Perlahan tubuhnya yang masih terasa kaku bangkit dari posisi tidurnya. Barra memerlukan beberapa waktu hingga sedikit demi sedikit ingatannya membentuk suatu puzzle tertaut sati demi satu hingga akhirnya dia dapat menmegingat kejadian terakhir.
“Bukannya seharusnya aku mati,” gumamnya ketika bayangan sosok penembaknya muncul.
Ya malam itu, Barra terbangun saat menyadari seseorang masuk dalam kamar tahanannya. Kemudian mata lelaki itu tertuju pada tumpukkan surat kabar yang tertata rapi di atas nakas, samping tempat tidurnya.
Tangannya terulur spontan meraih salah satunya yang berada paling atas.
“Hah, 13 September 2021?” Barra terkejut saat membaca tanggal surat kabar tersebut.
Barra tertegun selama itukah dia tidak sadarkan diri. Lantas siapakah yang sudah merawat dan menyiapkan semua ini. Jelas dirinya bukan berada dalam kamar perawatan rumah sakit, berarti ada yang membawa dan menyembunyikannya di tempat ini. Dia pun melangkah setelah melepas selang infus.
“Apa ada orang di sini?” teriak Barra ketika membuka pintu yang tidak terkunci.
Langkah kakinya yang panjang bergerak menyusuri lorong remang-remang hingga tiba pada sebuah ruang yang terlihat seperti ruang keluarga. Sofa berbentuk L menghadap sebuah televisi besar.
‘Siapa orang ini?’ batin Barra.
Tubuh setinggi 180 cm menjulang berdiri tegap di depan cermin yang ada di ruangan tersebut juga.
Wajah seorang laki-laki dengan cambang halus tumbuh di kedua rahang, rambut ikal tergerai sebahu serta tubuh yang terlihat kurus, saling bertatapan dengan sorot mata tajam.
“Kurus sekali aku.”
Desah napas kasar Barra terdengar seraya melangkah mendekati cuplikan surat kabar yang dipigura tergantung di dinding. Itu semua berita tentang dirinya.
“Seorang prajurit terbaik ditemukan bunuh diri setelah gagal mengemban tugas mengamankan aksi demontrasi –“
“Bunuh diri?” teriak Barra seraya membulatkan matanya.
Tangannya menyentuh tepat di mana anak peluru melesat masuk dalam tubuhnya. Giginya bergemerutuk menahan geram. Kemudian matanya beralih ke pigura sebelahnya.
“Ibu –, Ibu mening-gal,” suara Barra tercekat, membaca potongan berita.
Tertulis, Karena tidak sanggup mengetahui putra kebanggaannya bunuh diri, Ibu dari Barra Seno Dirgantara meninggal karena sakit.
Seketika tubuh Barra limbung, mencari pegangan. Hatinya teriris, sakitnya melebihi luka akibat perang. Tangannya mengepal seraya terus menatap tajam, dan sedetik kemudian menonjok dinding hingga foto yang tergantung tersebut jatuh.
Barra sudah yatim sedari kecil, sang ayah juga merupakan seorang prajurit, gugur dalam operasi memperhatahankan salah satu wilayah Darlan dari tangah penjajah. Hidupnya hanya untuk sang ibu, Barra selalu berusaha melakukan yang terbaik demi menghidupkan rasa kebanggaan sang ibu terhadap ayahnya dalam wujud dirinya.
Kini sang ibu sudah tiada, untuk siapa lagi dia hidup. Barra berlutut di lantai.
“Ibu, maafkan aku, belum sempat membahagiakanmu,” ucap Barra penuh kesedihan mendalam. Suaranya semakin serak menahan tangis.
Tiba-tiba, Barra bangkit dan segera mencari jalan keluar. Tak lupa potongan artikel tentang sang ibu diambilnya.
Barra berhasil keluar meninggalkan rumah yang dia sendiri tidak tahu siapa pemiliknya. Pikirannya hanya ingin berziarah ke makam sang ibu.
Tanpa dia ketahui seseorang mengawasi dari dalam ruangan yang mempunyai banyak layar.
Target sudah siuman dan pergi
***
“Hei kamu! Mana barangku!”
Seseorang wanita berpenampilan glamour tampak marah pada seorang Porter. Lelaki lusuh penuh peluh menatap balik dengan tatapan tajam.
“Tidak tahu,” jawabnya singkat. Lelaki itu hendak pergi meninggalkan si wanita.
“Hei! Kamu kalu sudah tahu miskin jangan mencuri!” ucap wanita itu lebih keras. Beberapa orang mulai berdatangan da nada juga yang menghalangi Porter pelabuhan yang akan pergi.
