 LOGIN
LOGIN“Pencuri?” Ghazam mengernyitkan dahinya.
Namun, belum sempat Ghazam memahami semua itu lebih dalam, segerombolan orang itu sudah lebih dulu menyergap dirinya.
“T–tunggu,” kata Ghazam segera, berusaha menahan orang-orang itu, meskipun gagal.
“Alah, gak usah banyak bicara! Dasar orang miskin!”
“Udah miskin, bau busuk, suka nyolong pula! Mati aja!”
BUGH!!
PLAK!!
Tinjuan dan tamparan mendarat bertubi-tubi di wajah dan tubuh Ghazam.
Ghazam bahkan tak sempat menjelaskan apa pun. Dalam hitungan detik, dirinya sudah terdesak, dipukul, ditendang, dihujani umpatan dan makian dari orang-orang yang bahkan tak tahu siapa dia sebenarnya.
“Dasar maling! Sok suci padahal teman copet!”
“Kalau lapar, kerja! Bukan mencuri!”
Ghazam sempat menghindar, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Tanpa persiapan, ia terkapar di pinggir jalan berbatu dekat pemakaman.
Tubuhnya berdebu, bau amis sebelumnya semakin membuncah bertambah bau darah karena luka di mana-mana. Kaos hitamnya sobek, pun dengan celana bahannya.
Darah menetes dari sudut bibir. Pandangannya buram, tapi sorot matanya tetap dingin, bukan karena takut, tapi karena belum paham satu hal.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Wanita pemilik tas itu mendekat dengan langkah congkak. Napasnya tersengal, dada naik turun di balik kemeja ketat, penuh emosi.
“Bagus. Hajar terus pencuri ini!” kata wanita itu puas. “Biar tahu rasa!”
Wanita itu berdiri di dekat tubuh Ghazam yang tergeletak dan menunduk. “Mana tasku?! Kembalikan sekarang juga sebelum polisi datang!”
Ghazam mengerjap pelan, lalu menggeleng, masih bingung. “Tas…? Aku bahkan tidak tahu maksudmu…”
“Jangan pura-pura bodoh!” bentak wanita itu. “Kau pasti temannya pencuri itu! Mereka tadi lari ke arah ini dan itu pasti untuk mendatangimu, kan?!”
Ghazam hanya diam. Nafasnya berat. Ia tak punya tenaga untuk menjelaskan dan juga tak punya alasan untuk memaksa orang percaya.
Area pemakaman ini, meskipun pemakaman mewah, tetapi memang tempatnya berada agak jauh dari keramaian. Jadi, tidak heran jika mungkin ada pencuri yang akan melarikan diri ke arah ini.
Cindy, wanita itu, berdiri tegak dan melambai ke kerumunan. “Sudah, kalian pergi saja. Biar aku yang urus. Polisi juga sebentar lagi datang.”
Kerumunan mulai bubar satu per satu, masih melemparkan tatapan sinis dan jijik ke arah Ghazam yang terkapar.
Wanita itu menatap Ghazam sekali lagi, menunduk, lalu mendesis penuh penghinaan. “Kalau masih tidak mau mengaku sekarang, ya sudah mengaku saja di depan polisi.”
Lalu wanita itu berdiri dengan tangan bersilang, menunggu polisi datang, sementara Ghazam masih di bawah, menatap langit siang yang terasa makin sempit.
**
Ruangan pengap dengan bau kertas tua dan kopi basi. Suara ketikan dan dering telepon bersahut-sahutan. Namun, yang paling mencolok adalah suara Cindy yang masih terus mengomel tanpa henti.
“Saya gak peduli siapa dia! Pokoknya dia bagian dari pencurinya!” seru Cindy sambil menunjuk Ghazam yang duduk di kursi besi panjang, bajunya lusuh dan makin kumal, ujung bibirnya berdarah, bahkan wajahnya telah penuh lebam.
Dua polisi tampak mencatat laporan seadanya, sesekali mengangguk tanpa ekspresi. Salah satunya, hanya memakai kaos berlogo kepolisian dengan perut buncit, menoleh ke arah Ghazam dan mendengus.
“Mana kartu identitasmu?” tanya polisi itu malas.
Ghazam mengangkat wajahnya perlahan. Ia baru menyadari, tadi ia keluar dari kediaman Galenka tanpa membawa apapun selain apa yang menempel di tubuhnya dan ponsel di sakunya.
“Dompetku tertinggal di rumah,” jawab Ghazam apa adanya.
“Hah! Alasan klasik!” sahut polisi lainnya sambil tertawa remeh.
