Share

BAB 2. Pencuri?

Author: o.vian
last update Last Updated: 2025-07-19 14:22:58

“Pencuri?” Ghazam mengernyitkan dahinya.

Namun, belum sempat Ghazam memahami semua itu lebih dalam, segerombolan orang itu sudah lebih dulu menyergap dirinya.

“T–tunggu,” kata Ghazam segera, berusaha menahan orang-orang itu, meskipun gagal.

“Alah, gak usah banyak bicara! Dasar orang miskin!”

“Udah miskin, bau busuk, suka nyolong pula! Mati aja!”

BUGH!!

PLAK!!

Tinjuan dan tamparan mendarat bertubi-tubi di wajah dan tubuh Ghazam.

Ghazam bahkan tak sempat menjelaskan apa pun. Dalam hitungan detik, dirinya sudah terdesak, dipukul, ditendang, dihujani umpatan dan makian dari orang-orang yang bahkan tak tahu siapa dia sebenarnya.

“Dasar maling! Sok suci padahal teman copet!”

“Kalau lapar, kerja! Bukan mencuri!”

Ghazam sempat menghindar, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Tanpa persiapan, ia terkapar di pinggir jalan berbatu dekat pemakaman.

Tubuhnya berdebu, bau amis sebelumnya semakin membuncah bertambah bau darah karena luka di mana-mana. Kaos hitamnya sobek, pun dengan celana bahannya.

Darah menetes dari sudut bibir. Pandangannya buram, tapi sorot matanya tetap dingin, bukan karena takut, tapi karena belum paham satu hal.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Wanita pemilik tas itu mendekat dengan langkah congkak. Napasnya tersengal, dada naik turun di balik kemeja ketat, penuh emosi.

“Bagus. Hajar terus pencuri ini!” kata wanita itu puas. “Biar tahu rasa!”

Wanita itu berdiri di dekat tubuh Ghazam yang tergeletak dan menunduk. “Mana tasku?! Kembalikan sekarang juga sebelum polisi datang!”

Ghazam mengerjap pelan, lalu menggeleng, masih bingung. “Tas…? Aku bahkan tidak tahu maksudmu…”

“Jangan pura-pura bodoh!” bentak wanita itu. “Kau pasti temannya pencuri itu! Mereka tadi lari ke arah ini dan itu pasti untuk mendatangimu, kan?!”

Ghazam hanya diam. Nafasnya berat. Ia tak punya tenaga untuk menjelaskan dan juga tak punya alasan untuk memaksa orang percaya.

Area pemakaman ini, meskipun pemakaman mewah, tetapi memang tempatnya berada agak jauh dari keramaian. Jadi, tidak heran jika mungkin ada pencuri yang akan melarikan diri ke arah ini.

Cindy, wanita itu, berdiri tegak dan melambai ke kerumunan. “Sudah, kalian pergi saja. Biar aku yang urus. Polisi juga sebentar lagi datang.”

Kerumunan mulai bubar satu per satu, masih melemparkan tatapan sinis dan jijik ke arah Ghazam yang terkapar.

Wanita itu menatap Ghazam sekali lagi, menunduk, lalu mendesis penuh penghinaan. “Kalau masih tidak mau mengaku sekarang, ya sudah mengaku saja di depan polisi.”

Lalu wanita itu berdiri dengan tangan bersilang, menunggu polisi datang, sementara Ghazam masih di bawah, menatap langit siang yang terasa makin sempit.

**

Ruangan pengap dengan bau kertas tua dan kopi basi. Suara ketikan dan dering telepon bersahut-sahutan. Namun, yang paling mencolok adalah suara Cindy yang masih terus mengomel tanpa henti.

“Saya gak peduli siapa dia! Pokoknya dia bagian dari pencurinya!” seru Cindy sambil menunjuk Ghazam yang duduk di kursi besi panjang, bajunya lusuh dan makin kumal, ujung bibirnya berdarah, bahkan wajahnya telah penuh lebam.

Dua polisi tampak mencatat laporan seadanya, sesekali mengangguk tanpa ekspresi. Salah satunya, hanya memakai kaos berlogo kepolisian dengan perut buncit, menoleh ke arah Ghazam dan mendengus.

“Mana kartu identitasmu?” tanya polisi itu malas.

Ghazam mengangkat wajahnya perlahan. Ia baru menyadari, tadi ia keluar dari kediaman Galenka tanpa membawa apapun selain apa yang menempel di tubuhnya dan ponsel di sakunya.

“Dompetku tertinggal di rumah,” jawab Ghazam apa adanya.

“Hah! Alasan klasik!” sahut polisi lainnya sambil tertawa remeh.

