Share

BAB 7. BARRA DAN DANU DISERANG

Proses pengisian bahan bakar si pengendara berjaket hitam selesai.  Dia segera menghidupkan motornya dan melaju pergi keluar dari area pom bensin.

Demikian juga mobil dinas Barra mulai beranjak keluar dari area pengisian bahan bakar, dan kini melaju ke jalan utama.  Namun tidak terlihat satu pun pengendara yang berjaket hitam itu.

“Bang, mereka sudah tidak ada.”

“Hmm.”

Kembali Barra mengecek GPS, setelah melalui pertigaan tidak ada lagi fasilitas umum.  Barra berpikir sejenak, perasaannya mengatakan akan terjadi sesuatu, sebelumnya dia pernah merasakan hal itu.

“Kita ke mana, Bang?”  tanya Danu.

“Belok kanan.”

“Yakin Bang?”  Danu menoleh pada Barra.

Jalan yang akan dilalui merupakan jalan sepi yang akan menuju ke pegunungan sehingga dalam jarak tertentu tidak akan ditemui perkampungan.  Kiri kanan di penuhi dengan kebun kelapa yang sawit.

“Ya, aku tahu.”

Tekanan suara Barra penuh misteri.  Danu hanya bergidik sendiri mendengarnya.  Selama ini seniornya terlalu sulit ditebak ketika menjalankan sebuah operasi rahasia, meskipun demikian Danu tetap percaya pada intuisi sang prajurit terbaik itu.

Duar!

Mobil seketika oleng.  Danu memegang erat kemudi, sementara Barra mengeluarkan pistol dari balik seragamnya.  Motor dengan kecepatan tinggi terdengar dari arah belakang dan menuju sisi kiri mobil.

Dor. Dor. Dor.

Sosok yang berada di belakang pengendara melepaskan tembakan ke arah Barra.  Barra mengambil posisi ke tempat duduk penumpang di tengah mobil.  Kemudian dengan menurunkan kaca mobil sedikit, Barra membalas tembakan tersebut.

Dor. Dor.

Dua tembakan di lepas.  Namun karena posisi yang bergerak tidak stabil membuat tembakan Barra tidak tepat sasaran.  Walaupun salah satu roda mobil sudah pecah, namun Danu tetap melajukan kendaraannya.

“Bang, apa kita satu lawan satu?  Mereka hanya berdua,”  usul Danu pada Barra.

“Sepertinya mereka hanya menahan laju kita, sebentar lagi pasti ada yang datang.  Baiklah kita berhenti!”

Barra merasa geram, dia pun mengisi pistolnya kembali, diikuti oleh Danu, setelah mobil berhenti lelaki itu pun mengeluarkan senjatanya dari balik jaketnya.  Barra terkejut,

“Kamu sudah siap dengan senjatamu?”  tanya lelaki itu heran.

“Saya selalu membawanya, Bang.  Apalagi sejak istri saya sering diintimidasi orang, membuat saya harus menggertak dengan senjata ini.”

Barra tercekat, ya keadaan yang membuat seseorang mengingkari sumpah sebagai  Militer Negara Darlan.  Penggunaan senjata telah diatur dalam sebuah undang-undang tertentu, namun keadaan telah membuat Danu mengambil risiko sebab keluarga tetaplah hal kedua yang perlu dia lindungi setelah negara.

Setelah mobil berhenti, Barra dan Danu segera keluar dan berlindung di balik badan mobil.  Motor penyerang kembali memutar arah, dan sesuai dengan dugaan dari Barra dari arah berlawanan datang sebuah motor hitam mendekat.

Barra dan Danu membagi tugas. Mereka segera membidik roda motor dari dua sisi berlawanan.

Dor. Dor.

Danu membidik motor yang baru saja datang, sementara Barra membidik motor yang berisi dua orang.

Tidak terima diserang, sosok yang berada di belakang melepaskan tembakan ke arah Barra, namun tidak semudah yang diharapkan.  Barra bukanlah seorang yang baru pertama kali menghadapi serangan frontal seperti ini.  Kesigapannya menghidar dan mencari perlindungan  memperlihatkan bila Barra dan Danu cukup terlatih.