“Jadi, di mana kau sembunyikan tas Nona ini?” tanya polisi sebelumnya dengan angkuh.
“Aku tidak mengambilnya,” jawab Ghazam tenang yang lebih terasa seperti pasrah, sembari menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
“Lalu, kenapa kau ada di pemakaman itu? Jangan katakan kau baru saja memberi penghormatan untuk kerabatmu karena dari tampangmu, rasanya tak mungkin,” kata polisi yang tadi sedang mencatat, lalu meletakkan pulpennya dan menatap Ghazam dengan remeh.
“Aku memang baru mengunjungi kakekku,” sahut Ghazam santai, karena memang itu kenyataannya.
“Alah, alasan! Sudah, tahan saja dia, Pak!” potong Cindy langsung.
Namun, belum sempat dua polisi itu atau Ghazam bereaksi, seorang pemuda tiba-tiba masuk.
“Permisi, saya menemukan tas ini di gang samping pertokoan jalan timur,” kata pemuda itu sambil menunjukkan tas berwarna coklat dengan logo LV.
Melihat tas yang dibawa pemuda itu, Cindy langsung terbelalak. Itu tas miliknya!
Dan satu lagi, pertokoan di jalan timur itu jauh dari area pemakaman yang ada di utara!
“Kebetulan sekali ada yang mengaku kehilangan tas. Kira-kira apa itu tasmu, Nona?” tanya Ghazam langsung, suaranya datar dan tenang, tetapi ada senyuman tipis di wajahnya.
“Nona, apa itu tasmu?” tanya si polisi buncit, sambil menatap Cindy.
Tanpa menjawab apapun, Cindy langsung melangkah dan mengambil tasnya dari tangan pemuda itu. Ia langsung memeriksa isi tas tersebut yang sebenarnya hanya berisi lipstik, bedak, dan dompet kecil untuk menyimpan kartu identitas serta kartu izin mengemudi. Dan ternyata, semua itu masih lengkap di sana.
“Ini tasku, dan isinya masih lengkap,” ujar Cindy pelan, hampir seperti berbisik. Ia bahkan tak berani menatap Ghazam atau dua polisi tersebut.
Ghazam tersenyum tipis, sementara dua polisi itu tampak menghela napas.
“Jadi, aku bisa bebas, kan?” tanya Ghazam datar. Ia mencoba berdiri meskipun tubuhnya mulai terasa semakin ngilu, bahkan darah di ujung bibirnya pun telah mengering.
Dua polisi itu menatap Cindy, seolah sedang mencari persetujuan. Sementara Cindy langsung memalingkan wajahnya karena malu.
Kemudian, polisi buncit itu mengibaskan tangannya ke arah Ghazam, seolah memberi isyarat pada Ghazam untuk segera pergi.
Sambil menghela napas, Ghazam bangkit lalu berjalan perlahan meninggalkan meja kantor polisi. Ia sedikit meringis sambil memegang perut sebab terasa begitu ngilu setelah dipukuli segerombolan orang tadi.
Ghazam tak tahu, apakah hari ini memang hari tersialnya, atau bagaimana. Sudah diusir, sekarang dipukuli habis-habisan karena fitnah aneh.
Namun, belum sempat Ghazam benar-benar meninggalkan area kantor polisi, Cindy kembali menahannya.
“Tunggu!” cegah Cindy sambil sedikit berlari dari dalam kantor polisi ke arah Ghazam berada.
Ghazam berhenti dan menoleh sejenak tanpa menjawab apapun sebab ia merasa semakin ngilu jika terlalu banyak membuat gerakan di wajahnya.
“Berikan nomor rekeningmu, aku akan transfer uang untuk kompensasi,” kata Cindy lagi sambil mengeluarkan ponselnya untuk mentransfer uang, wajahnya tampak menahan malu.
Namun, Ghazam menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak perlu.”
Cindy mengernyitkan dahinya, lalu berdecak pelan. “Gak usah jual mahal. Sudah baik aku mau bertanggung jawab.”
Ghazam tersenyum tipis, lalu sekali lagi menggeleng pelan. Bukan bermaksud lain, ia hanya sudah cukup lelah berurusan dengan orang kaya seperti Cindy.
Sementara itu, Cindy menatap Ghazam beberapa detik, seolah mencoba memahami wajah penuh luka itu, tetapi yang ia dapati hanyalah sorot mata yang lelah dan dingin. Pria itu tak meminta apapun, bahkan setelah dipermalukan dan dihajar oleh orang-orang yang tak tahu apa-apa. Dan itu membuatnya merasa semakin kesal.
