Proses pengisian bahan bakar si pengendara berjaket hitam selesai. Dia segera menghidupkan motornya dan melaju pergi keluar dari area pom bensin.
Demikian juga mobil dinas Barra mulai beranjak keluar dari area pengisian bahan bakar, dan kini melaju ke jalan utama. Namun tidak terlihat satu pun pengendara yang berjaket hitam itu.
“Bang, mereka sudah tidak ada.”
“Hmm.”
Kembali Barra mengecek GPS, setelah melalui pertigaan tidak ada lagi fasilitas umum. Barra berpikir sejenak, perasaannya mengatakan akan terjadi sesuatu, sebelumnya dia pernah merasakan hal itu.
“Kita ke mana, Bang?” tanya Danu.
“Belok kanan.”
“Yakin Bang?” Danu menoleh pada Barra.
Jalan yang akan dilalui merupakan jalan sepi yang akan menuju ke pegunungan sehingga dalam jarak tertentu tidak akan ditemui perkampungan. Kiri kanan di penuhi dengan kebun kelapa yang sawit.
“Ya, aku tahu.”
Tekanan suara Barra penuh misteri. Danu hanya bergidik sendiri mendengarnya. Selama ini seniornya terlalu sulit ditebak ketika menjalankan sebuah operasi rahasia, meskipun demikian Danu tetap percaya pada intuisi sang prajurit terbaik itu.
Duar!
Mobil seketika oleng. Danu memegang erat kemudi, sementara Barra mengeluarkan pistol dari balik seragamnya. Motor dengan kecepatan tinggi terdengar dari arah belakang dan menuju sisi kiri mobil.
Dor. Dor. Dor.
Sosok yang berada di belakang pengendara melepaskan tembakan ke arah Barra. Barra mengambil posisi ke tempat duduk penumpang di tengah mobil. Kemudian dengan menurunkan kaca mobil sedikit, Barra membalas tembakan tersebut.
Dor. Dor.
Dua tembakan di lepas. Namun karena posisi yang bergerak tidak stabil membuat tembakan Barra tidak tepat sasaran. Walaupun salah satu roda mobil sudah pecah, namun Danu tetap melajukan kendaraannya.
“Bang, apa kita satu lawan satu? Mereka hanya berdua,” usul Danu pada Barra.
“Sepertinya mereka hanya menahan laju kita, sebentar lagi pasti ada yang datang. Baiklah kita berhenti!”
Barra merasa geram, dia pun mengisi pistolnya kembali, diikuti oleh Danu, setelah mobil berhenti lelaki itu pun mengeluarkan senjatanya dari balik jaketnya. Barra terkejut,
“Kamu sudah siap dengan senjatamu?” tanya lelaki itu heran.
“Saya selalu membawanya, Bang. Apalagi sejak istri saya sering diintimidasi orang, membuat saya harus menggertak dengan senjata ini.”
Barra tercekat, ya keadaan yang membuat seseorang mengingkari sumpah sebagai Militer Negara Darlan. Penggunaan senjata telah diatur dalam sebuah undang-undang tertentu, namun keadaan telah membuat Danu mengambil risiko sebab keluarga tetaplah hal kedua yang perlu dia lindungi setelah negara.
Setelah mobil berhenti, Barra dan Danu segera keluar dan berlindung di balik badan mobil. Motor penyerang kembali memutar arah, dan sesuai dengan dugaan dari Barra dari arah berlawanan datang sebuah motor hitam mendekat.
Barra dan Danu membagi tugas. Mereka segera membidik roda motor dari dua sisi berlawanan.
Dor. Dor.
Danu membidik motor yang baru saja datang, sementara Barra membidik motor yang berisi dua orang.
Tidak terima diserang, sosok yang berada di belakang melepaskan tembakan ke arah Barra, namun tidak semudah yang diharapkan. Barra bukanlah seorang yang baru pertama kali menghadapi serangan frontal seperti ini. Kesigapannya menghidar dan mencari perlindungan memperlihatkan bila Barra dan Danu cukup terlatih.
Danu menyerang roda motor, dengan perhitungan yang matang junior Barra melepaskan tembakan dan tepat mengenai sasaran bagian depan motor lawan.
Motor oleng dan hampir jatuh, tetapi sang pengendara ternyata memiliki ketangkasan yang baik dalam mengendarai motor. Hanya dalam hitungan detik, sang pengendara motor kemudian melajukan kendaraan roda dua tersebut pergi meninggalkan Barra dan Danu.
