Jack menatap tajam sosok gagah yang duduk di ujung, tersembunyi ketika awal dia masuk kabin tersebut.
“Siapa yang Anda maksud?” tanya Jack.
Sosok itu pun tersenyum, auranya sangat kuat terpancar dari wajah yang sudah berumur. Sorot mata Jack secara tidak langsung bertatapan dengan netra hitam milik lelaki itu.
“Tentu saja kamu, Kapten Barra Seno Dirgantara. Apa Anda sudah melupakannya?”
Kedua tangan yang tergantung mengepal secara refleks, menahan sakit yang kembali mendera.
“Maaf, aku tidak mengenalnya. Mungkin Anda salah orang,” ucap Jack seraya memablikkan tubuhnya hendak keluar dari kamar kabin itu.
“Tunggu! Aku datang menawarkan sesuatu, setidaknya sebagai warga negara yang baik sudah seyogyanya turut andil dalam menyelamatkan negeri ini, dari peng-khia-natan.”
Degh.
Langkah Jack terhenti. Masih tetap memebelakangi sosok yang berbicara dengannya, Jack menunggu kata-kata selanjutnya. Baginya kata terakhir yang sengaja dieja perlahan dimaksudkan untuk menarik perhataiannya.
“Tragedi demontrasi, jatuhnya pesawat tempur, ledakan pada kilang minyak dan isu adanya kudeta oleh salah seorang kesatria terbaik bangsa, apakah itu terjadi begitu saja?”
“Aku mengenalmu, bisa jadi kamu tidak mengenaliku secara personal. Tetapi, pembebasan daerah perbatasan oleh pasukan khusus dua puluh tahun lalu, pasti sangat abadi diingatanmu.”
Degh. Jack sedikit bereaksi, kepalanya hanya menoleh ke kanan.
“Apa maksud Anda?”
Sosok itu pun berdiri dan mendekati Jack. Tangannya terulur dan menyentuh pundak Jack.
“Aku mengenal siapa ayahmu, jika beliau masih ada. Aku yakin beliau bangga pada jiwa patriot yang ada padamu, Nak.”
Jack bergetar dalam hati, ingin berteriak namun dia adalah Jack bukan sosok yang dimaksud oleh lelaki lawan bicaranya.
“Maaf, aku Jack, bukan Barra. Dia sudah mati.”
“Terkadang untuk mengungkap sebuah konspirasi kejahatan besar, diperlukan taktik dan strategi yang matang serta dukungan dari setiap elemen yang masih setia pada negara.”
“Oh ya, namaku Ramses. Ayahmu adalah teman satu perjuanganku saat pembebasan daerah perbatasan.”
Ramses kemudian mengambil sebuah berkas dalam satu map dokumen plastik warna hitam. Lelaki itu berjalan melewati bahu Jack supaya dapat melihat wajahnya.
“Buka dan bacalah. Bagiku Jack atau Barra, aku tidak peduli siapa namamu. Tapi isi didalamnya perlu kamu tahu.”
Jack menatap Ramses lekat, mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan alasan untuk menolak permintaan lelaki itu.
Ramses menyodorkan map itu, sabar menunggu sekian lama hingga akhirnya Jack mau mengambil dokumen tersebut.
Perlahan lelaki itu membukanya dan segera melihat satu bendel dokumen yang sudah diberi penanda yang disertai tulisan. Cukup tertata rapid an memudahkan orang jika mencari perihal apa yang ada dalam dokumen setebal satu inchi.
Jack membaca cepat lembar pertama. Kedua hingga akhirnya dia selesai membaca semua. Ramses memperhatikan wajah Jack, namun tidak ada perubahan seperti yang dia harapkan.
Semua yang tertulis berisikan rangkuman dari berbagai kejadian lampau, yang diduga telah terjadi rencana ter-srtruktur dalam upaya menggulingkan pemerintahan yang sah dan juga adanya turut campur bangsa asing yang ingin menguasai kekayaan negeri Darlan.