“Ck, ya sudah, aku antar ke rumah sakit saja,” ujar Cindy lagi.
Namun, sekali lagi Ghazam menggelang. “Tinggalkan aku sendiri dan jangan mengganggu lagi, itu sudah cukup, Nona.”
“Kau …” Cindy menggertakkan giginya. Penolakan Ghazam ini benar-benar membuatnya merasa diremehkan.
Namun, belum sempat Cindy melanjutkan ucapannya, ponselnya tiba-tiba berdering. Ketika ia melihat nama yang terpampang di layar, ia kembali berdecak karena yang menghubunginya adalah sang ayah.
“Aku harus pergi sekarang. Ini kartu namaku, hubungi aku kalau kau sudah menerima pengobatan,” kata Cindy akhirnya, sambil memberikan selembar kartu nama kepada Ghazam. Dan tanpa menunggu jawaban dari Ghazam, ia langsung pergi.
Ghazam menatap kartu nama berwarna putih gading itu.
“Cindy Marella Arvenzo?” gumam Ghazam sambil mengangkat satu alisnya.
Jelas, Ghazam tahu keluarga Arvenzo itu siapa. Mereka adalah keluarga kaya yang kini menduduki peringkat pertama bisnis fashion di negeri ini!
Ghazam menyimpan kartu nama itu dalam saku celananya, lalu menyalakan ponselnya dan menghubungi seseorang yang selama ini selalu menunggunya kembali.
Sudah cukup Ghazam bermain-main dengan semua ini. Sekarang, ia akan menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
“Janu, siapkan semua. Aku akan kembali.”

Ghazam melirik ayahnya sekilas, lalu berdiri, menarik kursi untuk mempersilakan Freya duduk di sampingnya.Melihat itu, Freya tersenyum dan menyambut maksud Ghazam dengan baik. Namun, sebelum ia duduk, ia lebih dulu menyapa Althar. “Om, maafkan aku membuat makan malam kalian terganggu.”Althar menggelengkan kepala, masih dengan senyum di wajahnya. “Tidak mengganggu sama sekali. Malah Om senang melihat kamu lagi. Bagaimana kabarmu?”“Aku baik, Om. Om Althar sendiri gimana?” Freya tersenyum hangat sambil mengatur posisi duduknya.“Om baik, biarpun belakangan pusing karena ditinggal anak Om yang hobinya berkelana ini.” sahut Althar sambil sedikit melirik Ghazam.Freya terkekeh kecil, menutup mulutnya sopan. “Bukannya anak Om ini memang dari dulu nggak bisa diam ya? Selalu saja ada yang dia kejar.”Ghazam mengangkat alis sambil menatap Freya sekilas, lalu menyiapkan piring dan alat makan untuk Freya.“Kalau nggak dikejar, nggak akan dapat, kan?” sahut Ghazam ringan, seolah menanggapi deng
Ghazam menghela napas.Sejak dulu, Althar memang seolah ingin menjadikan Freya sebagai menantunya. Padahal, Ghazam sudah berkali-kali mengatakan bahwa mereka berdua hanya teman biasa. Namun, tetap saja itu tidak membawa pengaruh apa-apa.Meski awalnya Althar terkesan hanya bercanda, tetapi setelah melihat bagaimana kedekatan Ghazam dan Freya, terutama ketika melihat putranya berdiri dengan Freya, ia merasa mereka berdua sangat cocok. Maka sejak itu, Althar terus mencoba membuat keduanya semakin dekat. Namun, setelah Ghazam memutuskan untuk keluar sejenak dari kehidupan mewahnya, Althar tak lagi ikut campur.“Ayah,” kata Ghazam malas.“Coba bayangkan akan sesempurna apa hidupku. Anakku adalah CEO perusahaan besar dunia, punya kemampuan khusus di dunia mi—”“Ayah, sudahlah,” potong Ghazam langsung. Ia berdiri dan berjalan keluar ruangan. “Anak-anak itu sudah menunggu di meja makan, kalau kita masih terus bicara di sini, aku rasa mereka bisa masuk rumah sakit karena kelaparan.”Althar te
