Share

Kembang Desa Milik Polisi Tampan
Kembang Desa Milik Polisi Tampan
Author: Rich Ghali

Part 1. Lima Ratus Ribu

[Mis, lu punya uang gak? Gue minjam dong. Lima ratus ribu aja, buar bayar uang kost.] Aku mengirim pesan pada Miska. Berharap kali ini dia dapat menolong. Sebab, uangku telah habis, sementara sewa kost harus segera dibayar. Gajian juga masih dua minggu lagi.

Tidak ada jawaban, sementara pesan centang dua biru. Pertanda bahwa pesan telah dibaca.

Kutunggu selama lima belas menit. Tetap saja tidak ada jawaban dari temanku itu. Sialan memang. Ketika dia butuh, langsung lari padaku. Sementara ketika aku yang butuh, ia seakan lepas tangan.

[Mis, lu punya gak?] Lagi, kukirim pesan sebagai penegasan bahwa aku benar-benar butuh.

Kini di layar tampak keterangan sedang mengetik.

Aku menghela napas lega. Setidaknya ada sedikit harapan bahwa Miska ingin membantu.

[Sorry ya, baru gue bales. Soalnya tadi gue lagi itung-itungan. Uang di tangan gue ada 2 juta. Tapi buat bayar uang kuliah lusa. Paling ini sisa seratus. Mau?]

Aku berdecak kesal. Seratus mungkin cukup membantu, tapi tetap saja tidak bisa menutupi biaya sewa kost.

Aku meraih dompet. Hanya sisa uang receh untuk membeli makan beberapa hari ke depan.

Lagi-lagi aku hanya bisa menarik napas dengan berat. Kukira kerja di kota akan seindah yang kulihat di sosial media. Bisa makan di tempat mewah, bisa jalan-jalan ke mana pun yang diinginkan. Nyatanya gaji yang kudapat hanya cukup untuk sewa kost juga uang makan.

[Lu mau kerjaan gak?]

Lagi, Miska mengirim pesan.

Aku mengerutkan kening. Bukankah ia tahu bahwa aku telah bekerja? Atau mungkin ia ingin menawarkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi? Aku menerka-nerka.

[Kamu punya aplikasi Michat gak?] Lagi, ia mengirim pesan sebelum aku membalas pesan sebelumnya.

[Punya, kenapa?] Aku menjawab.

[Coba kamu open BO.] Ia mengirim pesan dengan kilat.

Aku tertawa miris. Gila! Enteng sekali dia berkata seperti itu. Seakan wanita tidak ada harga dirinya. Tentu saja aku tidak mau. Prinsipku sejak dulu cuma satu. Suamiku tidak boleh mendapatkan bekas lelaki mana pun.

[Gue gak maksa, cuma nyaranin aja. Lu masih perawan ‘kan? Harganya bisa lebih mahal.]

Sejenak aku terdiam setelah membaca pesan dari Miska. Dia hanya mahasiswa, tapi jajannya sangat banyak. Ia juga sering nongkrong di tempat-tempat mewah. Jalan-jalan ke sana ke mari, seperti yang aku impikan. Tidak mungkin jika ia hanya mengendalikan uang kiriman dari orangtuanya yang aku tahu betul mereka tidak sekaya itu.

[Udah pernah nyoba?] Aku menjadi penasaran. Ingin tahu lebih jauh lagi.

Kutunggu beberapa menit, tidak ada balasan. Ah, sudahlah. Tampaknya memang tidak ada harapan.

Aku bangkit dari kasur lantai, bergegas menuju kamar mandi. Ingin membersihkan diri sehabis pulang dari kerja.

Baru saja kunyalakan kran air, ponsel berdering. Ada panggilan masuk, entah dari siapa.

Segera kumatikan kembali air kran, keluar dari kamar mandi untuk meraih ponsel yang masih berdering. Tertulis nama Miska di sana.

Aku mengerutkan kening, bingung. Mengapa tiba-tiba ia menelepon? Namun, tetap saja panggilan itu kuterima.

“Lu mau gak?” Itu kalimat pertama yang terucap dari bibirnya setelah panggilan terhubung.

Aku terdiam beberapa saat. Aku sangat butuh uang, tapi jika harus menjual diri, risikonya sangat besar.

“Din ....” Miska memanggil, membuatku tersentak dari lamunan singkat.

“Ya gue gak maulah. Kayak gak ada jalan lain aja.” Aku menjawab dengan cepat, juga tegas.

“Emang lu punya jalan lain?”

Pertanyaan Miska membuatku terdiam kembali. Dia benar, aku tidak punya jalan apa pun. Jalanku telah buntu, itulah sebabnya aku mencari pinjaman ke sana kemari. Namun, tak kunjung mendapatkan jalan.

“Gue punya kenalan, kalau lu mau gue bisa ajak lu buat ketemu dia. Tadi gue sambil negosiasi. Dia mau bayar 500 ribu, soalnya lu belum pernah dipake.”