“Jadi, di mana kau sembunyikan tas Nona ini?” tanya polisi sebelumnya dengan angkuh.

“Aku tidak mengambilnya,” jawab Ghazam tenang yang lebih terasa seperti pasrah, sembari menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

“Lalu, kenapa kau ada di pemakaman itu? Jangan katakan kau baru saja memberi penghormatan untuk kerabatmu karena dari tampangmu, rasanya tak mungkin,” kata polisi yang tadi sedang mencatat, lalu meletakkan pulpennya dan menatap Ghazam dengan remeh.

“Aku memang baru mengunjungi kakekku,” sahut Ghazam santai, karena memang itu kenyataannya.

“Alah, alasan! Sudah, tahan saja dia, Pak!” potong Cindy langsung.

Namun, belum sempat dua polisi itu atau Ghazam bereaksi, seorang pemuda tiba-tiba masuk.

“Permisi, saya menemukan tas ini di gang samping pertokoan jalan timur,” kata pemuda itu sambil menunjukkan tas berwarna coklat dengan logo LV.

Melihat tas yang dibawa pemuda itu, Cindy langsung terbelalak. Itu tas miliknya!

Dan satu lagi, pertokoan di jalan timur itu jauh dari area pemakaman yang ada di utara!

“Kebetulan sekali ada yang mengaku kehilangan tas. Kira-kira apa itu tasmu, Nona?” tanya Ghazam langsung, suaranya datar dan tenang, tetapi ada senyuman tipis di wajahnya.

“Nona, apa itu tasmu?” tanya si polisi buncit, sambil menatap Cindy.

Tanpa menjawab apapun, Cindy langsung melangkah dan mengambil tasnya dari tangan pemuda itu. Ia langsung memeriksa isi tas tersebut yang sebenarnya hanya berisi lipstik, bedak, dan dompet kecil untuk menyimpan kartu identitas serta kartu izin mengemudi. Dan ternyata, semua itu masih lengkap di sana.

“Ini tasku, dan isinya masih lengkap,” ujar Cindy pelan, hampir seperti berbisik. Ia bahkan tak berani menatap Ghazam atau dua polisi tersebut.

Ghazam tersenyum tipis, sementara dua polisi itu tampak menghela napas.

“Jadi, aku bisa bebas, kan?” tanya Ghazam datar. Ia mencoba berdiri meskipun tubuhnya mulai terasa semakin ngilu, bahkan darah di ujung bibirnya pun telah mengering.

Dua polisi itu menatap Cindy, seolah sedang mencari persetujuan. Sementara Cindy langsung memalingkan wajahnya karena malu.

Kemudian, polisi buncit itu mengibaskan tangannya ke arah Ghazam, seolah memberi isyarat pada Ghazam untuk segera pergi.

Sambil menghela napas, Ghazam bangkit lalu berjalan perlahan meninggalkan meja kantor polisi. Ia sedikit meringis sambil memegang perut sebab terasa begitu ngilu setelah dipukuli segerombolan orang tadi.

Ghazam tak tahu, apakah hari ini memang hari tersialnya, atau bagaimana. Sudah diusir, sekarang dipukuli habis-habisan karena fitnah aneh.

Namun, belum sempat Ghazam benar-benar meninggalkan area kantor polisi, Cindy kembali menahannya.

“Tunggu!” cegah Cindy sambil sedikit berlari dari dalam kantor polisi ke arah Ghazam berada.

Ghazam berhenti dan menoleh sejenak tanpa menjawab apapun sebab ia merasa semakin ngilu jika terlalu banyak membuat gerakan di wajahnya.

“Berikan nomor rekeningmu, aku akan transfer uang untuk kompensasi,” kata Cindy lagi sambil mengeluarkan ponselnya untuk mentransfer uang, wajahnya tampak menahan malu.

Namun, Ghazam menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak perlu.”

Cindy mengernyitkan dahinya, lalu berdecak pelan. “Gak usah jual mahal. Sudah baik aku mau bertanggung jawab.”

Ghazam tersenyum tipis, lalu sekali lagi menggeleng pelan. Bukan bermaksud lain, ia hanya sudah cukup lelah berurusan dengan orang kaya seperti Cindy.

Sementara itu, Cindy menatap Ghazam beberapa detik, seolah mencoba memahami wajah penuh luka itu, tetapi yang ia dapati hanyalah sorot mata yang lelah dan dingin. Pria itu tak meminta apapun, bahkan setelah dipermalukan dan dihajar oleh orang-orang yang tak tahu apa-apa. Dan itu membuatnya merasa semakin kesal.

