Aku menghabiskan sisa sore di rooftoop. Hingga cahaya keungunan di kejauhan sana berubah menjadi gelap. Aroma tubuh Sergio masih tertinggal di tempat tadi ia duduk. Ia memakai parfum dengan ketahanan yang lama. “Kau sudah saya beri peringatan berkali-kali. Jangan menyesal di kemudian hari.” Suara berat Clayton terdengar menyapa telinga.Anak itu lagi! Apa dia tidak bosan ikut campur masalah hidupku? Aku tidak menanggapi. Ia mengambil posisi duduk di tempat di mana tadi Sergio duduk. Tatapan mereka hampir sama, mematikan. Aku membuang muka dengan menatap ke arah luar. Malam ini tidak ada bintang sama sekali di langit sana. “Sergio jarang ke sini. Biasanya dia ke sini hanya hari Minggu setelah ibadah di gereja. Atau ketika ada penyewa yang baru.” Lelaki itu berucap tanpa kuminta. Aku tetap diam. Tidak ingin diganggu sekarang. Sebab, hatiku masih kacau karena ulah Sergio. “Sudah berapa lama kalian berhubungan?” Lagi, Clayton masih membahas masalah itu.Aduh. Tolonglah, siapa pun tol
[Aku datang bulan.] Kukirim sebuah pesan pada Sergio. Ini mendadak sekali. Sebab, nanti malam harus menemui klien pertama. Apalagi uangnya sudah ditransfer oleh lelaki itu. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Pantas saja beberapa hari ini aku tidak bisa mengendalikan diri. Hormonku sedang tinggi-tingginya. Tidak ada balasan dari Sergio. Mungkin ia tengah sibuk bekerja. Bukankah polisi tugasnya sangat banyak? Ia biasanya akan merespons dengan cepat jika tengah tidak melakukan apa-apa. Aku merasa nyeri di pinggang. Ini tidak seperti biasanya. Mungkin efek dari stres juga. Jam yang tergantung di dinding telah menunjukkan pukul 15.00. Masih ada beberapa jam lagi sebelum Sergio datang menjemput sesuai dengan perjanjian semalam. Ia akan mengantar.Jantung mulai tidak bisa dikondisikan. Aku mulai cemas. Takut jika lelaki itu tidak bisa kikendalikan, hingga berakhir dengan pertempuran di ranjang. Aku takut jika Sergio dan timnya datang di saat yang tidak tepat.Aku berjalan menuju j
Aku berlari menuruni anak-anak tangga dengan perasaan kesal. Belum apa-apa saja mood-ku sudah dibuat berantakan seperti ini. Clayton benar-benar menginginkan permusuhan. Sergio berlari mengejar. Ia mengekor di belakang. “Mengapa dia bisa tau kau ingin pergi denganku?” Sergio bertanya seolah memojokkan. Apa ia pikir aku sengaja memberitahu Clayton? Susah payah aku menghindari pertemuan dengan lelaki itu, mana mungkin aku sampai nekat memberitahu. “Pindahkan saja kamarku. Aku tidak ingin berada satu lantai dengannya. Ia selalu mengganggu.” Aku berucap dengan kesal. Sungguh, Clayton benar-benar memberikan rasa tidak nyaman. Ia membuat hal yang seharusnya bisa dinikmati menjadi hal yang harus diwanti-wanti. “Hanya itu kamar kosong.” Arght! Apa aku pindah saja dari kost ini? Namun, ke mana? Fasilitas yang ada sungguh mewah. Tidak mungkin ada kost sebagus ini di tempat lain dengan harga murah. Sergio terburu-buru masuk mobil. Ia langsung menyalakan mesin sebelum aku ikut masuk ke dal
Aku tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi. Sebab, rasa takut itu membuatku tidak memerhatikan sekitar. Setelah pintu terbuka, lelaki paruh baya yang tadi hendak melakukan penyatuan, bergegas turun dari ranjang. Sementara aku menarik selimut tebal, bersembunyi di dalam. Tangisan masih belum bisa kuhentikan. Sungguh, aku benar-benar trauma. Tidak lagi menginginkan pekerjaan yang seperti Ini. Ingin dibayar berapa pun, aku tidak akan pernah mau! Setelah beberapa saat, ruangan terdengar sengang. Aku membuka selimut, melongok menatap sekitar. Tidak ada siapa pun. Mereka semua telah menghilang. Aku ditinggal sendirian? Mengapa aku tidak dibawa ikut serta? Lagi, aku kembali menangis histeris mengingat apa yang telah hampir terjadi. Ingin beranjak keluar dari selimut pun, sudah tidak ada tenaga sama sekali. Seluruh tubuh masih gemetar. Aku kehilangan kekuatan. Entah berapa lama aku menangis sendirian di dalam dengan keadaan pintu terbuka. Pakaian milikku tergeletak tidak bera