Sebuah negara akan mudah dihancurkan apabila kesatuan dalam sistem pertahanan negara itu diadu domba. Dan senjata yang bisa digunakan untuk bisa membeli kesetiaan seorang prajurit adalah uang.
Jack menahan sekuat tenaga darah yang mendidih dalam tubuhnya. Hal yang sangat menyakitkan adalah membaca bagian di mana ternyata kematian Aryan Dirgantara adalah hal sudah direncanakan.
Tetapi untuk apa semua ini? Seribu kepahitan masa lalu Jack ingin dia lupakan. Hidupnya saat ini hanya sekedar untuk diirnya sendiri, bahkan tidak ingin berkeluarga dan mempunyai anak. Jack terlalu sakit membayangkan akan membawa istri dan anaknya akn hidup dalam kubangan kemiskinan.
“Sudah bacanya? Negara ini membutuhkan kesatria muda sepertimu.” Ramses mencoba memasukkan kata-kata untuk memancing jiwa patriot yang ada pada Jack.
“Tetapi negara menghianatiku terlebih dahulu,” jawab Jack lirih, tajam menusuk.
“Tidak. Justru negara sudah dikambing hitamkan oleh kelompok mereka. Pengecut tidak akan berani menghadapi dan mengakui jika dia yang berbuat.”
“Bukankah Barra sudah dimatikan oleh negara? Lantas untuk apa Anda masih bersusah payah merayuku. Sudah tidak ada Barra di bumi Darlan ini, yang ada Jack, seorang porter pelabuhan.”
“Marissa!” teriak Ramses memanggil wanita yang ada di depan pintu. Tidak perlu banyak menunggu sosok yang dipanggil pun muncul.
“Siap, Pak.”
“Buka data prajurit atas nama Barra Seno Dirgantara.”
Marissa bergerak cepat mengambil note book miliknya dan jemarinya bergerak membuka data base prajurit yang diminta Ramses.
“Siap sudah, Pak.”
“Tunjukkan padanya,” perintah Ramses.
“Silahkan dilihat, Kapt.”
Jack mengalihkan pandangannya pada data riwayat hidup seorang yang sangat mirip dengannya. Tertulis jelas bahwa sosok yang bernama Barra masih tercatat dinas aktif hingga sekarang. Bagaimana bisa? Jack memasang ekspresi waspada.
“Aku sudah katakan di awal, untuk menghadapi kelompok pengkhianat kita harus beradu taktik dan strategi juga. Dan menyembunyikan keadaanmu yang sesungguhnya adalah cara kami melindungi prajuritnya.”
Jack menyimak penjelasan Ramses. Kata ‘kami’ dalam kalimat lelaki itu menunjukkan ada kelompok lain yang juga mempunyai tujuan.
Ramses seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran Jack.
“Jangan bingung. Negara diibaratkan seorang ibu yang memiliki banyak anak. Anggap salah satu anaknya adalah pengkhianat, tapi seorang ibu tidak dapat memberi label itu tanpa adanya bukti yang kuat. Kami adalah salah satu anaknya yang berusaha melindungi sang ibu dan berusaha menghentikannya.”
Jack mengela napasnya, kemudian mengembalikan note book milik Marissa.
“Aku tidak minat. Sekali lagi aku adalah Jack,” ucap Jack sambil berlalu.
“Tunggu, Kapt jika Anda berubah pikiran. Hubungi Bapak di nomor ini.”
Marissa mengejar langkah Jack, kemudian memberikan sebuah kartu nama hitam pada lelaki itu. Jack menerima dan membaca sebentar, namun saat melewati tong sampah, dia pun membuangnya.
Jack berjalan terus hingga dia menemui orang yang memintanya mengangkut barang lagi.
“Ahh. Aku sudah membuang waktu sia-sia,” gumamnya seraya mengangkat karung besar yang ternyata tidak begitu berat.
