Jiali..“Dia akan menjadi istriku. Tidak ada salahnya kami saling mengenal.”Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Yunqin. Yunqin sadar tidak ada kekeliruan dalam kalimat yang diucapkan Yuwen. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!”Yuwen menatapnya.. "Yang Mulia, kembalilah ke aula utama. Semua tamu sedang menunggumu. Kau tidak s
"Angkat tanganmu! Lebih tinggi lagi!"Suara keras Dunrui memecah keheningan aula keluarga Han. Padahal pria tua itu terkenal akan pribadinya yang tenang dan bijaksana. Namun, apa yang terjadi kemarin telah mengubah air tenang menjadi badai.Xiumei, pelayan setia yang tak pernah meninggalkan sisi Jiali, tersungkur berlutut, menangis tersedu-sedu. Tangan mungilnya menggenggam ujung gaun sutra Han Dunrui dengan putus asa."Hamba mohon, Tuan! Jangan hukum Nona seperti ini. Semalaman Nona sudah berlutut tanpa makan ataupun minum. Nona hanya—""Tutup mulutmu, Xiumei!" bentak Dunrui, matanya menyala penuh amarah. Tubuhnya gemetaran karena ledakan emosi. "Dia tidak akan lolos begitu saja! Aku sudah bertanya baik-baik padanya, apakah dia mau hadir di upacara pernikahan, tapi apa? Dia malah mengacaukannya!” sentaknya dengan telunjuk teracung-acung ke udara.Jiali menunduk lebih dalam. Lututnya kebas karena terlalu lama berlutut. Bagaimanapun, Ia tidak berniat begitu, tetapi saat ini ayahnya tid
“Nona, kereta sudah datang,” ucap Xiumei dengan langkah tergesa masuk ke kamar Jiali. Namun, tatapan muram tuannya itu segera membungkam senyum kecil Xiumei. Tanpa banyak berkata, Xiumei mendekati Jiali, membantu gadis itu berdiri.Jiali diam, membiarkan jubah indah disampirkan pada bahunya. Sebuah kipas bulat turut disodorkan kepadanya. Tanpa ekspresi, Jiali menerima kipas itu, lantas menggunakannya untuk menutupi sebagian wajah.“Mari, Nona.”Langkah pertama keluar dari kamar begitu berat. Saat kakinya menyentuh lantai luar, Jiali berhenti, menoleh ke belakang. Pandangannya tampak sayu, hatinya ikut bertanya, Apa ini takdirku? Beginikah akhirnya hidupku?“Nona?”Panggilan Xiumei memecah lamunan. Jiali menarik napas panjang, memaksa dirinya mengangguk pelan lantas melangkah keluar rumah menuju gerbang kediaman keluarga Han. Tepat sebelum menaiki kereta pengantin, ia kembali menoleh ke belakang.Kenangan masa kecil, suara tawa di lorong-lorong rumah, dan kehangatan keluarganya berkele
“Sungguh? Aku menyebutnya begitu?” Xiumei mengangguk, “Apa … dia marah?”Kali ini Xiumei tidak berkomentar bahkan tidak memberikan reaksi apa-apa. Jiali mendesah, terdiam sesaat lalu melipat lengan di atas dada.“Ah, sudahlah, dia memang bedebah sialan. Seharusnya dia minta maaf padaku atau setidaknya menjelaskan tentang alasannya dia tidak mau membatalkan pernikahannya dengan Qilan. Xiumei, apa kau sudah mencari tahu siapa Mei Qilan?”Xiumei mengangguk kecil. Tangannya bergerak ke sisi pinggang, menarik selembar catatan kecil yang terselip rapi di balik ikat kainnya. Ia membukanya perlahan dan mulai membaca dengan suara pelan, tetapi jelas."Mei Qilan. Putri dari Klan Meiyang. Klan tua yang dulu dikenal sebagai pelindung utara kekaisaran. Dia adalah perempuan pertama yang diizinkan mengikuti pelatihan militer penuh di keluarga itu, tapi juga yang pertama diusir."Jiali mengangkat dagunya sedikit. "Kenapa?""Karena dia membentuk kelompok sendiri tanpa izin. Pasukan yang tidak tunduk p