Danu menyerang roda motor, dengan perhitungan yang matang junior Barra melepaskan tembakan dan tepat mengenai sasaran bagian depan motor lawan.

Motor oleng dan hampir jatuh, tetapi sang pengendara ternyata memiliki ketangkasan yang baik dalam mengendarai motor.  Hanya dalam hitungan detik, sang pengendara motor kemudian melajukan kendaraan roda dua tersebut pergi meninggalkan Barra dan Danu.

“Sial!”  maki Danu jengkel.  Rasanya ingin mencabik tokoh dibalik insiden penembakan ini, dan menarik keluar dalangnya.

Tidak mungkin jika penyerang mereka saat ini tidak memiliki pemimpin, jika Barra yang menjadi target sepertinya Danu mengetahui siapa actor utamanya.

“Bang, sepertinya sang pemain lama masih penasaran,”  ujar Danu.

Barra menghela napasnya, membuang perlahan dan menghirup yang baru.  Pikirannya seperndapat dengan Danu, hanya saja dia belum mengetahui siapa nama sosok besar itu.

“Dan, apa kamu tahu siapa nama orang yang berbicara denganku setelah usai siding?”

Danu baru selesai memasukkan kembali senjatanya dan kemudian mengambil sisa kelonsong peluru.

“Siap Bang, saya tidak mengenalnya.  Abang tidak baca papan namanya?”

Barra menggeleng, “Saat itu pikiranku hanya ingin bergerak cepat menyampaikan kejanggalan satu demi satu.”

Barra meruntuki kebodohannya.  Mengapa matanya tidak melihat nama yang ada di dada sang petinggi militer itu.

Semoga saja ingatannya masih dapat mengenali sosok tersebut.

Mereka pun mengganti roda mobil dengan roda cadangan, sementara Danu sibuk dengan kegiatannya, mata Barra justru melihat motor hitam melewati dan pengendara itu sempat menoleh melihat pada Barra.

“Mata itu,”  gumam Barra seraya mengingat seseorang.

***

Di sebuah salon ternama.

Mella terlihat menghubungi seseorang melalui ponselnya.  Namun kegiatannya terhenti setelah melihat Marissa datang menjemputnya.

“Maaf Ibu, Icha terlambat.”

Marissa segera mengambil alih tas jinjing dan juga beberapa perlengkapan milik Mella.

“Ada tugas dari Bapak?”  tanya Mella seraya berjalan mendahului.

Marissa mengikuti langkah Mella setelah memastikan tidak ada lagi yang tertinggal.  Dia hanya tersenyum menjawab pertanyaan Mella.

Hal yang selalu bisa ditebak oleh Mella, Marissa tidak akan pernah membawa cerita seputar pekerjaannya di kantor.  Tugasnya sebagai ajudan dan juga pengawal pribadi Mella adalah tugas tambahan, namun Mella harus memahami saat tugas utama sebagai prajurit memerlukan perhatian lebih, Mella tidak boleh menghalangi.

Satu jam lamanya Mella menunggu wanita itu menjemput, dirinya tidak akan marah seperti istri pejabat lainnya.

“Bu, kita langsung ke Griya Anggrek?”  tanya Marissa lembut.

“Iya langsung ke sana saja. Coba cek, kata Ibu Ketua ruang ganti berada dekat lobi utama.”

Mendengar penjelasan itu, Marissa bergerak cepat menghubungi ajudan dari Ibu Ketua, memastikan segalanya telah diatur dengan sempurna.

“Benar Bu, semua sudah disiapkan.  Beberapa ibu pejabat daerah sudah berada di sana.”

Mella tersenyum puas dengan kinerja Marissa.  Tidak salah perasaannya menilai wanita ini, meskipun rumor yang beredar tentangnya buruk tetapi insting seorang ibu dapat merasakan ketulusan dan juga kebaikan hati Marissa.

“Sudah makan, Cha?”

“Sudah bu,”  jawab Marissa.

“Ada apa dengan tanganmu?  Kamu habis jatuh, Cha?”

Degh.  Marissa tercekat.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status