Share

BAB 8. BARRA MENODONGKAN SENJATA

Mobil yang membawa istri dari Jenderal Ramses memasuki lobi utama Griya Anggrek,  suatu gedung pertemuan bagi istri petinggi militer di Negara Darlan.  Hanya orang yang memiliki kartu pengenal tertentu dapat masuk ke area gedung dengan pengamanan ketat.

Marissa membuka jendela depan dan menunjukkan kartu pengenalnya sekaligus menyebutkan siapa yang berada bersamanya.

“Nyonya Mella Ramses tiba di Griya,”  lapor salah seorang penjaga gerbang.

Setelah proses pemeriksaan mobil mewah berwarna hitam itu pun diijinkan masuk, hingga tiba di depan lobi utama dan Marissa dengan gerakan cepat turun dari kendaraan, membuka pintu penumpang.

“Selamat datang Nyonya Ramses,”  sapa seorang wanita dengan penampilan yang glamour. Mella tersenyum dan menerima uluran tangan wanita tersebut.

“Ibu, ruangan ganti ada di sebelah kiri,”  ujar Marissa pada Mella, mengingatkan.

Rupanya ucapan Marissa tidak disukai oleh wanita yang menyambut Mella, dengan tatapan sinis wanita tersebut menatap tajam pada Marissa.

“Tidak sopan!  Menyela pembicaraan, memangnya siapa kamu!”  tegur wanita tersebut ketus.

Mella terkejut, berbeda dengan Marissa yang tersenyum hormat meminta maaf.

“Maafkan saya, Nyonya.  Ibu sudah ditunggu Ibu Ketua,”  jawabnya tanpa mengurangi rasa hormat.

“Nyonya, wanita ini bukannya yang membunuh suaminya ya,”  cibir salah satu wanita lain yang baru bergabung saat terjadi sedikit perdebatan.

Degh.  Marissa menahan diri.  Tangannya sedikit mengepal walaupun dengan gerakan perlahan, ucapan dari wanita di depannya ini membuka luka batinnya lagi.

“Jaga ucapan Anda, Nyonya.  Dia anakku, dan tidak perlu menjelaskan pada kalian bukan?”  Mella menarik tangan Marissa dan meninggalkan kedua wanita lainnya dengan tatapan tajamnya.

Marissa segera mendahului dan melaporkan kedatangan Mella saat memasuki ruang tunggu.

“Icha, ikutlah masuk.  Jangan tunggu Ibu di luar, nanti para nenek sihir mengganggumu,”  ajak Mella.

“Iya Bu.”

“Dik Mella, apa kau bawa laporan yang Mbak minta?”  seseorang dengan penampilan Anggun menyambut sesaat Mella dan Mariss memasuki ruangan tersebut.

“Aduh hampir lupa Mbak, sebentar –“  Mella menggantung ucapannya dan menoleh pada Marissa.

“Icha, ambilkan berkas di map warna biru, di mobil.”

Marissa menganggukan kepala dan segera keluar kembali.  Ternyata saat dirinya melewati koridor lobi utama, grup ibu-ibu penggosip melihatnya.  Dan tentu saja tidak dilewatkan begitu saja,

“Lho, dia masih hidup ya,”  pancing si ibu yang pertama kali bertemu dengan Mella dan Marissa.

“Memangnya siapa dia?”  tanya yang lain.

“Ini lho Mbak, orang yang dulu masuk di berita, yang sudah membunuh suaminya demi selingkuhannya.”

Degh.  Langkah Marissa terhenti sejenak. Mendengar hal itu begitu menyakitkan, rasanya dia ingin membalas perkataan si ibu itu.

“Betul kan, lihat saja dia berhenti,”  ejek si ibu senang.

Marissa menoleh sambal tersenyum penuh arti.

“Saya tidak tahu mengapa Anda begitu ingin semua orang tahu tentang siapa yang membunuh suami saya.  Maaf Bu, tadinya saya sudah melupakan hal ini, tetapi saya jadi ingin menyelidiki ulang tentang kematian suami saya.  Jangan-jangan Ibu sebenarnya tahu siapa pembunuhnya?”

Ucapan Marissa seketika membungkam tawa dari tiga orang wanita yang seharusnya mempunyai martabat tinggi karena pangkat suaminya.  Merasa cukup, Marissa pun berlalu meninggalkan lobi, melanjutkan tujuannya.