“Ternyata kau yang menghabiskan bahan makananku.” Suara berat Clayton membuatku terkejut saat tengah memasak di dapur. Tidak kuhiraukan lelaki itu. Ia kuabaikan begitu saja. Pura-pura tidak mendengar dan tidak menganggap ia ada di sana. Clayton membuka kulkas, mengeluarkan bahan makanan dan membawanya ke dekatku. Ia menyalakan kompor sebelah, dan mulai merebus air untuk memasak mie. Ia biarkan air itu di sana, sementara dirinya mengiris sayuran di sisi meja yang lain. Aku merasa risih saat kami berdiri berdekatan karena memasak di kompor yang sama. Dapur ini hanya ada satu kompor dengan dua tungku. Jika hanya memasak mie, harusnya ia memakai dapur bersih saja! Dasar pengganggu! “Kau mengambil ayamku. Aku minta sepotong nanti.” Ia berucap dengan santai. Bahkan kini kata saya telah berubah aku saat dia berbicara denganku. Aku tetap tidak menjawab. Selesai menggoreng ayam, aku berjalan menuju meja makan. Mengambil nasi dan mulai menyantap hidangan yang baru kumasak. Akhir-akhir
Sudah seminggu ini tidak ada kabar sama sekali dari Sergio. Ia tidak ada menghubungi lewat WA, panggilan telepon, ataupun yang lainnya. Bahkan ketika hari minggu kemarin lusa pun, ia tidak datang. Hanya istrinya bersama bayi dalam gendongan yang datang untuk mengisi stock makanan di kulkas. Ini sungguh menyiksa. Tampaknya ia begitu serius dengan ucapannya. Akun Instagram milikku juga tidak aktif lebih dari seminggu ini. Akun itu dibiarkan terbengkalai, sebab aku juga tidak berminat untuk mengurus akun itu sendiri. Terlalu banyak komentar dan pesan mesum yang berdatangan. Kucari nomor Sergio, hendak menghubungi. Namun, tidak ada keberanian sama sekali. Aku takut. Entah takut akan apa. Yang pasti ucapannya minggu lalu membuatku kepikiran hingga kini. Dia juga menyukaiku? Entahlah. Ini masih abu-abu. Kutarik napas kasar, lalu beranjak keluar kamar. Hendak menuju rooftoop agar pikiran bisa sedikit lebih tenang. Rooftoop malam ini tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi. Aku mengam
Sergio hanya diam. Ia tidak ingin menjawab. Ponsel yang berada dalam sakunya berdering, merusak suasana. Lelaki dengan kaus putih polos itu merogoh saku celana, mengambil ponsel untuk menerima panggilan. “Halo, Sayang.” Dengan sangat lembut ia berucap. Sudah jelas siapa yang menelepon. Ia sering mendapat panggilan dari istri ketika ia tengah bersamaku. Tentu saja, aku juga tidak akan bisa pisah lama-lama jika suamiku adalah Sergio. “Aku harus pulang. Putriku rewel ingin tidur.” Sergio mengacak lembut rambutku setelah ia memutuskan sambungan telepon. Ia tersenyum tipis, kemudian berlalu begitu saja dari hadapanku. Aku tidak bisa menahan langkahnya. Sebab, tidak ada hak untuk melakukan itu. Kami tidak ada ikatan sama sekali. Rasa rindu itu membuncah ketika kami tidak bertemu. Namun, mengapa rindu itu semakin dalam mencekam setelah aku menatapnya kembali? Aku tidak rela melihat ia pergi. Apalagi ia akan pulang ke rumah, menemui anak dan istri. Kurasakan ujung mata kembali basah. J
Kami menghabiskan waktu cukup lama di taman. Tidak ada obrolan. Hanya diam dengan pandangan lurus. Menerawang jauh ke depan sana. Langit malam ini tidak terlalu polos. Ada sedikit bintang yang bertaburan di atas sana. Aku memeluk lengan Sergio dengan menyenderkan kepala di bahunya. Sementara ia bersandar pada sandaran kursi. Kami membiarkan debar di dada dan degup jantung saling berbalas. Mereka lebih tahu apa yang tengah kami rasakan tanpa mengucap dengan kata-kata. Menikmati kebersamaan yang tidak tahu entah sampai kapan bisa seperti ini lagi. Sergio mengusap lembut ubun-ubunku dengan tangan kanannya. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya ia kembali membuka pembicaraan. “Aku tidak bisa menjanjikan apa pun padamu. Jika ada yang melamar, kau harus menikah.” Ia berucap dengan suara sedikit bergetar. Aku menarik napas dalam. “Aku tidak ingin membahas itu sekarang.” Aku menjawab dengan cepat. Tidak perlu menyakiti perasaan dengan membahas bahwa hubungan kami tidak akan bisa bertaha