“Sial!” maki Danu jengkel. Rasanya ingin mencabik tokoh dibalik insiden penembakan ini, dan menarik keluar dalangnya.
Tidak mungkin jika penyerang mereka saat ini tidak memiliki pemimpin, jika Barra yang menjadi target sepertinya Danu mengetahui siapa actor utamanya.
“Bang, sepertinya sang pemain lama masih penasaran,” ujar Danu.
Barra menghela napasnya, membuang perlahan dan menghirup yang baru. Pikirannya seperndapat dengan Danu, hanya saja dia belum mengetahui siapa nama sosok besar itu.
“Dan, apa kamu tahu siapa nama orang yang berbicara denganku setelah usai siding?”
Danu baru selesai memasukkan kembali senjatanya dan kemudian mengambil sisa kelonsong peluru.
“Siap Bang, saya tidak mengenalnya. Abang tidak baca papan namanya?”
Barra menggeleng, “Saat itu pikiranku hanya ingin bergerak cepat menyampaikan kejanggalan satu demi satu.”
Barra meruntuki kebodohannya. Mengapa matanya tidak melihat nama yang ada di dada sang petinggi militer itu.
Semoga saja ingatannya masih dapat mengenali sosok tersebut.
Mereka pun mengganti roda mobil dengan roda cadangan, sementara Danu sibuk dengan kegiatannya, mata Barra justru melihat motor hitam melewati dan pengendara itu sempat menoleh melihat pada Barra.
“Mata itu,” gumam Barra seraya mengingat seseorang.
***
Di sebuah salon ternama.
Mella terlihat menghubungi seseorang melalui ponselnya. Namun kegiatannya terhenti setelah melihat Marissa datang menjemputnya.
“Maaf Ibu, Icha terlambat.”
Marissa segera mengambil alih tas jinjing dan juga beberapa perlengkapan milik Mella.
“Ada tugas dari Bapak?” tanya Mella seraya berjalan mendahului.
Marissa mengikuti langkah Mella setelah memastikan tidak ada lagi yang tertinggal. Dia hanya tersenyum menjawab pertanyaan Mella.
Hal yang selalu bisa ditebak oleh Mella, Marissa tidak akan pernah membawa cerita seputar pekerjaannya di kantor. Tugasnya sebagai ajudan dan juga pengawal pribadi Mella adalah tugas tambahan, namun Mella harus memahami saat tugas utama sebagai prajurit memerlukan perhatian lebih, Mella tidak boleh menghalangi.
Satu jam lamanya Mella menunggu wanita itu menjemput, dirinya tidak akan marah seperti istri pejabat lainnya.
“Bu, kita langsung ke Griya Anggrek?” tanya Marissa lembut.
“Iya langsung ke sana saja. Coba cek, kata Ibu Ketua ruang ganti berada dekat lobi utama.”
Mendengar penjelasan itu, Marissa bergerak cepat menghubungi ajudan dari Ibu Ketua, memastikan segalanya telah diatur dengan sempurna.
“Benar Bu, semua sudah disiapkan. Beberapa ibu pejabat daerah sudah berada di sana.”
Mella tersenyum puas dengan kinerja Marissa. Tidak salah perasaannya menilai wanita ini, meskipun rumor yang beredar tentangnya buruk tetapi insting seorang ibu dapat merasakan ketulusan dan juga kebaikan hati Marissa.
“Sudah makan, Cha?”
“Sudah bu,” jawab Marissa.
“Ada apa dengan tanganmu? Kamu habis jatuh, Cha?”
Degh. Marissa tercekat.