“Ck, ya sudah, aku antar ke rumah sakit saja,” ujar Cindy lagi.

Namun, sekali lagi Ghazam menggelang. “Tinggalkan aku sendiri dan jangan mengganggu lagi, itu sudah cukup, Nona.”

“Kau …” Cindy menggertakkan giginya. Penolakan Ghazam ini benar-benar membuatnya merasa diremehkan.

Namun, belum sempat Cindy melanjutkan ucapannya, ponselnya tiba-tiba berdering. Ketika ia melihat nama yang terpampang di layar, ia kembali berdecak karena yang menghubunginya adalah sang ayah.

“Aku harus pergi sekarang. Ini kartu namaku, hubungi aku kalau kau sudah menerima pengobatan,” kata Cindy akhirnya, sambil memberikan selembar kartu nama kepada Ghazam. Dan tanpa menunggu jawaban dari Ghazam, ia langsung pergi.

Ghazam menatap kartu nama berwarna putih gading itu.

“Cindy Marella Arvenzo?” gumam Ghazam sambil mengangkat satu alisnya.

Jelas, Ghazam tahu keluarga Arvenzo itu siapa. Mereka adalah keluarga kaya yang kini menduduki peringkat pertama bisnis fashion di negeri ini!

Ghazam menyimpan kartu nama itu dalam saku celananya, lalu menyalakan ponselnya dan menghubungi seseorang yang selama ini selalu menunggunya kembali.

Sudah cukup Ghazam bermain-main dengan semua ini. Sekarang, ia akan menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.

“Janu, siapkan semua. Aku akan kembali.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 8. Mainkan Dirimu Di Depanku

    Avenhall Hotel, salah satu hotel bintang lima milik keluarga Jorrel.Di salah satu kamar tipe Royal Suite, Cindy telah berdiri dengan gelisah. Ia benar-benar hanya memakai pakaian dalam renda berwarna merah, sangat kontras dengan kulit putihnya.Dadanya yang penuh terlihat sangat menantang, seolah ingin segera keluar dari bra yang mengikat. Pun pantatnya yang menonjol juga seolah tak mampu ditutupi celana dalam kecil itu.Sejujurnya, ia ingin pergi, tetapi baginya kerjasama ini adalah harga mati. Sebab, brand fashion miliknya telah banyak mengalami penurunan. Dan jika ia mampu bekerjasama dengan JXVAIN, jelas itu akan membawa pengaruh besar.Setelah hampir 15 menit Cindy menunggu, pintu kamar hotel dibuka. Ghazam masuk masih dengan pakaian kerjanya. Wajahnya dingin, seolah semakin mengintimidasi kegugupan Cindy.Pandangan Ghazam langsung menangkap sosok Cindy yang berdiri kaku di depan ranjang king size itu. Matanya menyapu tubuh Cindy dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat Cind

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 7. Dua Wanita

    Serina terdiam. Hatinya mencelos. Bukan karena takut, tapi karena ia sadar bahwa ini bukan lagi pria yang bisa ia atur dengan ego atau air mata. Ghazam yang dulu ia remehkan, kini mengunci langkahnya hanya dengan satu kalimat.Serina menggigit bibir bawahnya, berusaha menjaga wibawa. Namun, gengsi yang dulu kokoh mulai runtuh. Perlahan, ia duduk kembali di kursi, meski dadanya bergemuruh tak karuan.Tok! Tok!Pintu kembali diketuk. Suara hak tinggi terdengar cepat, lalu pintu terbuka. Seorang wanita muda melangkah masuk dengan anggun, percaya diri, dengan aura fashionista papan atas. Ia mengenakan gaun pastel sedikit di atas lutut yang membungkus tubuhnya dengan pas, membuat lekuk tubuhnya menonjol sempurna. Rambutnya dibiarkan tergerai rapi.Namun, langkahnya langsung terhenti begitu melihat siapa yang ada di balik meja CEO.Wajahnya mendadak pucat."Cindy Marella Arvenzo," gumam Ghazam pelan, menyebut nama itu seperti membaca ulang catatan utang.Cindy terpaku. Mulutnya terbuka, tap