Waktu berjalan cepat, hari demi hari dilalui Jack seperti biasa. Jack memang tidak berminat lagi dengan jabatan atau status sosial yang bergengsi. Baginya hidup ini hanya menunggu antrian kapan malaikat maut datang menjemput.
“Awas!” Jack bergerak cepat meraih barang yang jatuh hampir mengenai wanita yang duduk di kursi roda.
“Maaf, maaf! Saya oleng karena ada anak kecil lari tiba-tiba menabrak saya.” Seorang Porter tua berkali-kali meminta maaf pada suami sang wanita.
“Lain kali hati-hati, Pak.” Pria yang bersama sang wanita pun kemudian menoleh ke arah Jack.
“Terima kasih, Pak – eh, Kapten Barra!” pekik pria itu terkejut sebab mengenali Porter yang sudah menyelamatkan istrinya.
“Danu?” Jack lupa pada identitas barunya, spontan dia mengenali anak buahnya pada tragedi terakhir itu. Jack membawa mereka ke tempat lebih aman dari lalu lalang orang.
“Mau kemana? Dan ada apa dengan istrimu?”
“Saya mau pulang kampung saja, Kapt. Mungkin istri saya bisa sembuh jika berada dalam lingkungan keluarga yang sayang dengannya.”
Danu pun bercerita bahwa sang istri juga menjadi korban dari pemberitaan media yang mengatakan jika suaminya adalah pembunuh dan menjalani hukuman penjara. Sang istri shock hingga mengalami gangguan kejiwaan akibat banyaknya perundungan yang diterima.
“Oh ya, Kapt. Saya sempat melihat Anda berbicara dengan seorang jenderal sebelum masuk tahanan.” Danu mengingatkan Jack.
“Ya, mengapa?”
“Saya ingat, beliau ada dalam kerumunan pendemo sebelum perintah tembak terdengar.”
“Hah? Benarkah?”
Jack terhenyak dan intuisinya pun bergerak cepat bagai anak panah.
“Jangan katakan – jika dia –“
***
“Apa maksud Anda, Kapt?” Danu kebingungan saat melihat rahang Barra mengeras dengan sorot mata diliputi amarah. “Di mana kamu berdinas sekarang?” “Siap, saya sekarang dialihkan ke detasemen kemarkasan daerah , Kapt.” Jack berdiam sejenak kemudian dia pun memberi intstruksi. “Tolong carikan aku nomor kontak Jenderal Ramses, atau prajurit wanita yang bernama Marissa. Setelah itu hubungi aku.” Jack mengeluarkan sebuah ponsel edisi lama hingga Danu terkejut ketika melihat alat komunikasi seorang atasan adalah tipe yang sekarang saja sudah tidak diproduksi lagi. Ingin tertawa tapi Danu menyadari penampilan Barra diluar prediksinya, dan dia tidak berani menanyakannya. Danu mengambil ponsel Barra dan memasukkan nomonya sendiri kemudian melakukan panggilan ke ponsel pribadinya. “Anda mengenal Jenderal Ramses, Kapt?” tanyanya seraya mengembalikan ponsel Barra. “Lekaslah kembali setelah memastikan istrimu dalam keadaan aman. Aku akan menghubungi setelah bertemu dengan Jenderal Ramse
“Sayang, ada apa?” Ramses menghentikan sang istri ikut cam pur dalam pembicaraan penting mereka. “Opss maaf. Mama cuma mau ijin bawa Icha saja kok,” jawab Mella seraya melempar senyum manja pada suaminya. Namun jelas terlihat bahwa itu hanya sandiwara saja, bukankah mereka baru saja datang. Ramses sangat tahu isi pikiran sang istri. Barra menanggukkan kepalanya sopan pada istri sang jenderal, sementara Marissa hanya diam saja menunggu perintah lebih lanjut. “Ya sudah, Mama ke kamar saja deh, Icha besok sore saja temani Ibu ke salon ya, besok malam ada pertemuan dengan ibu ketua.” Mella pun berbalik keluar dari ruangan sambil melemparkan senyum penuh arti pada Barra. Sekali lagi, Barra memberi hormat. “Maaf ada sedikit iklan lewat. Kita lanjutkan lagi. Icha tutup pintunya,” ucap Ramses sekaligus memberi perintah pada Marissa. Suasana kembali menjadi serius saat Ramses menyalakan laptop dang menampilkan suatu data pada layar barco yang begerak otomatis turun saat hendak digu