***
Mobil yang membawa istri dari Jenderal Ramses memasuki lobi utama Griya Anggrek, suatu gedung pertemuan bagi istri petinggi militer di Negara Darlan. Hanya orang yang memiliki kartu pengenal tertentu dapat masuk ke area gedung dengan pengamanan ketat.Marissa membuka jendela depan dan menunjukkan kartu pengenalnya sekaligus menyebutkan siapa yang berada bersamanya.“Nyonya Mella Ramses tiba di Griya,” lapor salah seorang penjaga gerbang.Setelah proses pemeriksaan mobil mewah berwarna hitam itu pun diijinkan masuk, hingga tiba di depan lobi utama dan Marissa dengan gerakan cepat turun dari kendaraan, membuka pintu penumpang.“Selamat datang Nyonya Ramses,” sapa seorang wanita dengan penampilan yang glamour. Mella tersenyum dan menerima uluran tangan wanita tersebut.“Ibu, ruangan ganti ada di sebelah kiri,” ujar Marissa pada Mella, mengingatkan.Rupanya ucapan Marissa tidak disukai oleh wanita yang menyambut Mella, dengan tatapan sinis wanita tersebut menatap tajam pada Marissa.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Makan malam telah usai dan kini mereka semua berkumpul di ruang keluarga.Mella menangis mendengar cerita dari beberapa pelayan yang menghubunginya lewat telepon. Ramses tidak habis piker mengapa Barra begitu membenci Marissa hingga tega menodongkan senjata.“Barra ada apa ini?”Sebelumnya Ramses meminta beberepa pelayan bercerita, dan kemudian menyuruh para pelayan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Yang tersisa adalah Ramses, Mella, Barra, Marissa, Danu dan Rangga.Suara televisi sudah dimatikan, keheningan menyelimuti saat mata Ramses memandang satu per satu anak muda yang sudah dianggap sebagai anaknya semua.“Jelaskan padaku alasanmu menodongkan senjata pada Marissa,” ujar Ramses berwibawa.Barra menarik napasnya sejenak, lalu melirik ke arah Marissa yang tertunduk.“Seminggu yang lalu, saya diserang oleh pengendara motor. Dan kemudian saya menyelidiki hal tersebut, dengan meminta rekaman CCTV jalan raya. Saya menemukan kenyataan jika
Barra dan Danu menatap Ramses penuh pertanyaan, sementara lelaki di hadapan mereka justru terlihat tenang, padahal baru saja mengeluarkan pernyataan jika anak angkat kesayangan istrinya dalam bahaya.Sungguh aneh, pikir Barra dalam hati. Danu mengubah posisi duduknya.“Pak, apa kita bisa bergerak melindunginya? Maksud saya-” usul Danu yang penuh maksud terhenti saat melihat tangan sang jenderal.Senyum Ramses mengembang sempurna. Lelaki yang sudah lebih dari separuh abad mengenyam asam manis hidup tersebut hanya menepuk pahanya dengan telapak tangannya. Matanya menyapu kedua anak laki-laki harapannya secara bergantian.Waktu sudah hampir jam sembilan malam, sudah waktunya untuk istirahat malam. Lelaki itupun bangkit berdiri,“Sudah waktunya istirahat.”“Tapi, bagaimana dengan Marissa?” tanya Barra spontan.Ramses menaikkan salah satu alisnya seraya menatap pria muda gagah di depannya. Senyumnya kembali mengembang.“Biarlah aku yang mengurusnya. Kamu selesaikan tugasmu, bukankah
Mata Barra hampir keluar dari kelopaknya saat melihat sosok yang bersembunyi dalam bagasi mobilnya. Begitupun dengan sosok yang kini berhadapan dengan lubang pistol yang mengarah pada kepalanya.Raut wajahnya terkejut dan bingung, semua kata-kata yang sudah disiapkan raib bersama angin malam yang berembus menerpa. Tiga jam bukan waktu yang sebentar untuk tetap tenang dalam bagasi.Marissa beradu pandang dengan Barra.“Sepertinya Anda memang ditakdirkan untuk menembak saya, Kapt.”Barra tersadar dari terkejutnya, perlahan dia menurunkan pistolnya dan memasukkan kembali pada jaket hitamnya.“Kamu memata-matai saya?”“Justru saya yang bingung kenapa saya ada di mobil Anda, Kapt. Pasti Rangga salah mengenali sasaran,” sungut Marissa seraya berusaha keluar dari dalam bagasi.Kakinya terasa mati rasa, begitupun dirinya yang lega bisa menghirup napas. Lebih lama lagi mungkin Marissa akan pingsan.Mendengar nama Rangga, Barra mulai bisa mengerti apa yang sedang mereka rencanakan.“Panta