“Kamu mau kemana!” tegur laki-laki menangkap tangan sang Porter.
“Lepaskan, aku tidak kenal dia. Dan aku juga tidak tahu barang apa,” jawab Porter itu.
“Bohong! Aku minta kamu tadi mengangkat barangku dan membawa ke mobil. Tapi mana barang itu,” bantah si wanita.
“Bukan saya.” Sang Porter tetap bersikeras bukan dia yang dimaksud oleh wanita tersebut.
“Dasar pembohong! Pencuri kamu! Miskin aja belagu!” tiba-tiba wanita itu menyerang Porter tersebut dengan payung yang terlipat.
Buk. Buk.
Pukulan bertubi mengarah pada tubuh kumal lelaki yang sehari-harinya selalu berada di pelabuhan sebagai kuli kasar yang memberikan jasa angkut barang berat.
Lelaki berpakaian seragam bertuliskan Porter namun memang terlihat kumal, hany menangkis pukulan wanita tersebut dengna tangannya. Walau tubuhnya menjulang tinggi namun lelaki tersebut tetap membiarkan tubuhnya terkena pukulan.
Hingga seseorang menghentikan perbuatan wanita tersebut.
“Mami, berhenti! Aku cari-cari Mami kemana saja. Jauh sekali Mami sampai tempat ini.”
“Ini lho Mami minta dia kembalikan barang Mami,” jawab wanita tersebut, sementara tangannya ditahan oleh anak gadisnya.
“Mami ini bagaimana sih. Barang Mami sudah di dalam mobil, tapi Maminya pergi entah kemana,” sungut si gadis cemberut. Wajahnya tampak memerah berkeringat.
“Lho benarkah?”
“Iya Mami ini kenapa bisa jauh sampai di sini. Bapak Porternya tadi kebingungan.”
Penjelasan yang sontak membuat orang-orang yang sedari awal menonton perdebatan tadi, membela lelaki yang sudah manjadi korban.
“Oalah jadi salah sasaran. Ibu yang salah main tuduh orang,” ce;etuk salah satu penonton wanita.
“Maaf, maafkan Mami saya. Maaf ya Pak, Mami saya sering lupa tiba-tiba.”
Gadis muda itu meminta maaf pada semua orang terlebih pada lelaki yang sudah dipukuli oleh ibunya.
Akhirnya keributan pun selesai, masing-masing orang melanjutkan kegiatannya yang tertunda, menyisakan lelaki yang kini duduk di bangku bawah pohon. Bisa berteduh dari sengatan panas matahari serta meluruskan sejenak punggungnya.
Berbaring seraya menutupkan mata sejenak adalah hal yang paling menyenangkan untuk saat ini, setelah seharian mengangkat barang dengan bayaran sepuluh ribu perkilogram. Lelaki tersebut sudah mengantungi hasil keringatnya hari ini sekitar empat ratus ribu.
Lelaki tersebut menikmati tidur siangnya tanpa beban apapun.
“Bang, bisa tolong angkat barang saya?” sebuah suara wanita menghalangi niat tidur siang lelaki itu.
Dengan sigap layaknya pekerja yang mendapatkan order, sangat sayang harus dilewatkan jika itu tentang nilai uang.
“Bisa, bisa.”
“Bang Jack kan namanya?” ujar wanuta itu seraya menunjuk pada tulisan yang ada di dada kanan Porter tersebut.
“Di mana barangnya, Nona,” tanya Jack tanpa menjawab pertanyaan si gadis.
“Oh iya, di sana, Bang. Ada banyak, kira-kira berapa ya biayanya?”
Sekali lagi Jack tidak menjawab, lelaki itu justru memberi tanda untuk menunjukkan arah di mana posisi barang-barang yang akan dia angkut.
Sang wanita pun memimpin jalan, menyusuri pinggiran dermaga yang banyak lalu lalang orang. Ada kapal yang baru saja tiba, pantas banyak yang mebutuhkan jasa angkut barang.
Jack mengikuti langkah masuk dalam ruangan kabin kapal.
“Masuk Bang, ini barangnya barangnya,” ucap sang gadis. Jack pun masuk tanpa menarih curiga, hingga tiba-tiba pintu kabin ditutup oleh sang gadis. Jack terkejut, namun sedetik kemudian,
“Akhirnya aku menemukanmu Barra Seno Dirgantara.”