Acara kemeriahan panggung prajurit masih berlangsung namun Barra meninggalkan tempat tersebut. Bahkan beberapa prajurit yang ingin berkenalan dengannya terpaksa diabaikan karena Ramses memanggilnya.Saat Barra tiba bersamaan dengan Marissa yang baru keluar dari ruangan Jenderal Bintang Tiga tersebut.“Selamat siang, Kapt. Anda ingin menghadap Bapak, Kapt?” tanya Marissa seraya tersenyum.Melihat senyuman prajurit wanita tersebut membuat Barra tidak suka.“Apakah selalu demikian kamu menggunakan kecantikanmu untuk menggoda laki-laki?” ujar Barra sarkas.Spontan senyum Marissa hilang dan berganti dengan raut wajah terkejut,“Hah? Apa maksud Anda, Kapt?”Alih-alih menjawab, Barra justru melewati tubuh Marissa dan mengetuk pintu ruangan Ramses. Lelaki gagah yang sialnya memiliki wajah sempurna itu mengabaikan tatapan Marissa. Wanita itu pun hanya menarik napas dan menggelengkan kepala.Selalu salah, batin wanita berusia 25 tahun itu.Tiba-tiba ponsel Marissa berbunyi. Tanda indica
Proses pengisian bahan bakar si pengendara berjaket hitam selesai. Dia segera menghidupkan motornya dan melaju pergi keluar dari area pom bensin.Demikian juga mobil dinas Barra mulai beranjak keluar dari area pengisian bahan bakar, dan kini melaju ke jalan utama. Namun tidak terlihat satu pun pengendara yang berjaket hitam itu.“Bang, mereka sudah tidak ada.”“Hmm.”Kembali Barra mengecek GPS, setelah melalui pertigaan tidak ada lagi fasilitas umum. Barra berpikir sejenak, perasaannya mengatakan akan terjadi sesuatu, sebelumnya dia pernah merasakan hal itu.“Kita ke mana, Bang?” tanya Danu.“Belok kanan.”“Yakin Bang?” Danu menoleh pada Barra.Jalan yang akan dilalui merupakan jalan sepi yang akan menuju ke pegunungan sehingga dalam jarak tertentu tidak akan ditemui perkampungan. Kiri kanan di penuhi dengan kebun kelapa yang sawit.“Ya, aku tahu.”Tekanan suara Barra penuh misteri. Danu hanya bergidik sendiri mendengarnya. Selama ini seniornya terlalu sulit ditebak ketika men
Mobil yang membawa istri dari Jenderal Ramses memasuki lobi utama Griya Anggrek, suatu gedung pertemuan bagi istri petinggi militer di Negara Darlan. Hanya orang yang memiliki kartu pengenal tertentu dapat masuk ke area gedung dengan pengamanan ketat.Marissa membuka jendela depan dan menunjukkan kartu pengenalnya sekaligus menyebutkan siapa yang berada bersamanya.“Nyonya Mella Ramses tiba di Griya,” lapor salah seorang penjaga gerbang.Setelah proses pemeriksaan mobil mewah berwarna hitam itu pun diijinkan masuk, hingga tiba di depan lobi utama dan Marissa dengan gerakan cepat turun dari kendaraan, membuka pintu penumpang.“Selamat datang Nyonya Ramses,” sapa seorang wanita dengan penampilan yang glamour. Mella tersenyum dan menerima uluran tangan wanita tersebut.