Suasana penuh dengan lautan manusia saat Barra dan Marissa tiba di lapangan alun-alun kota. Marissa harus memeluk tangan Barra saat menembus barisan warga yang bergembira melihat MC memandu acara.Dan sesuai dengan spanduk yang di gelar, acara tersebut bisa dikatakan sebagai kampanye terselubung. Pemilihan kepala daerah masih tahun depan, namun beberapa oknum mencuri start untuk mencari simpati masyarakat.Lagu lama dan basi, sungut Barra. Lelaki itu menerobos hingga mendekati panggung, tangannya menggenggam erat tangan Marissa yang berjalan tepat di belakangnya.“Kita di sini saja, bisakah kamu melihat?” bisik Barra.Marissa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Posisinya saat ini dekat dengan sisi sebelah kanan panggung.“Banyak juga pasukan yang berjaga, bukankah ini illegal?” bisik Marissa juga.“Tetap harus dijaga, karena melibatkan banyak orang. Dan pastinya alasannya bakti sosial.”Marissa mengangguk, matanya memicing jauh di belakang panggung. Barra pun melihat hal ya
Menjelang malam hari pasangan Barra dan Marissa baru kembali ke penginapan. Kedua pasangan paruh baya -sang pemilik penginapan- menyambut riang.“Wah, kalian sangat menikmati masa bulan madu kalian, ya,” ujar Ibu Ningsih seraya melirik suaminya.Marissa tertawa melihatnya, “Pak, sepertinya Ibu memberi kode keras untuk diajak refreshing.”Karno membalas lirikan sang istri dengan sedikit ketus, “Lalu siapa yang mengurus penginapan ini? Anak-anak semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.”“Oh! Berapa anaknya, Pak? Dan di mana mereka sekarang?”“Anak kami ada dua orang, laki-laki semua. Yang pertama jadi MND sementara yang kedua jadi pelaut. Semuanya tidak berada di kota ini.”Barra sedikit memicingkan tatapannya saat Bu Ningsih menjelaskan kedua anak mereka. MND adalah singkatan dari Militer Negeri Darlan, cukup menarik perhatiannya. Lelaki itu pun bersiap mencari informasi namun wanita di sebelahnya labih aktif dari dirinya.“Wah keren. Anak pertama kalian sungguh gagah, ja
Sekali hentakan, tangan Barra sudah merebut pistol yang ada di genggaman sosok asing itu. Entah bagaimana bisa masuk, tetapi otak pintar Marissa segera bekerja.“Apakah pantas seorang anak mengunjungi orang tuanya dengan cara begini?”Marissa melangkah mendekat dan kemudian berdiri tepat di depan sosok yang kini berada dalam kekuasaan Barra. Keributan di luar kamar, otomatis membuat pasangan suami istri pemilik penginapan keluar.Betapa terkejutnya Ningsih dan Karno saat melihat siapa yang datang. Tegar putera sulung mereka yang kini menatap nanar, bukan, bukan lagi nanar tetapi sudah duduk berimpuh di lantai saat matanya beradu pandang dengan kedua netra orang tua tersebut.“Tegar, kamu pulang nak?” Ningsih berlari melewati Marissa dan memeluk tubuh sang putera.“Bangun nak, ada apa ini. Bangunlah.”Berbeda dengan istrinya, Pak Karno justru terkejut ketika melihat sebuah senjata ada digenggaman Barra. Walaupun dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, namun perasaannya sebagai
Keesokan harinya.“Pa, Papa! Lihat berita!” Mella memanggil suaminya penuh semangat.Matanya menatap antusias pada siaran langsung yang sedang dibawakan oleh presenter. Isi beritanya lah yang membuatnya histeris hingga Mella memanggil suaminya begitu antusias.Ramses usai membaca pesan pada ponsel pribadinya setelah itu segera bergabung melihat berita bersama sang istri. Senyumnya mengembang saat menyimak apa yang saat ini menjadi berita terpanas.“Mereka luar biasa jika bersatu.” Ramses bergumam dengan bangganya.“Maksud papa bagaimana? Apa maksudnya bersatu?”Ramses melirik pada sang wanitanya, dengan senyum yang tentu saja membuat Mella -sang istri- penasaran. Sejak kejadian malam itu, Mella sudah berhenti berusaha menjodohkan Barra dengan Marissa, sebab sebagai seorang yang sudah menganggap Marissa sebagai anak, Mella merasa sakit ketika anaknya itu mendapatkan perlakuan kasar.Kini mendengar kalimat bersatu tentu saja hati Mella tidak tenang, takut Marissa akan terluka untuk