Ghazam bangkit dari kursinya, lalu berjalan tenang ke arah Serina yang masih berdiri di ambang pintu. Wajahnya menunjukkan senyum sinis, sangat berbanding terbalik dengan Serina yang tampak tegang dan penuh amarah.“Kau yang memulai, kenapa aku yang kau sebut gila?” kata Ghazam dengan tajam.Serina menggertakkan giginya “Kau …”“Kenapa? Tidak menyangka kalau aku akan langsung tahu bahwa ini semua ulahmu?” sahut Ghazam langsung, sorot matanya menusuk ke arah Serina, seolah tak memberi celah untuk Serina melawan.“Kamu memasang kamera pengawas di rumahku sejak dulu? Itu melanggar hukum, Ghazam!” seru Serina, seolah tak peduli dengan ucapan Ghazam sebelumnya.Ghazam terkekeh. “Aku tidak memasang kamera pengawas, Kakek Damar sendiri yang menyuruh memasang CCTV di rumah, apa kau lupa?”Serina membulatkan matanya. Jelas ia ingat dengan hal itu.Beberapa bulan setelah Ghazam dan Serina menikah, Ghazam memang mengusulkan pada Tuan Damar untuk memasang beberapa kamera CCTV di sudut rumah denga
Suasana ruang konferensi semakin hening. Bahkan, suara ketikan dari wartawan pun tak ada. Semua pandangan tertuju pada Ghazam yang berdiri penuh percaya diri di tengah podium.Kemudian, Ghazam melangkah keluar dengan mantab tanpa peduli dengan wartawan yang mulai memanggilnya.Tak lama kemudian, hasil konferensi telah sepenuhnya menyebar di semua kanal berita. Lagi-lagi, nama Ghazam J. Manggala menduduki posisi pertama di jajaran berita terpanas.[Ghazam J. Manggala Dianggap Menantu Benalu oleh Keluarga Galenka][Fakta Baru: Ghazam Bukan Ingin Merebut Galenka, Justru Menghidupkan Galenka Kembali, Tetapi Malah Diusir?][Keluarga Galenka Memutar Fakta Soal Ghazam J. Manggala. Benarkah Itu?]Namun, beberapa menit kemudian, semua kembali heboh setelah ada sebuah akun media sosial yang mengunggah rekaman Ghazam dipukuli segerombolan orang di area pemakaman mewah dengan baju kusut, basah, dan bau.“Wah sepertinya, rekaman konferensi pers itu benar. Video ini diambil pada tanggal yang sama d
Suasana lobby IGD sontak gaduh. Beberapa orang berbisik-bisik, bahkan ada yang menatap ke arah Ghazam yang hanya berdiri kaku di tempat.“Tuan …” gumam Janu lirih. Jelas ia sudah tahu soal pernikahan Ghazam, tetapi ia tidak menyangka akan ada yang memelintir berita itu untuk menjatuhkan Ghazam.Namun, belum sempat Ghazam merespon, tiba-tiba Freya telah kembali datang dengan ponsel yang menampilkan laman berita serupa dengan di televisi.“Zam …” lirih Freya.Sebenarnya, meskipun Freya tidak sedekat itu dengan Ghazam, tetapi dia bisa menilai bahwa Ghazam bukan tipe pria yang seperti itu. Apalagi, Ghazam ini orang kaya. Mana mungkin ia rela menikah hanya untuk menguasai satu perusahaan kecil?Namun, ucapan Ghazam selanjutnya cukup membuat Freya tercengang.“Aku memang pernah menikah dengannya,” ujar Ghazam dingin dengan sorot mata tajam.“Tapi … tidak dengan pernyataan soal menguasai perusahaan mereka, kan?” tanya Freya memastikan dengan ragu.“Apa aku tampak seperti orang yang melakukan
Freya sempat tertegun mendengar ucapan spontan itu, lalu tak kuasa menahan tawa kecilnya. Pipi tipisnya merona samar, sesuatu yang jarang sekali terlihat dari seorang dokter yang biasanya begitu tegas.Ghazam, di sisi lain, hanya bisa menghela napas pendek sambil menatap Alin dengan tatapan setengah heran. “Alin…” suaranya berat, bernada seperti hendak menegur, tapi sulit menyembunyikan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.“Apa? Kan bener,” jawab Alin polos, matanya berbinar. “Kalau Kakak Azam sama Ibu Dokter kerja sama nolongin anak-anak, pasti tambah banyak yang bahagia.”Freya melirik sekilas pada Ghazam, lalu tersenyum lembut pada Alin. “Terima kasih, Alin. Kamu pintar sekali melihat hal yang baik.”Alin mengangguk puas, merasa kata-katanya tidak ditolak. Ia pun akhirnya benar-benar berjalan ke sisi ranjang Nina.Setelah gadis kecil itu menjauh, suasana antara Ghazam dan Freya sempat hening beberapa detik. Keduanya saling menatap singkat, lalu buru-buru memalingkan wajah. A