“Nyonya ingin mandi dulu atau langsung beristirahat?” tanya Xiumei berjalan pelan ke sisi Jiali.Jiali tak menjawab. Ia duduk di kursi rias. Matanya kosong menatap ke depan.Xiumei melepaskan jepit-jepit di rambut Jiali, bertanya lagi, “Kudapan malam, Nyonya? Dapur menyiapkan sup kacang merah.”Masih tak ada suara.Xiumei menggigit bibir. Berpikir apakah Jiali masih syok karena tadi ikut melihat proses persalinan. Ia beringsut, mencoba menawarkan lagi, “Kalau begitu, hamba ambilkan teh hangat—”“Pergilah, Xiumei.” Suaranya pelan, tetapi cukup untuk membuat Xiumei membeku. Xiumei memberi hormat. “Baik, Nyonya.”Langkahnya perlahan menjauh, pintu ditutup tanpa suara.Jiali masih diam di tempat. Menatap ke arah cermin di hadapannya. Namun, refleksi yang tampak bukan pantulan bayang dirinya.Yang dilihatnya adalah wajah Zili. Mata lelaki itu basah oleh rasa takut kehilangan, mencengkeram kedua tangan Qing An seolah dunia runtuh bila istrinya pergi.Hati Jiali bertanya. Apakah Yuwen akan
Qiongshing tiba kamar Kaisar, tapi di ambang pintu langkahnya tertahan karena matanya menangkap sosok lain selain sang Kaisar.Permaisuri Wei Junsu tengah duduk anggun di sisi tempat tidur, menatap tabib yang sedang meracik ramuan di mangkuk porselen. Kaisar sendiri bersandar lemah di bantal, wajahnya pucat, dahi sedikit basah oleh peluh.Qiongshing berdiri diam. Belum sempat ia mengucapkan salam atau pertanyaan apapun, suara serak Kaisar memecah keheningan.“Aku tidak apa-apa,” ucapnya pelan, seolah memahami apa yang terlintas di benak Qiongshing. “hanya sedikit pusing.”Qiongshing menunduk sopan, tetapi matanya tak lepas dari Permaisuri Junsu. Ia segera memalingkan wajah dan hendak mundur keluar ruangan, tak ingin terlihat lancang atau menyela kebersamaan pasangan utama istana.Namun, sebelum ia bisa berbalik sepenuhnya, suara Junsu terdengar, tenang, tetapi penuh selidik.“Kedatanganmu pasti membawa kabar penting, bukan begitu, Qiongshing?” ucapnya dengan senyum tipis. “terlebih, k
"Nyonya, tadi pagi Tuan Gu Yu Yong datang,” ungkap Xiumei hati-hati sembari menyisir pelan rambut Jiali. Xiumei terdiam menunggu Jiali berkomentar lalu meletakkan sisir giok di meja. “Nyonya, katanya ... Yang Mulia Kaisar memerintahkan Yang Mulia kembali ke istana untuk persiapan pernikahan,” lanjut Xiumei ragu.Tetap tidak ada reaksi dari Jiali.Xiumei menelan ludah, lalu melanjutkan, “Tuan Gu juga bilang, kalau Nyona tak ingin ikut ... itu tidak apa. Yang Mulia tidak memaksa.”Diam. Hening yang menggantung seolah membuat waktu terhenti.Xiumei mulai panik dalam hati. Ia takut Jiali akan meledak, meneriaki, memecahkan cermin, atau kembali menghilang seperti sebelumnya. Namun, Jiali hanya menoleh perlahan, menatap Xiumei dalam-dalam.“Bersiaplah,” ucapnya mantap. “Aku akan ikut tinggal di istana. Aku akan menemui ayah untuk berpamitan.”Xiumei menegang. Tangannya refleks meremas sisi jubahnya sendiri. Entah mengapa Xiumei berharap Nyonya-nya itu berteriak, menangis, membalikkan meja
Langit belum sepenuhnya gelap ketika Yuwen kembali ke kediaman keluarga Han. Jejak langkahnya terlihat cepat, seolah berharap dirinya sampai sebelum semuanya terlambat.Begitu melewati lorong panjang menuju kamar Jiali, pandangannya langsung tertarik pada sosok di kejauhan. Istrinya tampak duduk sendiri di dalam gajebo yang terletak di tengah taman kecil, dikelilingi semak dan pohon-pohon muda yang sedang merekah. Bahunya merunduk, dan dari tempatnya berdiri, Yuwen bisa melihat betapa kosongnya sorot mata Jiali. Ia tidak pernah melihat Jiali seperti itu sebelumnya. Yuwen hendak kembali melangkah, tetapi lengannya ditarik oleh seseorang. Yuwen menoleh.“Jangan dekati dia dulu,” ujar Dunrui.Ayah mertuanya berdiri di sisinya, pandangannya lurus ke arah gajebo. Di belakangnya, Xiumei berdiri menunduk, membawa baki berisi mangkuk kecil dan semangkuk bubur hangat yang mulai kehilangan uap.“Dia baru kembali tadi sore. Tak bilang apa-apa soal ke mana perginya,” lanjut Dunrui pelan, sepert