***
Jack menatap tajam sosok gagah yang duduk di ujung, tersembunyi ketika awal dia masuk kabin tersebut. “Siapa yang Anda maksud?” tanya Jack. Sosok itu pun tersenyum, auranya sangat kuat terpancar dari wajah yang sudah berumur. Sorot mata Jack secara tidak langsung bertatapan dengan netra hitam milik lelaki itu. “Tentu saja kamu, Kapten Barra Seno Dirgantara. Apa Anda sudah melupakannya?” Kedua tangan yang tergantung mengepal secara refleks, menahan sakit yang kembali mendera. “Maaf, aku tidak mengenalnya. Mungkin Anda salah orang,” ucap Jack seraya memablikkan tubuhnya hendak keluar dari kamar kabin itu. “Tunggu! Aku datang menawarkan sesuatu, setidaknya sebagai warga negara yang baik sudah seyogyanya turut andil dalam menyelamatkan negeri ini, dari peng-khia-natan.” Degh. Langkah Jack terhenti. Masih tetap memebelakangi sosok yang berbicara dengannya, Jack menunggu kata-kata selanjutnya. Baginya kata terakhir yang sengaja dieja perlahan dimaksudkan untuk menarik perhatai
“Apa maksud Anda, Kapt?” Danu kebingungan saat melihat rahang Barra mengeras dengan sorot mata diliputi amarah. “Di mana kamu berdinas sekarang?” “Siap, saya sekarang dialihkan ke detasemen kemarkasan daerah , Kapt.” Jack berdiam sejenak kemudian dia pun memberi intstruksi. “Tolong carikan aku nomor kontak Jenderal Ramses, atau prajurit wanita yang bernama Marissa. Setelah itu hubungi aku.” Jack mengeluarkan sebuah ponsel edisi lama hingga Danu terkejut ketika melihat alat komunikasi seorang atasan adalah tipe yang sekarang saja sudah tidak diproduksi lagi. Ingin tertawa tapi Danu menyadari penampilan Barra diluar prediksinya, dan dia tidak berani menanyakannya. Danu mengambil ponsel Barra dan memasukkan nomonya sendiri kemudian melakukan panggilan ke ponsel pribadinya. “Anda mengenal Jenderal Ramses, Kapt?” tanyanya seraya mengembalikan ponsel Barra. “Lekaslah kembali setelah memastikan istrimu dalam keadaan aman. Aku akan menghubungi setelah bertemu dengan Jenderal Ramse
“Sayang, ada apa?” Ramses menghentikan sang istri ikut cam pur dalam pembicaraan penting mereka. “Opss maaf. Mama cuma mau ijin bawa Icha saja kok,” jawab Mella seraya melempar senyum manja pada suaminya. Namun jelas terlihat bahwa itu hanya sandiwara saja, bukankah mereka baru saja datang. Ramses sangat tahu isi pikiran sang istri. Barra menanggukkan kepalanya sopan pada istri sang jenderal, sementara Marissa hanya diam saja menunggu perintah lebih lanjut. “Ya sudah, Mama ke kamar saja deh, Icha besok sore saja temani Ibu ke salon ya, besok malam ada pertemuan dengan ibu ketua.” Mella pun berbalik keluar dari ruangan sambil melemparkan senyum penuh arti pada Barra. Sekali lagi, Barra memberi hormat. “Maaf ada sedikit iklan lewat. Kita lanjutkan lagi. Icha tutup pintunya,” ucap Ramses sekaligus memberi perintah pada Marissa. Suasana kembali menjadi serius saat Ramses menyalakan laptop dang menampilkan suatu data pada layar barco yang begerak otomatis turun saat hendak digu
Acara kemeriahan panggung prajurit masih berlangsung namun Barra meninggalkan tempat tersebut. Bahkan beberapa prajurit yang ingin berkenalan dengannya terpaksa diabaikan karena Ramses memanggilnya.Saat Barra tiba bersamaan dengan Marissa yang baru keluar dari ruangan Jenderal Bintang Tiga tersebut.“Selamat siang, Kapt. Anda ingin menghadap Bapak, Kapt?” tanya Marissa seraya tersenyum.Melihat senyuman prajurit wanita tersebut membuat Barra tidak suka.“Apakah selalu demikian kamu menggunakan kecantikanmu untuk menggoda laki-laki?” ujar Barra sarkas.Spontan senyum Marissa hilang dan berganti dengan raut wajah terkejut,“Hah? Apa maksud Anda, Kapt?”Alih-alih menjawab, Barra justru melewati tubuh Marissa dan mengetuk pintu ruangan Ramses. Lelaki gagah yang sialnya memiliki wajah sempurna itu mengabaikan tatapan Marissa. Wanita itu pun hanya menarik napas dan menggelengkan kepala.Selalu salah, batin wanita berusia 25 tahun itu.Tiba-tiba ponsel Marissa berbunyi. Tanda indica