“Ibu, ruangan ganti ada di sebelah kiri,” ujar Marissa pada Mella, mengingatkan.Rupanya ucapan Marissa tidak disukai oleh wanita yang menyambut Mella, dengan tatapan sinis wanita tersebut menatap tajam pada Marissa.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Makan malam telah usai dan kini mereka semua berkumpul di ruang keluarga.Mella menangis mendengar cerita dari beberapa pelayan yang menghubunginya lewat telepon. Ramses tidak habis piker mengapa Barra begitu membenci Marissa hingga tega menodongkan senjata.“Barra ada apa ini?”Sebelumnya Ramses meminta beberepa pelayan bercerita, dan kemudian menyuruh para pelayan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Yang tersisa adalah Ramses, Mella, Barra, Marissa, Danu dan Rangga.Suara televisi sudah dimatikan, keheningan menyelimuti saat mata Ramses memandang satu per satu anak muda yang sudah dianggap sebagai anaknya semua.“Jelaskan padaku alasanmu menodongkan senjata pada Marissa,” ujar Ramses berwibawa.Barra menarik napasnya sejenak, lalu melirik ke arah Marissa yang tertunduk.“Seminggu yang lalu, saya diserang oleh pengendara motor. Dan kemudian saya menyelidiki hal tersebut, dengan meminta rekaman CCTV jalan raya. Saya menemukan kenyataan jika
Barra dan Danu menatap Ramses penuh pertanyaan, sementara lelaki di hadapan mereka justru terlihat tenang, padahal baru saja mengeluarkan pernyataan jika anak angkat kesayangan istrinya dalam bahaya.Sungguh aneh, pikir Barra dalam hati. Danu mengubah posisi duduknya.“Pak, apa kita bisa bergerak melindunginya? Maksud saya-” usul Danu yang penuh maksud terhenti saat melihat tangan sang jenderal.Senyum Ramses mengembang sempurna. Lelaki yang sudah lebih dari separuh abad mengenyam asam manis hidup tersebut hanya menepuk pahanya dengan telapak tangannya. Matanya menyapu kedua anak laki-laki harapannya secara bergantian.Waktu sudah hampir jam sembilan malam, sudah waktunya untuk istirahat malam. Lelaki itupun bangkit berdiri,“Sudah waktunya istirahat.”“Tapi, bagaimana dengan Marissa?” tanya Barra spontan.Ramses menaikkan salah satu alisnya seraya menatap pria muda gagah di depannya. Senyumnya kembali mengembang.“Biarlah aku yang mengurusnya. Kamu selesaikan tugasmu, bukankah
Mata Barra hampir keluar dari kelopaknya saat melihat sosok yang bersembunyi dalam bagasi mobilnya. Begitupun dengan sosok yang kini berhadapan dengan lubang pistol yang mengarah pada kepalanya.Raut wajahnya terkejut dan bingung, semua kata-kata yang sudah disiapkan raib bersama angin malam yang berembus menerpa. Tiga jam bukan waktu yang sebentar untuk tetap tenang dalam bagasi.Marissa beradu pandang dengan Barra.“Sepertinya Anda memang ditakdirkan untuk menembak saya, Kapt.”Barra tersadar dari terkejutnya, perlahan dia menurunkan pistolnya dan memasukkan kembali pada jaket hitamnya.“Kamu memata-matai saya?”“Justru saya yang bingung kenapa saya ada di mobil Anda, Kapt. Pasti Rangga salah mengenali sasaran,” sungut Marissa seraya berusaha keluar dari dalam bagasi.Kakinya terasa mati rasa, begitupun dirinya yang lega bisa menghirup napas. Lebih lama lagi mungkin Marissa akan pingsan.Mendengar nama Rangga, Barra mulai bisa mengerti apa yang sedang mereka rencanakan.“Panta