“Yang Mulia, kamar sudah disiapkan. Yang Mulia sudah bisa beristirahat,” ujar Yu Yong yang muncul dari arah selatan kediaman Keluarga Han.Yuwen tidak menjawab, hanya mengangkat dagu ke arah kursi kosong di depannya. “Duduklah. Temani aku minum.”Tanpa banyak tanya, Yu Yong duduk. Yuwen mengambil cawan kosong dan menuangkannya penuh, lalu dengan tenang mengisi cawan miliknya yang nyaris kering.“Katanya malam ini, aku tidak memiliki Istri,” lanjut Yuwen sambil menatap permukaan arak.“Yang Mulia, hamba dengar dari Xiumei, Nyonya menyukai—”“Sebaiknya kau tidak menikah,” potong Yuwen memutar cawan di jemari lantas meneguk isinya hingga tak bersisa.“Mohon ampun Yang Mulia, tapi hba rasa sepertinya lebih baik Yang Mulia mulai membujuk nyonya,” sarannya.Yuwen memiringkan kepala, menatap Yu Yong dengan mata setengah menyipit lalu tertawa pelan. “Aku? Membujuknya?”Yu Yong terdiam. Belakangan ini, Yu Yong lega karena sepertinya Yuwen mulai membuka diri. Meskipun Yuwen masih mencurigai Jia
Semua orang waspada ketika sosok berpakaian hitam melompat turun dari plafon lalu mendarat tanpa suara di depan mereka. Wajahnya tersembunyi di balik topeng kain hitam yang hanya menyisakan sorot matanya saja.Yu Yong langsung melangkah maju. Pedangnya dicabut ketika lelaki bertopeng itu mengangkat tangan lantas melepas penutup wajahnya.Topeng hitam itu jatuh ke lantai. Semua terdiam.Jiali membeku seolah seluruh dunia berhenti berputar.“Yuwen?” bisiknya nyaris tak terdengar.Mata mereka bertemu. Tak ada senyum dan tentu saja akan ada yang menuntut penjelasan pada akhirnya. Yuwen menyapu pandangannya ke seluruh ruangan sebelum berhenti pada Qilan sementara Qilan maju mendekat lantas tersenyum. “Baiklah, aku rasa semua sudah lengkap. Jadi, mari ikut aku.”Mei Qilan berbalik pergi meninggalkan keheningan canggung. Tak seorang pun bergerak, hingga akhirnya Yuwen mendahului langkah, menyusulnya tanpa berkata sepatah kata pun.Jiali menatap punggung suaminya yang menjauh, dadanya sesak
“Untuk apa dia menyimpan belati itu? Apa bagusnya? Menyebalkan!”Xiumei yang sedang menyisir rambut tuannya, menahan senyum gugup. “Penarinya ... memang memukau, Nyonya. Mungkin Yang Mulia ingin menghargai sebuah karya seni dengan menyimpan satu kenang-kenangan.”Jiali mendengus. “Menghargai karya seni? Kenang-kenangan? Seharusnya dia memuji musikus, bukan menerima pemberian dari wanita bercadar yang menari ingin menggoda dia!”Xiumei mengatupkan mulut, sadar jawaban itu bukan untuk dibantah.“Kita mungkin akan tinggal lebih lama di ibu kota,” ucap Yuwen yang masuk tiba-tiba ke kamar Jiali lalu melepas jubah luar dan memberikannya pada Yu Yong yang mengekor di belakangnya. “ada beberapa hal yang ingin aku cari tahu,” sambungnya.“Apa? Tentang penari itu?”Yuwen tak langsung menjawab. Ia menatap Jiali lalu berjalan mendekat kemudian duduk di sisi tempat duduknya. “Aku belum sempat mengatakan apa-apa, tapi kau merasa ada yang aneh darinya juga, kan?”Jiali menyilangkan tangan di dada, m
“Kalian gagal dan masih berani ingin bertemu aku?”Di hadapannya, seorang perempuan berdiri santai. Rambut panjangnya dikepang rapi, dengan beberapa helai tergerai menggoda. Balutan pakaian hitam pas badan menonjolkan sisi menggoda yang ia milik. Parasnya terbilang secantik para bidadari dengan tatapan tajam juga tegas. Dikenal sebagai wanita yang bergerak seperti angin dan lihai memainkan pedang. Dialah Mei Qilan. “Aku sudah memperingatkanmu, Putri Sun,” ucapnya, “targetmu bukan wanita biasa. Dia adalah istri dari jenderal perang, pangeran kedua kerajaan ini. Kau pikir seseorang seperti itu akan mudah dijatuhkan?”Li Wei mengepalkan tangan, nadinya tampak berdenyut marah. “Aku membayarmu untuk menyelesaikan masalahku!”Qilan tersenyum tipis. “Kau membayar untuk keahlian kami, bukan untuk keajaiban. Kami bukan dewa.”Li Wei hendak membentak lagi, tetapi Qilan mengangkat satu jari. Gerakannya tenang, penuh peringatan.“Satu hal yang perlu kau pahami, Putri,” lanjutnya. “kami bukan or