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 6. Pilihan Sulit

    Serina terdiam. Tubuhnya menegang seketika, mata membesar, dan napas tercekat di tenggorokan. Ucapan Ghazam baru saja melemparkan dirinya ke jurang antara harga diri dan keputusasaan.Serina mencoba membuka mulut, tetapi tak satu kata pun keluar. Tenggorokannya kering, matanya menatap pria di depannya, antara syok, bingung, dan terluka. Ia bahkan tak yakin apakah yang ia dengar itu nyata.Namun, Ghazam tetap menatapnya tanpa goyah.Tatapannya datar, tak ada sedikit pun amarah dan justru karena itulah Serina merasa makin kecil. Tak dianggap penting, tak dilihat sebagai seseorang, hanya simbol dari masa lalu yang kini ia kuasai.Ghazam menyandarkan tubuh ke sandaran sofa, menyilangkan kaki, dan mengangkat alis tipis.“Kenapa?” tanya Ghazam pelan, nyaris seperti ejekan. “Tidak sanggup? Bukankah kau bilang akan melakukan apa pun?”Serina masih membeku. Hatinya seperti dihantam badai, dan logikanya mulai kabur. Yang ia tahu… permainannya barusan baru saja berbalik arah dan ia sekarang bukan

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 5. Syarat Gila

    JX Global gempar.Sang pewaris yang menghilang lima tahun terakhir kini kembali dan langsung mengambil alih tahta.“Ruang konferensi telah siap, Tuan,” kata Janu langsung.Pagi itu, seremonial pemindahan jabatan dari Althar kepada Ghazam akan berlangsung di ruang konferensi megah berlapis kaca kristal dan kayu walnut.Namun, bukan kemewahan ruangan atau nama besar Althar yang menyita perhatian, melainkan sosok muda yang melangkah masuk dengan tenang.Ghazam J. Manggala.Sorot matanya dingin dan tak terbaca. Luka di wajahnya telah sepenuhnya hilang. Setelan jas hitam membalut tubuh tegapnya, memancarkan kekuasaan dan ancaman diam bagi siapa pun yang berniat melawan.Satu per satu petinggi berdiri, bukan karena sopan santun, tetapi tekanan tak kasat mata yang menggantung di udara. Bahkan para komisaris asing pun bungkam.“Lima tahun menghilang, dan kembali seperti raja.” “Dia bahkan lebih menakutkan dari kabar yang beredar.”Tanpa perlu banyak ucapan, Althar hanya menyerahkan pin emas

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 4. Rencana-Rencana Baru

    Ghazam tertawa kecil.Sejak istri dan anak bungsunya meninggal, Althar tak pernah lagi memaksakan kehendaknya pada Ghazam. Bahkan, soal pernikahan Ghazam, ia juga mengetahuinya dan tidak memprotes. Althar sadar, terlalu tamak dan memaksakan sesuatu tidak selalu membawa kebaikan.“Aku sudah bercerai,” kata Ghazam langsung.Setelah pintu ruangan tertutup kembali, Ghazam melangkah masuk sambil mengusap ujung bibirnya yang semakin terasa nyeri. Ia duduk di sofa yang ada di tengah ruangan tersebut, lalu menyandarkan punggungnya. Wajahnya menatap lurus ke arah langit-langit ruang kerja yang didominasi nuansa coklat gelap dan material kayu solid.Althar bangkit dari kursi kerjanya, lalu berjalan mendekati Ghazam, sambil berkata, “Jadi, anakku pun menduda sekarang?”Ghazam hanya mengangkat bahunya sekilas ketika mendengar ayahnya tertawa. Ia menutup matanya sejenak, seolah sedang melepas penat yang selama ini bersemayam di kepalanya.“Aku bahkan belum sempat merasakan menimang cucu, tapi kau

  • Kembalinya Sang Pewaris Berdarah Dingin   BAB 3. Dia Kembali

    “Sungguh, Tuan Ghazam akan kembali?” tanya pria bernama Janu dari seberang dengan antusias yang memuncak.“Sejak kapan aku selalu mempermainkan ucapanku, Janu?” ujar Ghazam dingin.Wajah sendunya berubah dingin. Sorot mata menajam, rahang mengeras. Inilah Ghazam yang sebenarnya.Bukan pria payah, bukan suami miskin, bukan menantu benalu, dan jelas bukan pencuri.Ghazam J. Manggala adalah pewaris tunggal keluarga Jorrel, konglomerat yang menguasai berbagai sektor bisnis di Asia, Eropa, hingga Amerika.Lima tahun terakhir, ia memilih hidup sebagai orang biasa. Bukan tanpa alasan.Pertama, ia muak dengan dunia kekuasaan yang merenggut ibu dan adik perempuannya. Ia ingin tahu siapa yang benar-benar tulus. Alasan kedua… masih ia simpan rapat-rapat.“Tidak, Tuan. Kalau begitu, saya akan mempersiapkan semua,” jawab Janu akhirnya. “Oh, apa saya perlu memberitahu Tuan Besar sekarang?”“Tidak usah, nanti aku akan muncul di hadapannya langsung,” ujar Ghazam langsung. “Satu lagi, siapkan berkas u

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status