Setahun atau pun puluhan tahun tetap akan menyakitkan jika kenangan buruk selalu diungkit. Marissa menitikkan air matanya saat berada dalam mobil.

“Mbak Icha, ada apa?”  Rangga, junior Marissa sekaligus supir kepercayaan untuk istri Jenderal Ramses terkejut.

“Tidak apa-apa, Ngga.”

“Apa Mbak Icha masih terasa sakit tadi jatuh dari motor?”

“Tidak apa-apa.  Aku masuk dulu, sudah ditunggu Ibu.”

Marissa bergegas pergi menghindari pertanyaan Rangga.  Dia selalu memendamnya sendiri, sebab itu lebih baik.

Acara pertemuan para istri petinggi militer Darlan sedang berlangsung, Marissa menunggu di luar Bersama dengan ajudan yang lain.  Seperti biasa Marissa akan diam seribu Bahasa ketika para juniornya bercanda.

Di antara semua pengawal pribadi wanita hanya Marissa yang mempunyai pangkat lebih tinggi dari mereka.  Rata-rata mereka adalah bintara baru yang usianya pun masih dua puluh sampai dua puluh tiga tahun.

“Kamu pengawalnya Nyonya Ramses kan?”  tiba-tiba lamunan Marissa dikejutkan oleh suara laki-laki.

“Ya betul. Ada apa, Bang?”  Marissa segera berdiri sigap.

“Ikut aku, ada yang ingin bertemu denganmu.”

Marissa tersenyum sedikit saat sosok itu berbalik dan mendahului berjalan.

***

Seminggu berlalu,

Sejak kejadian penembakan terhadap Barra dan Danu, lelaki itu  menyelidiki siapa pengendara motor itu.

Barra menggunakan pengaruh Ramses untuk bisa mendapatkan rekaman kamera CCTV di pom bensin.  Dan membuatnya terkejut.

Sore hari di kediaman Ramses, suasana tenang  berubah menjadi kegaduhan saat tiba-tiba Barra menodongkan pistolnya pada Marissa.

“Katakan siapa kamu sebenarnya!”

Marissa yang baru saja olah raga sore terkejut.  Tangannya refleks terangkat ka atas, ketika mulut pistol mengarah padanya.

“Ijin, Kapt.  Ada apa ini?”  ucap Marissa berusaha tenang dan juga tidak memancing emosi.

“Jangan pura-pura kamu!”  bentak Barra tajam.

Raut wajahnya semakin terlihat menyeramkan bagi Marissa.  Dalam keadaan biasa saja, sosok itu sangat datar tanpa ekspresi.  Mendengar bentakan Barra, wanita itu hanya bisa menatap bingung.

“Baik Kapt, letakkan dahulu senjata Anda.  Saya akan menjawab semua pertanyaan Anda,”  bujuk Marissa.

Hari menjelang maghrib, menurut kepercayaan waktu matahari tenggelam pintu kerajaan iblis terbuka sehingga banyak setan yang berlalu lalang.  Barra perlahan menurunkan senjatanya, tetapi tatapannya tetap penuh ancaman.

“Terima kasih, Kapt.  Sekarang apa yang harus saya jawab, Kapt?”

Marissa memberi tanda  berhenti pada beberapa pelayan yang mulai mendekat sebab melihat keributan itu.  Ramses dan Mella sedang menghadiri acara pernikahan kolega bisnis, dan hanya membawa ajudan Ramses saja.

Lain halnya dengan Danu dan Rangga yang seketika berlarian ketika mendengar pelayan berteriak minta tolong.

“Bang! Bang!”  seru Danu seraya mendekat dan memegang tangan Barra, sementara Rangga segera berdiri di depan Marissa dan siap menjadi penghalang dari Barra.

“Kalian sekongkol?”  tuduh Barra.  Pandangan dua lelaki itu kini saling menusuk.  Rangga tidak takut sama sekali.

“Bang, Bapak dalam perjalanan pulang,”  bisik Danu sambil menarik tangan Barra menjauhi Marissa.

Begitupun Rangga, menarik tangan Marissa.

“Lihat, Mbak.  Orang yang kamu lindungi justru menodongkan senjata padamu.”

Deg.  Barra dan Danu terhenti.

“Tunggu!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status