Aku tertawa hambar. Nominal yang Miska sebutkan terlalu kecil untuk harga sebuah keperawanan. Yang benar saja harganya semurah itu? Kupikir nominalnya bisa lebih besar.

“Gimana? Dia minta deal ini.” Miska kembali meminta persetujuan.

Aku menarik napas dalam. Tidak bisa berpikir lebih lama, langsung mengiyakan. Tidak ada pilihan lain, aku sangat butuh uang.

“Yasudah. Entar gue jemput, sekarang lu siap-siap.” Miska terdengar senang.

Aku hanya mengangguk meskipun kutahu ia tidak bisa melihat. Panggilan terputus setelahnya. Kulempar ponsel ke kasur, lalu bergegas menuju kamar mandi.

***

Klakson motor terdengar berbunyi beberapa kali di depan pintu kost. Aku bangkit berdiri, berjalan menuju pintu untuk membukakan.

Tampak Miska telah siap dengan setelan yang menurutku sangat terbuka. Ia mengerutkan kening melihat tampilanku.

“Mau kondangan lu?” Miska berkomentar.

Aku mengigit bibir bawah. “Ada salinan di dalam tas. Gue gak nyaman kalau make pakaian terbuka di depan umum.” Aku menjawab dengan ragu.

Miska menarik napas dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. “Yaudah, naik. Yang penting entar pelanggan lu buat puas.”

Aku mengangguk. Setelah mengunci pintu kost, segera aku naik ke jok belakang dengan pegangan pada pinggang Miska. Ia tampaknya sudah terbiasa dengan setelan seperti itu, tampak begitu nyaman dengan apa yang ia pakai. Sementara di postingannya ia tidak pernah seterbuka itu, mungkin menghindari kecurigaan orangtuanya.

“Loh, kok ke sini?” Aku bertanya penuh heran ketika motor berbelok ke kompleks warung psk.

Aku tahu betul tempat yang kami kunjungi ini sangat tidak aman dan rawan razia Satpol-PP. Terkadang polisi langsung yang turun tangan, sebab di sini tempat judi dan barang-barang haram.

“Terus ke mana lagi? Daripada uangnya kepotong buat sewa hotel. Di sini lebih murah.” Miska berucap dengan santai.

“Batalin aja, ya.” Nyaliku semakin dibuat menciut.

Melihat kondisi sekitar, bisa dibayangkan seperti apa pelanggan yang dimaksud oleh Miska. Bertato, bau, dan tidak terawat. Aku tidak ingin memberikan kesucianku untuk orang semacam itu. Jika memang harus menjual diri, setidaknya di tempat yang sedikit lebih layak dibanding ini.

Seorang pria berlari menghampiri kami setelah Miska melambaikan tangan.

Aku menghela napas dalam. Tebakanku sangat benar. Lelaki itu tinggi, tapi kurus. Ia tidak mengenakan baju. Tubuhnya penuh tato dengan bau alkohol yang menyengat.

“Jangan hiraukan bau alkoholnya, pikirkan nominal uangnya.” Miska berbisik ketika melihat aku mengibaskan tangan karena tidak tahan dengan bau lelaki itu.

“Lumayan.” Lelaki itu berucap sembari menatapku dari atas hingga bawah.

“Uangnya di muka.” Miska berucap dengan tegas.

“Aman.” Lelaki itu merogoh saku, lalu mengeluarkan dompet yang menurutku isinya tidak terlalu tebal. Seperti penampilan dan tampangnya, ia bukan orang beruang.

Lelaki itu menyerahkan delapan lembar uang seratus ribu. Miska menerima dengan senyum merekah. Tampak sekali ia sangat senang ketika mengulurkan tangan.

“Nih, lima ratus ribu. Dua jam lagi gue jemput ke sini.” Miska berucap sembari menyerahkan lembaran uang itu.

Sial, pantas saja dia senang. Ternyata ia sengaja menjualku karena ia mendapat komisi yang nominalnya tidak jauh berbeda. Enak sekali dia, aku yang kerja, dia yang kenyang.

Miska menyalakan motor dan bergegas pergi, aku ditarik oleh lelaki itu untuk memasuki sebuah bilik yang cukup bau.

Jantungku seakan berhenti berdetak. Napas tertahan untuk beberapa saat. Tubuhku gemetar. Keringet dingin membasahi jidat. Aku benar-benar sangat takut ketika kedua tangan lelaki itu hendak melepas pakaian yang melekat di tubuhku.

Seketika aku merasa sangat kotor dan berdosa. Meminta pengampunan terhadap Tuhan untuk jalan salah yang telah aku tempuh.

Kupejamkan mata sembari melapalkan doa, jika aku mati dalam berzina, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi ketika bajuku terjatuh ke lantai. Secara bersamaan terdengar sirine mobil polisi, membuat lelaki itu menghentikan aksi dan lekas berlari pergi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nengy Rohaeni
ceritanya ada suka dan ada dukanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status