Proses pengisian bahan bakar si pengendara berjaket hitam selesai. Dia segera menghidupkan motornya dan melaju pergi keluar dari area pom bensin.Demikian juga mobil dinas Barra mulai beranjak keluar dari area pengisian bahan bakar, dan kini melaju ke jalan utama. Namun tidak terlihat satu pun pengendara yang berjaket hitam itu.“Bang, mereka sudah tidak ada.”“Hmm.”Kembali Barra mengecek GPS, setelah melalui pertigaan tidak ada lagi fasilitas umum. Barra berpikir sejenak, perasaannya mengatakan akan terjadi sesuatu, sebelumnya dia pernah merasakan hal itu.“Kita ke mana, Bang?” tanya Danu.“Belok kanan.”“Yakin Bang?” Danu menoleh pada Barra.Jalan yang akan dilalui merupakan jalan sepi yang akan menuju ke pegunungan sehingga dalam jarak tertentu tidak akan ditemui perkampungan. Kiri kanan di penuhi dengan kebun kelapa yang sawit.“Ya, aku tahu.”Tekanan suara Barra penuh misteri. Danu hanya bergidik sendiri mendengarnya. Selama ini seniornya terlalu sulit ditebak ketika men
Mobil yang membawa istri dari Jenderal Ramses memasuki lobi utama Griya Anggrek, suatu gedung pertemuan bagi istri petinggi militer di Negara Darlan. Hanya orang yang memiliki kartu pengenal tertentu dapat masuk ke area gedung dengan pengamanan ketat.Marissa membuka jendela depan dan menunjukkan kartu pengenalnya sekaligus menyebutkan siapa yang berada bersamanya.“Nyonya Mella Ramses tiba di Griya,” lapor salah seorang penjaga gerbang.Setelah proses pemeriksaan mobil mewah berwarna hitam itu pun diijinkan masuk, hingga tiba di depan lobi utama dan Marissa dengan gerakan cepat turun dari kendaraan, membuka pintu penumpang.“Selamat datang Nyonya Ramses,” sapa seorang wanita dengan penampilan yang glamour. Mella tersenyum dan menerima uluran tangan wanita tersebut.“Ibu, ruangan ganti ada di sebelah kiri,” ujar Marissa pada Mella, mengingatkan.Rupanya ucapan Marissa tidak disukai oleh wanita yang menyambut Mella, dengan tatapan sinis wanita tersebut menatap tajam pada Marissa.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Makan malam telah usai dan kini mereka semua berkumpul di ruang keluarga.Mella menangis mendengar cerita dari beberapa pelayan yang menghubunginya lewat telepon. Ramses tidak habis piker mengapa Barra begitu membenci Marissa hingga tega menodongkan senjata.“Barra ada apa ini?”Sebelumnya Ramses meminta beberepa pelayan bercerita, dan kemudian menyuruh para pelayan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Yang tersisa adalah Ramses, Mella, Barra, Marissa, Danu dan Rangga.Suara televisi sudah dimatikan, keheningan menyelimuti saat mata Ramses memandang satu per satu anak muda yang sudah dianggap sebagai anaknya semua.“Jelaskan padaku alasanmu menodongkan senjata pada Marissa,” ujar Ramses berwibawa.Barra menarik napasnya sejenak, lalu melirik ke arah Marissa yang tertunduk.“Seminggu yang lalu, saya diserang oleh pengendara motor. Dan kemudian saya menyelidiki hal tersebut, dengan meminta rekaman CCTV jalan raya. Saya menemukan kenyataan jika
Barra dan Danu menatap Ramses penuh pertanyaan, sementara lelaki di hadapan mereka justru terlihat tenang, padahal baru saja mengeluarkan pernyataan jika anak angkat kesayangan istrinya dalam bahaya.Sungguh aneh, pikir Barra dalam hati. Danu mengubah posisi duduknya.“Pak, apa kita bisa bergerak melindunginya? Maksud saya-” usul Danu yang penuh maksud terhenti saat melihat tangan sang jenderal.Senyum Ramses mengembang sempurna. Lelaki yang sudah lebih dari separuh abad mengenyam asam manis hidup tersebut hanya menepuk pahanya dengan telapak tangannya. Matanya menyapu kedua anak laki-laki harapannya secara bergantian.Waktu sudah hampir jam sembilan malam, sudah waktunya untuk istirahat malam. Lelaki itupun bangkit berdiri,“Sudah waktunya istirahat.”“Tapi, bagaimana dengan Marissa?” tanya Barra spontan.Ramses menaikkan salah satu alisnya seraya menatap pria muda gagah di depannya. Senyumnya kembali mengembang.“Biarlah aku yang mengurusnya. Kamu selesaikan tugasmu, bukankah